Entahlah 5 tahun, atau 1 tahun, atau mungkin bulan depan nanti
Dirinya tak akan bertahta lagi di istana ini
Seperti warna biru pada gordin kamarnya
yang dihisap matahari
Bayangan Tribuwana wajah adik tiri perempuannya
Yang dulu hendak dikawininya sendiri
Selalu di matanya
Wajah cantik adiknya itu tersenyum mengejek
"Kau seorang kakak yang tak punya martabat
Seorang kakak bajingan yang gila
Hendak mengawini adiknya sendiri"
Suara itu selalu terngiang, membuatnya sering termenung
Sampai dia jatuh sakit keras
Tribuwana, begitu benci, bahkan gadis itu tak sudi
walau mampir sebentar menengok keadaannya
Tapi ia mungkin akan bisa menyisakan
merah meja
dengan bekas guratan belati ketika mengancam gadis itu
Di warisan terakhir
Dosa yang bersembunyi dari Tuhan
yang tak membuat ia yakin.
Salahkah dirinya, yang tak begitu percaya
pada salam, atau sekedar suara
di atap kamarnya,
"Aku memang kakak yang durjana" ucapnya pelan-pelan
yang akhirnya hanya hujan air matanya?
Mungkin hujan penyesalan?
Apa yang diharapkannya?
Tentu bukan hujan!
Ia hanya tak ingin terpisah
dari nyanyi riang Tribuwana yang begitu merdu
sebuah kidung tua,
pada kecapi
yang setengah serak
yang terapung-apung,¬ sentimentil,
di luar kamarnya, pada pucuk pohon
dan gerak awal
sejumlah mendung:
Cinta. Cinta dan cinta
Mungkin ia kangen, sebenarnya,
tapi “aku malu, aku begitu jahat dan kejam padanya”, katanya, pesimis
pada angin
yang mungkin mengetuk jendela istananya
dari luar itu, dari gerimis
yang berkata: tak lama lagi
Kau akan mati dengan penuh kehinaan
Dan tahta ini akan ada seseorang
di kerajaan ini.
Oleh ; Jaka malela
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar