UNTUK MENCARI PUISI-PUISIMU CUKUP KETIK NAMAMU DI KOLOM "SEARCH" LALU "ENTER" MAKA SELURUH PUISIMU AKAN TAMPIL DI SINI

Kamis, 18 Oktober 2018

PUISI KITA



Selamat malam cinta
Lelaplah di tilam mega
Terbang bersayap mimpi
Tapaki jalanan di pulau kasturi

Aku, masih ada
Memipil gemintang di awang
Memetik rembulan benderang
Agar malam, tak lagi buta

Lelaplah, dalam dekap cintaku
Yang tak kan usang oleh waktu
Yang tak lekang dimakan usia
Aku, kamu, tetaplah kita

#DewaBumiRaflesia_05_10_18

SELAMAT PAGI BAGI TUAN AMBISI MAUPUN TULUS HATI MENCINTAI NEGERI JANGAN MATI



Saat terjaga dari tidur
aku melihat di langit tinggi
menjelma jadi layar televisi
bertema tayangan berita pagi
tentang sejarah nasib negeri
Media sosial olahan manusia
tidak lagi berkandung nutrisi
hanya bicara makanan basi
kehidupan berbangsa dan
bernegara jadi lautan sunyi
terjajah habis di layar
seluler, kenyataan
hingga HARI INI!

Jejaring internet
penjajah tak nyata
lewat seribu tipu daya,
mendoktrin imajinasi,
saling berebut untung
tak peduli musibah
moral buntung!

Dari waktu melek mata
terhipnotis di mega mall
dalam layar kotak telpon
bermain game, berselfi,
berhujat maki, berpuisi,
bernyanyi berbagi suara,
bertransaksi dagangan
dari pakaian, makanan
sampai layanan syahwat
kaum normal - abnormal
demi mencapai klimaks
memuncrat kenikmatan,
dalam kekuasaan mutlak
kaum jenius penemu
karya cipta seluler,
dunia menggila!

Lihatlah bumi warisan
nenek moyang animisme
bertebar beraneka makanan
didominasi produk import,
menjalar mencengkeram
mirip tumor merongrong
mengangkangi pikiran
sepanjang waktu
sulit terkendali!

Perang politik
menguliti kesalahan
menjadi modal kekuatan
untuk membunuh lawan,
padahal satu kandungan
bukan di negeri kampret
tapi semua atasnama
cinta mati pada negeri
padahal yang terjadi
sebatas pencapaian
kantung ambisi!

Di langit bumi subur
warisan leluhur dinamisme,
merentang peta berwarna
bahagia dan suka duka
ada Mega Pembangunan
ada musibah Petaka Alam
Nasib hidup dan kematian
dinyatakan satu ketentuan
siapa berani MELAWAN?
hanya Wiji Thukul nekad
bermodalkan bahasa ...
Satu Kata LAWAN,
HILANG RAGA
HILANG RIMBA
menyisakan catatan
sejarah sastra sebagai
PEMBERONTAKAN!

Akh, lihatlah
televisi di layar langit
presiden berlencana tinggi
bersahaja di atas puluhan ribu
pegawai negeri terkasus korupsi
selama sanksi bukan eksekusi mati,
jadikan korupsi berjamaah, TRENDI
lupakan saja anak cucu keturunan
pada lini katulistiwa kemiskinan
menjadi generasi kematian
merusak tatanan Tuhan!

Dan kini hari ini,
kita bertanya pada hati
kita berada di mana?
Sebagai para pembela
di pasukan yang mana?
Apakah hanya cari laba
ataukah cari aman saja
menjadi penggembira
sebagai pencerca
sesama saudara

SATU NUSA
SATU BANGSA
SATU BAHASA
INDONESIA

Di tangan kita
nasib masa depan
negeri ini, apakah
masih ada atau
tinggal nama?

Salam Pagi
Salam Merdeka,
Katanya!

---------- Bambang Oeban
Dari Timur BhumiBelasi
Rabu, 11 Oktober 2018
10.10