JIKA ITU CINTA
Oleh : dion anak zaman
jika itu Cinta benarkah kau bisa menjadi Kupu kupu?
walau warnanya menipuku.
atau jika kau adalah kekasihku
bolehkah aku menunda waktumu ditaman?
apakah seindah semesta yang telah lengkap dengan isinya?
jika itu cinta
dapatkah kau mengerti dan mengartikan, sama dengan mawar
sepetik notasi alam yang mempersilahkan kita untuk menjaganya
atau menghapus kecurigaan, dan ketakutan tengtang duka kekasih, dan patahnya hati?
sudahkah kau melengkapinya dengan merelakan secara ihlas?
maka itulah juga dinamakannya sebagai jendela untuk kita bisa menoleh kearah angin yang menegaskan kita untuk sebuah kerelaan
jika itu Cinta
lalu mengapa kau meneteskan air mata?
KEPADA KISANAK
Oleh : dion anak zaman
aku mengulang kembali, lembut bibir perawan yang jatuh cinta
setelah kuremas, dan menyuratinya kembali.
saat air matanya jatuh, Kita putus!
saat selembar kain menutupi tubuh perawan tua,
hendak pergi kesungai kecil.
dulu belum ada yang bisa melihat pantatnya yang masih mulus!
dan tanpa ragu ragu kita mengintipnya
melihat orang orang yang berpacaran hanya sebatas meremas jemari
melihat mata binal orang orang mabuk yang berteriak sempoyongan
menyaksikan penderitaan seorang Guru yang belum naik pangkat dan golongan
tapi kita menutup mulut saat itu! kita masih kanak kanak ya! kau ingat pasti!?
namun jika kau lupa, tiada mengapa,
sebab itu juga kita sama sama pernah melakukan
kita berbeda namun sama melewati masa masa sulit
kita manatap bulan orang orang menuduh terlalu lama bermimpi
kita melewati malam malam dengan mengabaikan kesehatan
lalu kita tertidur diantara kaki kaki malam
Tuhan mungkin masih menjaga kita kala Itu!.
aku masih ingat saat pertama aku masuki paru kedewasaanku
keberanianku melawan ketertindasan
melawan kehinaan falsafah, dan khilafia, saat itu masih mencari
mencari jati diri, mencari perhatian
sambil berteriak didepan kantor yang di duga penyelewengan
saat mereka mendobarak barisan pasukan berani amti angkat sendal sepatu.
atau minimal meludahi polisi dan menyrepahinya tanpa ampun.
hujan, terik, dan lembayun kemungkaran kita sama sama kerjakan
lalu sama sama perempuan cantik yang kita jaga
lalu kita rampas secara berjamaah. lalu kita gilir menjadi perias kelenjar kelenjar
karena kita jenuh memikirkan bangsa yang telah punah.
kita belum bisa menembus dan menggedor Gedung gedung bertameng
atas nama bangsa, Negara dan rakyat
kau meludah diatas trotoar, dan aspal. mereka pangling,
menoleh kearah perempuan didekatnya, job mobil belakang sedannya yang mewah, dibawahnya pahanya ada kondom bertabur benih benih Cinta krpada yang lain.
seperti kemarin
setelah bulan basah
bunda pertiwi menangis
sementara kaum kaum yang menembus batas batas kedisiplinan penegetahuan
berlomba jadi pembicara. berlomba menduduki kursi kemerdekaan, kekuasaan
sesampai aku dirumah, aku duduk ditengah hujan yang jatuh
mala petaka datang
orang orang melempari batu batu kemunafikan
namun hanya sejatah rupiah tak adil bagi baginya
semua menuduh sesama
semua mengingkari perjuangan
saat terik, saat busur dan popor senapan, saat laras dan saat tak mendapat ruang ruang publik untuk berkata lebih jujur. atau sekalian diciduk diculik,dan dipenjara, atau dibunuh seketika. mereka adalah kisanak kisanak, yang sama kita dulu, kemudian menjadi pelaku kebinalan otak otak dagangan Politik. Menciumi puting bagai mutiara kekasih gelapnya. meniduri perempuan be-rok mini nampak kelihatan celana dalamnya yang berwarna corak putih.!
jangan bersedih
jejak kita sama
jangan melewati masa masa indah dulu
atau takut menghadapi serangan pertanyaan,atau tuntutan dari mereka yang juga hampir sama dengan kita dulu dan kini?
PERJALANAN
Lonceng itu. Menkautkanku
Suara itu, menggugurkanku
Tepukan itu, memanjakanku
Pujian itu,,ouhhhh sia sialah sudah
Haru biru kematianku.
Perjalanan itu, menemukanku, membiarkan kaki tenggelam dipasir. Membutakanku tengtang satu Tujuan
Perempuan itu, melengkapi kepedihan
Matahari itu
Bulan itu, meninggalkanku.
Membuatku menangis
KELAKAR PAGIKU DENGAN SEBATANG CLAS MILD
Oleh : dion anak zaman
angin menggairahkan
puting susu ibu! meneteklah seoran anak
berlinang air langit
jatuh kembali membagi kepetani
ladang serta bagian kepentingan lain
agar air tetap sejajr dengan konsisten mendahului kemarau
kepada siapa ditanami
atau kita menarik nafas bersama
sambil menggoda hujan
dan menanam biji biji mata
ditanah yang tak berpenghuni...sengketa saja!
tanpa beras jagung mendadak
kemudian menampih beras ketang
untuk ritual kelamin ujung anakku akan dikhitan
kata seorang Bapak kepada tetangganya
sambil menggendong satu dari adik anak sulungnya
pedulikah kepada angsa?
atau pada ummat yang berenang tak sampai ketepi
dilema yang membuntutinya, dua anak manusia mengejarnya dari seberang
diserta angin dan hujan melintas diarea sawah pengunjung tetamu pagi
mendahuluiku pergi sebelum orang orang membawa nisanku
pesta dimulai
mereka berlomba mencari sensasi
dengan seksi dia ber ekspresi
butuh apresiasi
namun otaknya berpikir terasi
membawakan kami senampan ilusi
tanpa basa basi kemudian dia berjanji
untuk melunasi utang budi
pergi ketatangga berikutnya tanpa ekspresi
aku tahu kedatanganmu
sama sebelum magrib seorang datang dengan berdasi
sambil duduk melihat ruang ruang hampa yang hanya gambar gambar tuguh kehidupan
dan Toga kesukaanku
dia tola toleh
mencari gambar gambar yang mulai dipajang disisi kanan kiri dan bahkan dipohon pohon tanpa estetika. libas saja, apalah arti slogan Gambar dengan didesaign secara apik. bertuliskan nilai nilai keluhuran, namun jauh dari kejujuran!
aku menyuguhi segelas air putih
dari nanak ibuku yang masih pakai sarung tidur dan baju tidrunya yang bau keringat
sepotong pisang goreng diris kecil kecil
kusilahkan membagi sepotongnya kepada kawannya yang memakai atribut
yang cukup aku kenal. seperti kuhitung purnama
datangnya sebantar disisi bumi berputar dan meminjam malam untuk menyaksikannya
alih alih berpaling saja
kuegur pundaknya yang berdebu
satu tamu lagi yang entah mengnalkud ari mana menawarkanku satu pekerjaan
aku menolaknya
aku mencari catatan diaryku, dan berkas administrasi ijazah terkahirku
aku lupa bahwa aku pernah bersekolah dulu ditempat tugu pengetahuan
dia menaruh map merah bertulis berkas pendaftaran
aku menepikan mataku disudut ruangan yang ada foto hitam Putihku disana
sambil mencuri recehan kupingnya yang mendengarkan ceritaku!
dia pergi dan tanpa ekspresi pula
toh aku kembali kekamarku clas mild sisa sebatang dibungkusannya yang peot
kutelan kepahitan beberapa hari ini
sambil melirik foto kekasihku disaku dompet, dan mengecupnya
aku penuh rindu rindu dengan jemari jemarimu
rindu mengantarmu di sore senja
menemanimu dengan menambatkan Cinta yang telah kitas epakati
namun kau telah mengajak Cinta lain yang lebih bisa menghadiahkanmu dengan jam tangan emas,serta menggandeng tanganmu dikeramaian tanpa Ragu
lalu membawamu sampai kepahitanku makin perih
aah, setumpuk rindu dan seresah camar oleh musim
69 (ENAM SEMBILAN)
Oleh : dion anak zaman
sebelumnya permohonan Maafku kada Amma dan Tata", serta kalian yang sekrinya salah membuat pemahaman.
berbahagialah yang memiliki jiwa yang sehat
berbuah ranum bagai seranum bibir anak perawan disubuh hari
selalu menggetarkan
selalu ada untuk dicintai
bahagia dan amat menyergap butir butir ayat ayat Ke-Ilahian
memburai nikmat Tuhan yang melebur bersamaNya
aku memujiMu sebagaimana pesujud akrab dengan dahinya yang bengkak
secara kejiwaan pembaca menyeret pemahamannya sendiri tengtang judul diatas
aku hanya pasrah, sebab kelemahan yang paling fatalku adalah ketika mencoba mengilisutrasikan semantik, yang menuai banyak persepsi
Ahh' Tuhan lebih tahu itu"!...Benarkan Tuhan? ( sambil tengadah melihat garis garis hari).
Fabi ayyi AlaaiRabbikuma tukatziban" kalimat dan permulaan Ayat ini menggetarkan kesederhanaan dan kesombonganku, secara total kumiliki namun masih saja ku inginkan sesuatu yang lebih
saat orang orang memujiku, pada masa rentangnya waktu dan usiaku, selalu mengalirkan sesuatu yang berharga, bahkan orang orang yang menggunjingku sekalipun. Tidak juga orang sekelilingku mengutak atik persepsinya sendiri, dalam hal menganalisa setiap geraka mata dan picisku yang diam.
dihiasilah bunga mewangi dipusara Baginda Rasul dan para orang orang yang luar biasa menghantarkan dan mewakafkan tubuh, jiwa nafas Nyawa dan bathinnya untuk sebuah Kebenaran Tuhan dan RasulNya." aku terdiam saat menuliskan bait ini
sejenak!
kematianku kelak mungkin secara acak Tuhan memilihku
sebutir Rindu untuk kekasih hanya mampu menegaskan tengtang perasaan ini
bawa aku begitu menyangi. bahkan meletakkan keningmu dipucuk bibirku. Aku melewati satu takdir Tuhan, demi menjaga segempal kenikmatan, saat tubuhnya tak berbusana, sementara dalamannya berbercak merah kesumba. membuatku makin kuat menjamah Mahluk Tuhan yang terdiam dan menatapku tanpa mengedipkan. saat itulah ajakan menumbangkanku. pada akhirnya aku melayang jauh. melewati batas batas Norma, dan sejarah Cinta yang ku bangun di dingding batu kemuliaan Tuhan yang ku kufuri. aku makin jauh melewati waktu, dan puasaran malam yang memeluk bumi, sertakan bulat bulan yang takjup pula melihatku berdua. diantara kereta kencana Suragawi dunia.
tubuhku terguncang, kemuning jatuh menjadi air mata
rambtnya kusut tubuhnya tergeletak indah dengan lekuk tubuhnya yang mulus
bibirnya dikulum kakinya basah, lehernya memetik settes air matanya. dari arah pipinya menggulir, kucari tahu bersama bulan, apa entah kutaktlukkan kesuciannya. atau pada malam malam sebelumnya dia meratap sebelum ku timpali kebenaran Cinta yang tak sepadan? Tuhan lebih tahu!..ia Kan Tuhan? (tengadah dan malu malu)
malam makin menyisir, di bumi Tuhan yang bertabur kegelisahan Ummat. kepekaan keyakinan yang gugur oleh setempel saja. atau jari ibu jempol tanpa makna.
seperti biasa, orang orang mudah panik, dan linglung
atau secara sadar kadang lebih mencomong apa yang nampak, mengupas kepahaman yang selebihnya adalah Pemahaman itu sendiri yang di Mantrai
agar jebakan jebakan persepsi, adalah cendrung ke arah membuat semua lebih tahu dan merekayasa pertanyaan, dalam kurun waktu yang amat singkat dan berbeda kepemahaman itu sendiri. dan Tuhan lebih tahu itu"! Benarkan Tuhan? (tengadah dengans enyum butuh pembelaan).
pada hari berikutnya, Jum'at, suatu malam yang takjup oleh kepingan murtat kudusnya keheningan, Manusia mendepah, satu anak di labirin tersipu dengantelanjang. buah dadanya diapik sekuntum mawar. yang baru tumbuh ketapel keperawanannya tak sanggup lagi, enam sembilan kemudian menjadi saksi.
SURAT RINDU UNTUK INDAH
dion anak zaman
( sebuah Nama dan cerita yang nyata )
semoga kau baik baik saja, dan selalu bersama kasih sayang Allah.
aku tak mendengar lagi, seakan ditelan bumi
ajaran Tuhan mengasihiku. mencoba untuk bertengger disisi taman
seperti sebelumnya, kita bertemu. kemuning kau petik. lalu kutanam disisi sore
apa kau membaca surat awalku tempo hari, bersmaan bulan Ramadhan? yang kutulis diatas batu batu kejujuran. ditepi ombak pantai yang dulu belum dikunjungi orang orang memadu senja. masih ada tanggul kanal itu". masih tersisa pohon teduh dimana kita pernah bernaung, kala matahari melepaskan hari. kau mungkin sudah lupa itu!
surat berikutnya aku mengirim pesan disitus jejaring sosial, aku mencoba mengajak kembali merunut, sisa hari, bahkan bulan. Namun kau hanya pangling dan tak menamaiku lagi. Seperti pada Bulan yang Agustus di tembaki orang orang tak bernama, menjelang pohon pohon tumbang dan mengelana dipesisir pantai mencari jejakmu.
aku tahu kau mungkin telah berada pada sisi Dunia yang tak sama sebelum aku mengajakmu menemui bintang, atau menunggui dipintu itu. saat rutinitasmu mulai berawal kala fajar aku setia menunggu dan mengantarmu kemana kau ingin, dan magrib mendengarmu. aku prihatin, sebatas aku menjadi selembar pelengkap teman, kala kau mulai beranjak,mengajakku ke emperan warung, sambil menyantap Sop Ubi atau saat lentera malam, kuantar kau sampai Pintu Pagar bambu Rumah idamanmu. hanaya saja aku tak pandai berhitung bulan dan tahun, sejak kapan kita berjumpa, sejak kapan kita mulai saling akrab. apa kau mengingatnya? tolong beri tahu saya. biar kucatat yang kulupa, agar pada memory kecilku yang begitu masih belum terisi kisah kisah yang sama denganmu.
kau inspirasi yang murni menurutku.melengkapi kekosongan imajinasiku
setelah kau berlalu dan beranjak di antara kebisuanku. aku tidak pernah tahu sampai sekarang, sedekat apa kita dulu, atau apa juga kau tahu tengtang kedekatan yang membuatku takut bukan kepalang,! karena aku mengagumimu setelah kutemui magrib diantara layar puith dan diskusi mengenai penanda dunia yang semrawut, atau kisah orang orang sukses yang kau ilustrasikan, diantara orang orang baru beranjak dikursi kebodohannya. berbicara tengtang lingkungan, dan narasi kehidupan sosial, serta kesewenang wenangan kaum kaum Borju dan pejabat. kau sangsikan kegetiranmu, pada alam. dan duri duri duka selama kecamuk amarah anak bangsa, dan sangat Idealis, serta satu hal. kau suka Seni, seperti sebelumnya keberanianku mengawal kepercayaan diriku menggodamu dengan gesekan Biola disaat aku abru memeilikinya dan proses menegenal aturan permainannya. ahh: kau lupa semua itu!
kau tersenyum, kau mencoba menghindariku, saat aku mulai membuka pra kata, pengantar kepekaaanku yang sulit kujelaskan dan ku diamkan. aku takut jadi penegecut dan menyesali, sama hingga sampai saat ini. kenapa? sebab mengapa juga saya memendam rasa? atau menggoda dengan keinginanku yang tak kau tak pernah mau tahu,atau pura tak tahu? aku menyesal kenapa aku justru memuji, dan menfakrabimu, sementara aku membohongi kata hati yang sebenarnya, jatuh cinta disela waktu dan sela keakraban itu mulai beranjak pergi dari Bumi selatanku.
hingga sampai saat ini. aku mendengar kabar tengtangmu di Negeri Bumi Tuhan, kau menjelajahi Negeri aktulistiwa. secara adil Tuhan menghukumku. atau Tuhan merelakan kesengsaraan Rindu yang tercekat waktu dan kecerdasan yang terlampau amat tragis. kalaulah Rindu untukmu adalah kesalahan, maka Biarkan separuh waktu mencarimu disisi Rindu yang tak pernah ada untukmu yang kuberi nama Indah: seindah Bunga mekar berseri, bagai lembayun yang memebriku kesejukan, dan meronai setiap mencoba mengingat saat kau pernah ada mengisi ruang ruang yang kosong di bilikku. atas Nama Semesta, kupinjam angin, kuajak rembulan menemuimu di antara Pintu Dunia yang terjarak sudah!
RENUNGAN
Renungan ini
Relung relung kalbu
Merelakan
Menempati putih hitam
Kepada huni jiwa
Pertapaan sembah-dan Yang,
diantara fase waktu dan durasi yang terdiri rakaat dihitung menit saja
Rebahlah tubuh
Relung relung bilur
Jatuhpun tak terrasa
Apakah gerangan?
Hanya karena penampik letak rebahnya jiwa jatuhnya kemanusiaan dan terhampar retas retak jalan dihalaman depan surga dan neraka
terhitung sesuai manik manik perlakuan terhadap penyerahan
dan dari mana dia wujud
dari sebuah kesepakatan, perjanjian
permanen dibangunnya jati diri atau sebatas musnah oleh ketimpangan duniawi
kelemahan keyakinan, atas hiburan yang berkepang
atau diantara dua sisi kehdiupan yang berkalung
renungan kedua malam malam berikutnya
sebelumnya kutasbihkan diri kepada kepunyaan
kepada titisan malam, resah ini dibatasi dimensi waktu
hanya saja aku masih didunia
belumlah tuntas dan selesainya sufi dan falsafah kubaca habis dibab serta judul
yang serupa tapi tak ber-eja dan berpribahasa,
resah resah kebathinan
diapik empat penjaga malam
dua berpisah namun melihat secara utuh
tiga diantaranya berada pada kekuatan keyakinan
Satu adalah milik seutuhNya
Oleh : Dion-anak Zaman
SELEMBAR RAGA
tiadalah punah peradaban ini oleh cermin cermin kita sendiri
tidaklah mudah mengubah pelangi karena alami dari butiran air
seperti kulitku yang berwarna
sama seperti sejak aku berlari memburu opum ibuku
karena akulah air suci itu dari!
Raga ini tidaklah jua mengingkanmu sebelum aku mati lalu kau mengelupaskan kelopak mata dengan air, bukan!
sebagai layaknya Tubuhku mulai gerah oleh pakaianku
aku memujamu tak sama mereka mememunguti syair syair mada
aku lebih memilih menemui pantai itu! kala resah penghuni yang bengal mengajakku berkencan.
aku lebih memilih Onani dan memuaskan keselursahan alam yang sama sepertiku
sambil menepuki kedua belahan dan garis tangannya,hingga usai persoalan
entah mencari tahu dari mana tengtang cermin yang pecah sendiri
sementara wajahku masih kuingin melihatnya bersemi didalamnya
tiadalah asa yang gampang kuraih
ketika melewati ubun ubunku, jinak dan liarnya terpedaya juga
tak apalah jua jika kelak kain kain itu melepasku dan menelenjangi tubuhku
kalian tidak tahu aku pernah menjadi Cinta dan kekasih
Oleh : Dion-anak Zaman
REKAYASA
tepi berhenti
lebih tertumpah
tekuk membunuh
terbang
melayang
anai anai, angin menemukannya
laut menggelora
berombak
berbuih, berkarang
berperahu
berjumlah milyaran penghuninya yang beracun
ada keindahan disana meski harus menyelam
takdir Tuhan
rekayasa genetik
punah, perang hati
perang Cinta
ditengah hiruknya kebiasaan
andai aku saja mampu menjadi angin
andai mungkin seolah aku jadi ombak
seketika punya sayap untuk terbang
hingga aku tertanak sendiri disini
dihatiku yang teramat dalam
bunga berdunga bunga
bunga berseri bunga kelopak
bunga bunga dari kuncup melepas daun termudahnya menjadi bunga yang takjub
biarkanlah berderai pada sarinya untuk kumbang
buih ibarat serpihan persoalan
jika kita sering merekayasa instan maka kita akan terjebak pada rawai rawai yang kita sendiri menciptanya
laut menggelora
berombak
berbuih, berkarang
berperahu
berjumlah milyaran penghuninya yang beracun
ada keindahan disana meski harus menyelam
.....Kehidupan ini tak lengkap tanpamu.....
Oleh : Dion-anak Zaman
KUFUR
sekar melati sekar sugar penuh misteri
selendang merah, batik ular dan naga berselisi
angsa piutih hitam putingnya
susu diperas dan dicuri dan mereka beralih kesusu lain
apakah aku sama dengan mereka
atau sedikit berbeda dalam memainkan puting puting
pucuk dicinta ulang-pun tiba
sederet peristiwa hari hari kita
selendang jatuh dikaki perempuan lain
sendawa lisan mengedipkan matanya ! menggoda
sambil memperlihatkan ujung payu daranya
sampai menempel keragaku yang sudah terbiasa dengan payu dara sepertimu
hanya saja suasana mendukungku,dan remahremah jemari yang renya bibirnya
selalu mengumpanku, untuk berkencan menumpuki dan mencairkan susu susu yang lama tak terperah.
apa hendak lajur dikata, susu menjadi bubur
banyak petani yang bertafakkur pejabat bangsat bertengkukur dan mala menjadi subur
negeriku tak akur
keterwakilan rakyat dioistana dan gelanggang tengtangku kau bicarakn namun hanya sebatas mendengkur, kalaulah bisa kupilih nanti
hanya saja aku telah lama mati dan terkubur
Innalillah,,atas kematian negeriku yang kufur
Oleh : Dion-anak Zaman
KEPADA TUHAN KUTITIP HANI
dingin melepas pada angin yang berlalu pagi
sekitar tanah tanag pekat berpasir ditumbuhi rumput
demi hari aku tak mengira
demi Tuhan aku mencintai seperti rembulan yang kutemui sekedar kujejaki
apakah bahgia menyentuhnya?
atau buitran sekap matanya yang kan tak berdaya
aku menitip ini untuk Tuhanku
kepadanya, agar dia terjaga dalam setiap remah seperjalanan kisah
yang aku pernah hadirkan, lasak bagai tertangkup kerasnya hidup
lebih kuat HANI menemukan sebenanrnya Cinta walau tak sesudi kisah klasik
yang pernah terjalin.
benarkah cinta itu ada selamanya?
atau kira kira di hiasi perhiasan perang jiwa dan bathin
ingin mengunjungi makan sang Nabi
disana kutuliskan syair dari Sabda-nya seperti ummat sebelumnya menikam kesumat menjadi belahan dan bulir bulir cinta yang menangis
aku meminta kepada Tuhan
agar kerelaan ini kuulis dibatu nisan atau dilapis bumi
agar mereka tak pernah tahu aku pernah mencintaimu
jika Tuhan mengizinkanku
jika hendak menangis dalam kisah ketiadaanmu yang sumir
maka hadirkan aku, karena ku tak mau setitikpun jatuh diselaput matamu yang pernah membuatku terpesona dan terpedaya sekali-pun
meski ragaku tak terbiasa dengan hidup yang sempurna
namun aku punya Cinta yang masih utuh untukmu
jika sekali waktu kau sepi dan tertada rindu rindu keinginanmu
yang dulu, yang kau resahkan lalu hilang sepertiga waktu dan hidupmu
maka kunjungi berandaku, aku akan ada untuk sebuah ilustrasi Cinta dan akan menghentikan deraimu yang belum tuntas, dan HANI jangan bersedih
biarlah menjadi sugesti keharibaanku kelak, sebab aku ada untuk air matamu
Oleh : Dion-anak Zaman
SAJIAN
Amma mengurus pagi kembali
segerah matahari meringsut keceriaannya
selebihnya bibirnya kembali mengoceh bagai pedang untukku
selagi hari masih genit, aku membujuk bibir Amma untuk mengucap sayang kepadaku
amboooyyy, assyknya jika lenting jemarinya memainkan dunia
asyknya rawai rawai dunia jika amma mengusir syaitan dengan bibirnya
kudengar dalam bilik tidurku, Amma menuang air ditengah matahari kini bergerai
seduhan setengah cangkir, dia mendudukkan manisnya Teh di atas meja pernah ternanak dengan hari.
Ma' hari ini masak apa lagi!?
atau Amma bersegera menemui butir embun?
sambil membawakanku untuk membasuhnya
sekali hari ini aku berhenti membingkai air mata
aku lebih puas semalam amma membukakan pintu
sambil mengomeliku. aku lebih suka sayur nangka dan sayur isi kacang dan daun signkong yang lezat, dan mairo yang di goreng tipis dan gurih garing...
Amma' menuang seteguk Untukku
katanya untuk obat dunia yang ber - air mata
Oleh : Dion-anak Zaman
DHEAN
dhean sayang
dihiasilah dunia dengan tabur mega mega kenikmatan
namun kita tak selera itu
karena kita punya tujuan yang lebih indah
sepercik air telaga sudah cukup untuk kita basuh
dan bersama merangkai dan dirangkul Tuhan
karena tujuan kita ketentraman bathin dan jiwa
aku akan menjadi sesuatu yang akan menjaga dan mennetramkan hati dan keyakinanmu kepada Cinta, kasih dan sejuta cinta yang tak di munculkan sekalipun dimuka keyakinan dan kekuatannya yang Tuhan titip untukku yaitu kamu
Dhean yang selalu menjadi kekuatan selera hidup yang hampir punah
selamanya jika aku telah tiada maka catatkan Cinta dengan ratusan kalimat indah bahkan sejuta makna cinta dan falsafahnya kau ukir diatas nisanku,
dan dhean sayang ketika aku mengunjungimu dan menawarkan amwar dan secawan anggur yang kupetik disavana kebun kebun milik Tuan Cinta
maka jangan kau sangsikan kehadiranku, serta akan kubawa mahar semahal mungkin yang kau pinta ayaitu kejujuran Cinta dan selingkar Cincin mengikat syahnya dan kita akan menjadi kekasih yang di sempurnakan Tuhanku dan Tuhanmu yang kita sama yakini,,,
Oleh : Dion-anak Zaman
KEKASIH HATI
tepat dibawa kaki malam
aku dihujat diterka ancaman surga
sementera mereka pernah mencuri bulu mataku dan mencuri bibir basahku
diremang remang
aku telah tiada!
dimanakah angin mebawa berita kehilangan?
sepundak kecewaku kepada Tuhan
sebab meberiku kecantikan dan tubuh yang di lendirkan lendir lendir pria
tapi semudah kubalik anyaman mereka
kuputar jarum jam
kubuat lebih runcing lagi
agar menusuk nusukkan saat aku tertahan ditengah perjalanan malam yang sakral
sambil membawa kemenyang dari rahimku
aku seolah olah melempar jumroh ke ka'bah pujaan ummat manusia yang bangga
sekarat aku disini
menunggu Tuhan dan malaikatNya menegur gaun dan rupawanku
yang tinggal sisa sisa dan mematikanku dengan nikmat dan bersahaja
menemui Sang Raja kekasih sejati
Oleh : Dion-anak Zaman
MALAM
ditiup sepoi angin gaunnya basah oleh rintik malam
bibirnya juga basah, sebasah tubuhnya
sehelai bulunya jatuh
hendak kemana malam ini?
atau aku antar kau disisi lain dunia
atau kau menunggu sehelai rambutmu kembali?
Oleh : Dion-anak Zaman
MASIH
tapi aku msih saja menyebutmu sayang
namun aku masih saja berani mengatakan kaulah cinta yang tak sama
aku yakin kau tidak tahu sebenarnya sebagaimana Cinta dijelmakan
bukan sebatas didermakan dengan dalih tak memilih dan memilah
hingga pada suatu detik hari
kita berbincang dan menyatakan sayang'meletakkan amwar
menciumi bunga buga taman
dan kita berdiri sejajr, mengikuti kumbang dan warna kepak kupu yang telah mencuri sari bunga ditempat kita menentukan pilihan bunga bunga untuk sebuah Cinta
dan kita ikut berlari, gaunmu kau jingjing karena terseret.
aku baru sadar kita savana pernikahan yang abru saja mereka pestakan
Oleh : Dion-anak Zaman
SEKILAS RINDU
menikahimu dengan apa?
dengan memebentuk cinta yang tak mampu kusebut?
berlari mengejar rembulan dan mimpi mimpi yang dipenjara!?
teranglah hari aku takut gelap
perihlah luka aku sudah terbiasa
pedihlah Cinta agar itu bagian dari kekuatannya
mencintaimu sebatas jarak
demi Tuntunan hati kita
kita meredam tat kala bulan kian bersekam delapan malam
kita tak bermunajat lagi'
sembilan hari kau tak menempati pagiku untuk membawakan buah segar yang kita telah petik.
aku menikahimu pada tauhid serta petunjuk
sebelum aku dipilih oleh selera yang berbeda dengan Cinta yang bersemedi kian
tapi kutetap Cinta yang kau taruhkan diatas malam malam
aku masih sekilas rindu yang perbolehkan
kau dengan apa saja membenarkan Cinta ayang telah kupahatkan dengan indah
Oleh : Dion-anak Zaman
SANG AKTOR
singa singa abadi
raungannya menggetarkan
kucing memeong ikan cucut
selembar roti bakar seledri milik semut semut kecil yang menggigit
manis memang hidup ini
patutkah aku bertanya
seandainya surat ini tak sampai kelangit ketuju
apakah akan terbalas
kisah sepotong duka
dinegeri yang berawai rawai
belum puas mataku memandangi bodi seksi disebuah tayangan
aku disuguhi selera untuk menyamakan perempuan perempuan sang aktor
yang mumpuni dengan harta
perempuan yang berlipstip mapan
tubuhnya dilirik lirik
buah dadanya tergumpal ingin lompat di celah branya
lelaki yang mana
tuangkan anggur sejenak
biar menambah gairah kembali
dia bertahan
sementara kekasih syah diistananya menunggu dengan indah menawan
namun syahwatnya berelbihan memuncah
bersama perempuan perempuan yang memuaskan sebelum subuh
dan ditelnjanginya, sampai kebiara dan penjara
Oleh : Dion-anak Zaman
JIKA
jika seandainya aku pergi
bukankah ada mawar yang kutanam
jika aku lama disana atau pergi ketanah tyanah yang lain
bukankah aku pernah membuat gembur tanah tanah kemarin
sambil kutanami buah buah ranum dan kacang
biar kau ingat aku kala kau rebus atau kunyah dengan renyah ranumku pernah ada
sebelum dunia ditutup
sebelum mataku dikatup waktu
maka aku pernah mengenalmu dengan senyum
aku menitipkannya. dengan pengetahuan aku pernah ada
jangan mencoba memolesku
jangan coba merayu rayu dengan segelintir duka duka selanjutnya
sebab aku sudah terbiasa dan pernah ada disana
jika kelak aku kembali masihkah kau merinaikank dengan nyanyian
atau sebatang syair saja yang pernah kutulis diatas kertas
Oleh : Dion-anak Zaman
KAU
ukhti siapa geranagan dirimu?
kau sebutkan aku ak'hi
sepengetahuanku kau berkeyakinan
sependalamanku sisi perkenalan kau menuai tauhid
apakah kau berhijab atau tidak! aku tak peduli
sebab tudung hanya menifestasi nilai nilai hawa
yang di selenggarakan atas dasar apa? atau selera atau memang pada perintah perintah dalil, aku tidak pernah mau menggubris itu!
ada banyak tudung
ada banyak fashion tengtang kaummu yang meletakkan juntai busananya dilantai
sampai menyeret debu debu
ada banyak hijab kutemui
namun selembar rambutnya sempat kusentuh
ukhty siapa namamu sebenarnya
dari rumpug mana serta kisah dari negeri apa kau ditakdirkan?
suatu hari aku menemuinya dibalik celah sore sampai ku lepas keinginanku disuatu malam, tengtang keinginanku menikahinya dan akan menjaganya sepanjang Cinta yang kupahatkan, dia membalas masihkah kau mencintai sementara aku bukan gadis lagi? apakah kau masih utuh mencintaiku?
aku tertegun sejenak, aku menuang kegetiranku dan melempar jauh
aku bukan seprti yang lain'
tat kala Cinta kuhunus bagai samurai maka pantang kusarungkan dalam tubuhku dengan mengalah hanya untuk ketersia siaan semata, akulah kesatria itu!
aku tak mecintaimu sebatas dikelenjar dan selangkanganmu yang basah dan berdarah
aku meletakkan kasih, sayang dan Cinta itu sendiri tanpa kau tahu
dan jangan kau mengatakan itu lagi
karena ketahuilah, aku mencintaimu bukan sebatas selera, namun sejujurnya Cinta
tak pelak tak diragukan lagi, asal mana kau berdarah, dan dari mana pecahnya keperawananmu, aku merasakan Cinta ini sungguh"
hingga kami meletakkan mawar pada malam itu berbaring pada malam yang menyatu dipesisir malam, hingga kami mencintai secara tak berlebihan, namun memkanainya secara utuh tanpa remah remah kegetiran dan ketakutan akan liarnya persentuhan rasa dan jiwa jiwa yang ditautakan dengan kejujuran masing masing
sebelum hari mendahuliku kembali
aku menyertakan kecupan dikeningnya
Oleh : Dion-anak Zaman
DI AKSARA KITA
surat untuk dhean telah aku kirim lewat malaikat malam
seperti biasa bismillahku mengawali goresan hatiku, dengan menentukan pilihan pilihan sastra yang menawan,malaikat tersenyum melihatku.
bersampul merah dihiasi benang emas diantara pembukanya
kertasku kubaut dari kulit batang pohom cinta yang diberandaku sejak 36 tahun sudah kutanam. pertengahan kalimatku, aku menuliskan kejelasan Cinta yang sesungguhnya, berharap dia mengerti dan menjaganya.
semoga Cinta kita satu dipertemukan dalam sebuah umpama tak ber-ibarat
agar kita tahu selain yang kita pahami tengtang Cinta yang kita sepakati,
malaikat mengirim dan berlalu terbangd engan sayapnya yang ber-perak, hilang dibalik bulan yang separuh.
Oleh : Dion-anak Zaman
AKU YANG KINI
aku terbaring diatas batang batang hidupku yang menyudahiku
ada bayang kekasih, sebelum aku memisahkan nalar dan keinginanku
bersama tubuh yang basah dan terbunuh kini.
aku merindukan angin mebawa kabar dari Tuhan
dan sanakku, aku bisa bersama Cinta bukan diantara batang batang yang menggoyahakanku, dan meninggalkanku dengan sehelai
aku ingin bangkit dari keterpurukan dan sepinya hidup ini
hampanya jiwa ini, terbaring setelah mereka menyudahiku
aku rindukan kekasih yang datang mmebelaiku, dan hanaya mengecupku
sebutir beningku jatuh diantara air air buram dan betahnya disini
tergenang ditipuan tubuh tubuh yang pernah ada bersemedi diantara mewangiku
aku tidak jujur selama ini, saat batang tubuh lain datang dengan menempelkan gairahnya, aku hanya membawanya kepantasi liar, bukan maksudku ikut namunkadang aku juga menikmatinya, kadang aku dihantui, pada bayang bayang Tuhan dan malaikatnya yang mengepak dan ingin menarikku, bersama kekasih dia membawakanku sepotong kurma, dan menjengukku kala itu aku kembali bersama batang batang tubuh yang mulai melihatku secara semedi syahwat yang berlebihan
tiadakah harum mewangiku lagi
tak elokkah jika aku juga butuh kasihs ayang yang jujur
semudah itukah kemunafikan itu dimulai dan diakhiri?
aku sepi aku berkelana, aku lebih tahu selaksa dunia dan ranah ranah yang belum kalian jelajahi, dan kalian hanya diam serta menyrumpat tuduhan.
aku masih kekasihnya, aku masih membutuhkan Cinta yang jujur,
kalian adalah sepintas melihatku pelayan nikmat sementara.
aku yakin kekuatan lidah lidah keluh,dan keyakinanku Tuhan masih ada untukku surga ditapak akhirat meski aku tahu aku berprosesi kedalam baqa, dengan setimpal manik manik air lidah dan air ketubangku yang pernah pecah tanpa orok dan daging berupa manusia,,aku yakin Tuhan menjadikanku koleksi penanda dunia yang sering kau kunjungi dimakam makam sejarah yang pernaha da dalam sebuah cerita. mati dengan indah
Oleh : Dion-anak Zaman
MATA ITU
mata itu bening,mata itu berkaca dan bercermin
mata itu lisan yang bermakna
aku mengatakan dengan mata
aku mencintaimu dengan mata
aku menikahimu dengan Mata
selagi aku masih diisyaratkan Tuhan meminjam pandanganNya
aku berharap masih menatap dan melihatmu seanggun Tuhan menciptamu
dan setulus bunga yang rela berjuang dari terik, dari hujan,hanya untuk mekar berseri
untuk kita bisa menatap lebih jauh dan lebih dalam lagi tengtang Cinta yang kita jalani
mata itu adalah Cinta yang tiada dusta
dan aku percaya itu
Oleh : Dion-anak Zaman
SUNYI
belum habis sebatang
belum hilang ampasnya
kau melemparkanku dengan asbak
sunyi ditepak tepak
cerahnya hari disungging bibir perawan yang abru memakaikan sopteks
kau bilang dia masih labil
padahal dia sudah bberdarah!
satu hilang diserumpung dicari diantara belukar
jatuh disepelekan
bangkit dipukuli dan dipanjati, ditebas ranting rantingnya
diketil kuncup kuncupnya
serupa dan berpura pura lagi
wajahnya dibentuk bagai sepadan rembulan yang sepotong dan kerlip sekliling redup
wajahnya yang ayu,
tubuhnya yang berangsur langsing, dan kemudian lemaknya terbakar
karena seharian dia berlari kearah matahari, sambil menenteng gairah kehidupannya
jangan beranjak dulu masih kuurai satu satu yang kau tanyakan tempo hari
masih kuingi menguliti tanya tanya lain yang menyerumpat masuk, dan kau tidak pernah tahu bahwa sakit, sebelum kuditembak, dan dipanah oleh batang batang kemanusiaan yang rapuh dan rupa yang berpura pura.
belum habis kuteguk, kau menyentuh tanganku
airnya jatuh kearah kakiku aku mencoba memungutinya walau sebutir
kau melemparkanku dengan gelas
pecah menjadi beling
sbeling manusia yang sama seprti kecubung wangi
sepi tempatku
kau ramai dalam bernyanyi kau sekam jiwa jiwa
kau sekat bathin dan bibir yang mumpuni lebih airf
karena kau takut kalah
kau selera yang berupa rupa rupa pura sama dengan rupa lain yang seperti kura kura
hingga aku menceriakan harikud engan sepotong roti
sebungkus nasi santan, dan ikan segerek sampai kepala dan ekor
dari pedasnya cabe lombok belimbing yang bening
air hangat pemuasku, hingga lapar terkemeudi sampai larut aku bertengger pada garis garisnya, untukl Tuhanku yang lebih tahu untuk apa kita berwarna kalau kita tak tahu dan buta warna
sunyi itu kembali
sebilah pedang kutebas nadiku
dan hilang tercecer dan tercecar bagai remah remah kehidupan
yang kau suguhkan kepada anak perawan sekalipun yang baru belajar pakai Be Ha
Oleh : Dion-anak Zaman
AIRMATA KITA
rembulan kali ini jatuh dipangkuan Ibuku
kala mentari menyingsing kala suluh dari langit mengabarkan ajaran Cinta
izinkanlah mawar kutebak, dan kubawa pulang
jangan sampai kau tak ingin
sementara rembulan kini telah ada diatas kekahwatiran Ibuku
air matanya mengalun bagai melodi mendayu
jemarinya menjahit luka luka ayahku
senyumnya menebar pada sibuyung, yang bercengkrama dengan mainan dari tanah
didepan cermin aku melukai mencoreti wajah ini
setahuku aku rupa yang telah ditakdirkan
ibuku kembali menangis
diatas kertas kutulis surat selembar untuk kekasih, ibuku menemukannya
membacanya air matanya berhenti, dan mencari kekasih kemana tertambat!
selebih manik manik. tarikan nafas kusebutkan Nama
aku menyebutmu, sekali kuteguk air dari matanya
Oleh : Dion-anak Zaman
DIMANA
mana nadiku, dimana suaraku
dimana selir kehidupanku, terusan mana yang kulalui sebelumnya,
kemana kakiku
dimana jemari jemariku yang meraba
dimana alisku yang dipuja sanjung
hendak kemana mata ini menempatkan tatap
siapa yang meludah
dan mencabuti bulu bulu
keringkan bejana
pada segelas embun terbasah olehnya
sampai hilang bekas bekas dan jejaknya
dimana nadiku. dimana suara itu berasal
kemana lagu cinta tertaut tertambat, jika kutak merasakannya
jika tak kukuatkan tubuhku yang miring hampir roboh,
dimana temanku yang menemaniku bersemdi dan memcahkan teka teki
sambil membuat ritual bersama
tebusan doa apa, untuk menempatkan disurga
atau aku berhenti mencari nadiku, sambil meninggalkan tapak tapak
yang terlewati, lalui hari hari, sepanjang abad yang tergusur
atau menikmati peristiwa yang mengunjungi pertapaanku
dimana tubuhku, kemana hendak kau tanam
atau biarkan kumencarinya sendiri
sambil menumbuk numbuk dengan pasak bumi
dan palu hujatan anak anak yang baru lahir menyesal terlahir kedunia
Oleh : Dion-anak Zaman
AKU, KAU DAN KITA
ada namaku kau sebut
dilereng bukit kau memanggilku
sepantulan awan, mengejar nisan kematian nu-ani
yang kau sebut pula bersama tubuhku yang telah punah dan purba
ada tiang tiang kau siapkan
menungguku disalip bagaikan yesus
yang salah jalan dituduh mengartikan injil mungkin!
aku diam diantara jerami tumpuk petani
padinya sudah dimerapi dapur menjadi nasi
ada nama ayahku juga ikut meski kau tak mengenalinya
aku ditubuh rentahnya, menanyakan semalam kekasihku
sebelum mengajariku bagimana memperlakukan wanita yang akan kunikahi
atau kau sebut semua nama nama di antara nama nama samarku
kau juga tak tahu! padahal kita seabad pernah merapikan pusara kita sama sama
dan mengartikan perjalanan kita. kau mulai lupa dan purba sepertiku
beranjak keatas bukit dimana namaku juga disebut
untuk kita persaksikan kemana nama nama lain yang terjegal dilereng dan kaki bukit
yang terinjak serompak sendal baja, dan sepatu kulitmu yang mahal!
atau kau menipu kami semua setelah itu kau kembali bertindak mengayuhng pedang itu sambil menebas kami satu satu
ada namaku kau sebut
dilereng bukit kau memanggilku
Oleh : Dion-anak Zaman
AIRMATA
air mata ini adalah air mata kepalsuan
air mata ini adalah lemahnya kemanusiaan
air mata ini adalah darah penghidupan
air mata ini adalah bongkahan bongkahan ke ngerian
sang Raja menempatkan
disejengkal darah darah mengulir waktu dia menggantikan bening putih
akut, dan brutalnya permusuhan ummat
bejatnya Hukum, rimba bagai berantara
jatuhnya alis dan kerut dahi anak remaja yang hilang dicita citanya'
kesalahan ummat diperdaya oleh ajaran ajaran bertemu Tuhan secara Kaffa
hingga air mata, mata air bertelaga menjadi darah darah dari manusia yang membunuh dan menusuk dirinya sendiri. karena Kecewa kepada Tuhan dan Hukum Yang berada diketiak dan kemolekan pramuria yang dituduh berzina
air mata darah, darah menceritakan anak anak manusia
air mata, mata air berubah menjadi kesaksian bisu
di hulu ada pergumulan
dihilir ada pertiakaian. berhenti diselipan batu batu
mengalir perlahan agar dimuara tidak amarah
dan menjadi perang air mata darah!
Oleh : Dion-anak Zaman
KU
mending kita main batu nani
main petak umpet, selagi kemarau belum terjegal awan
atau kita daccci dacci ( permaianan anak anak). sambil menunggu mangga jatuh
kita berlarian
seperti segudang pengetahuan. mereka bertengkar hanya karena ilmunya dibatasi
hampir serumpung kutemui sebelah rendahnya matahri atau perasaan awan yang berjuntai mengupil dibalik kaki langit. se deret kiat, atau tempat bermunajat, mereka saling mncuri falsafah, dan mencuri Tuhan yang mereka sejajarkan dengan Tuhanku. atau seperti budha, kong hucu, kristen protestan, dan katolik, atau agama yang bernama dan berlabel, sama menurut pilihan proses, namaun pengetahuanlah yang membedakan kadarnya bukan kita, dan manusia yang abru mengunjungi seharian makam yang bergunduk namanya telah tertera.
selebihnya mereka kembali mencari cari, dan mencuri Tuhanku
aku selerakan saja, aku mencoba mengkafani bumi, dan tandusnya pengetahuan
hingga satuan yang berubah menjadi bilangan bilangan selanjutnya, disebutkan olehnya, hanya belum terlepasd ari rongga rongga yang kita belum tahu muassal, massa dan volume dari unsur mana dia menemukan aliran, dan bertempat dimana dia selama ini, hingga akar akar dan kuantitas serta kualitas kepengatahuan itu ada?
banyak memang namun yang banyak itu belum tentu sepersen-pun melunakkan hati dan Tuhanku, yang mereka juga mencarinya. dimana letaka Agama Tuhanku? atau dimana sehelai rambut kusujudkan bagai anai anai terbang mencermati, hingga dibatas bumi tak bertapal, dia masih binal dan berteduh dibalik awan yang menumpuk, bingung arah mana Hujan akan tertimbun. sementara letak letak itu tak jauh! dia ada disini? kau percaya, sudah! ya atau tidak! saya tidak mau mengurusi soalan sepakat atau tidak ikut dan mungkin masih banyak parawi lain yang kau temui dinegeri paman - pamon Islam yang jujur meletakkan garis dasar Islam dan ketauhidan. sebelum dia mencari air matanya, yang jatuh ditanahnya sendiri lalu hilang terbuyur. dia masih juga mengandaikan Tuhannya. dan menegur sepinaya Agama lain, laknatnya palacur, zinahnya sang lelaki bersama perempuan yang memburu badai badai dunia yang sesaat hingga kelenjarnya basah kembali dia menumpahkan kepada Tuhannya.
seorang kembali bertaya kepadaku, terlalu dini mengurusi bias bias rona Tuhan
aku bilang terlambat kau menyakan itu!
dia kembali menegur air mataku, katanaya berlebihan aku meneteskannya
aku bilang terlalu dungu kau menafsirkan air bening kehalusan pekerti anak anak adam
akhirya dia mencuri slendang dan piamaku. selagi saat aku menemui ritualku semalam paru bulan ketiga selama ini kuterjemahkan agar mereka tidak pernah tahu.
hilang! kepiakku yang biasa ku gantung dekat bupet tua. kucari manik manik tasbihku, tercecer dilantai satu satu. hentinya disatu manik. pecah. terinajk naluri naluri yang terlalu tergoda mau mencari dan mencuri Tuhanku.
aku kembali menegurnya
sambil mengajaknya minum arak
serta cerutu tembakau alami yang lezat
dia mencibir bibir parawi dan hukum hukum Tuhanku, sambil dikibaskan jubahnya yang menyapu lantai ubin terasku, pergi dengan amarah yang tak tuntas
dan esok atau malam nanti kutemui kau kembali apda ritual ritualku
yang mereka tidak pernah tahu
Oleh : Dion-anak Zaman
LUKA ITU
seraya menembaki kembali burung burung yang sedang terbang
kemudian hanya bulu sehelainya terkepak diudara
sebayu mungil anak hari
setahun terasa sepi dan kelana
tanpa ada peta, hilang oleh terik
dan teriakan, sibuyung menghapus detik detik kematian Ibu
bunyi mendentum bagai
pelor tertejam mengenai sayapku
habis magrib kucuci lukaku dengan menunggu jedah isya
sebelum detik jantungku berdenyut pelan
api itu panas
air itu sejuk
separah apa luka itu?
takkkan mampu menerjemahkan selara apapun
aku terhujat sebelah lenganku terpisah oleh tubuh, karena kupertaruhkan ingin meraih bulan yang merah pedih.
kemudian kembali membidik burung burung selanjutnya
yang bertengger kini. diantara ranting kecil
sehelai bulunya terkenai jatuh lagi kembali diantara kaki kaki telanjang
yang tanpa alas sebelum ashar berhenti
lalu lalang manusia menatapku pilu dan cekam
sekarang aku membalutnya pada darah dan luka
sambil memabwa bulan ke-Amma' (ibu)
biar dia tak perlu tahu bahwa aku terluka dan berdarah
Oleh : Dion-anak Zaman
ILSUTRASI
sekedar ilsutrasi, sebelumnya permohonan maafku, jika ada perasaan nama dan kalimat tengtang Tuhan dan Agama kutempatkan, yang tidak sesuai dan tidak suka dengan tulisan dibawah ini, maka lewatkan saja, namun atas semua nilai nilai dan cara pandang kita menafsir, maka biarlah cukup disepekati dalam hati,,
malaikat yang mana?
yang berada dintara tubuh manusia?
serangkai kau kenali maliakat yang diajarkan guru agam kita diBangku sekolah sd, smp. sma? lalu kita berpindah lebih berkelas bernama maha siswa
masih saja maliakat penjaga nerak, surga, dan paling patuh punya Tuhan di tayangkan diantara garis dan baris nilaiku di ilmu Agama
ulama yang berjubah itu?
ustas yang bekhitbah dan pakai songkok (kepiak hitam) yang memimpin kala taraweh
atau kau mau jadi sufi?
jangan, kau terlalu gegabah
kenali dulu bagimana arak tercium
bagimana kau menggoda pelacur
atau kau menanam janinmu dinatara langit dan bumi
melengkapi keperluanmu. atau mencabuli nalarmu
berupaya mengunyah renyah pagi hingga sore
malam berlanjut bak dayung bersambut, seperduanya
kau bacakan semesta dulu sebelum menyembunyikan ayat ayatNya
pesuluk dan pencari Tuhan pada tasawwufnya?
apa didermaga dia temui kekasihNya sambil mencubuti pelipisnya yang ebrlesung
menguncupkan dadanya. selagi bulan berbulat, bersabit sekalipun
kepada binar binar, tasawwuf menghukum jiwa jiwa, kendali kita sama
pemahamanlah berbeda. berapa rakaat jika terhitung, ketika tanyaku ini, dia berpikir dan mulai menghitung, maka dia hialng sesaat, mencari rakaatnya. berupaya menghapalkannya dhur ashar magrib isya dan subuh, kau salah menyusup didahimu berakaat, sebab kau masih mengingat jumlah. maka biarlah kau kedermaga lagi bertanya pada bibir kecupan, dan lekuk pinggul penggoda goda nanar dan kebinalan
atau mencuri bulan biar rendah kebukit, terhalang hujan, agar bebas mengecup dan meraba raba.
jiwa yang mana?
apa juga sama kemungkinan kejiawaannya dengan mereka yang gila
karena kejiwaan itulah yang paling penting untuk membedakan hakiki, dan kikilnya nilai nilai keyakinan. setengguk dan seanggun perempuan yang telanjang lalu kita menafsirnya pemuas, padahal jiwa kita tertambat sedetik ingin merasakan lembut dan harum mewangi tubuhnya, sebesar apa buah ranum ranumnya. terbersit tanya ketika kutelusuri tulisan ini, pembaca mungkin jengah dan mencecarku.
keyakinan yang terbuat dari apa?
kalau saja aku tahu, maka akan ku sampaikan, kutulis diatas pasir, dan air
andai saja aku meneganlinya, maka akan ku lukis diatas salib yesus atau dirias kawat duri kepalanya. atau diperut budha, kuil, atau diatas hujan itu sendiri
kalau kau bertanya tengtang Tuhan
maka kau salah,
tapi jika kau bertanya alasan dan begitu liarnya tulisan ini
maka juga kau keliru.
sebantah apapun, selembut perasaan seperti sutra dan bagai embun
maka selera kita menerjemahkan keseluruhan akan bertepi diujung lembutnya kehidupan, berseksasama menilai, menukar tanya tak menjadi biang biang
atau meremah remahku bagai daun kering. hingga aku terbang melayang
dan menyebutku dengan nama nama lain, maka itu bagian dari ilsutrasi tengtang ulama sufi dan ajaran kebodohan yang mencuri celah celah Tuhan yang tersembunyi ( Rahasia)
Oleh : Dion-anak Zaman
SITA
menulislah dengan lurus
arahkan batasan mata binar dan binal binalmu menafsir dunia dan manusia
pada posisi kita layang selayang pandang,
jangan berkelok kelok, coba memepertegas pada alur
saya tidak suka kalimat menggantung!
begitulah dia menuyuruhku menghpaus dasar dasar trafsir imajiku
aku terhentak, keliru aku menuai
mencengkram cakar cakarku diatas gunduk gunduk hati yang berkutat
sita (nama perempuan itu ), kau belum cukup mengenalku
sebentar lagi aku mengunjungi beranda berandamu
maka jangan melarangku sekali ini, diantara sesak sesak yang belum kutuntaskan
pada balok balok huruf dan kapitalnya kemurnian hakikinya keindahan syair
sita pada potongan potongan kalimatku kau pernah kan menegurnya
seperti mala petaka kau menuduhku liar dan selera kita ternyata sama
atau antara bathiniahmu belum menempatkanmu sebagai kenikmatan jikalau
aku mengurai, mengel;us, dan memnajakan kalimatku sendiri
maka kenali sebelum aku menemuimu kembali nanti..
Oleh : Dion-anak Zaman
RITUAL
ritual yang mengagumkan
ritual yang membunuh mereka
ritual yang menghentikan dan menutup pintu pintu masuk
ritual yang mengasihi
ritual yang menjenguknya
dan ritual yang menghantarkannya ke Tuhan
ritual yang membuatnya elbih cinta, lebih dekat
tapi ada ritual yang di ikutkan dengan semangkuk air liur para dewa
sambil dilidahkan kearah pedang kamatian nadi dan ketauhidannya
dia salah menafsir ritualku,,,,
ritual membangunkanku dari air mata
ritual yang menghentikan pisau pisau dunia
ritual yang seolah membunuh manik manik kesempurnaan manusia
ritual memakan matahari ditelan sampai ketiang tiang rusuknya dia menjenguk kehidupan Hawa. sebagai perias ritualku selama ini
sebelum kematian manusia berlagak macam rupa
sebelum sakratul maut, manusia berbisik ditelinga bumi
sebelum dijemput sebentuk ritualnya, dia menangis
sebelum dan setelah dia mati. Tuhan telah membuat ritual lain
Oleh : Dion-anak Zaman
MALAM
malam ini kusamarkan wajahmu
aku mencuri bola dimatamu
mengunci jendela kamar malam
agar tidak terlihat oleh mereka yang cemburu menafsirkan wajahmu
sebelum mereka mendahului kalimatku'
sesaat ku menoleh keluar, ada bunga diantara rias bulan
pas mengenai gaun biru sambil mengejar bayang bayang
yang berkeliaran di pelupukku
aku tidak pernah mengenalmu
aku juga tidak tahu kau dicipta untuk siapa
pesonamu dipuja dan dikagumi oleh siapa
ku hanya tahu selera sebatas di tepian malam kali ini
sebelum bulan mendahului turun kebukit hijau berlebat daun daun segar
seprti kau, yang ranum, melupakan sesuatu dibenakku sejenak saat aku mulai mengunci pintu jendela malamku.
aku juga tidak mengingkan kau menafsriku lain
atau mengggodaku secara tidak langsung
aku hanya tahu kau memberiku serpihan ingatan
yang pernah ada sewindu lalu
atau kau lupa tawaran bulan yang purnama
mungkin hanya karena aku tak lazim
aku punya sesuatu sebelum kau
sama sepertimu, sapa sapaanmu, sama manja dan kemolekanmu
namun aku belum tahu kepada siapa kelenjar mataku ini tertambat
meski aku sudah pernah ada diantara selir malamnya
namun kutak bsia menafikan kau-pun jika belum menuaiku dengan izin sebatas malam ini, maka biarlah ku sandi-dan warakan sambil membuka kembali esok jendela
dan mengabarimu disela angin bahwa aku semalam menutupi kesalahan
sebab terlalu jauh memberimu dan mengantar larik yang kau gelikan
dan bahkan tak membuatmu nyaman
jika Tuhan mengizinkan
kenapa meski manusia tak ingin patuh pada naluri dan bathinnya?
Oleh : Dion-anak Zaman
MENGGENGGAMMU
aku tak mencintaimu seperti mereka, aku mencintaimu tak seselara senja yang diusik hujan dan awan,
justru aku mencintaimu dari sisi dimana kau pernah menolakku
dimana kau pernah marah terhadap Cinta yang pernah kupahatkan sebelumnya
aku tak mencintaimu secara sengaja
aku mencintaimu dari selaput dan air matamu
dari kerinduan yang bertahta bagai bidadari berhenti meneguk anggur
aku mencintaimu selebihnya diantara caraku membentuk guratan guratan senyummu
secara total kutegur bulir bulir air matamu, disanalah ku terjemahkan sesuai apa yang menyelaraskan keyakinanku, otakku secara kejiwaan mencarimu dalam Cinta
bagiku tak sesulit menginginkan matahari berlumut sepi ditelan awan.
aku ingin dengan Cinta yang menemui secara tak sengaja di persunting oleh gerak awan, senja, matahari, atau bulan mengayun gemintang, secara semesta ber tauatan mengunjungiku, sebab ku tak pernah tahu, sisi Cinta itu berawal, dimana kuletakkan
atau dengan simbol roman roman, serta bunga bunga,,aku tidak pernah tahu dan melakoni Cinta dengan menegaskan dengan Bunga, atau sama seperti mereka melakukannya,
aku tak mencintaimu seperti mereka, aku mencintaimu tak seselara senja yang diusik hujan dan awan,
Oleh : Dion-anak Zaman
BUNGA CINTA
saat mawarku tergeletak basah
sekuntum apa lagi mewangikan kisah Cinta yang direda reda gelora
apakah selalu mencuriku dicelah celah rindu yang gersang
atau peir diselipi hutan hatiku yang sepi dimana ada kau selama ini menjadi lipurku
sebenarnya aku merestui kejujuranmu kala kau memainkan api cinta sebelum aku
hanya sekatup rindu separuh musim, kau mulai tak jujur kala malam kala senja kala musim bunga, hanya mawar sebatang pisah daun dan tungkainya terhunus jatuh terbawah laraku yang nian.
kemana mata meresak dipulukukku?
kemana kalimat sejauh maknanya disucikan Cinta?
sejauh kuterangi sisi lain hidup yang kita jalani, aku tak pernah tahu mengenai Cinta yang tidak diakui, hanya kita jalani sepanjang muassalnya rasa yang bergetir, dan berdetak tak terkendali. ada api cemburu. ada keinginan ditunda roman yang kita bacakan semalam, sampai aku terjatuh dipelukmu, sambil menegcupku manja,
apakah itu hanya sebuah ikatan kita secara fisik? semntara bathin ini butuh pengakuan dari jarak jarak angka dan tahun yang kita pernah singgahi.
sayang seribu sayang kedustaan kita sama,
belum tahu apa-apa bagaimana Cinta ditempatkan
atau kita terlalu saling mencintai, dan melengkapi,?
atau kita lena selama kita tak meyakininya, sebagai bagian dari ujung lidah Cinta sebatas diucap, atau merekayasa ciuman dan rindu ditegur hujan.
sesudah kematianku, aku masih mencintaimu, meski kau tak pernah mengakui bahwa kau bersama pengakuan Cinta yang lain.,
Oleh : Dion-anak Zaman
SEBAIT ASA
nak,, di dahimu kutitip dunia untukmu
diantara manusia manusia yang metah seperti hewan
diantara ketakutan anak manusia tengtang neraka
ditelaga Ibu selruh jiwa ini dan mendengarkan Tuhan tengtangmu yang diamanahkan
Nak,,jangan menjadi manusia Instan,, atau selera mereka yang kau tiru secara tak jujur, ajari jiwamu menempati sisi manusia yang membungkuk namun ada panah dan busur diselipkannya,,,hati ahtilah nak!
jangan pula melebihi kesombongan Tuhan,
atau merasa melebihi kepengatahuuanNya
sebab kau hanya titipan, khalifah dijulukinya
bukan apa-apa semata kehendak Ilahi kau dititp dirahim Ibu
melengkapimu sebatas hanya melahirkanmu
nak, jika kau kelak jatuh cinta
jangan tergesa gesa, sebab segelintir kejujuran perempuan kini pupus
akrena seleranya berbeda dengan zaman zaman sebelumnya bahkan sebelumku mengalami rekayasa Cinta itu sendiri
dan temui aku jika perlahan Cinta menjeratmu, dan membutakanmu
Nak, didahimu kutitip Tuhan menjagamu
Oleh : Dion-anak Zaman
MALAM ASMARADHANA
diatas bulan kita bercumbu
saat sedayu hari kita pernah dilarang
sama seperti kulit mulusmu yang belum tersentuh sebelumnya
diatas blan keinginan kita sama
sekedar meniup niup api asmara
serta jangan lupa romantik kita disini dilebam malam yang sekam
kita nikmati, sejatinya kekasih sejati, sejatinya Tuhan melihat kita
sebab kita telah syah!
oooo, dikau bunga bunga kehidupan
hilanglah sejenak, saat ini
sekuntum mawar ditebing kenikmatan
andai saja akau rasakan Cinta ini, bukanlah sebuah dosa
namun mengunyahku lebih remah seprti daun kering yang resek
segelas butuh kuteguk, biar seleraku ebrtambah untuk selanjutnya kita jiwai
sebab Cinta dan nafasnya adalah kejiwaan dari masing masing jiwa jiwa yang melakoninya....
diatas bulan kita ebrcumbu, sabitnya menancap manis diatas bahtrera kekasih kita sbagai sepasang, untuk kita jaga hingga bulan berpayung selanjutnya
Oleh : Dion-anak Zaman
AIRMATA ITU
akulah air mata itu yang kering
sesudah menuai, aku melumat darah kecutku
belum terpejam mata ini, sesudah menangis, dia kembali menggugurkan air matanya lagi, meredam gairah hidupnya, mendadak kembali terhempas, terpencar
akulah air mata derai derai
saat kau jentikkan jemarimu, aku mulai menahannya
lalu jatuh kembali berderai darah
demi Tuhan kuingin mencoba lari
atau mencari yang tersisa, namun terlanjur kusakiti air mata ini
terlalu dalam dan perih, kelenjarku
akulah air mata yang tersayati belati belati lalu merah
dengusan sembah remah remah, yang tersulap jadi intan
akulah air mata itu yang menipu
Oleh : Dion-anak Zaman
MENEGUK ANGGUR
semalam aku merunut
sebiji mataku yang kanan merah disekat tipuan
lemahnya sinar tak seperti biasa, senandung pipit kembali sepi
ada batang bunga yang patah, duri mawar kembali menoreh
kuterka pada mataku, aku membiarkannya tergolek dilantai tanah
sekat, sela hari yang terkatup
acap kali mabuk dihari yang tak berselera
agar penat ini pergi, hanya batah suara dan bentuk boa mataku yang tajam menikam
kau dalam ceritaku. datar dan mendengus bagai jala menjaring laba-laba
yang hitam berbisa, aku belajar dari itu, untuk mabuk sebentar saja, atau terkelupasnya keningmu yang kering.
sepuluh hari yang lalu
aku memintal benang ungu, hingga kusut, kurajut kembali
sepetik dawai gitar itu, ada ruang untukmu disisi cerita klasik saat aku jatuh dalam pesonamu, letak pandang kita berbeda untuk cerita yang tertulis dilangit, atau semesta yang merekam itu! sebelum sajak dijamah orang orang Latah" dimana aku pernah meneguk secawan. lalu membunuh diri yang bersemak sendiri, kusam, bagai bulu terbakar, sengat mentari yang sudah berpuluh tahun menempatkan ronanya yang tak mampu kucerna.
dihiasilah bumi oleh manusia
diterkalah nilai kehidupan yang berproses alami, atau rekayasa
berhentilah menindih lidah, sakit, dan jangan lagi berdarah duka
anak sepenggal asa yang sumbing, mengingkan kata untuk huruf yang disukai,
ingin menggoda gadisnya, namun hanya mamu mengukir nama kekasih ahtinya diatas pasir, pasir membisik, lalu terbang tanpa sepengathuannnya hilang diterbangkan angin. dia berhenti, sepasang merpati terbang rendah bercumbu
bathinnya menegaskan, kau lebih menikmati, namun sebentar lagi kau akan hinggap atau jatuh akren lelah sayapmu dipermainkan angin. janganlah memberiku isyarat yang menanar mata bathinku. karena aku elbih jujur dibanding kau yang kadang ingkar janji, sepatah terbentur kembali didingding angin yang merampas kalimatnya
berjalan kearah sebelum dia beranjak,
dia berbalik melangkah tak berharap dan mendesau angin yang berpasir
sejatinya Cinta dikunjunginya kekasih hanya untuk kejujuran hanya saja terlanjur membawa teguk anggur, diperjlanannya dia haus, hanya sisia setitik, pecah harapannya. hilang keinginannya,.matilah rasanya, terhenti langkahnya, tertancap kakinya dipepasir, dia menggulum alur pikirannya kembali kebelakang jauh sepuluh tahun silam. matanya dikatup rapat, jemarinya bergetar dua lengannya diangkat diatas ketiaknya, sambil menggoda kembali TuhanNya, memintal puing puing Do'a yang tersisa, gelora laut berhenti berombak, angin menyepi, daun tertegun, mentari berubah teduh, ada manusia yang tergorek rintihan yang mengerikan.
Oleh : Dion-anak Zaman
DUNIA INSANI
laut itu tak menggulum bagai kisah derunya yang dicecar kalimat penyair. dan para motivator yang bergegas diatas mimbar, dan para ortaor yang mengasyuh kalimatnya bagai perak yang berkarat kilo.
kau tahu sejak awal karang bertimpah, dia bukan tegar hanya saja dia telah hilang dalam keinginan untuk menegur ombak yang direkyasa oleh arus dan disepakati angin, karang bertegar lantaran takdrinya, inginnya kedarat atau ketepian, namun malu oleh kita yang selalu menempatkannya bagai ketegran, namun sebenarnya juga tak seperti itu"
bunyi itu benalu, yang menyekat hati dan jerit
suara dan nyanyian hanaya sekelabat saja, sejenak menghentikan kekhatiran
Cinta itu mengibarat semata hanya perias bulu bulu sepi anak cucu adam
rindu itu hanya buatan jiwa dan perasaan dalam pembiaran, keterbiasaan
dan Cinta direkayasa kembali oleh = ketergesa gesaan.
ayat-ayat Tuhan sebagai peyaksi AdaNya
maka suruan malaikat dan NabiNya sebagai fasilitasi kebumi
bukan karena bulan tak berpenghuni, atau matahri yang tak bergeser atau jujur ketika mentarinya teduh oleh awan, kala susdut hari ditepian punggung senja.
bagi kita hanya seolah olah penyembah
sekonyoing konyong menjadi pribadi atau hanya sajak meringankan petaka sendiri
pada baris dan letaknya yang meliuk liuk, untuk menggeragai jiwa jiwa dan ahti pembaca. kita telah mati sebelumnya.
jauh jarak bumi diantara rias bintang dan benda benda Tuhan yang bersaksi
namun jauh jika jejak kita tak kita runut, atau kembali keawal dimana kita dicerna sperma. menjadi setumpuk nista, atau fitnah.
reaksi ummat, rekasi anak anak bagai permulaan menemukan mainan baru
mencari cari selah dan celaan, hanya untuk membentuk diri yang manusia yang dinamakan manusia jika berbuat lupa dan kesalahan
dunia ini lembek jika tak pernah salah, tak berdinamika, dan ritme yang berselubung dijiwa dan hati kita. takkan ada proses sejatinya manusia,
daun itu hijau yang menipu
senja ikut merekyasa hari
bunga dititp untuk Cinta yang bisu
Oleh : Dion-anak Zaman
DARAHKU TERCECER
aku tergeletak, dimana kau tancap sembilu?
kau merekayasa darah, kepada pucat dunia
engkau memeras darah yang kau hina
habislah air mata ini kau sisakan dengan simba darah darah
yang merembes keujung dunia tapalnya tenggelam didasar bumi
kematian itu bukanlah sesal, hanya saja aku terlanjur menempati tubuh
dialiri darah, lalu hidupku bergerak searah jarum jam
Cinta yang membuatku mati diatas kelembutannya
ceritakan kepada mereka, bahwa aku pernah ada sebagai perempuan
yang jatuh dalam pelukan lelaki, karena aku terlalu mencintai
hingga sisa waktuku saat malam menikam sunyi dihinggapi laknat laknat sama sepeertiku, hingg aku lena, dan menginginkan itu, hanya untuk mebuktikan Cinta
aku menyerahkan bukan karena aku dipaksakan oleh kehendak birahi, dan ribuan kecupan disekujur tubuh mulusku dan kelenjarku.
karena aku perempuan, yang emngingkan itu semua
hingga kuakhiri dengan tragis kisah ini, bukan aku menyesali
atau menuduhnya yang menjamahku dengan Cinta,
namun aku yang ingin menemui Cinta Tuhan, yang kunodai
seputing beliaku, bukan juga dibayangi rasa malu.
aku ingin menempatkan Cinta yang belum Tunai, hingga hanya dengan benang merah, kuikat nadiku hingga putis
kutikan V-ku dengan keindahan kulitku, sampai darah itu tercecar
sebab ini yang diinginkan, ini yang menipuku
Dialah ujung kegetiran dan ketakutan yang amat sangat,
aku bukan merasa menyesal menjadi perempuan yang memeliki tubuh yang melebihi
dan terlalu memuaskan, akulah yang menuduh mereka yang membenamkan dirinya
pada pesona, hingga diatas kain, seputih Cinta ini, aku melucuti pakianku untuk dia jamah sampai usah kutangisi sekeping-pun.
maafkan aku jika Cinta membuatakan
namun kalian jangan menangis suguhkan aku dengan sebening saja
saat kau mendengar cerita dari mereka tengtangku, maka janganlah beranjak
dengarlah, jangan melihat, tatap dalam dalam matanya saat dia mencertiakan kisahku, namun jangan mengerling,
catat, tapi jangan kau tuangkan, cerna sebab itu sangatlah muda untuk kau terka
lalu berbisiklah pada angin, sembari bacakan sebait puisi diatas tercecarnya Cinta yang tergorek darahnya sendiri
Oleh : Dion-anak Zaman
NAK...
sendiku bernadi
selepuh asap menunjuki belahan bumi
seusai terbakar, api membisu , jua tak berharap pinak,
anak anak, dan lidah lidah api
tak kau pernah mengajak air mendengus diuhilir
keranda kematian mengunjungi setiap malam
sengit pertarungan antara pinang dan belahan enau
nak. hari ini hari penanda waktumu
jauhi angin,.lepaskan duka,
lebih kuat terhadap dengung dan raung manusia yang sakit
anak anak bebas dipematang hidupnya yang berusia
lasaknya terbatah pengetahuan, ukirkan diatasnya
melukislah didalam renyahnya, selagi usangnya kelayakan dan hakmu
nak, disini dingin, jangan menggerakkan tubuhmu dengan gelisah
nak. jeritmu kala kau lahir, adalah kenduri awal ditempatmu kau menegnali diri
jerih dan payanya, bagian tugas ilalang dan semak, bagai belukar kejujurannya kehidupan, semaikan, jangan kau tebas
kemana kencanmu kau lembutkan, dan menambatkannya?
selagi selera kita tak sama, atau berbukit ditaman savana, dibawa aliran sungai dan ngarai, yang lagi kerontang, ajaklah jua dia menangis
untuk belajar mengurai air mata, terbiasa dengan seragam huninya jiwa yang termaknai sederhanamu, dan biarkan dia jujur untuk mencintai
nak, malam kian menumbuk numbuk punggungku
aku letih menawari anggur secawan malaikat yang baru saja pamit
sepi kini, terasa masih kau masih kanak-kanak, dengan cengengmu, antara ingin menggendongmu atau menciumi bau yang wangi, memuja muja, menamaimu dengan bangga, selagi nama itu tersemat bagai pedang menghunusmu untuk lebih menyesuaikan kelak, kebelantara asing, manusia-manusia yang belum tjuntas juga dengan soalan perisainya yang belum ditemukan,
tidurlah, sampai bumi ini tergetar kembali pada paru-parunya yang tak sehat
sebelum malam-malam menghasutmu untuk membakar kembali dupa, sertakan mantramu, kau dalam kubangan sepi yang laknat, ataus esat, aku takut kau berjanji bukan atas nama TuhanMu yang kukenalkan saat kau tanyakan dulu, serupa Tuhan, dan bagaimana Tuhan mengatur semesta ini.
nak, menaguslah jika kau sesak, jauhi air mata saat kau menggerutu,
selebihnya tangismu biarlah pecah
Oleh : Dion-anak Zaman
KISAH HANIFA 2
endingnya belum kutemui silaturahminyanaskahku tergorek oleh sebuah yang menginstan. membayangkan gayaku, membunuh karkater dan ciriku, aku salah menempatkan ruang-ruang
karena masih kunamai hanifa
selaras mata kelenjarnya, menghunus mau membunuhku
aku diam, aku mengabarinya sekali sekali saja
agar kebenaluanku sirna jadi bijak, dan bakat
salam takzim selembut api yang menyala mantik diujung tembakau
kelemahan dimana tersisir pola hidup yang berangin-angin
ingin dianggap, namun lama memerdekakan diri sendiri
indah sejarah perjalanan mengawasi awan yang berdesak huni angin yang mnggeregai membentuk bulatan-bulatan kecil, hingga terpisah dari kawanannya
api membakar dupa, dupa dibaca mantra
mulutnya basah, rahimnya ditembus dan ditembaki air kehidupan
melahirkan petaka, mencetuskan zamannya sendiri, ingin menjadi sempurna
semakin memajang semakin menerjang kelemahan yang lain, atau ditipu dan menyelesaiakna tiakainnya sendiri.
engkaukah kisanak? yang ebrupa Hanifa itu?
atau sudah lama disini, dibatang padi yang kunanak
kemudian kutebas batangnya biar meenjadi jerami pengembur tanah, menubuhkan subur biji biji kacang yang terbelah oleh tanah yang terkapar
kau mencoba mendekat kearah gegap bumi
serta gagapmu bersentak, ingin bersanda dan Gurau, aku menutup bibirku yang palsu
kukulum renyah, kubertindaK sebagai malaikat, kebenaran suruan Tuhan yang hakiki
sampai Tuhan menumpah perisitiwa kelam, dan sejatinya anak manusia yang ingin menuai secepatnya, diatas tanaman biji kacang dan padi. baru dinanak juga oleh mereka,
ataukah sudah terlambat mengakui, sebatang padi, milikku?
atu selembar daun talas yang licin dan tak berbekas, hingga kembali kembaloi keatas daun kering yang terpisahd ari rantingnya,,,kau tidak pernah mengakui itu sama seperti hanifa yang mencuri abjad dan hurufku tempo hari, sambil melenggang kesana kemari dan kertasku dia lucuti mengggarisnya menipu, dan menghalusunisikan jiwanya, sama sepertiku, walau hanya sejenak aku bangga, namun aku dihantui perasan ragu dan jengah, karena, makin meliuk liuk bagai angin puyuh, sementara laut menggeloraku, kadal menjialtiku, bumi mendiamiku untuk tak berpijak ditanahku yang salah menempatkan anak anak hamba Tuhan yang berselera instan dan hanya fpbia, paranoid, dan mengutip yang lain tanpa berbekas dipoles, dicat direkayasa, dan sebenarnya ingin mengakui, namun lantaran dirinya manusia yang sekar mewangi, dan bagai campuran peri dan kumbang (sifat hanifa) yang berubah wujud, lalu menari kembali ditanah yang becek, kakinya tidak mau tercemari peot, dan lintah, dia memakaikannya dengan alas, yang dipinjam, lalu dia meliuk-liuk kembali menarikan eskotiknya, mirip hanifa kala memutarkan lagu kesayangannya, diradio, dan CD dia berjoged meniru niru yang gaya dan goyangan yang membuatku tercengang cengang, sebab kelebihannya yang luar biasa, mampu mencair, dan merkeyasa gerak, bentuk, lalu dia kembali berlenggang lenggok, bak penari yang sebenarnya
kisah dimana hanifa sudah makin menjerumuskanku ke api
lalu kelak akan membunuhku sampai nisanku diacabuti tak berlamat dimana pusaraku
Oleh : Dion-anak Zaman
CERITA KAWANKU
saya mengenalnya sejak itu juga merasakan hal yang sama dengan temanku yang satu, lalu berjalan seadanya, kemudian menegeur hujan, mengejar matahari, melekuk lutut bersendawa, memuji satu Dewa, berbeda pandang dengan Tuhan, yang dia kadang melebarkan secara tak sadar tengtang NIlai-nilai Tuhanku yang berbeda juga, ahhk, menggoda lagi, sudahlah! jika kita mau menebar Cinta kita bagi kuntum, lalu kitaraskan bagaimana sejuk, kebersamaan jika kita meletakkan bunga dipot yang sama, dan menyiramnya secara bergantian, maka saat itulah kesepekatan membeli bunga yang diberi nama Bunga keabadian" kemudian, dibuatlah kesepakatan (Jadwal) untuk bergiliran untuk menyiramnya. satu minggu, 3 bulan berselang masuk bulan keempat, hingga pertengahan tahun, hujan menumpuk kala itu dibelahan bumi, hingga musim diacak oleg BMG disiarkan secara langsung, ,,sampai kami berusaha untuk bagaimana agar bunga yang diberi anma abadi ini tetap ada, dan bersama kita sebagai ikrar untuk selamanya,
masuk kebulan ketujuh, kelopaknya ditunggui sepi juga, belum ada tanda-tanda
daunnya mulai tak bergairah berbentuk, bahkan melengkung setengah keriput kayak keripik, batangnya sih, keras namun membentuk lebih kearah ujung daun yang hampir meneyentuh pot dari semen, tanahnya mulai tak subur, berbagai macam cara, berbagai macam bentuk aturan dan bahkan sampai membeli buku buklu tengtang perawatan Bunga. bunga yang dirindu kawanku, kini hanya hanya masih berbentuk bundar kecil, yang berwarna cokelat, bisikku dalam apakah bunga juga mendapat kutukan,? atau sudah takdirnya, sama manusia, memuja muji Tuhan dan akhirnya juga belum tuntas permasalahan tengtang hidupnya, !
lama berdiam, lama berselang hingga satu tahun kini
tanah dipojok ruang bergeser retak
diatas meja bagian dalam ruangan khusu bunga abadi di tempatkan, belum ada tanda tanda daunnya kembali seperti semula, padahal kami sering, dan bahkan telah mengatur jadawal, dan kami tidka pernah keluar dari petunjuk dan aturan perawatan Bunga, ataukah ada dianatara kami yang emncuri kuntumnya sejak awal? ataukah Bunga abadi ini, tak mengingkan hidupnya ditakdir Manusia,? sambil mencari cari alasan,dan seribu tanya, kami berdiri diantara bunga, menglilingi, diantara kaki kaki kami yang dingindiatas ubin, kami menyepakati, kita bawa keluar, dan biarkan semesta dan alam, menjawab tanya kita semua. hingga hanya titian Do'a dan harap-harap cemas menunggu jawaban Tuhan dan semesta, kuncupnya tiba tiba terkelupas dari ujung daun, sepintas wanrnaya menakjubkan, namun sesaat kami sontak, terdiam, tak menegerti apa-apa, dia jatuh diantara kaki kaki kami, yang kemudian mengering seketika, matahari melemah, hujan merintik perlahan, awan berguguran embentuk kembali kawanan kecil, angin menyambangi bunga yang setahun baru kuncup, ditunggui dengan harapan, bahwa dinamnakan abadi, seperti ikrar kami, kepada kawan dan sanak, untuk menjaga ketersisaan hidup yang memunguti puing puiong kebencian, dan tak ingin anak cucu kita meraskan, dan mengalami itu! tersisa sebatang, dan daun, yang melengkung seripit dan kering, tak terjamah apapun, kengerian ini, hanya mengantarkanku kembali kepelipur lara hidup. pada cerita dimana Bunga dinamakan kehendak, tak semestinya melekat abadi seperti Ikrar kita kepadanYa, namun kita hanya seonggok, secerca, sebiji, dan sekecil setipis sarah, ujung lidah kita berguguran pada sumpah, hanya keyakinan yang abadi, pada TUhan dan semesta, kepada bunga dan manusia, janga pernah mengadakan perjanjian serupa Tuhan dengan hambaNya, sebab kelayakannya, hanya Dia yang tahu,
kawanku berseduh, sedan, mengambil gelas, dan air dituangnya, kembali mengisi keringnya kerongkongan, dan kegetirannya, menyaksikan dan menceritakan kisah Bunga yang dinamainya Bunga abadi oleh kawannya,,hanya sepetak keinginan, mimpi, harapan, namun ada kesenejangan mengantari, kemurnian Cinta, serta kasihnya, dimiliki TuhanNya yang memekarkan, dan menjatuhkan guguran daun dan tumbuh sekar mewangi bunga bunga,,,
Oleh : Dion-anak Zaman
SEKEDAR ILSUTRASI
sekali waktu, kuseka air matanya, dia menegurku, kau datang selalu menempatkanku sudut relung hatiku, yang terbuang!,,aku kembali menerka saja dengan diam,
seperti apa Cinta kau pahatkan? selama mungkin bersemi, atau semai yang bukan sejujurnya? aku ingin seberapa jauh kau menjadi kisah untuk Cinta yang kita pinang?
makin menggugurkanku menemui jawab, tak bisa berkata!
,,kau diam? yah entah apa menempatkan rasa ini, selagi kita ditiup angin senja
sejak diantara pilihanku kau yang terbaik, kini kau menegur air mataku, kau menempatkan lebih dalam atau merkayasa sekamu, sejak aku mengenalmu, kaulah Cinta, yang mengabdikan sejajar dengan persemaian dipintal benang rajut kasih, diamana kita pernah ada dalam sebuah pilihan sulit!,,,sudah,,sudah,,,jika kau terpuruk oleh hadirnya atau akrena aku alasanmu memilihku, maka Cinta lebih berpihak! aku muai menekanmu untuk melanjutkan air matamu bair kuterbiasa meyekanya,! tidak! kau mengunci dikaliamt itu!, aku dilahirkan hanays atu pilihan, namun kenapa justru aku ragu?, ataukah aku melebih lebihkan rasa yang tak adil?
ataukah kita memang takkan bisa disatukan, sebagai Cinta? apakah kau tahu, kau menoleh kearah bukit, disana ada edeluwis yang berhenti bersekat,! aku ingin kita disana, aku lebih ingin menikmati jarak pandang permadani dunia yang asing, disela sela perjalananku ini. "kau ingin aku mengantarmu kesana? bukankah kau amsih lemah, dan masih terbaring disini,,,,apakah kau mau? kau menyela lagi memelas, ataukah kau mulai ibah dengan menegeur ketakberdayaanku kini? kau menjadi takut? kau mulai tak seperti dulu, tak pernah menolakku, kau bukan lagi Cinta yang dulu kukenal....atau!!!! kau tak lagi mencintaiku? saat keadaanku seperti ini? sambil menoleh kearah jendela bertirai putih,,,dan kau mulai dingin, seperti putih yang kau gambarkan, kau telah melukaiku, dengan pergi secara tak adil, meninggalkanku yang sepi, sekaratmu kau ingin kubuka jendela sambil emngihirup udara, atau leluasa menerka matamu, dislereng bukit yang melngkung seperti alismu, disana kau ingin, kau dikenang, pintamu sebelum kau menyisakan duka yang amat dalam untukku,
Oleh : Dion-anak Zaman
UNTUK HANIFA
sejak rindang
sejak tepi bujur pagi
masih menusuk nusuk dingin
desah
desir
debaran
denyut
sampai buta,
sekapur sirih
sekonyong konyong kulihat masih saja seperti itu
terjebak,
terputar putar
pening, kecut,
bangga
bengal,
munafik
bahkan sajakkupun hilang
digentong para pemujaku
dan pengikut abadi
hanifah, apakah kau ambil kertas semalam?
apakah kau mencuri pensil dan penaku yang kucairkan tinta-tinta dan rencongnya semalam?
hanifa, apakah kau juga mencuri dan menjatuhkan satu hurufnya?
sungguh' kukira kau sudah berubah
dan sudiku membimbingmu dengan santun, namun kau berlagak pikun dan lugu
hanifa, aku menyangimu namun kau mengkhianatiku
hanifa, sejak awal kubiarkan kau melihat dan mendekatku sambil memuji muji lukisankum serta carik kertasku yang kutulis untuk kekasihku diseberang,
namun semalam kau berulah lagi, kau membuatku kembali berkutak mencari cari kreatifitas dan imaginasiku hilang karena kujadikan kecamba
hanifa,,,betapa hinanya jejak jejakku kelak, jika mereka menemukan kertas dan hurufku, dan kau bangga membacakannya, sambil menempelkan namamu digaris bawah jdul sajak dan lukisan yang kuberkahi semalam
jika hendak mencapai dan menuntun huruf, cobalah menegurku, atau sekedar bertanya, kau perasa, kuambil hika selama bersamamu, kau tuduh aku mencuri halauan, dan selaputku kau goda dengan tawa.
hanifa,,aku juga tidak pernah menyesal pernah hadir dimusim sejenak
karena aku begitu meyanagimu, maka maafku berlebihan bersama tuatan dibenakku
aku mulai berhati-hati, sebab aku kini dikelilingi hanifa-hanifa lain sepertimu
maka, ,,hanifa,, tersenyumlah
Oleh : Dion-anak Zaman
PRASASTI NALURI
bunyiku indah syairku menumbangkan kekaisaran
warnaku kuat, tajam terpenggal langit, tergagap bumi
hancur kerusuk dan jantungnya, telinganya tak peka
lagi semedi kerusakan Nawaetu punah luruh, sedayu bunga yang kerut kering layu
wangiku bagai firdaus
akulah manusia berpenggala selera
kemuningmu usai kujaga, kepatutan bunyi terpencar oleh perasaan
kau hilang, kau masih bersembunyi, kau binal akau nanarkan mata untuk peramu
syahwatku menjadi tak berselera karena kita dusta
jauhkan warna dilereng bukit
karena menambah mata rabun,
jagad berjyoga, maniak menghapus kerangkeng perasnya hati
atau selalu mewarnai tak patut untuk membuat warna sendiri
demi Tuhan
atas nama para Dewa
untuk kekasih
untuk orang tercinta
untuk Amma
untuk selera
semua terbagi warna dan wangi
namun kau terjalkan sesuai keinginan
tak berselera dengan sisi lain subyektifitas anak anak manusia
sementara ,masih ada teken-teken lain yang bisa menjadi utuh
sampai lumer sekalipun
Demi rasa
atas nama bathin
untuk jiwa jiwa
untuk manusia
untuk selera
untuk pundi pundi
dan para pemuajaku
aku liang, aku terlihat
aku mencarimu
aku mendustaimu
aku menjejaki jalan setapak saja
demi atas nama penguasa
berhenti langkahku, kemudian membidik
sejanta bedil, aku didahului tertembak
aku bergetir, mulutku berdarah mataku tertutup namun melihatmu
kau mendustaiku, membohongi mata bathinmu
dan kau mencecar dan tercecerkan darahku
kau telah berdusta pada khianat sekalipun
aku lupa menagtakan Cinta untukmu meski darah ini bukti kelemahanku
Oleh : Dion-anak Zaman
SANUR
Sanur,ini hari adalah bagian teramat keramat untukku
selirku pergi, bidadari mengunci kalimat pagiku yang remuk
peri peri berdatangan dan pergi mencermati air mataku
lebih kuat kakiku menimpali air ketuban yang subuh itu
melempar anak manusia kedunia,
kelambunya tipis
tangis pecah, ingin sari dari puting susu
lebih mencercah tangisnya melakukan teriakan mencari rahimnya yang lebih jujur
Sanur' kemarin menegurku
lalu meninggalkanku setahun
"Sanur memoles toples kue baruasa buatan Amma
menjadikannya Kue Tar lezat, Amma hanya menampik pujian,
karena Kuenya laris dikunyah
saat malam tiba, seusai mmebidik tidur
kelelawar merapak rempah malam, mengepak membusur angin menembus gelap
matanya mememncar signal ranum bunga dan buah-buahan yang manis
tanganku merobek mantra malam, telingaku berbisik pada bibirku yang menerka tata surya, serimonial segampang mencari belang, seruling melambat mendayu, pertapa membakar dupanya kembali.
Sanur mengajakku keruang sebelah cahaya terang pijar, da merabah pensil yang rencong runcing, dia menggaris setengah, lalu ditengahnya bentuknya aneh melingkar namun tak bulat, dan dilekuknya garis kedua, sambil menuju arah garis yang sesuai garis pertama, saya tidak mau bertanya, "Sanur lebih memlihkanku untuk duduk, seperti dua mataku berkedip tak enggan, ketika Sanur membuka kitab peradaban, ancaman manusia kekiinian yang kikil, acak liar bagai arisan, mereka menjadi Babi, atau domba berkalang kabut kala taunnya berkejaran dengan Domba domba lain, khatankan dulu baris dan bagian pertama lalu ajari lidahmu membiasakan menyebutnya, bila hendak membacakannya keras, jangan panglin, jangan setengah, butuh waktu merumuskan garis dan tanda tanda pengakuan yang tertera diantara garis bawahnya.
Sanur' apa yang kau inginkan dari batang padi yang menunduk lesuh ini?
masihlah berbiji? atau kenapa ada kemiri kau letakkan diatas piring putih? dengan menjentikkan jemarimu, sepi retak seketika, justru ada pendekar jawara kau panmpang ditiang kayu yang berbingkai kayu hitam? jauhkah kau mengembara? sampai kau seolah berpengatahuan tengtang alam, dan keinganannya mebongkah, tanah, meretakkan bangunan, memnghancurkan pilarnya rubuh, berserak tak utuh pongah seperti tegaknya semula,
aku mencoba keluar dari permainanmu kini.
aku ingin merokok, mencari pemantik, kau mencoba mengguruiku lagi cara memantik percik api, dengan sekejap api membakar sebatang rokokku yang luruh dan kendur dari kertasnya yang mulai tak rapi mebungkus tembakau-tembakau pilihan, seperti semula aku datang, ditempatku aku bernian, dan berkerut, selagi malam mencuri lagi, cahaya lampu menerpa wajahku yang bingung, selagi esok aku ingin menemuimu ditepi sungai aku akan mengajakmu memancing ikan, apakah kau bertahan Sanur? dalam menunggu? dalam menggelamkan logam kecil kesisi sungai yang keruh seprti payoh? kita buktikan esok.
Oleh : Dion-anak Zaman
IBU
Doa Amma' ( Ibu ), sekujur tubuhku resah, bergetar, terdakwa dosa,
rintihannya menggugurkan petaka, terkerut nisan namaku disebutnya
tengada ia, dilantai bumi kelangit menegur Tuhan, selamanya dunia kenduri
seduh Amma' untuk anak sibuyung
pergi menemui pagi, dan sore melembai
jelang satu surau, Amma' mengunci pintu
menemui Tuhan kembali
menegur air matanya, mengusir silam karena Cinta dia bertahan untuk hidup
mata melati selalu basah dengan Cinta
mata bathinnya menggugurkan goda goda dunia
tubuhnya digeser kearah timur, matanya mengerling
pada Dua bola mata dunia, mata uang yang bergentayang bagai bayang bayang menakutkan, Amma' menenangkannya dengan Doa-doa, saji hidup dengan tak menggesek dunia selama kau masih Hamba, namun menjaga Nama-nama dan Cinta Tuhan yang diantarai oleh tanganNya sendiri berpa manusia wujud Cipta sempurnaNya" jangan menyisakan sembilu, sisakan rindu, sematkan Cinta kepada yang membencimu sekalipun" Amma' menemukan filsafah kehdipan meretas pagi yang resah, mengunjungi situs kerapu disudut labuhan, hendak kemana gerangai sisa hidupmu kau bawa? Ma' diantara Doa- dan sujudmu untuk Cinta dan Qalam Tuhan yang kau bacakan tadi subuh" aku gemetar, aku tertuduh lagi, maka izinkan kusucikan dan kutasbihkan nama-nama TuhanMu yang kau perkenalkan kepadaku< agar aku juga bisa menDoa sepertimu"
Oleh : Dion-anak Zaman
CINTA
Cinta ibarat jiwa jiwa lanang dan gila
selama memendar selagi surut, bagai laut menopang ritme buihnya ketepian
Cinta adalah pengabdian
bagai belati,
seonggok dusta,
sejujur lajur rasa dan ber-main infrovisasi
benalu, belati, eling eling bahagia
mereka terpenjara, mereka tergoda goda
Cinta selembar daun
yang dijatuhi sebutir embun perlahan melengser diujung dedaun
jatuh tersisa basah berbekas sejenak, lalu hilang diterka jiwa sulit dijangkau nalar,
terlanjur mengucap dan mengunyah ikrar, sementara selaput matanya nanr dan berbening sebutir
jauh ketika zaman ini dilupakan
Cinta menjadi lebih disematkan, dikafani, disemyamkan
dalam lubuk hati yang berkeyakinan utuh
apakah kau memahatnya dengan ukiran antik
atau merekayasa melalui intstin dan halusinasi
apakah juga dinamakan Cinta?
jika sakititu berlumut?
hingga lebih mencoba mengukirkannya-Pun itu tak berbekas
karena kkauatan hingga keyakinan itu terlepas dari raga sekalipun
...Cinta apakah kau berwujud dan berwarna?
jika kau seperti itu maka ajaklah jiwa ini menyatu dan memlih warnamu?
Oleh : Dion-anak Zaman
ENTAH
mataku telah kenyang
bibirku telah habis dihiasi lipstip
telingaku telah berbekas
jiwaku telah surut
berikan sekedar senyuman
atau lasak bambu kau tancap pada runcingnya
mataku telah berkaca
jiwaku mengarang purba
bibirku telah berucap pasih
aku berdusta!
pada mata dan jiwaku sendiri
kematianku sirna
Surga menrtawai
langit mengizinkan namun jiwaku masih berontak
ragaku tertakdir
bathinku mengatakan
bibirku kelabui semua
apakah Tuhan marah?
aku berbudaya berbentuk lingkar
tapi belum tuntas menbcertikan, karena satu abad aku pernah tak ada
bubui bulan..... bumbuhi kehidupan
tumbuh seribu bunga
mati bunga keindahan molek
teramat indah kisah lebih menjumpai taman yang warna dan bunganya yang sama
pun-sebagai manusia jenuh itu ada, tidak berubahka mawar menjadi biru? atau Anggrek selalu berseri, bukan serak bulan yang separuh?
karena mataku telah kenyang
bibirku telah bersolek ranum
telingaku mulai tak peka
jiwaku kembali ber-kencan dengan bathin
namun bibirku tetap kaku dan berdalih
aku lebih memilih engkau
yang belum berebentuk bunga,
belum berselera, mengunyah
dan yang baru bernanak
akrena engkau lebih persis sama dengan jiwa mata dan telingaku
dan kita renda bersama merajutnya seprti benang ungu yang dipertengtangkan
asal usulnya, bagai musafir mencari sungai sungai kecil
ibarat bunga yang belajar berseri seri
dan kita akan menamainya sesuatu sebagai pelengkap untuk kita samakan
dan ibaratkan, pada sebuah pengandaian yang tak terbatas
Oleh : Dion-anak Zaman
SIMFONY HIDUP
Batu pecah dibelah
dikerumuni hujan, terik siang menggigitnya.
air mengalir sepi, desak kakinya masih terjerat erat didasar pasir dan bebatauan kecil,
air selutut, sebungkuk, skop dan linggis menjadi alatnya, diikat tali diBan bekas dalam mobil, diatasnya ada papan ebrukuran ban, anak lelaki dan perempuannya berjejeal dibelakakng sambil mendorong kearus sungai yang dangkal, hingga kebatang tanah.
pasir, sepi, kelam warannya celah hidup sebeagian anak manusia, berguyur air, dan batu menampik lelah, berbaring dibawah pelapa pisang, sebahu matanya menempel di-LaTah -Zan, penghiburnya,
jarak waktu mengusir semak hatinya, ini masih berair, pasir masih bersama setumpuk batu batu cekung, dipisah, lalu dipecah kembali, menjadi bagian bagian kecil
apanya yang berbeda, hanya perbedaan kasta
apanya yang sama, karena lebih dalam mnugrak bumi namun mereka lebih berhati, tidak seperti petulangan aldang minyak dan pemburu dengan bouldoser, meraung bagai merengis kehdipan sedayu mimpi anak anak yang hilang tempat lomptan lompatan diatas garis sungai, berhenti ikan bebatu bertumbuh sepalang anggun dirawa rawa bawah pohon yang ditepian sungai bersama akarnya, habis ludes, dikures, mereka hanya sebatu pecah, sekerikil kecil, memecah, dibelahnya kelayakan hidupnya hanya untuk sepiring, ataukah untuk kebutuhan berobat kala flu dan demam menyerang.
tragedi simfoni hidup, ada mata menempatkan plihan Cintanya,
kemana hendak kau tetapkan pilihan dan sapu tanganmu pada warnanaya yang jujur.
lembayun jatuh, air mengalir, muara kelabu penantian, hulunya pecah tembok kedermawanannya, hilang akrena alur sungai mulai dirubah menjadi ladang untuk sekolah dan bertahan hidup, seperti elang merebut mangsa, bagai bulbul ingin mencuri lezat air mata Adam, penghulu manusia, berhentinya waktu, sepalang tragedi hidup hingga sampai Batu batu pecah dan bagai beling menjadi makanannya
Oleh : Dion-anak Zaman
AKU
sajian anggur,
sirih kau apakan,
atau memuja muji
lebih detail lagi
orientasi datar, INUGRASI' lebih memberikan tempat
sebagai sirih mengunci mulut
atau bumi berputar lamban?
kau ajak aku menempatimu sisi lain yang kuterjerat
aku menduakan Tuhanku, sebelum kau, dan mereka
kau bertindak seolah Tuhan
janjiku dulu adalah janji bagai merak, dan merpati
elang namun elang mencangkramkanku
matanya tajam menghitung pergerakanku
dan akulah merak yang berbulu tak palsu
akulah emrpati yang meatuk biji jagung yang patuh
atau lebih memilih remang sudut
agar aku terlihat samar, tepia, sekali,teduh menyentuh
aku diajarkan itu, bukan merekayasa kejujuran
untuk dipura-purakan, atau dilebih-lebihkan
meski muja muji itu sunnah
aku pernah menegur Tuhan
mencari Tuhan, menuduh malaikat tak lagi memberiku kabar dari langit
sebab aku mulai memendar puja puji lain, dalam bentuk ajaran yang ber-mahzab kelima, atau menterupai iblis memutar mutar logika, dan kecerdasan yang dikangkangi
sambil menerka bumi, terlalu sempit, dan ingin lebih lagi kebumi yang lain
bagai tertai bunga dikolam, se-daun sedau angin menimpali airnya meriak, bergeser keruh, bunga trtai hanya penghias, lanang jiwa ini
Oleh : Dion-anak Zaman
JANJIKU KEPADA PERAWAN
sepi.. sajak, bagai maya, dibunuh kaki kaki unta yang berpadang pasir
sesuatau telah terjadi disana, mungkin terlalu jauh mengukir cerita atau telat pada bunga yang cokelat daunnya.
hatiku beku, lebih dalam menumpukkan kesedihan yang menusuk, kelenjar mataku satunya putus sebelah kiri, aku rabun kini, setelah berjanji untuk memajang kelembutan mata ini yang jujur mengatakan Cinta, aku menggumu diujung serak mata elang, dan penghujung ekor matahari senja. kesetian ini, telah punah, seperti pasir yang ditukar dengan sebuah Janji? aku melawan kodrat itu! setahun mencari keindahan madaninya ummat, dan masa, selingan musik mengusikku telingaku, aku berdenyut, membawa rebab yang kini bernama biola, yang dipundaki, hingag mendayu sayat, dibeningnya kelembutan dawai, bagai subuh mengunyah pagi, bagai kapas menayun kepipi, aku tersanjung kala mata itu memujiku, aku bergulat pada kejujuran, hingga sulit memaknai yang mana?
tempatku jauhd ari Janji kala itu, sesaat duri dikakiku menancap, kelemahanku selalu mengalah pada kodrat dan dimensi waktu, dan ironi, aku malu dengan Janji yang berbenih utang, dan berkusir diatas kursi yang mereka cacikan dan makikan, aku mencintaimu, tak seperti pelangi yang hanya menjunati lalu hilang oleh angin
antara kisah yang menemukanku, sebetulnya saya telah memlikimu sebelum mereka meminangmu untuk pilihan sebaya usiamu, namun bukankah kita Cinta? sepetik bunga kuncup, berseelra kumbang mengguliti sarimu, atau menumpahkan liru maniku, yang ingin mencipta manusia seprtimu disana ada namaku disebut,! pakah kau masih perawan? aku bertanya! aku diam, aku mala membiarkan saja jawabmu berangin, dan besepoi lembut, kau teduh, kau lebih indah seperti kemarins aat aku mulai mengejarmu, dan kusampaikan kepada kawan, dan kisanak, bangga mengatakannya aku kekasihmu, kaulah Cinta dalam perawan.
apakah jika kelak aku bukan perawan kau akan mencapkkanku bagai bunga yang layu? dan tak mencariku lagi diantara semai binbtang yang berkejora? sepoerti dulu kau ucapkan Cinta kepadaku dibawa saksi bisu kerlapnya gemintang yang berkunjung terapi malam kita yang bermunculan kunang-kunang pemabawa berita kepada peri Cinta?, kau bertanya atau kau menguji Cinta ini?
" angin menerpa kembali dijendela dekat bukit kau telusuri jawabku, selagi tatapku menampik, sejauh kau tahu, aku telah menerima Cinta sebagaimana yang kumbang meneguk sarimu sebelumku juga ada, sebab kau ahdir untuk sebuah ketulusan.
hingga pesan malam mebujuk kita, untuk saling melengkapi kekurangan
dan kau tahu janjiku kau akan menjadi abadi
Cintaku apapun namanya pada kodrat kita adalah janji yang sebagian matahri telah terikkan
Oleh : Dion-anak Zaman
AKUKAH DAJJAL?
ahhk kaumengira setinggi moncong (gunung)
aku mengiranya saja, seperti keripit tulangmu, berarti sama dengannya?
aku juga belum megetahui persis asal usul namanya dihiasi ketakutanku, dan mengancam keyakinanku, sebuah apa selebih apa, sekuat apa namanya menkautkan menyeramkan? aku tergerak menjejak, lantaran namanya menjadi kisah unik seribu tanya, bentuknya, dagunya, kakinya yang panjang,s eeta keinginanya merubah dunia lebih adil (katanya) bertindak kebeneran, seolah keyakinan yang menyeret kisah dunia dan semesta ini dicipta TUHAN, dia bertindak, lalu jud ma'jud, nama apa lagi
selembar daun, setipis bawang, sekulit ari, aku hilang
aku menuduh keyakinan hanya sepenggal kedustaan dan kedunguan, sementara fislafah abrat menghukum dali kebeneran, banyak mahzab, banyak praduga, dan sedapat mungkin meraih kebeneran yang hakiki, akukah dajjal yang menghujat keadilan? sambil memainkan kemaluanku yang panjang? ataukah akulah dajjal yang dihibur oleh budaya kebinalan, dan kejujuran yang serapah hanya kedaulatan pikir serta firasatnya yang salah menerjemahkan alam, dan tanda tanda?
anak manusia memakan kepengatahuannya sendiri, sambil mendustai kelembutan pengetahuan yang sederhana, tiudak elok seperti emreka memainkan sandi dan rawa yang menjelaskan tragisnya persoalan begitu pelil, dan enggan untuk menjadi pendengar, hanya saja aku tak piawai memainkanbedil peluruku hanay selongsong bambu yang berdebu, seperti dajjal dia? atau aku yang menjadi kekuatan dan ingkarnasinya? sambil mencoba berkumandan tengtang tuhan disurau, diseantero corong, atau berkutak melebihi sang orator, melebihi kepengetahuan asal muassalnya penegtahuan? sambil tengadah aku bersiul, menjenguk diriku
aku berhenti melakanta, dan melumat anak anak manusia yang labil, seleraku oleh mereka yang meninggikan kelimuan, namun menyepelekan sepadan bulan yang redup, enggan peduli, kecuali ada keinginan spontan, ada keinginan yang merajam, dan setelahnya berbalas pamrih, bahklan banyak kutemui mereka berdalih, mereka berdialek, mereka berslogan sama seprtiku sebagai Dajjal yang edan, menampakkan kejujuran dajjal yang dikiaskan,
ahhk,aku juga belum tahu itu, sebelum menggegas kearah wujud matahri dicipta
seprti kuncup bulan yang berumur tiga malam, selayak kecoak yang belum picisannya jauh difobiakan, atau ibarat cacing yang bergembur, dan berselera lumpur, ibaratnya kupu-kupu yang beraneka warna sayapnya yang berbulu tipis, kakinya mungil mulutnya getir namun lihai menyedot sari bunga.
aku mulai panik, ahhk,,hanya saja aku tahu kebetulan, atau ksiah ini terlalu berlebihan untuk ditengok sejenak,ataukah picik mengegetirkanku, semntara lanang jiwa jiwa mereka gila, ingin membunuh, atau menembakiku dengan jarajk dekat,
aku mati, sama seperti dajjal terbunuh oleh jud ma;jud
Oleh : Dion-anak Zaman
ASYIKNYA BUKAN PERAWAN
mungkin lebih nakal lagi
ataukah lebih dipelesetkan untuk sebuah perbaikan dan pemujaanku terhenti sejenak
selarik diintip, atau terintimidasi oleh seberkah sudut mata menikung, dan memotret diri dan perawannya, selagi masih ada sisa untuk dikisahkan pada dunia dan mereka yang menggunjing sisi keperempuananku, aku ingin menyatakan bahwa sungguh, aku ingin melebihi dari kata"perawan itu sendiri" namun aku belum menemukan tengtang tata bahsa dan bentuk lain dari kalimat dan nama yang dijuluki oleh kaumku"perempuan",
kalian mungkin belum tahu bahwa" kenikmatan bukan saat kita menyetbuhi atau bersetubuh, namun semua adalah menjadi kejiwaan masing masing saat terteranya syahwat diubun ubun kita, dan saya yakin kalian pernah merasakan itu, sesaat kemduian aku tercengang, laki laki sarat dengan memeprtahankan perjakaannya, sementara dia telah menacapakan pensilnya kemana-mana, bahkan lebih ber-ereksi ketika melihat sintal dan seksinya tubuh perempuan, yang kebetulan berbentuk lebih sempurna, aku juga tidak tahu, begitu mudahnya sisi lain tanggapan dan cara pandang yang berbeda terhadap sis keperawanan, aku mulai ragu dengan kalimat itu, sementara kita sama-sama terlahir utuh suci dan ketentuan Tuhan menjadikan struktur tubuhku yang indah dan seksi, sebagai Perempua, aku bangga ditakdirkan, dan kadang pasrah ketika selaputku pecah, sebab aku yang terlalu dini menempatkan kelebihanku yang sebenarnya bagian yang tidak bisa untuk menjadi syahwat orang lain, bahkan sesamaku perempuan sendiri pernah menegurku, aku bergeming, dan menolaknya untuk menikamti tubuhku yang bergelimang kenikmatan"(menurut mereka). aku pernah dicium oleh lelaki sebayaku, aku malu, dan keringat dinginku saat itu mengucur, aku gemetar, sambil berharap semoga tidak lanjuut pada bagian sensisitifatasku yang selalu ingin disentuh," sebab aku masih berumur kala itu,
pernah Ibuku menegur pakianku, saat aku beranjak dewasa, saat itu aku dalam pencarian jati diri, kala itu aku begitu mengagumi tubuhku, ayahku melototkan matanya, seolah bukan anaknya, pernah suatau hari, ayahku memandangiku dengan berbeda, sebagai tatapan yang kuterka dia menadangiku lain, aku berusaha menepis tatapannya, bahkan semakin menjadi jadi, dan sekali waktu, aku berada dalam lingkarannya, menatapku lebih nanar,dan nakal, aku bergegas mendekatinya, ayahku tak bergeming, alisnya menggugurkan lelakinya, matanya bukan lagi mata yang kutakuti dan kukagumi, hanya geram, dan kebencianku sambil mendekat dengan spontan tanganku menampar wajahnya, sambil memprotes kenapa meski ayah membesarkanku, kenapa meski ayah menginginkanku hadir, mengapa begitu gilanya dunia yang berpajang laknat syaitan, Dia bergegas beranjak dari duduknya yang membujukku seolah ingin aku duduk dipangkuannya, dan tak lagi aku ingin berada didalam rumah saat Ibuku beranjak pagi hingga malam baru menemuiku, tak lagi seperti biasa menegurku atau bertanya ahriku yang spontan hilang dan tak berselera.
waktu bergegas beranjak meninggalkan kisah kisah yang berlalu bagai petir, dan bagai sepoi angin menggegaskanku menuju altar yang kumimpikan, pagiku sedarajat dengan matahri yang melibatkan ronannya memecah fajar, separuh pagi akan bermula disini, terbayang lelaki idamanku yang akan mempersuntingku kelak, dan menjadi guru dan menuntunku lebih jelas, memahamiku perempuan, dan tanpa meneguk kesepian, dan kejujuran Cintaku yang bersemi dan bergururuan saat musim-musim tertentu.
Tahun ke-dua, prosesi itu dimulai hingga ujung mimpiku sejak awal dimana aku jatuh cinta dan mulai merasakan keperawananku bersikap, diawali dengan berbagai ritual, ajakan dan puja dan puji, dimanjakan, dijamu bak putri Raja, hingga pada saat masa dimana selaput perawanku akan pecah dan akan menemui hari baru, dunia baru, tempat, dan ruang yang masih bayang bayang, lelaki yang menindihku saat malam yang disuguhi kenikmatan itu" berbisik aku mencintaimu, bukan karena aku berselera menyentuh dan menyetubuhi tubuhmu yang seksi, aku menindihmu karena aku memang Mencintai dan mengingkanmu, aku ingin melahirkan manusia sepertimu, dirahimmu dan darahku yang mengalir bagai sungai sungai kecil yang bermuara indah dan bahagia" aku memulai dengan atas Tuhan yang menyatuakn kita, hingga malam ini, aku melakasanakan Tugasku sebagai Suamimu yang syah" apakah kau kecewa? apakah kau takut? ataukah kau ragu? tengtang anugerah Cinta yang malam ini kita adapatasi dari pecahnya perawanmu?
aku tak mampu melawan tatapannya, aku jatuh dalam pelukannya, aku menjatuhkan air ditalaga beining mataku, aku haru, aku bangga, aku bahagia, "lakukanlah tugasmu jalani seirama malam yang berbulan payung, dan gemintang berbaris indah mengantarai selaputku yang akan kau pecahkan, dan kau bagikan kenikmatan sebelum fajar kembali tersenyum, mengunjungi sisi lain episode untuk kita" aku mencintaimu sebagai syahnya Cinta, dan aku adalah milikmu malam ini hingga akhir masa ditentukan oleh kebesaran CintaNya.
Tuhan dan lelakiku yang saat ini menjadi pelengkap kehidpanku yang syah dan penuh Cinta,
kepada dunia aku meletakkan Cinta kepada Cinta aku mengihlaskan nawaetuku untuk bersamanya sebab begitu assyknya malam ini aku bukan lagi Perawan
Oleh ; Dion-anak Zaman
RITUAL PENGHIBUR DOSA
sejak pagi, sejak mencari cari tahu, semasa masih bayi, sebentuk pipi, semungul jemari, selentik bulu mata yang alami, bedak yang harum, bau mulutnya yang wangi, terbiasa mencak diatas pipis, terberak dengan nikmat, warnanya kadang cendrung kehitam. tembikar, kasur, bantal seprei, semua ludes disergap kebaskom dan dikucek lagi, sampai matahari bosan melihat pemandangan busana popok, sampai baju celemek, itu dulu saat sebutan "bayi,
jauh perjalananya dikisahkan, ketar ketir, jika dibeberkan, bangga jika diceritakan, takut saat semua buruk, lebih terbuka, lebih elegan, dan lebih jujur, jika menampan, air diatasnya, sambil memakai cermin, dan membujuk didalamnya untuk sejenak keluar untuk satu prosesi, sambil duduk dikursi Goyang, segelas, setumpuk pinang, atau sirih, begitu mengajarkan sisi lain cara menikmati hidup" ada yang ebrlari memuja matahri, ada yang berdiam, mengumpat tetangga, lain perisitiwa pas sebelah kamarku, ada yang menangis, terbahak, tertindih pedih sakit, terkuak aibnya, tercerahkan bathinnya, mengejar kembali matahri, bahkan ingin kebulan memunguti pasir bulan atau benda dari bopengnya, yang mnggoda anak anak, dan dewasa sampai disyairkan sejuta bait,
kaki kanan melnagkah duluan, mendahului kiri, gerakn ayunan tangan bertolak, berpisah dari ritme tanagn satunya, sebelum diayun, kakilah pemandu menuju kejarak berikutnya, mata meminjam nanar, atau lensa untuk menata penglihatan, diantara kelenjar, dan selaputnya, yang tipis, jangan biarkan buram, dan rabun, karena disanalah letak bagian dari keindahan, kebenaran, serta kejujuran,! persis sama dengan nebular, saat bumi ini dicipta mungkin, yang diperdebatkan dalam kitab, dan mashab, serta dalih dalih yang menggendong jiwanya bagai pemandu wisata, bagai musafir, atau filsafah ulung ,semntara Ritualnya masih bolong, dan mengejar matahari,menanti rembulan, seperti bagian yang dikisahkan oelh apra nabi nabi, dan rasul, sejarahnya dituliskan diatas batu, bukan diatas pasir, sebab angin kadang menghapusnya, ataukah manusia yang jarang disebeutkan namanya dan dikisahkan oleh buku buku yang mereka kadang debatkan dan fenomenal, seperti sejerah Cinta dan Ritual penebus Dosanya Uwais Alqarni, titipan hamba Tuhan dan hamba Allah yang saleh, yang juga dihadapkan pada dua sisi keinginan yangs ama geitrnya, sama kekuatannya, sama kadarnya, menurtunya, sama membuat dirinya akan tetap shaleh" ketika rindunya pada Muhammad, ingin ditemuinya, diciuminya tangan rasul, atau dia ingin menjadi bagian sahabat Nabi, namun Cintanya kepada sang Ibu, dia men gurung niatnya dibenaknya, dan mimpinya, sambil menjadi gembala, sebab dia sebatang saudanya dirinya sendiri dan alam, Ibunya, bagian pandunya, namun izin semesta, perjalanan, Alwais, menjadi terterka ar's, diijabah Tuhan, dan izin Ibunya hingag berangkatlah, menjejal pasir, dan matahari, Ritual sebatas menebus rindu, dan menebas Dosa, ketika perjamuan kehidupan, diantarai oleh perisitiwa, kemudian matanya menangkap signal dari arah lebih jelas, didekatnya luput sebab kelenjar dan selapuntya tak dijaga, rabun juga akhirnya, mengamati jejak ritual, sebeanrnya saya pernah menganggap Tuhan itu mebgajari kita msitik, dan berhala juga, karena Ritual yang menyepelkan kekuatan raga, sejumlah malam, sejuta tasbih, diliang mulut dan bibir hamba, sebatas menempatkan ikrar kita denganNya, namun saat kuterjemahkan ritualku dengan sederhana, aku terjaga pada malam yang mengetarkanku, yang menjadikanku manusia paling dungu, paling sepi, paling tak berselera untuk menemui pesolok, dan pesuluk yang sumir, dan berhala juga akhrinya,"
setiap Ritual menjadi pelipur,
setiap perjalanan adalah kekuatan jiwa dan menghasut kemanusiaan untuk lebih berhati-hati, benar dans alah, langkahnya setapak adalah takdirnya.
Ritual kunamai kau sebagai penebus, atau sekedar penghibur Dosa
yang terjemahannya adalah kebiasaan, atau keterpaksaan menghamba dan meneyembah, atau menyebut nama TuhanNya, sebagai janji, bukan semata kelayakan dan kemutlakan yang berseelra oleh rasa, jiwa bathin, serta ucapan,
hingga fana'a kakinya berdenyut kaku, tangannya bercecak nafas, darahnya mengalir penuh, hatinya mendetaksi, raganya hanya media, dinamai manusia
Ritual kepalsuan, Ritual sekedar penebus dan penghibur Dosa
Oleh : Dion-anak Zaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar