Senin, 11 April 2022
Kumpulan Puisi Romy Sastra - PASRAH
PASRAH
telah aku persilakan dikau pergi
membawa kisi-kisi memori
tentang ikrar merpati tak tepati janji
memang sayapnya patah
tertembak cemburu buta
dendamlah!
kita kuburkan saja janji pada awan
: tenggelamkan
ya, purnama itu
tak mampu menyibak malam
sebab iklim langit tak berdian
seperti pualam dihempas salju
tetap saja dikau berhati batu
aku menyerah
Romy Sastra
Jakarta, 04,03,17
SEHELAI KAIN SARUNG SUFI
Romy Sastra
sinopsis cinta manunggal di dalam napas
keluar masuk memandu kalbu
puji si fakir pasrah tak meminta
menyatukan iman ke fana tertinggi
di relung sukma rahasia bersembunyi
membuka tirai-tirai kekasih
menggali pintu berkah selebar dunia
bermodalkan sehelai kain sarung lusuh
membawa kado ikhlas ke tengah pesta
berjubah malu penutup etika cinta
jejak pertapaan sufi dalam sejarah
dzauq dimabuk rindu
meminum segelas anggur: tuak ilahi
pada pujian kepayang tahalli diri
bermuzika: hu
telaga bening tak berwujud
teteskan embun dari liang pori
zikir musyafir cucurkan tirtamaya suci
peluh di tubuh air surgawi tajali mati
sehelai kain sarung sufi
bukan desain sutra duniawi
kain sarung bermaruah akidah
bermanik eksotik elegan ke hadirat tuhan
jubahnya sederhana di tengah keramaian
tak bersolek seperti pesta tak beriman
sehelai kain sarung sufi bersongkok diam
enggan berorasi pada panggung dunia
melainkan berbisik di daun-daun kering
menyauk debu pembersih noda batin
sampaikan doa-doa jelata oh: ya hu
yang duduk di singgasana kalbu
malaikat bersayap detik bertubuh cahaya
tunduk menyemai amanah ilahi siap siaga
bertasbih tak pernah berhenti
sedari awal dicipta
aku cemburu pada utusan itu
kurapalkan tauhid sepanjang usia
ternyata tak mampu kukalahkan pengabdiannya
kurapihkan duduk di atas sajadah tua
senyap gelap memandang kosong
kupacu kudaku berlari terus mendaki
tubuh ini mati
roh abadi cahaya didapati
tatapanku fana tak lagi berwarna-warni
azza wa jalla dzat laisa kamislihi maha nyata
sang utusan tersenyum membawa pesan
dalam kenduri sufi semalam
Jakarta, 140418
SUATU MALAM DI MAXONE
duduk menyemai malam
tatapan jauhh menembus batin
tentang kota diselimuti kabut
tubuh dingin dan karam
satu destinasi negeri dikunjungi
ada peradaban sunyi
menyimpan candi dan kejayaan
kehidupan masa silam
malam itu
butiran-butiran embun bertaburan
sebatang kretek menemani dingin
dadaku disepoi angin
betapa nikmatnya anugerah tuhan
kota malang, kota impian
kota yang dilingkari gugusan
aku diam larut menempuh pertapaan
tak bermantera tajali,
"sangkan paraning dumadi
sabda batin memanggil kesepuhan"
wahai roh-roh yang bersemayam menguar di awan? ceritakan pada generasi tentang kejayaan masa silam: sweta dwipa
jawata bertutur tentang kisah yang sudah"
malang belum dihuni negeri sunyi dilamar api. era pleistosen kabarkan warta tentang kejadian suatu kota.
malang area kawah diapit aktivitas gunung-gunung pandawa;
"kawi di selatan menyimpan hartawan,
kelud di barat kediri memagut cinta,
anjasmoro di welirang menyemai hati,
arjuna di timur laut utara singsingkan mentari,
tengger di timur menyimpan api yang tak kunjung padam"
kota malang itu
salah satu peradaban jawa dwipa
berupa aliran lava
mencipta gundukkan merupa danau purba
malang bukan kota yang malang
malang bangkit dan melangit
dilintasi tanah subur dari segala sisi
jejakku menoreh catatan puisi
masih adakah kereta ke malang untukku suatu saat nanti?
Romy Sastra
Malang, 5 April 2019
DUA BOLA MATA BERADU
Di suatu pagi menjelang tengah hari,
tatapan ibu lirih ke jendela rumah, teringat masa silam kala anaknya bayi. Tangis itu pengobat luka baru saja keluar dari goa garba yang robek dengan jeritan penuh darah; oh, anakku?
Di suatu tengah hari menjelang siang, tangan cekatan memainkan peran, menunggu si kecil mengejan. Tentang cinta yang sempurna membersihkan kotoran, ada najis melekat di ujung kuku, bercampur aroma kuah tertelan ketika makan tak dihiraukan; buah hatiku?
Di suatu siang menjelang petang, ibu tergugu memandang wajah anak lugu, adakah dikau ingat anakku?
Kenangan ibu dikisahkan di saat kau bayi, kini tumbuh remaja. Air mata bahagia bercampur air susu, kau dalam dekapan. Jangan balas dengan air tuba!
Di suatu petang menjelang senja, ibu mulai menua. Anaknya menerima estafet cinta tentang jerih, baru saja tersingkap di balik wajah purna, mengabdilah oh, darah yang fitrah!
Dua bola mata beradu tentang cinta,
suka duka ibu berpesan: berbaktilah anakku pada titian surga ibu tunaikan sepanjang jalan, dan malam jadi renungan kematian menuju alam keabadian; doamu selimut panjang itu.
Romy Sastra
Jakarta, 20 April 2022
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar