UNTUK MENCARI PUISI-PUISIMU CUKUP KETIK NAMAMU DI KOLOM "SEARCH" LALU "ENTER" MAKA SELURUH PUISIMU AKAN TAMPIL DI SINI

Rabu, 05 Februari 2020

Kumpulan Puisi & Prosa Romy Sastra - LELAKI SENJA



KUPINJAM ALIF-LAM-MIM-MU SEMALAM
Romy Sastra

Satu aksara kalam pada tiga kalimah, 3 in 1

Alif al Hak
Lam utusan
Mim terangnya

Tersembunyi dan nyata
Hening tak berniat menuju destinasi dan sampai

Tak terabai seditik pun
Tak jauh Alif dituju, kenapa berpayah melaju

Kokoh berpadu bulat yakin pada tauhid
Langit tak acuh, pintunya terbuka lebar, selebar arasy terbentang
Bumi selalu tertindih tak risih, pasrah di bawah langit, meski ia akan runtuh seperti meteor menghujani dengan bara-bara api

Mati sekejap dari duniawi, tenggelam nafsu
Pada akar terjuntai kasih sayang
Belaian Rahman Rahim Ilahi tak terukur
Menetes kasih tak terbilang
Menampung pemberian iman
Bersyukur

Engkau terjauh dan terdekat tak berjarak
Matahari keras memandang mayapada, membakari
Matahati menerangi diri tak pernah padam Menyinari selagi hayat dikandung badan

Duduklah di tilam lusuh
Berwudu' batin sucikan hati tak berdebu
Di sana dan di sini Alif berada
Di pijar-pijar batin cinta bertakhta

Nun dalam pikir terpikirkan akan Mim
Penantian selalu menunggu kedatangan
Menyemai rindu dalam kyusuk fanakan tahalli
Berjalan bersama takhali, ciptakan tajalli
Maka bercumbu ruh dengan Maha Ruh
Mabuk hidangan anggur cinta asyik bertasbih
Dari pencapaian peluh mendaki, gunung-gunung dan lembah
Hingga berlayar di samudra terindah
Terdampar di dermaga sunah

Berjalan dengan Alif Lam Mim di dunia fana dan batin
Tak ingin bermain fatamorgana
Tak tersesat jalan pulang
Tak tergoda iman dirayuan
Moleknya si buah kuldi di mata jalang ilusi
Hindari!

Jakarta, 4220



SISA-SISA GORESAN SENJA

tuju kutempuh jalan berliku
jalan yang tak mungkin dilalui
berdebar sudah dada menahan tegar
biarlah terkapar langkah lebih awal
daripada luka di kemudian hari parah
bukan kutakut tikam cabaran
seperti berkaca pada bayangan
jejak-jejak yang tercampak;
aku mengalah

kucoba mengumpulkan kenangan
yang perlahan menjauh pergi
aku kehilangan kekasih
dari mata rindu jadi sendu

oh, asmara
pergilah ke jalan keinginanmu
damailah mengukir harapan
aku di sudut pagi nan layu
luruh segala sesal
pada impian yang padam

biarlah langkahku di sini tertahan
bertahan di persimpangan
pada bingkisan puisi hati
tak mungkin aku sampai di penghujung jalan
yang tak ternanti, kau sebentuk imaji

selamat tinggal kepergian
selamat jalan perpisahan
kenangan adalah kenangan
takkan kisah dilupakan
andaikan kau tak kembali
biarlah aku mati bersama puisi
memadah cinta pada ilusi
di pembaringan senja yang sepi
petualang malang
berdendang kekasih mimpi

HR RoS
Jkt, 25217



MANTRA INYIEK BUKIEK PINJARO
Romy Sastra


Bismillahirrahmannirrahim

Karano bungo rampai alah ambo langkokkan, kok janjian sampai tolong dakekkan! Oii, inyiek balang nan manyuruak di dalam rimbo, indak kandak kami ka cilako, kok ado inyiek salah jo lengah, alah dibari maaf sabalunnyo. Hutang nyao dibaieh nyao, hutang budi dibao mati. Kok sansai kami sanagari, babalieklah ka kandang pinjaro ko kini juo! Jo ilau nan manih inyiek kami himbau. Dari ampek penjuru mato angin, kami arak ka kandang, datang baputa, putalah oii angin ka buuah tali, tapilin di jari nan sapuluah, indak ka lari inyiek kami nanti, dinanti siang malam, kalau indak tibo inyiek akan sangsaro, nan Kuaso mamutuih kaji,

...Lunak besi kersani di lengkungan tangan,
di batang tubuah Adam ditancapkan, tuah dari langiek jatuh masuak ka ubun-ubun tembus ka dubur. Kersani mangguncang bumi, runtuahlah kudaraik inyiek, lunak sarupo batang pisang nan indak lai garang...

Adam asanyo tanah, Muhammad asanyo nurullah, Jibril, Mikail, Israil, Israfil asanyo cahayo kulimah, barakek pintak ka nan Kuaso. Kun kato Allah, Fayakun kato Muhammad, Rabbukun kato Jibril, jadilah, mako tajadilah jinak inyiek tatangkok di dalam jarek, barakek kulimah Allah, La ilaha illallah Muhammadur rasulullah.

Jakarta, 28 September 2019

Catatan translate:
MANTRA HARIMAU BUKIT PENJARA


Bismillahirrahmannirrahim

Karena bunga rampai sudah saya kumpulkan,
kalau janjian sampai tolong dekatkan! Ohh, harimau belang yang berdiam di dalam rimba, tidak ingin kami akan celaka, kalau ada harimau salah dan lengah, sudah diberi maaf sebelumnya. Hutang nyawa dibayar nyawa, hutang budi dibawa mati. Kalau sansai kami sekampung, kembalilah ke kandang perangkap ini sekarang juga! Dengan kidung yang manis harimau kami panggil, dari empat penjuru mata angin, kami halau ke kandang, datang berputar, putarlah oh angin ke simpul tali, terpilin di jari yang sepuluh, tidak akan lari harimau kami nanti, dinanti siang malam. Kalau tidak datang harimau akan sengsara, Yang Kuasa mengijabah jampi.

...Lunak besi kersani digenggam tangan, di batang tubuh Adam ditancapkan. Tuah dari langit jatuh masuk ke ubun-ubun, tembus ke dubur. Kersani mengguncang bumi, robohlah tenaga harimau, lunak seperti batang pisang yang tak lagi ganas...

Adam asalnya tanah, Muhammad asalnya nur Allah. Jibril, Mikail, Israil, Israfil asalnya cahaya kalimah. Berkat pinta ke Yang Maha Kuasa, kun kata Allah, fayakun kata Muhammad, rabbukun kata Jibril. Jadilah, maka terjadilah harimau ketangkap di dalam perangkap. Berkat kalimah Allah, La ilaha illallah Muhammadur rasulullah.



DIAN TAK NYALA

pucuk-pucuk menjangkau langit
akar menyerap embun
musim hujan tiba
kenapa alam kering?

hidup biota bertasbih
berbisik lewat angin
mati menjadi sampah
tak berharga

batang melapuk
daun-daun kering
bunga berguguran
dahaga di tanah rengkah

bertanya dalam hening
sedangkan diri khalifah
kenapa tak diperhatikan?
ah, sayangnya selalu lupa;
sia-sia

langkah ingin tahu jalan pulang
pikiran selalu mengurai benang kusut
tak kunjung usai
mati tersesat jadi bangkai

tongkat dimakan anai-anai
nisan tak bernama, dian padam:
gulita sudah

Romy Sastra
Jkt 1220



RINDU BERTASBIH

setiap kali menatap dunia di mata telanjang, ranjau menusuk dada, sukma menegurku; "kenali jalan pulang jika kau pengelana mencari makna di sepanjang tualang, kenapa cinta tak kunjung ditemukan, bagaimana mencapai bahagia? langkahmu terperangkap ragu pada tuju di bayangan semu. padahal sudah bersusah payah menghening cipta."

setiap kali mengutip ayat-ayat rindu, beribu bait pada laku, doa bertarung; "duhai rasaku menyatu di sajadah yang basah, disiram lisan membasuh noda hitam dalam ingatan. bagaimana merayu cinta, sedangkan syahadat tak dijumpai. padahal telah dibukakan lembaran-lembaran hati, masih saja tak tahu diri?"

setiap kali mengintip hidup di kedalaman jiwa, gelisah kututup rapat-rapat, sabda menggema; "jangan kau terbakar jika neraka masih saja panas dirasa untuk mengenali cinta," dan aku beristighfar di sepanjang doa berharap; "kekasih datanglah! aku mencintaimu segenap jiwa." rinduku bertasbih.

Romy Sastra
Jkt, 31120



KEKASIH ILUSI


Aku pernah labuhkan hati di dermaga tua pada seseorang yang kukenali, hatiku bahagia. Berbilang waktu, hari, bulan dan tahun. Setelah satu kecupan di keningnya pada ruang mimpi sebagai kenangan bukan mainan. Hatiku berbunga subur, lalu menjadi kelopak yang gugur. Setelah aku tahu, cintanya hanya pelarian sepi saja, aku kecewa, sungguh teramat kecewa. Hubungan itu, perlahan-lahan hampa. Tapi, aku tak dendam dan kubiarkan tenggelam walau kisah itu padam. Selang, berapa lama aku mencoba membiasakan diri untuk tidak mengingat kenangan. Sebab, aku telah kembali ke semula yang tak mengenal cinta. Berharap mimpi-mimpi semu tak datang tanpa permisi.

Kini, aku dibukakan rasa pada seseorang yang masih dalam angan. Padahal aku telah membutakan mata akan rupa cinta. Ternyata takdir berkehendak lain, aku dihantarkan lagi ke suatu dermaga sunyi yang lain lagi. Aku menatap dari atas geladak memandang riak, nun di sana merupa bianglala menyinari dadaku pada sosok bayangan entah. Lantas, aku menyemai kasih yang lirih, atas nama kesetiaan hati pada satu hati yang baru memilikimu, dan rasa cintamu membara sesaat saja kembali hambar dengan sendirinya, penyebab dari senyap yang terbiasa. Padahal aku mencoba tidak hambar pada rasa, dan selalu menyirami taman di ujung angan dengan nyanyian-nyanyian puisi di ujung jemari, berharap dermaga cinta yang kedua tak sunyi, ternyata kembali sunyi. Kisahku pada suatu hubungan hampa berulang-ulang di setiap penantian yang tak pasti. Ah, kau yang pernah singgah di mimpiku bukanlah kekasih kemistri di sudut hati, ternyata aku dimainkan ilusi.

Romy Sastra
Jkt, 29120



LELAKI SENJA

redup cahaya di ujung senja
lelaki gagah ditikam masa
bayangan menjauh jejak berlalu
melangkah ke depan sudah kaku
anak-anak merpati di daun pintu;
bercumbu bernyanyi

lilin dinyalakan tak cukup waktu menerangi
sebab kelam terasa panjang dihadang
untuk apa meminang putri malam
sedangkan senja telah sunyi

kembalilah ke rumah!
jalan datar sudah terasa berlubang dijejaki
usah berkelana lagi
hanya untuk mencumbui kunang-kunang
lebih baik memetik mutiara
yang bersinar di dalam hati
di sana pintu pulang
jalan abadi

HR RoS
Jakarta, 28120



MENYIBAK AWAN


mencari embun di atas perapian
tanak menggelegak di ubun apa yang dimasak? gejolak sudah lama matang
meja makan dihidangkan
menyingkap tirai penghalang pandang
tatapan lenyap musafir kelaparan tak kenal diri, sejengkal tanah tak berjarak dilangkahi
tersadar ke tempat mana kembali?

api di tungku padam pelita tetap nyala
mencari kebenaran di dalam kebenaran
yang ada tingkah kusut rambut di kepala
sebab sepoi menyibak awan
berlalulah kebodohan! permata tak dikotori
permata tetap permata
meski terkubur seribu tahun
berpegang pada tongkat akhirat dicari
ternyata sudah nyata di setiap langkah
aku menyadari.

Romy Sastra
Jakarta 27120



BUKUMU KUBACA

bukumu bersembunyi di ruang sepi setelah selesai kenduri.
apakah tubuhnya dibaca kembali?
seakan merayap-rayap di rak lemari berbaris bak komando di barak-barak padang pasir yang merindukan pulang dipeluk anak istri, dan puisimu terlahir dari sunyi kembali sunyi.

tatapanku pada deretan sampul biru kubuka bukumu, tubuhnya diselimuti taman-taman.
sabda-sabda sastra yang terlahir dari berbagai kompleks cerita, apakah hanya akan menjadi sejarah berdebu?
penulis yang tak kunjung kembali ke muka buku kau bisu.

Romy Sastra
TIM PDS JKT, 220220



KA'BAHKU WAJAHKU
Romy Sastra


kuhamparkan sajadah berdiri menyebut namamu, khusyuk menatap fana, takbir memanggil yang tak tampak bersembunyi di dalam jiwa; aku kemaruk

kukhusyukkan penghayatan memandu kalbu
membuka tirai penghalang pandang, aku pasrahkan jiwa raga membawa pedang tajam ke titik haqqul yakin
wejangan rindu pada fardhu ibadah sholat lima waktu, ruku' sujudkan tubuh tak jua temukan engkau cinta; engkau di mana?

dan aku bertandang diam-diam berkelana ke dalam daim membawa cermin
kututup nafsu kubuka pintu kematian menatap ka'bah ke baitullah, aku membuka kunci diri;
ka'bahku wajahku baitullah tubuhku
batu hitam hatiku

aku fana di dalam hidup dan mati
diselimuti lafaz-lafaz ilahi
di sana aku menemukan baitul makmur menara iman sholat yang tak tersia-siakan
datang membawa cinta kekasihku telah dulu tiba

ya rabb
dalam kelemahan dan kebodohan diriku
telah engkau pelitakan jubah insani yang diridhoi
ampunilah segala dosa-dosaku
terimalah kehadiranku ini
meski aku datang membawa noda sebesar dunia, engkau sirami dengan madu mahabbahmu
aku belajar menjadi pencinta sejati
dalam kebaikan takwa, semoga ibadahku dicintai selalu; engkau kekasih maha pengasih

Jakarta, 210220



DINGIN

dingin...
ah, sungguh dingin rasa ini sepulang dari petualangan meminang sayang dan kau menjadi bayangan. aku menggigau di ujung risau, kau seperti lilin perlahan padam suasana rinduku temaram, kau pualam.

dingin...
ah, sungguh dingin kenangan menyimpan prahara di mata yang salah kau menilai aku orang tak punya. ya, aku memang tak mampu memberikan sesuatu yang kau damba, di ujung jemariku tak ada perekat mengikat cinta yang kokoh untuk kujaga, aku hanyalah kertas disiram air mata

dingin...
ya, dingin sudah selimut rindu yang kausimpan di dadamu selama ini. aku pasrah pada takdir yang tak berpihak di arena hidupku, dan kau memberikan kebahagiaan yang hampa, aku mencoba tegar meskiku lemah, lipat saja kenangan di peti mati jangan dibuka lagi!

aku memahamimu kemistri
biarlah rinai di mataku membasuh luka
aku sadar diri dari suatu mimpi kau ilusi

Romy Sastra
Jkt, 20,02,20



MENATAP CINTA
Romy Sastra

aku datangi saung mursyid ke tepian samudra bertelanjang dada tak berkopiah tutur guru dituruti, santri dungu manggut-manggut manut
diri yang musyafir merenungi pasir di pesisir
bertaburan hikmah di segala pikir
jwaku karam tak basah terpesona meminta rahasia kunci kematian pada sabda

"lubang dunia itu di mana beradanya guru?"
lalu, guru pejamkan netra tak bermantra, melainkan takwa saja.
"ah, tak cukup petunjuk memasuki ranah, aku menyimak lewat rasa.
kudekap tubuh guru erat-erat

pituduhnya luruh pada selembar surat wasiat, satu-satu eja kalam dibuka, dia bisikkan rahasia gaib tentang hening, sukmaku fana bertahali, aku belajar mati

menatap cinta sekejap, tafakur, terpancar nur
benak-benak tersusun di baitul makmur
dengan jalan membunuh indrawi, membuka gerbang baitullah duduk bersila bak budha menatap nirwana

kubawa hanya secercah rasa, seketika gumpalan pelita hadirnya kejora menerangi alam batin seperti lampu pesta di siang hari
tercipta dari keheningan sesaat pada jalan makrifat

aku dan nafsu itu berpacu mengejar tempat tertinggi pada kasta-kasta iman menggoda diri, apakah menatap kelip di puncak fana terhenti menyimak sejati ataukah labirin menyesatkan di balik tirai ilusi?

segala nafsu lelah terbakar sirna di keheningan malam di wajah wujudullah, indah kelip cinta bertaburan cahaya
aku dan diriku bertakhali rahsi membunuh hasrat doa
ya, tiada yang kupinta selain menatapnya saja
bahwa sesungguhnya aku masih ada
aku dan dia bercumbu mesra

fanaku memeluk laisa kamiselihi, padahal awas-nya sedari dulu ada, hu memelukku pada janji yang tak pernah diingkari, jiwaku tak berjarak dengan maha jiwa
aku haru pada pertemuan di kelambu rindu di alam yang tak tersentuh, dosa-dosa berguguran, tubuhku seperti runtuh bergemetaran, terjawabnya asholatu daimullah

ya, semoga itu pertanda ibadahku diterima
'innallaha latukhliful mii'aad'
dalam khusyuk klimaks bertajali
aku dan diriku lebur dan mati
guru mursyidku rasa sejati
fana menyentuh maha rasa bersatu padu, pertemuan tak lagi cahaya
yang ada awas-nya dia

Jakarta, 13220



AKU MELAWAN KINI
Romy Sastra


Sepicing mata elang dari balik jendela, memandang tangga berundak di pundak mereka, hasrat menduduki kursi istana. Tuan-tuan bersimpuh demi kemakmuran bangsa di mata dunia yang sejatinya adalah trik pengkhianatan.

Setajam pisau meruncing, lalu menikam.
Setelah jawatan didapatkan berulang kali mengukuhkan keinginan atas tujuan partai tirani. Di mana air ludah sudah tumpah di depan istana dari sudut-sudut negeri, atas penghakiman mereka yang dikhianati di tengah jalan.

Serupa mata uang dicari menumpuk di kantong-kantong sendiri bahkan di kantong koloni, belumkah kenyang kau keparat bangsa? Aku mengutukmu dari perut ibu pertiwi! Nusantara membutuhkan pendekar bangsa mengangkat maruah tak rasuah.

Sebilah lidah menikam tajam bersumpah; "Enyahlah dari istana itu! Di mata kami tuan tak lagi amanah. Hanya menumpuk-numpuk dunia, kapan lagi tuan beribadah?"
Seribu mulut berbusa berorasi pro kontra; "Bertahanlah tuan! Negeri ini membutuhkanmu."
"Oh, tidak...!! Turunkan! Kami sudah muak trik politik yang kau mainkan."

Rakyat dicundangi tirani yang tak tahu diri
Aku melawan kini.

Jakarta, 11 Februari 2020



JINGGA DI SUDUT MATA


Perjalanan di bulan Juli, angin selatan membawaku ke suatu tujuan. Aku memandang jingga di sudut mata, senyum manis menggoda rasa. Pesonamu jingga membuatku suka pada pertemuan tak direncanakan, ada getar di nadiku menjemput ujung jemarimu, kita berbimbing tangan kau mengikuti seperti debunga sepoi mamiri

Di bibir riak menepi kupegang jemarimu, ketika kuajak kau bermain puisi dua nama bersaksi saling mencintai. Di waktu finish tiba kita enggan berpisah, dua mata menatap wajah perpisahan setelah pertemuan sekejap menjadi kenangan berat. Di saat mataku menjelma bayanganmu tak lagi jingga berganti pualam. Di hari yang ceria dulu kini sunyi, dari satu hati telah sembunyi tak lagi merindui; jingga, kau jahat kan?

Romy Sastra
Jkt, 9220



KEMELUT DI BALIK KEMILAU


rasanya baru kemarin bumi ini cerah, tapi hari ini tampak murung tergambar segala pedih tak terbendung. semua berubah abu-abu berselimut kabut berkoloni misteri dan kemelut. apakah akan kiamat ataukah hanya wajah khianat?

rasa ini seolah bernapas dalam lumpur
wajah-wajah resah murung. matahari rembulan menjauh, dunia seperti berkabung tak ada lagi senandung
kearifan mencari jalan tuhan tak dirindui
bayang-bayang diri sudah menghilang
ya rabb, engkau selalu penyayang

bertanya dalam simpul doa, adakah langit di sana lebih cerah? padahal bumi menderma damai. kenapa congkak dan egois silih berganti datang bertubi-tubi membenamkan kedamaian di bumi pertiwi. berdamailah kabut bersama awan, hujan turunlah, dada ibu suburkan, mari bersyukur! jauhkan cerca pada sesama, kenapa anak ayam mau diadu di gelanggang? sedangkan di panggung itu tuan-tuan saling bergandengan. dadaku punya cinta, di sana punya cinta, bersemilah cinta di mana-mana
semoga damai tercipta di tanah merdeka

Romy Sastra
Jakarta 08,02,20



JEJAK-JEJAK YANG TAK NAMPAK

tubuhku dalil
bertinta rasa pada kajian makna
di bawah naungan cinta
alam diri berlapis tipis
seperti lembaran-lembaran daun kol

aku berlari mencari yang tersembunyi
perjalanan diam tatapan temaram
bertanya sendiri;
di mana letak hakikat sunyi, ohh...
tentang tauhid diri memandu daim
benarkah cinta berada di tingkat ainul yakin?

aku terkurung pengap
napasku atur perlahan meniti arah kematian
rantai nafsu mencoba membelenggu niat
tubuh gemetar bukan takut tersesat jalan
pendakian itu sungguh terjal
aku tak ingin terbengkalai ujian
padahal diriku
berjalan bersama jati yang tak nampak itu

kupetik gugusan kelip di balik sunyi
qolam-qolam tasbih terbuka
bibirku mencium aroma kekasih
di balik kelambu kusaksikan cahaya habibi

Romy Sastra
Jakarta, 7220



KEMATIAN FARDU 'AIN


jejak alif kusibak, berkelana di mikraj rasa
silaku terpaku menyapa ke sesuatu yang kurindu, ada di dalam diriku
fardu 'ain di antara kifayah, aku mandi berwudu' batin, kulafaz nawaitu sendiri
terbungkus tajali shalat jati; asholatu daimullah

aku mati di dalam diri
terbungkus kafan kalimahtullah
rela tak berdoa kubawa hanya cinta
sesak membubung jauh ke kalbu
sesungguhnya dia dekat sekali denganku
di jalan kematian dalam hayat
tergurat cahaya mengkilat

hening, suara sami' bak lonceng berbunyi
aku rapatkan jejak ke gunung tursina
dalam syahadat diriku;
aku terperi, aku tersembunyi, aku terdiri
aku mati mencari sebenarnya diri
dalam kasyaf mata hati bersyahadat nur ilahi

kifayah itu;
mati sebenarnya mati, dimandiin
dibungkus kafani, dishalati dikuburin
selesai sudah kefanaan dunia yang penuh kepalsuan cinta
menempuh alam abadi menemui habibi; maha kekasih

Romy Sastra
Jakarta, 7220


Tidak ada komentar:

Posting Komentar