UNTUK MENCARI PUISI-PUISIMU CUKUP KETIK NAMAMU DI KOLOM "SEARCH" LALU "ENTER" MAKA SELURUH PUISIMU AKAN TAMPIL DI SINI

Sabtu, 03 Oktober 2020

Kumpulan Puisi S Pandi Wijaya-TENANGLAH JIWA



~" TENANGLAH JIWA "~

Tenanglah jiwa
Menari saja di porosnya
Terbiar lelah pahami pasrah

Tenanglah jiwa
Poros tariannya sudah nyata
Tinggal istiqomah mencari ridho-NYA

Resapi harum nafas Kekasih
Ikuti gerak-NYA saja
Dalam bersih yang jernih

Tenanglah jiwa
Lantunkan saja pujian nama-NYA
Memaku goyah segala logika

Tenang, tenanglah jiwa

SPW,
Pandeglang, 27092020
( Catatan Kelana Bodo )



~" DESAHKU DI SATU CATATAN "~

Ayah ...
Aku ... aku Madjnun seperti ayah bilang
Coba kugambar karat tumpahan kopi
Dengan aksara, sebagai pecinta
Di puncak cintaku
Aku bernyanyi, aku menari, aku langitkan asa dan doa
Kadang ada lirih rintih
Dan tangis kusamarkan dengan senyum
Dan isakku biar degupnya jantung

Ayah, semoga ikhlasmu
Karat tumpahan kopiku telah kubaitkan
Dengan ia sebagai jantung puisinya
Benang merah yang kutarik dalam satu kisah
Cerita yang bertitik pada entah
Mungkin sampai aku parah
Dan jiwaku pasrah

Ayah ...
Lelakimu adalah madjnun
Berjubah kebodohan selimuti ketidak-warasan
Cinta yang hanya mencintai cinta
Pada takdir entah hanya jadi kenangan
Entah juga takdir menunda kata bersama

Ayah ...
Serasa kauusap lagi kepalaku
Kaucium lagi keningku
Ayah, aku madjnun ....

SPW,
Pandeglang, 27092020
( Catatan Kelana Bodo )



~" DARI SENYUM ITU "~


( 1 )
Ayahku pernah bilang, "engkau itu Madjnun"
Ketika kubiarkan kekasihku terbang
Dan lelaki itu tersenyum
Sebelum meninggalkanku

( 2 )
Kekasihku
Beranda itu milikmu
Dengan karat kopi tumpahan cangkirku
Selalu cerita tentang engkau
Selalu tercium bau tubuhmu

Payah ...
Ayahku merebut lamunanku
"Tulislah sebagai sebuah kisah, " usapnya di kepalaku
Sebelum membawa senyumnya berlalu

( 3 )
"Madjnun ... "
Senyum itu lagi mengoyak lamunanku
"Madjnun, ayah ...!?" terkejutku ketimbang bertanya
"Engkau lekat di karat tumpahan kopi itu, dan akan merapuh bersama karat itu, "
"Memang tak harus engkau lari, tapi tak harus juga diam mendendam radang, "
Senyum itu tulus mengelus kepalaku
"Ayah ... "
"Tulislah sebagai sebuah kisah, bukan airmata kesah berdarah-darah, tapi puncak cinta yang mempesona jiwa ... "
"Ayah ... "
"Jadilah selayak Madjnun, bila ingin seperti Madjnun ... "
Dan senyum itu kembali mengelus kepalaku, mencium keningku
Yang terakhir kalinya ...
"Ayah ... "
Desahku di satu catatan

SPW,
Pandeglang, 26092020
( Catatan Kelana Bodo )



~" HUJAN SERUPA PILKADA "~


Aku kehilangan hujan
Rinduku kerontang kepanasan
Meranggas ranting-rantingnya lalu patah
Tanahnya gundah tak lagi basah

Ih, harus kubuat awan
Dengan menggantungkan jutaan angan
Hingga turunnya hujan buatan
Dan rinduku tak kehausan

Oi-oi, rotasinya musim tak lagi bisa diandalkan
Membuat cinta hilang harapan
Awanpun sering berubah arah
Lalu jiwa-jiwa banyak yang patah

Payah ...
Aku kehilangan hujan
Hujan, sudah serupa Pilkada saja

SPW,
Pandeglang, 26092020
( Catatan Kelana Bodo )



~" RINDU DIHUJAN "~


Aku sebut namamu, Puan
Rinduku di bawah rembulan
Aroma tubuhmu merusak pikiran
Ingin disegerakan pertemuan

Berkali-kali kusebut namamu, Puan
Hingga rembulan bosan mendengarkan
Pungguk pun tertawa cekikikan
Sebab rinduku mulai tak sabaran

Akh, aku jadi mengutuk awan
Yang tak mengisyaratkan hujan
Diselimutinya juga rembulan
Rinduku menggigil kebasahan

SPW,
Pandeglang, 25092020
( Catatan Kelana Bodo )



~" BOCOR "~


Tak ada lagi mimpi
Tersebab mata yang tak bisa pejam
Pada ruang mencari sisi
Dalam sempit himpit terisi

Berkali sudah kutata dengan rasa
Berkali pula kusulam dengan asa
Engkau masih terus mencari cela
Menetap ancaman serupa bencana

Aku jadi benci hujan
Aku jadi benci bulan berberan
Sebab bocor atapku selalu jadi persoalan
Mimpipun mati, tak lagi beri hiburan

SPW,
Pandeglang, 24092020
( Catatan Kelana Bodo )



~" CELOTEH BANDANG "~


Aku datang tak akan bilang
Karena kaulupa telah mengundang
Kutau engkau akan terkejut
Dan lari kalang kabut

Akulah yang telah engkau luka
Tapi bukan dendam yang kubawa
Adaku karmamu
Deritamu serupa nestapaku

Kaucakar akar di tubuhku
Ia adalah penguat tubuhku
Kaugali urat nadi tubuhku
Rentalah tubuhku

Aku datang tak akan bilang
Karmamu, bikin engkau tunggang langgang
Jangan salahkan awan yang mengirim hujan
Atau alam yang sudah enggan berkawan

SPW,
Pandeglang, 24092020
( Catatan Kelana Bodo )



~" SADIS "~

Kau koyak hingga tak layak
Tanpa serpih yang tersisa
Tinggalkan sesak di benak
Engkau tak bergeming tanpa dosa

Lalu apa yang harus kueja
Apa yang bisa kubaca
Catatan kehilangan makna
Sebab telah engkau hancurkan semua

Engkau lebih ganas dari bandang yang datang
Saat penghujan sedang musim-musimnya
Meski menikam tidak dengan pedang
Cukup membuat luka derita

Payah
Habis catatanku sudah
Dasar, Rayap serakah
Enyahlah ..

SPW,
Pandeglang, 24092020
( Catatan Kelana Bodo )



~" KARENA AKU PENYAIR "~


Engkau yang mengundang
Ya, aku datang
Jangan hanya dipandang
Tanpa memberi sidang

Sepotong puisi tergeletak di meja mimpi
Tanya berbisik tanya, memandang siapa
Penyairkah ... ?
Berundak kerut di sama kening
Dan apresiasi bukan lagi soal seni
Selekat apa puisi ikuti arah pemimpi

Aku tak peduli
Terus saja kutulis puisi
Meski dengan sedikit arti
Tak harus mengejar gelar sebut sejajar
Tapi terus saja belajar
Itu yang pasti

Karena aku penyair
Bukan pemimpi anyir yang terus nyinyir
Dan bukan pula punggawa sastra berkasta
Karena penyair tak kenal kata kasta

SPW,
Pandeglang, 03102020
( Catatan Kelana Bodo )



~" PENYAIR DAN PEMIMPI "~


Mata puisi menatap tajam pemimpi
Lalu tipis senyum di bibir puisi
Ketika pengakuan adalah jengah
Diselimutinya dengan tanya mengkebiri
Menampik wajah muda puisi
Dengan pongah jati diri yang entah

Pemimpi bertanya perihal jati diri
Diperbandingkannya panutan sebagai sastra
Mencibiri tak seianya puisi tersaji
Sedang ia mabuk, buat merangkai aksaranya sendiri

Karena aku penyair
Tak peduli pemimpi nyinyir
Kunikmati saja puisi-puisi menari
Kunikmati berbagai warnanya mewarnai

Jopin bicara, puisi itu bunyi
Tapi, jangan percaya mulut Sapardi
Profesor Sapardi yang bilang sendiri

Karena aku adalah penyair
Aku bukanlah pemimpi
Yang selalu bertanya liar
Perihal warna mimpi-mimpi

Lalu kubuat lagi satu puisi
Dengan nikmat seduhan kopi
Perihal puisi belajar berpuisi
Karena aku Penyair, bukan seorang Pemimpi

SPW,
Pandeglang, 02102020
( Catatan Kelana Bodo )



~" KEPADA ISTRIKU "~

Istriku, jangan menangis
Perihal upahku yang siap dikikis
Tak apa, tak ada nasi hari ini
Aku masih bisa bernyanyi
Untuk sekedar menghibur suara perutmu
Dengan parau suaraku
Diiring nada sumbang
Dari gemuruh angan angin di sekeliling

Sayangku, biar aku memelukmu
Memejamkan matamu dari rasa pilu

Istriku, kita tidur di sinar rembulan yang buram
Memintal mimpi-mimpi dalam pejam
Dan esok kita kredit saja satu mimpi
Sebab kita tak akan lagi mampu beli

Tak apa kita kredit mimpi
Karena hari pun sudah tergadai
Menyisakan udara yang sengalkan nafas
Menghambat langkah kaki yang tak beralas

Istriku, jangan lagi menangis
Karena hari akan berganti untuk kita kais
Nanti kita harus memilih lebih teliti
Sinar untuk mentari pagi

SPW,
Pandeglang, 07102020
( Catatan Kelana Bodo )



~" PENAT "~

Menariku gundah
Tanya bertalu pada tetabuhan
Mata jelalatan
Pada pikir yang gaduh

Menariku hilang keselarasan
Keyakinan dipertanyakan
Bahkan perihal kesabaran
Goyahku berpijak pada titian keharusan

Oi duhai angin hembusan
Aku penat
Selayak tersekat
Rasa tersayat
Jiwaku terlumat
Atau aku sedang dilaknat ... ?

Gerah, gundah, gelisah
Ahk, payah ... payah ... payah ...

SPW,
Pandeglang, 20102020
( catatan Kelana Bodo )

S PANDI WIJAYA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar