DOA-DOA YANG BERTARUNG
Romy Sastra
aku berkelana ke lorong-lorong purba, lorong yang terpampang di ruang batin. kuputar waktu membuka tabir-tabir masa lalu ke lembaran buku
dalam catatan kitab-kitab tertoreh,
bagaimana syits penyambung generasi hitam putih mayapada, sebagai mandat adam jadikan khalifah, dan diintimidasi idajil menitipkan darah tirani lewat dlajah
tari-tarian itu sudah dimulai dari lembah gairah, sebagai manifestasi cinta yang salah
ah, manusia sudah mulai berfoya-foya
surat sakti kukirimkan ke tapal batas berdoa:
ya, ilahi. ampunkan kami yang lupa kejadian azali berjanji: sampai akhir hayat akan mengabdi
hu dzatullah,
bersyahaddah kalimah pada awas di awal kisah, dan doa-doa bertarung di kelip nebula, terciptalah cinta
ya, syahdu syahdan tarannum di dalam jiwa,
si fakir berzikir menatap mega yang pulang menemui kekasih meminta:
tangguhkan murkamu ya, ilahi. sebab, masih ada yang memujimu sebagai pengasih
fakir memohon pada dunia:
jangan lagi bermain hina,
sudah beberapa banyak khalifah diutus ke muka bumi sebagai pelerai murka
ah, negeri yang tercinta generasi berlomba-lomba
puaskah kau perkosa ibumu?
mari membujuk alam takkan gempa terjadi
sujudkan jiwa ini pada pencipta
biar kita tak terbelah-belah
lihatlah!
langit itu sudah memerah padam
roh-roh leluhur sudah berkeliaran mencari tongkat perjalanannya yang hilang di dunia
generasi dirundung bingung sehari-hari,
memikirkan untung rugi
aku tutup lorong purba di dalam jiwa, dan aku kembali membawa wasiat surat sakti yang dijawab: mari hindari jalan yang tersesat
kembalilah pada fitrah cinta sesungguhnya
jangan tertipu godaan dunia yang sesaat
Jakarta, 25919
ADIRATNA
Aku membuka rahasia batin dititahkan sabda guru pada dudukku purna.
Nak, kau tahu apa itu adiratna cupumanik astagina? Sekiranya kau sudah tahu, jagalah!
Jika belum tahu, masuklah pujamu ke dalam kematian, dan temui dirimu di sana!
Sebelum kusibak jendela rumahku, aroma kasih dari kekasih telah dulu menyapa. Pintu-pintu mahabbah terbuka sedari cinta menguntum mesra menyilau di jeladri jiwa.
Kau pesona kalbuku adiratna kujaga, sepanjang doa-doa mengabdi. Seiring salam pada ambiya adalah nurullah memompa laju setiap denyut memuja sampai megatruh tiba, lingga diri debu yang sirna.
Aku membaca alur sepanjang jalur buhun lenyap di ubun-ubunn. Di mana rahasia adiratna cupumanik astagina itu berada?
Ternyata berada di sepucuk surat cinta yang rutin dibaca, tersaksi di medan takwa menuju kematian daimullah: "Qalbu mukmin Baitullah"
Romy Sastra
Jakarta, 2-10-2020
MENYIMPAN BARA
Romy Sastra
rempah-rempah dimasak setiap hari
hidangan di meja makan
piring-piring berbisik
aroma sangit menusuk hidung
dari mana masakan itu?
lalu, sepucuk surat diedarkan
tertulis berita satire
yang dimainkan penadah kata
tentang lidah api; menyimpan bara
didih mata air di hulu
sebelum angin mengirimkan isu
jari-jari cekatan membungkus kado
yang akan dibagikan; tentang hoax
kado dibuka mata terbelalak
kesumat itu tiba
ranah ditikam ketakutan
kebencian dijual; cerca-cerca merajalela
kau jahat kan?
Jakarta, 10-10-2020
SYAHADAT DI PUNCAK UBUN
Romy Sastra
mata ilusi terpejam
membubung ke dinding ubun
tangga langit berlapis seperti buah kol
berkabut putih tak berisi; nol
di alam kacahaya
alam antah berantah
tersaksi cupu manik astagina
asyik dan fana
miliki: asta-brata
kacahaya cinta merekah
dituai selendang rasa
menyusup ke samudra biru
mati sekejap saja
lebur bercumbu rindu: dahaga
indahnya lorong langit tak berujung
seperti berkelana di pantai tak bertepi; sunyi
istana bermegah bak negeri di atas awan
menatap syahadat kuat-kuat
satu hentakkan berkali-kali kiri kanan
tali temali tahlil mengikat tak putus: taat
dan sepanjang hayat dikandung badan
tak lepas berdendang
dalam kias dahaga cinta yang rela
pada maha pencipta bermusyahaddah: nyata
Jakarta, 21-10-2020
BELAJAR MATI
Romy Sastra
Telah aku pungut tujuh kerikil melempari dosaku, tujuh kerikil penutup pintu neraka itu.
Membolak-balik kerikil kecil memandu pituduh, menghitung diri membuka hati.
Duduk bersila menatap layaran
merenungi megatruh di kancah rahasia pikir. Terkias makna yang bermegah di ruang batin, mencari-Mu, Ilahi.
Aku belajar mati merenangi segara biru, pantai-pantai melambai menghiasi nafsu berjuntai. Kutolak bara api membakari jiwa, padamkan dengan doa tauhid paripurna.
Di ujung pencarian diri, tak kutemukan bayangan wujud sama sekali, yang ada kosong teraba, terisi awas tak tersentuh. Jiwaku terpaku menatap maha jiwa, digulung maha ombak mendesir seperti lonceng berbunyi, aku mati di segara pengabdian cinta hakiki.
Pengembaraan itu akhirnya terhenti, di garis batas keyakinan tak diragukan. Pada duduk sila semalam di rumah Qulhu. Aku merindui-Mu selalu....
HR RoS
Jakarta, 11,08,17
JERITAN YANG TAK DIDENGAR
Romy Sastra
terkubur dalam reruntuhan
ruh-ruh syahid syahidah pilu
buminya gersang berabu mesiu
langit gelap tertutup asap
dari teknologi pembunuh
demi kepentingan ego diri
maruah penguasa tak lagi berharga
jeritan si kecil histeris
seperti nyanyian digesek biola duka
jiwanya resah, ayah ibu tewas kemaren
kepada siapa lagi meminta belas kasihan
tangan-tangan pejuang berdarah
mengusap wajah-wajah tak berdosa
terabai di padang gersang, malang
ya, Ilahi
kapan kedamaian menjelma
di bumi yang diberkahi itu
sedangkan sejuta doa telah kami panjatkan
engkau maha mendengar rintihan si kecil
perang ini adalah perang jihad
hamba siap tempur ke medan laga
kabulkan doa-doa teraniaya itu
janji-Mu pasti, keadilan pasti tiba
izinkan aku jihad ke medan laga
membela kebenaran itu
seperti jihadnya rasulullah
jika aku mati, bukan mati sia-sia
matikanlah aku karena fisabilillah
HR RoS
Jkt, 08,08,17
DARAH PATRIOT
Romy Sastra
Pahlawan itu telah memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Darah, nyawa, harta benda, jadi saksi sejarah di pundak patriot yang tak meminta upah pada pengorbanannya.
"Tuan?" Adakah dikau hiba pada nisan yang tak lagi bertabur bunga di pembaringan panjangnya.
"Tengoklah tuan!" Ilalang menari indah di atas pusaranya, sunyi.
Pusara pejuang bermandi embun, sejuk.
Meski makamnya gersang, jiwanya hidup.
Tunaikanlah mimpi-mimpinya yang dulu, jangan kebiri.
Mimpinya bukan ilusi zaman, tapi kenyataan
Isilah dengan pembangunan merata di segala bidang, jangan curang.
Pejuang itu terluka ditembak penjajah, berdarah hingga bernanah.
Ia gugur seratus tahun yang lalu,
batu nisannya tak bernama. Sedangkan jasanya sebagai pejuang terpampang di halaman sejarah. Rohnya tegar tak mati, jasad menjadi abu, nama dan sejarahnya abadi. Sentuhlah ia dengan dedoa generasi.
"Tengoklah tuan!" Pusaranya tak lekang dengan panas dan hujan.
Mengisyaratkan semangat pantang mundur dihadang bedil-bedil kerdil.
Merah putih itu teruslah berkibar di tiang-tiang bambu.
Kibarnya bukan hiasan ditiup angin, dingin.
Ia berkibar seperti kobaran api mengobarkan semangat merah putih pada dada generasi.
"Generasi"
Jadilah pelanjut sejarah negeri ini
Seperti pejuang terdahulu gugur
Tak takut mati dan rugi
Bawalah negeri ini melambung tinggi ke pucuk lambaian regenerasi.
HR RoS
Jkt, 15/08/17
DARAH KOPRALKU MASIH MERAH
Romy Sastra
Pekik takbir di tiang bambu bergemuruh
Kobarkan api semangat pantang mundur
Prajurit bercaping lusuh siap gugur
Prajurit tak bertopi baja, bersenjata cangkul
"Komando itu berseru"
"Ayo maju... serang musuh!"
Jenderal Sudirman bergerilya
Dari hutan belantara ke desa-desa
Tak mencicipi indahnya suasana kota
Serdadu itu berpeluru mesiu
Ia menantang dari segala perang
Letusan bedil serdadu bak bunyi petasan, gegerkan alam
Serdadu maju membawa senjata canggih, kerdil
Korban jatuh, gugur prajuritku
Mati satu tumbuh seribu
Serdadu itu kini masih saja ada
Ia ganti bergerilya di tanah merdeka, katanya.
Ironis, prajuritku jadi pengawal kolonial
Menjajah mengeruk bumi pertiwi dengan politik
Demi kekayaan pribadi semata
Satu prajurit dicundangi dari barak
Ditawari anggur-anggur merah, mabuk
Satu kompi terdiam, dilema
Panglima hilir mudik memantau pos jaga, lelah
Kopralku darahnya masih merah
Jangan tergoda rayuan penjajah, pengusaha
Penguasa pun terlena di janji manis istana
Lanjutkan perjuanganmu, wahai darah patriot
Si kopral gagah tak mau digoda
Sumpah prajurit adalah darah dagingmu
Berbaktilah pada negeri ini sampai gugur
Seperti Pak Dirman bergerilya
Ditandu di medan tempur
Meski sakit-sakitan tak ingin menjerit
Tanah air itu harga mati Bung
Jagalah!!!
Jangan tidur
HR RoS
Jakarta, 13/08/17
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE 72
NOKTAH DI TENGAH BADAI
Romy Sastra
menari rinai dalam buaian kasih
menetes jatuh ke lubuk hati
terlena sesaat di ayunan sang bayu
seakan bahagia telah tergenggam sudah
padahal,
skenario opera cinta kamuflase setia
"oohh, sang pemimpi bahagia sesaat
diundang lara jadi panggung derita
indahnya kemilau manik-manik pesta
tergoda pada renda bersulam sutra
kenapa rapuh sulaman pada janji
robek di bibir manis
terpukau berbuah rayu
nada nyanyian hatinya tak seirama
tarian indang berujung malang
pada riak awan
tak kisah meluluh-lantakkan pesta
mendung menetes di panggung kenduri
tiang-tiang pengantin berantakan
bercerai-berai
pupus sudah bahagia didamba
tertipu malu pada rayuan gombal
menangislah kawan, jika beban itu kan pergi
"kawan..."
kenapa badai rumah tangga yang dibina
baru saja menikmati cincin perkawinan
seketika,
membawa kehancuran noktah cinta di depan penghulu
kau yang telah berpayah menjalin renda
akhirnya robek juga
kisah antara pencinta sang Dewi bersanding di singgasana Arjuna pendusta
di pentas pagar ayu
rumah tangga istri pertamanya tertipu
yang kedua lebih tertipu
kenduri yang bersolek dusta
setelah ijab kabul di depan penghulu
buyar menikam malu,
noktah di tengah badai pecah berantakan,
janji tertunai, kasih tergantung dengan deraian air mata
Pesta usai belum pada waktunya
maruah tergadai
dalam kasih yang tak sampai
sedihnya mencintai sang gombalis
lebih baik tutup saja noktah sebelum luka kian berdarah
HR RoS
Jakarta,02,06,2017
#fiksikonflikkenduri
RINDU YANG TELAH KARAM
By Romy Sastra
aku larung napas dalam rentak tak terpijak
bergetar nadiku iringi puji-puji tasbih
kuhimpun sami' kukulum kalam
hentikan hayatan nafs sesak tak perduli
melebur ke ruang sukma diri
terbuka jendela bashiran
kumatikan nafsu,
aku fana, mati di dalam hidup
jauhh rindu kupacu
berlayar di dalam jiwaku
hingga rinduku karam
noda-noda cinta berhamburan
yang melekat di kulit ari keraguan iman
berganti dengan nada-nada cinta mengasyikkan
bersemayamnya maha kekasih
bersentuhan tak teraba asyik berkasihan
rinduku karam pada kematian nafsu
terdampar di istananing mahabbah Tuhan
menikmati jamuan surgawi
ia adalah IA sendiri
HR RoS
Jakarta, 02,06,2017
MENATAP IA DENGAN TAFAKUR
Romy Sastra
aku puisikan bait-bait larik jiwa
menatap sekejap ke dalam otakku
dengan jalan membunuh inderawi
duduk bersila bak budha menatap nirwana
tiada bermantera tak berkomat-kamit
yang kubawa hanya secercah rasa
seketika gumpalan pelita hadir bak kejora
menerangi alam batinku
tercipta dari keheningan sesaat
aku dan nafsu itu
berpacu mengejar tempat tertinggi
pada kasta-kasta iman menggoda diri
ialah menatap kerlip sang maha mega
di puncak fana terhenti
menyimak yang sejati
ataukah labirin menyesatkan di balik tirai ilusi
segala nafsu lelah terbakar sirna
di keheningan malam di wajah baitullah
indah kerlip cinta bertaburan cahaya
aku dan diriku
membunuh hasrat doa
tiada yang kupinta
selain ingin menatapnya saja
bahwa sesungguhnya Dia masih ada, memelukku
pada janji yang tak pernah diingkari-Nya
bahwa jiwa ini tak berjarak dengan Maha
aku haru,
dosa-dosa itu seakan berguguran
tubuh runtuh bergemetaran
pada terjawabnya asholatu daimullah
semoga itu pertanda ibadahku diterima-Nya
innallaha latukhliful mii'aad
dalam khyusu' sesaat
aku dan diriku lebur lenyap dan fana
fana menyentuh maha rasa
bersatu padu, yang ada hanya DIA
HR RoS
Jakarta, 27,05,2017
TUHAN MAHA NYATA
Romy Sastra
Tuhan
tidak tidur
IA melihat segala yang nyata dan ghaib
tak pernah ngantuk
sekejap IA tertidur lebur yang ada
Tuhan
tak pernah makan,
sebab IA bukan makhluk
IA lapar dan haus ingin disapa
IA Khalik, sumber nutrisi lahir dan batin
Tuhan
IA nyata dan tersembunyi
berwujud tak berwarna
tersembunyi di pikiran yang dungu
padahal IA nyata ada di hadapan kita
Tuhan
IA bukan alam mayapada
bukan benda
bukan juga cahaya
IA Dzat Awas menyelimuti segala yang ada
Maka,
sadari rasa
IA bersemayam di jiwa-jiwa yang peka
HR RoS
Jkt,240517
KEKASIH TELAH PERGI
Romy Sastra
moment itu terbuang sia-sia
ketika penantian yang panjang berlalu
padahal setahun sudah aku menantimu
kini dia telah pergi
meninggalkan pesan-pesan yang tersisa
pesan napas ibadah berhikmah
sedih kini,
karena kemaren tak selalu bersamanya
hikmah yang dia hidangkan tak kucerna
aku menyesali,
tak berjubah dalam penjara cinta
teralis itu terlalu rapuh kupatahkan
oh,
kesetiaan cintanya terbuang begitu saja
yang dia persembahkan di ujung-ujung malam
ya ramadan
malam hikmah
malam yang indah
malam melebihi indahnya seribu bulan tak kujumpa
kepergianmu begitu santun
meninggalkan pesan
pesan fitrahnya di hari raya
se-isi alam, bahkan arasy
menghantarkan kepergianmu
dengan lantunan syahdu
takbir, tahmid, tahlil, tasbihmu menggema
daku di bumi,
luluh runtuh segala peluh ruh
pada suara fitri mendayu
jika umurku ada di tahun nanti
berharap dikau kutemui kembali
ramadan,
cintamu tak pernah pudar
sedangkan cintaku rapuh,
jalan yang kami tempuh berliku
dosa ini entah terampuni entah tidak
semogalah fitrah daku kembali
seperti bayi terlahir ke bumi
di keheningan lamunan ini
malu menyapa rasa
layakkah aku menjadi hamba-Mu ya Allah
mmm, entahlah
karena moment memory puasa itu
aku menyia-nyiakannya
HR RoS
Jakarta, 170617
OBATMU TERDAPAT DI DALAM DIRIMU
Romy Sastra
Ketika sadar terpikirkan tujuan
Jangan lari dari kenyataan
Merasa perih tak ada penawar
Sedangkan Tuhan bersamamu, menyediakan segala kebutuhan
Jangan gelap bermain api,
kan terbakar nanti
Sedangkan cahaya hati selalu menerangi
Apakah kamu tak menyadari penawar lara
Ia berasal dari dirimu
Kenapa kamu tak mengetahuinya?
Kau mengira hatimu satu benda yang kecil
Namun
Di dalam hatimu
Termuat alam yang begitu besar
Segala lara ada obatnya
Surga dan neraka ada di dalamnya
Bahkan cinta dan benci bergandengan
Tak berjarak seperti misykat tak terlihat
Nyata mengikat erat sebuah perjalanan
Unsur tubuh kearifan ruh
Maka, kenalilah sang Maha Ruh
Hingga sakit terasa nikmat
Berjalanlah dengan pedoman
Biar tak tersesat jalan menempuh kehidupan dan kematian
HR RoS
Jakarta, 130617
menjawab syair Syaidina Ali
KEKASIH YANG PERGI KE DALAM DIRI
Romy Sastra
Tatapan ini bertanya pada langit,
di mana istana Tuhan berada?
Langit tersenyum luas, seluas mata memandang, terpana
Wahai langit? Ke mana perginya kekasihku yang tercinta
Langit menjawab! Tanyalah kepada hatimu wahai si hamba yang lara
Lalu, seraut wajah tertunduk menatap hati, berbisik pada jiwa
Wahai jiwa? Ke mana perginya kekasihku yang tercinta
Hati pun tersenyum, seakan menitip isyarat, shaumlah sepanjang hari dan zikir
Ternyata kekasih itu tak berlalu jauh,
ia berada berjubah pada jiwa-jiwa yang fakir
HR RoS
Ngawi 270617
FITRAH SEPANJANG HARI
By Romy Sastra
siklus masa telah berlalu
aktivitas bermula kembali
kumbang dan rama-rama di taman
masih menari seperti kemaren
selalu ceria menyambut terik
meski sayapnya tipis
ia tetap menantang matahari
menyulam hiasan hidup tuk raih masa depan
raya berangsur pergi
kenangan tertoreh di setiap moment
jejak kita tetap sama mengejar obsesi
segelintir hati pernah ternoda, fitrahkan kembali
sebab, raya masih tersisa
dan ia selalu ada di jiwa ini
seromonialkan ia sepanjang hari
semoga fitri kan kembali ditemui
HR RoS
Ngawi, 030717
KEPAL TANGAN INI
Karya Romy Sastra
di tanah ini kita berdiri
dilahirkan dari rahim ibu pertiwi
negeri ini surga yang turun ke dunia
kita jaga kelestarian dalam kasih
meski berbeda prinsip keyakinan yang ada
usah dibentangkan perbedaan
kawal perbedaan itu menuju kebersamaan
pada janji di tiang merah putih kita berbakti
satu cinta kepada cinta saling berbagi
menjaga perdamaian jadikan kekasih
seperti jari-jemari mengikat temali
putra putri bangsa bersatu
walau berbeda suku beda kayakinan
kita sama-sama satu tujuan, bertuhan
kepal tangan ini mari berjanji
satu hati dalam kasih
meski kiblat kita berdiri tak sama
dalam pijakan beriring jalan
berpelukan di dada yang terbina
menjaga kerukunan di antara kita
HR RoS
Jakarta, 100717
PELANGI DI DADA AYAH
Karya: Romy Sastra
"Ayah, sudahlah bermain lumpur
hari sudah petang, matahari hampir tenggelam,
kodok dan jangkrik mulai bernyanyi
"Wahai anakku...
meski tubuh ayah terkubur lumpur, cangkul ini masih bisa memacul,
ayah akan pulang bila azan berkumandang,
biarkan magrib ini ayah sujud di pematang
ayah menunggu pelangi tiba
karena hujan mulai reda
di mata ayah tadi, ada rupamu menjelma
menjadi sosok ksatria di hari tuaku
"Ayah, darahmu mengalir di nadiku,
pelitamu menyinari hati ini
aku akan tetap berbakti
doakan ksatriamu memetik bintang
jika pelangi tak jua datang senja hari
pulanglah ayah!" Niscayaku tetap mengabdi
akulah darahmu, nan mengalir di sanubari
pada peluh itu, mengucur membesarkan anak-anakmu
HR RoS
Jakarta, 090717
Romy Sastra
aku berkelana ke lorong-lorong purba, lorong yang terpampang di ruang batin. kuputar waktu membuka tabir-tabir masa lalu ke lembaran buku
dalam catatan kitab-kitab tertoreh,
bagaimana syits penyambung generasi hitam putih mayapada, sebagai mandat adam jadikan khalifah, dan diintimidasi idajil menitipkan darah tirani lewat dlajah
tari-tarian itu sudah dimulai dari lembah gairah, sebagai manifestasi cinta yang salah
ah, manusia sudah mulai berfoya-foya
surat sakti kukirimkan ke tapal batas berdoa:
ya, ilahi. ampunkan kami yang lupa kejadian azali berjanji: sampai akhir hayat akan mengabdi
hu dzatullah,
bersyahaddah kalimah pada awas di awal kisah, dan doa-doa bertarung di kelip nebula, terciptalah cinta
ya, syahdu syahdan tarannum di dalam jiwa,
si fakir berzikir menatap mega yang pulang menemui kekasih meminta:
tangguhkan murkamu ya, ilahi. sebab, masih ada yang memujimu sebagai pengasih
fakir memohon pada dunia:
jangan lagi bermain hina,
sudah beberapa banyak khalifah diutus ke muka bumi sebagai pelerai murka
ah, negeri yang tercinta generasi berlomba-lomba
puaskah kau perkosa ibumu?
mari membujuk alam takkan gempa terjadi
sujudkan jiwa ini pada pencipta
biar kita tak terbelah-belah
lihatlah!
langit itu sudah memerah padam
roh-roh leluhur sudah berkeliaran mencari tongkat perjalanannya yang hilang di dunia
generasi dirundung bingung sehari-hari,
memikirkan untung rugi
aku tutup lorong purba di dalam jiwa, dan aku kembali membawa wasiat surat sakti yang dijawab: mari hindari jalan yang tersesat
kembalilah pada fitrah cinta sesungguhnya
jangan tertipu godaan dunia yang sesaat
Jakarta, 25919
ADIRATNA
Aku membuka rahasia batin dititahkan sabda guru pada dudukku purna.
Nak, kau tahu apa itu adiratna cupumanik astagina? Sekiranya kau sudah tahu, jagalah!
Jika belum tahu, masuklah pujamu ke dalam kematian, dan temui dirimu di sana!
Sebelum kusibak jendela rumahku, aroma kasih dari kekasih telah dulu menyapa. Pintu-pintu mahabbah terbuka sedari cinta menguntum mesra menyilau di jeladri jiwa.
Kau pesona kalbuku adiratna kujaga, sepanjang doa-doa mengabdi. Seiring salam pada ambiya adalah nurullah memompa laju setiap denyut memuja sampai megatruh tiba, lingga diri debu yang sirna.
Aku membaca alur sepanjang jalur buhun lenyap di ubun-ubunn. Di mana rahasia adiratna cupumanik astagina itu berada?
Ternyata berada di sepucuk surat cinta yang rutin dibaca, tersaksi di medan takwa menuju kematian daimullah: "Qalbu mukmin Baitullah"
Romy Sastra
Jakarta, 2-10-2020
MENYIMPAN BARA
Romy Sastra
rempah-rempah dimasak setiap hari
hidangan di meja makan
piring-piring berbisik
aroma sangit menusuk hidung
dari mana masakan itu?
lalu, sepucuk surat diedarkan
tertulis berita satire
yang dimainkan penadah kata
tentang lidah api; menyimpan bara
didih mata air di hulu
sebelum angin mengirimkan isu
jari-jari cekatan membungkus kado
yang akan dibagikan; tentang hoax
kado dibuka mata terbelalak
kesumat itu tiba
ranah ditikam ketakutan
kebencian dijual; cerca-cerca merajalela
kau jahat kan?
Jakarta, 10-10-2020
SYAHADAT DI PUNCAK UBUN
Romy Sastra
mata ilusi terpejam
membubung ke dinding ubun
tangga langit berlapis seperti buah kol
berkabut putih tak berisi; nol
di alam kacahaya
alam antah berantah
tersaksi cupu manik astagina
asyik dan fana
miliki: asta-brata
kacahaya cinta merekah
dituai selendang rasa
menyusup ke samudra biru
mati sekejap saja
lebur bercumbu rindu: dahaga
indahnya lorong langit tak berujung
seperti berkelana di pantai tak bertepi; sunyi
istana bermegah bak negeri di atas awan
menatap syahadat kuat-kuat
satu hentakkan berkali-kali kiri kanan
tali temali tahlil mengikat tak putus: taat
dan sepanjang hayat dikandung badan
tak lepas berdendang
dalam kias dahaga cinta yang rela
pada maha pencipta bermusyahaddah: nyata
Jakarta, 21-10-2020
BELAJAR MATI
Romy Sastra
Telah aku pungut tujuh kerikil melempari dosaku, tujuh kerikil penutup pintu neraka itu.
Membolak-balik kerikil kecil memandu pituduh, menghitung diri membuka hati.
Duduk bersila menatap layaran
merenungi megatruh di kancah rahasia pikir. Terkias makna yang bermegah di ruang batin, mencari-Mu, Ilahi.
Aku belajar mati merenangi segara biru, pantai-pantai melambai menghiasi nafsu berjuntai. Kutolak bara api membakari jiwa, padamkan dengan doa tauhid paripurna.
Di ujung pencarian diri, tak kutemukan bayangan wujud sama sekali, yang ada kosong teraba, terisi awas tak tersentuh. Jiwaku terpaku menatap maha jiwa, digulung maha ombak mendesir seperti lonceng berbunyi, aku mati di segara pengabdian cinta hakiki.
Pengembaraan itu akhirnya terhenti, di garis batas keyakinan tak diragukan. Pada duduk sila semalam di rumah Qulhu. Aku merindui-Mu selalu....
HR RoS
Jakarta, 11,08,17
JERITAN YANG TAK DIDENGAR
Romy Sastra
terkubur dalam reruntuhan
ruh-ruh syahid syahidah pilu
buminya gersang berabu mesiu
langit gelap tertutup asap
dari teknologi pembunuh
demi kepentingan ego diri
maruah penguasa tak lagi berharga
jeritan si kecil histeris
seperti nyanyian digesek biola duka
jiwanya resah, ayah ibu tewas kemaren
kepada siapa lagi meminta belas kasihan
tangan-tangan pejuang berdarah
mengusap wajah-wajah tak berdosa
terabai di padang gersang, malang
ya, Ilahi
kapan kedamaian menjelma
di bumi yang diberkahi itu
sedangkan sejuta doa telah kami panjatkan
engkau maha mendengar rintihan si kecil
perang ini adalah perang jihad
hamba siap tempur ke medan laga
kabulkan doa-doa teraniaya itu
janji-Mu pasti, keadilan pasti tiba
izinkan aku jihad ke medan laga
membela kebenaran itu
seperti jihadnya rasulullah
jika aku mati, bukan mati sia-sia
matikanlah aku karena fisabilillah
HR RoS
Jkt, 08,08,17
DARAH PATRIOT
Romy Sastra
Pahlawan itu telah memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Darah, nyawa, harta benda, jadi saksi sejarah di pundak patriot yang tak meminta upah pada pengorbanannya.
"Tuan?" Adakah dikau hiba pada nisan yang tak lagi bertabur bunga di pembaringan panjangnya.
"Tengoklah tuan!" Ilalang menari indah di atas pusaranya, sunyi.
Pusara pejuang bermandi embun, sejuk.
Meski makamnya gersang, jiwanya hidup.
Tunaikanlah mimpi-mimpinya yang dulu, jangan kebiri.
Mimpinya bukan ilusi zaman, tapi kenyataan
Isilah dengan pembangunan merata di segala bidang, jangan curang.
Pejuang itu terluka ditembak penjajah, berdarah hingga bernanah.
Ia gugur seratus tahun yang lalu,
batu nisannya tak bernama. Sedangkan jasanya sebagai pejuang terpampang di halaman sejarah. Rohnya tegar tak mati, jasad menjadi abu, nama dan sejarahnya abadi. Sentuhlah ia dengan dedoa generasi.
"Tengoklah tuan!" Pusaranya tak lekang dengan panas dan hujan.
Mengisyaratkan semangat pantang mundur dihadang bedil-bedil kerdil.
Merah putih itu teruslah berkibar di tiang-tiang bambu.
Kibarnya bukan hiasan ditiup angin, dingin.
Ia berkibar seperti kobaran api mengobarkan semangat merah putih pada dada generasi.
"Generasi"
Jadilah pelanjut sejarah negeri ini
Seperti pejuang terdahulu gugur
Tak takut mati dan rugi
Bawalah negeri ini melambung tinggi ke pucuk lambaian regenerasi.
HR RoS
Jkt, 15/08/17
DARAH KOPRALKU MASIH MERAH
Romy Sastra
Pekik takbir di tiang bambu bergemuruh
Kobarkan api semangat pantang mundur
Prajurit bercaping lusuh siap gugur
Prajurit tak bertopi baja, bersenjata cangkul
"Komando itu berseru"
"Ayo maju... serang musuh!"
Jenderal Sudirman bergerilya
Dari hutan belantara ke desa-desa
Tak mencicipi indahnya suasana kota
Serdadu itu berpeluru mesiu
Ia menantang dari segala perang
Letusan bedil serdadu bak bunyi petasan, gegerkan alam
Serdadu maju membawa senjata canggih, kerdil
Korban jatuh, gugur prajuritku
Mati satu tumbuh seribu
Serdadu itu kini masih saja ada
Ia ganti bergerilya di tanah merdeka, katanya.
Ironis, prajuritku jadi pengawal kolonial
Menjajah mengeruk bumi pertiwi dengan politik
Demi kekayaan pribadi semata
Satu prajurit dicundangi dari barak
Ditawari anggur-anggur merah, mabuk
Satu kompi terdiam, dilema
Panglima hilir mudik memantau pos jaga, lelah
Kopralku darahnya masih merah
Jangan tergoda rayuan penjajah, pengusaha
Penguasa pun terlena di janji manis istana
Lanjutkan perjuanganmu, wahai darah patriot
Si kopral gagah tak mau digoda
Sumpah prajurit adalah darah dagingmu
Berbaktilah pada negeri ini sampai gugur
Seperti Pak Dirman bergerilya
Ditandu di medan tempur
Meski sakit-sakitan tak ingin menjerit
Tanah air itu harga mati Bung
Jagalah!!!
Jangan tidur
HR RoS
Jakarta, 13/08/17
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE 72
NOKTAH DI TENGAH BADAI
Romy Sastra
menari rinai dalam buaian kasih
menetes jatuh ke lubuk hati
terlena sesaat di ayunan sang bayu
seakan bahagia telah tergenggam sudah
padahal,
skenario opera cinta kamuflase setia
"oohh, sang pemimpi bahagia sesaat
diundang lara jadi panggung derita
indahnya kemilau manik-manik pesta
tergoda pada renda bersulam sutra
kenapa rapuh sulaman pada janji
robek di bibir manis
terpukau berbuah rayu
nada nyanyian hatinya tak seirama
tarian indang berujung malang
pada riak awan
tak kisah meluluh-lantakkan pesta
mendung menetes di panggung kenduri
tiang-tiang pengantin berantakan
bercerai-berai
pupus sudah bahagia didamba
tertipu malu pada rayuan gombal
menangislah kawan, jika beban itu kan pergi
"kawan..."
kenapa badai rumah tangga yang dibina
baru saja menikmati cincin perkawinan
seketika,
membawa kehancuran noktah cinta di depan penghulu
kau yang telah berpayah menjalin renda
akhirnya robek juga
kisah antara pencinta sang Dewi bersanding di singgasana Arjuna pendusta
di pentas pagar ayu
rumah tangga istri pertamanya tertipu
yang kedua lebih tertipu
kenduri yang bersolek dusta
setelah ijab kabul di depan penghulu
buyar menikam malu,
noktah di tengah badai pecah berantakan,
janji tertunai, kasih tergantung dengan deraian air mata
Pesta usai belum pada waktunya
maruah tergadai
dalam kasih yang tak sampai
sedihnya mencintai sang gombalis
lebih baik tutup saja noktah sebelum luka kian berdarah
HR RoS
Jakarta,02,06,2017
#fiksikonflikkenduri
RINDU YANG TELAH KARAM
By Romy Sastra
aku larung napas dalam rentak tak terpijak
bergetar nadiku iringi puji-puji tasbih
kuhimpun sami' kukulum kalam
hentikan hayatan nafs sesak tak perduli
melebur ke ruang sukma diri
terbuka jendela bashiran
kumatikan nafsu,
aku fana, mati di dalam hidup
jauhh rindu kupacu
berlayar di dalam jiwaku
hingga rinduku karam
noda-noda cinta berhamburan
yang melekat di kulit ari keraguan iman
berganti dengan nada-nada cinta mengasyikkan
bersemayamnya maha kekasih
bersentuhan tak teraba asyik berkasihan
rinduku karam pada kematian nafsu
terdampar di istananing mahabbah Tuhan
menikmati jamuan surgawi
ia adalah IA sendiri
HR RoS
Jakarta, 02,06,2017
MENATAP IA DENGAN TAFAKUR
Romy Sastra
aku puisikan bait-bait larik jiwa
menatap sekejap ke dalam otakku
dengan jalan membunuh inderawi
duduk bersila bak budha menatap nirwana
tiada bermantera tak berkomat-kamit
yang kubawa hanya secercah rasa
seketika gumpalan pelita hadir bak kejora
menerangi alam batinku
tercipta dari keheningan sesaat
aku dan nafsu itu
berpacu mengejar tempat tertinggi
pada kasta-kasta iman menggoda diri
ialah menatap kerlip sang maha mega
di puncak fana terhenti
menyimak yang sejati
ataukah labirin menyesatkan di balik tirai ilusi
segala nafsu lelah terbakar sirna
di keheningan malam di wajah baitullah
indah kerlip cinta bertaburan cahaya
aku dan diriku
membunuh hasrat doa
tiada yang kupinta
selain ingin menatapnya saja
bahwa sesungguhnya Dia masih ada, memelukku
pada janji yang tak pernah diingkari-Nya
bahwa jiwa ini tak berjarak dengan Maha
aku haru,
dosa-dosa itu seakan berguguran
tubuh runtuh bergemetaran
pada terjawabnya asholatu daimullah
semoga itu pertanda ibadahku diterima-Nya
innallaha latukhliful mii'aad
dalam khyusu' sesaat
aku dan diriku lebur lenyap dan fana
fana menyentuh maha rasa
bersatu padu, yang ada hanya DIA
HR RoS
Jakarta, 27,05,2017
TUHAN MAHA NYATA
Romy Sastra
Tuhan
tidak tidur
IA melihat segala yang nyata dan ghaib
tak pernah ngantuk
sekejap IA tertidur lebur yang ada
Tuhan
tak pernah makan,
sebab IA bukan makhluk
IA lapar dan haus ingin disapa
IA Khalik, sumber nutrisi lahir dan batin
Tuhan
IA nyata dan tersembunyi
berwujud tak berwarna
tersembunyi di pikiran yang dungu
padahal IA nyata ada di hadapan kita
Tuhan
IA bukan alam mayapada
bukan benda
bukan juga cahaya
IA Dzat Awas menyelimuti segala yang ada
Maka,
sadari rasa
IA bersemayam di jiwa-jiwa yang peka
HR RoS
Jkt,240517
KEKASIH TELAH PERGI
Romy Sastra
moment itu terbuang sia-sia
ketika penantian yang panjang berlalu
padahal setahun sudah aku menantimu
kini dia telah pergi
meninggalkan pesan-pesan yang tersisa
pesan napas ibadah berhikmah
sedih kini,
karena kemaren tak selalu bersamanya
hikmah yang dia hidangkan tak kucerna
aku menyesali,
tak berjubah dalam penjara cinta
teralis itu terlalu rapuh kupatahkan
oh,
kesetiaan cintanya terbuang begitu saja
yang dia persembahkan di ujung-ujung malam
ya ramadan
malam hikmah
malam yang indah
malam melebihi indahnya seribu bulan tak kujumpa
kepergianmu begitu santun
meninggalkan pesan
pesan fitrahnya di hari raya
se-isi alam, bahkan arasy
menghantarkan kepergianmu
dengan lantunan syahdu
takbir, tahmid, tahlil, tasbihmu menggema
daku di bumi,
luluh runtuh segala peluh ruh
pada suara fitri mendayu
jika umurku ada di tahun nanti
berharap dikau kutemui kembali
ramadan,
cintamu tak pernah pudar
sedangkan cintaku rapuh,
jalan yang kami tempuh berliku
dosa ini entah terampuni entah tidak
semogalah fitrah daku kembali
seperti bayi terlahir ke bumi
di keheningan lamunan ini
malu menyapa rasa
layakkah aku menjadi hamba-Mu ya Allah
mmm, entahlah
karena moment memory puasa itu
aku menyia-nyiakannya
HR RoS
Jakarta, 170617
OBATMU TERDAPAT DI DALAM DIRIMU
Romy Sastra
Ketika sadar terpikirkan tujuan
Jangan lari dari kenyataan
Merasa perih tak ada penawar
Sedangkan Tuhan bersamamu, menyediakan segala kebutuhan
Jangan gelap bermain api,
kan terbakar nanti
Sedangkan cahaya hati selalu menerangi
Apakah kamu tak menyadari penawar lara
Ia berasal dari dirimu
Kenapa kamu tak mengetahuinya?
Kau mengira hatimu satu benda yang kecil
Namun
Di dalam hatimu
Termuat alam yang begitu besar
Segala lara ada obatnya
Surga dan neraka ada di dalamnya
Bahkan cinta dan benci bergandengan
Tak berjarak seperti misykat tak terlihat
Nyata mengikat erat sebuah perjalanan
Unsur tubuh kearifan ruh
Maka, kenalilah sang Maha Ruh
Hingga sakit terasa nikmat
Berjalanlah dengan pedoman
Biar tak tersesat jalan menempuh kehidupan dan kematian
HR RoS
Jakarta, 130617
menjawab syair Syaidina Ali
KEKASIH YANG PERGI KE DALAM DIRI
Romy Sastra
Tatapan ini bertanya pada langit,
di mana istana Tuhan berada?
Langit tersenyum luas, seluas mata memandang, terpana
Wahai langit? Ke mana perginya kekasihku yang tercinta
Langit menjawab! Tanyalah kepada hatimu wahai si hamba yang lara
Lalu, seraut wajah tertunduk menatap hati, berbisik pada jiwa
Wahai jiwa? Ke mana perginya kekasihku yang tercinta
Hati pun tersenyum, seakan menitip isyarat, shaumlah sepanjang hari dan zikir
Ternyata kekasih itu tak berlalu jauh,
ia berada berjubah pada jiwa-jiwa yang fakir
HR RoS
Ngawi 270617
FITRAH SEPANJANG HARI
By Romy Sastra
siklus masa telah berlalu
aktivitas bermula kembali
kumbang dan rama-rama di taman
masih menari seperti kemaren
selalu ceria menyambut terik
meski sayapnya tipis
ia tetap menantang matahari
menyulam hiasan hidup tuk raih masa depan
raya berangsur pergi
kenangan tertoreh di setiap moment
jejak kita tetap sama mengejar obsesi
segelintir hati pernah ternoda, fitrahkan kembali
sebab, raya masih tersisa
dan ia selalu ada di jiwa ini
seromonialkan ia sepanjang hari
semoga fitri kan kembali ditemui
HR RoS
Ngawi, 030717
KEPAL TANGAN INI
Karya Romy Sastra
di tanah ini kita berdiri
dilahirkan dari rahim ibu pertiwi
negeri ini surga yang turun ke dunia
kita jaga kelestarian dalam kasih
meski berbeda prinsip keyakinan yang ada
usah dibentangkan perbedaan
kawal perbedaan itu menuju kebersamaan
pada janji di tiang merah putih kita berbakti
satu cinta kepada cinta saling berbagi
menjaga perdamaian jadikan kekasih
seperti jari-jemari mengikat temali
putra putri bangsa bersatu
walau berbeda suku beda kayakinan
kita sama-sama satu tujuan, bertuhan
kepal tangan ini mari berjanji
satu hati dalam kasih
meski kiblat kita berdiri tak sama
dalam pijakan beriring jalan
berpelukan di dada yang terbina
menjaga kerukunan di antara kita
HR RoS
Jakarta, 100717
PELANGI DI DADA AYAH
Karya: Romy Sastra
"Ayah, sudahlah bermain lumpur
hari sudah petang, matahari hampir tenggelam,
kodok dan jangkrik mulai bernyanyi
"Wahai anakku...
meski tubuh ayah terkubur lumpur, cangkul ini masih bisa memacul,
ayah akan pulang bila azan berkumandang,
biarkan magrib ini ayah sujud di pematang
ayah menunggu pelangi tiba
karena hujan mulai reda
di mata ayah tadi, ada rupamu menjelma
menjadi sosok ksatria di hari tuaku
"Ayah, darahmu mengalir di nadiku,
pelitamu menyinari hati ini
aku akan tetap berbakti
doakan ksatriamu memetik bintang
jika pelangi tak jua datang senja hari
pulanglah ayah!" Niscayaku tetap mengabdi
akulah darahmu, nan mengalir di sanubari
pada peluh itu, mengucur membesarkan anak-anakmu
HR RoS
Jakarta, 090717
Tidak ada komentar:
Posting Komentar