UNTUK MENCARI PUISI-PUISIMU CUKUP KETIK NAMAMU DI KOLOM "SEARCH" LALU "ENTER" MAKA SELURUH PUISIMU AKAN TAMPIL DI SINI

Senin, 01 Maret 2021

Kumpulan Puisi Tito Semiawan - LEWAT TENGAH MALAM



MENGENAI CINTA

Cintaku mentari pagi
Bersinar dengan gairah muda
Menyapa riang tiap syahwat yang menggoda
Menari lincah di sekitar warna warni bunga
Menghirup dosa eros
Menggiring hati luruh dalam duka asmara
Menggores luka rindu di senyum mengadu
Tiap langkah tetaplah janji pertemuan
Memadu kasih di antara ruang dan waktu
Tiada kekang tanpa lekang. Bebas.

Panas terik mengikis semangat
Hari-hari berlalu sisakan jenuh
Siang hanyalah persimpangan emosi
Kadang bahasa tubuh acap mengganti
Berpapasan di tiap ruang tanpa toleh wajah
Ketika malam menaikkan tirainya
Dan bintang memaku gelap
Anak-anak telah merenda mimpinya
Birahi menjadi yang ketiga di antara kita
Belaian mengusir segala rutinitas
Pagutan berbagi panas nafsu
Keringat kita menyatu dalam setarikan nafas
Dan kita mendaki bersama
Mencapai persatuan lingga dan yoni

Senja ketika mentari pamerkan sinar terindahnya
Berwarna merak dan hias percaya diri
Dari teduh beranda hati
Bergandengan kita melepas cinta
Berbekal doa dan sayang
Memandang langkah anak mengejar cita
Terbang satu demi satu menjemput takdirnya
Hingga tertinggal hati kita berdua
Menjaga sarang cinta yang mulai lapuk
Dan menambalnya dengan benang kasih
Hingga maut meregang

Tito Semiawan
280221
----------<0>----------



LEWAT TENGAH MALAM


Lampu
Usir gelap
Di jendela malam

Sinar
Pejamkan mata
Disentuh angin sepoi

Cicak
Terpaku diam
Menanti dalam tenang

Sepi
Rebah terkulai
Terbujur peluk kantuk

Mimpi
Tersaput debu
Di pojok para-para

Serangga
Menerjang ajal
Seputar silau terang

Aku
Terjebak kata
Menulis tentang kamu

Tito Semiawan
280221
----------<0>----------



KETIKA ARJUNA GUNDAH


Senja itu matahari merah darah
Dari ketinggian terlihat hamparan Kurusetra
Dataran luas dikelilingi bukit kering meranggas
Burung bangkai berterbangan di kelabu langit
Mengintip makan malam yang tercecer di padang
Rombongan manusia
Amarta dan Astina
Bekerja dalam diam yang mencekam
Menggotong luka
Ringan maupun berat.
Mengubur jasad tak berwajah
Jasad tak lengkap
Jasad korban perang di siang yang menggiriskan
Bau kematian santer terbawa angin
Lolong sakit menambah angker
Sisa tubuh tergeletak di mana-mana
Pedang, panah, tombak jadi saksi
Sisa kereta perang bawa kabar Setra Gandamayit

Dari ketinggian malam
Arjuna memandang luasan Kurusetra
Lengang dan anyir sisa perang siang tadi
Sepinya mencekam menanti korban
Luasnya mencekik melahap nyawa terbaik
Angin malam menyapu bawa kabar Batara Yama
Di samping berdiri gagah Sri Kresna dengan wibawa
Menemani dengan diam dan pandang menyapu

Arjuna, lelaki itu, berdiri diam
Gundah merajam hatinya
Dipandangnya Sri Kresna sekejap
Lalu dialihkan tatapnya di keluasan padang
Dan gumamnya, hampir seperti ratapan
"Aku tidak sanggup untuk melanjutkan perang ini.
Hanya sia-sia saja sebagaimana Kala.
Putra terbaik bangsa ini mati berkalang tanah
Hanya untuk membela pertikaian restu para dewa.
Berapa banyak istri dan anak yang akan menangis darah
Meratapi kehilangan tonggak keluarga.
Berapa biji mata ibu yang harus bersimbah air mata
Agar petaka ini bisa mencapai akhir dan berdamai dengan Yama"

"Yang utama perang ini adalah perseteruan saudara.
Misan berseteru, paman memihak.
Kakek membela negeri leluhur.
Kakak harus mati oleh adik sebab taktik pemenangan.
Luka hati paman Destarastra tentu tidak akan sembuh oleh Kala
Bagaimana hancurnya Ibu Kunti, melihat anak sulungnya, Awangga,
berperang dengan putra penengah Pandu?"
"Apa aku mampu dan tega melakukan itu semua?
Tidakkah cukup Indraprashta sebagai kekuasaan?"
"Terasa berat dan duka berseteru dengan Eyang Bisma.
Juga betapa hancur hati jika menempur guruku Rsi Drona"
"Sungguh pilihan yang berat sekali, dan jika aku boleh memilih,
aku hanya ingin menjadi manusia biasa tanpa darah Bharata!"

"Arjuna, adinda, janganlah engkau menafikan panggilan sejarah.
Sebab sejarah, seperti hidup mati kita, sudah dirancang
Dirancang oleh para dewata yang mengatur irama alam.
Engkau adalah bagian dari penciptaan sejarah itu sendiri.
Tanpa kehadiranmu, keseimbangan jagad akan terganggu."

"Perang memang sebuah kekejaman.
Kekejaman yang hakiki.
Kekejaman untuk memanusiakan manusia.
Sebuah panggung untuk menghapus kejahatan dengan kekejaman.
Sebuah drama untuk mengikis kebencian dengan perseteruan.
Sebuah pengangkatan harkat manusia dengan mengalirkan darah.
Tapi, perang selain memusnahkan, juga menyemai tunas.
Seperti biji yang disiram dan tumbuh.
Kebaikan dan kemanusiaan akan tumbuh dari ladang pembantaian."

"Dan perang ini, adinda
Bharatayudha, perang keturunan Bharata
Adalah penggenapan janji, tapa,wisik
Yang dilayangkan kepada para Dewa
Sehingga Jonggringsalaka bergoyang tertagih janji
Perang ini adalah kunci jawaban
Dari setiap doa dan puja yang membumbung bersama dupa
Yang akan mengembalikan jagat pada cakranya
Dan meluruskan jagat alit dengan takdirnya"

"Ingatkah engkau pada Dewi Amba
Ketika meminta keadilan pada para dewa
Karena diculik oleh Bhisma untuk hadiah bagi adik-adiknya
Ia dikembalikan dan ditolak sang tunangan
Beralih Amba cintanya suci pada Bhisma seorang
Tapi balasan cinta adalah anak panah menghujam"

"Untuk bersatunya Bhisma dan Amba
Amba memohon untuk mencabut nyawa Bhisma
Dengan perantaraan Srikandi
Yang merupakan penitisannya
Dan menunggu sukma Bhisma di pintu swargaloka"

"Pembunuhan tersebut hanya bisa terlaksana di Bharatayudha ini, adikku
Tanpa perang ini,
Siapa yang bisa membunuh Bhisma
Tidak seorang pun! Bahkan para dewa!
Sebab dia telah dijanjikan untuk mati dimana dia ingin
Hanya panah Srikandi titisan Amba yang dapat menembus kulitnya"

"Juga ingatlah pada penderitaan Drupadi
Ketika kakakmu, Yudistira, terlena dalam judi dadu
Dan kalian, Pandawa, kalah hingga ludas
Dursasana dengan sombong dan menjijikkan
berusaha melepas kain yang dipakai oleh Drupadi
Ingin mempermalukan seorang wanita suci
Istri dari Pandawa lima
Dengan pertolongan batara Guru
Kain itu terus memanjang
Sehingga Dursasana habis nafas
Tanpa bisa menelanjanginya"

"Sebab hal itu
Drupadipun bersumpah
Untuk tidak menggelung rambutnya
Hingga ia bisa keramasi rambutnya
Dengan darah durjana Dursasana"

Penggenapan sumpah ini hanya bisa terjadi di perang ini, adinda
Saatnya nanti, Dursasana akan di pukul rubuh oleh Bhima
Dan darahnya
Darah Dursasana yang masih segar
Akan digunakan untuk menggenapi sumpah
Yaitu Sumpah menggelung rambut
Setelah keramas dengan merah darah Dursasana"

Arjuna terpaku menatap Kresna
Arjuna diam dan Kresnapun terpana
Angin tetap semilir mencium maut yang menghadang pagi
Langit gelap bintang redup mengedut
Dengan lunglai dan pikir penuh
Arjuna menuruni bukit
Berjalan menuju perkemahan yang terlelap

Dengan gundah hati
Dipaksakan tekadnya esok maju medan laga
Walau dalam benaknya terlintas
Perang hanya memberi luka
Luka bagi yang menang
Luka bagi yang kalah

Tito Semiawan
070321
----------<0>----------



BAHAGIA

Bahagia perlahan menjalar
Melingkupi segala kesadaran
Menjelma kelopak bunga bakung
Binar mata coklat kenari

Dekapnya erat hangat
Berceloteh riang sapa hati
Seperti langit hamparan cerah
Hanya biru bermakna luas

Bahagia renyah di bibir
Senyum semu merah pipi
Segenap peluk dan belai
Bentang warna pelangi

Bahkan diamnya purnama penuh
Sebagai mata air dahaga
Merona segar kilau bening
Mengalir disela cinta

Tito Semiawan
130321
----------\0/----------



SUATU HARI SECERCAH CERITA

Jalan kota terawang rembang senja
Pisahkan bangunan dan bayang
Jendela menghadang teja
Warnanya emas dan temaram

Tiang terbungkuk menyangga lampu
Sinarnya dekap malam
Kadang angin menggoyang daun
Bayang menari di sepanjang trotoar

Kemarau sisakan sidik di simpang
Serupa hati hindari kerontang
Jalan menikung ikuti rindu
Kendaraan berkelok tinggalkan debu

Wajah-wajah sesaki malam gerah dan gaduh
Mencari senyum antara peluh dan keluh
Pasangan dengan warna aksesori
Coba nikmati bosan di bangku sepi

Bulan kian condong jauhi horizon
Tinggalkan bintang berserak
Jiwa-jiwa sesat kembali memeluk sunyi
Dan malam kembali mati

Tito Semiawan
130321
----------\0/----------



RAMA RAHWANA

Seberapa besar cinta mereka pada Sinta
Rahwana dengan kesaktiannya
Menyamar menjadi Kidang Kencana
Menculik dengan gagah
Membunuh raja burung Jatayu
Menempatkan Sinta di taman dengan kawalan Trijatha
Rama dengan mengerahkan bala
Mengumpulkan bantuan
Mengutus Anoman membakar kota
Membangun jembatan penyebrangan
Mengangkat Wibisana sebagai penasihat

Seberapa besar cinta mereka pada Sinta
Rahwana dengan puja asmaranya
Korbankan Sarpakenaka, Srikandi Alengka
Jadikan Kumbakarna, Raksasa Rsi, sebagai tameng kota
Usir Wibisana demi birahi cinta
Turunkan derajat Trijatha setara dayang
Rama dengan cemburu buta
Mendorong Sinta terjun terjang api
Buktikan suci tubuh tanpa noda
Kesampingkan nurani demi nama baik

Tito Semiawan
130321
----------\0/----------



KELAHIRAN KEHIDUPAN

Kelahiran adalah catatan takdir
Tergores di lembar waktu
Dengan warna rindu mendelu
Sebagai termaktub oleh kasih

Kelahiran berdegup harap cita
Genggam cinta pada detak bahagia
Segenap senyum sematkan rindu
Hangatkan
peluk
tangisan haru

Kehidupan sebagaimana hitungan nasib
Jaraknya terukur oleh baris kecewa
Dihias segenap onak tajam
Berkelok seumpama jalan berbatas pikir

Setiap lelah yang terhempas
Ada harap yang menghampir
Ketika batas air di titik nadir
Sirna beban hilang sukma

Akhir lelaku dusta hanyalah ajal
Catatan maut dan pertautan usia
Hitungan jurnal jiwa yang lupa
Sebagai penanda tiap jejak dosa

TITO SEMIAWAN
280321
----------<0>----------



SETERU DAN TARUNG

Ludah terbiasa perciki amarah
Suntik tuba ke nadi akal sehat
Sekecap kata hanya debur ombak
Pecahan tajam kontestasi

Ketika benar serupa piala
Setiap babak adalah umpat
Garang tolok ukur ucap
Lidah berkilah api memijah

Seteru dan tarung terluka
Segenap tipu menjadi daya
Seperti materi dan anti
Semua lebur jadi nihil

TITO SEMIAWAN
280321
----------<0>----------



ORATOR

Ucapmu lidah api selaksa hasut
Melecut jiwa mati dusta angkara
Kata diasah upas merajam takut
Kendali bujuk nurani terjang nalar

Di podium congkak kau tuding wajah jelata
Menyihir kerumunan sunyi taklid buta
Gerak dan kata seirama amarah kobar luka
Rintangan duka tersapu dzikir durjana

Ketika hasut bergerak dalam putih barisan
Terik menjadi tudung orasi lautan kecewa
Gelombang protes mengeras mendulang anarki
Kau berbalik langkah menghitung komisi

Tito Semiawan
131220

----------<0>----------



WAJAH INDONESIA

Menjadi Indonesia adalah
Lereng gunung menjulang langit
Camar putih melukis laut
Senandung sunyi pemetik teh
Keringat rejeki di liat tubuh
Hamparan sawah pagari dusun
Sapi menyibak ekor dan melenguh
Teriak pedagang kecil menjajaz
Bahu kekar memikul tanggung jawab
Sungai meliuk membelah tradisi
Kerbau berkubang menampik lalat
Sapa ramah si mbok warung kopi
Betis getas pengayuh beca
Tanah adat kearifan lokal
Kotek ayam bertelur
Teriakan kondektur di jalan padat
Tubuh ringkih pengamen kecil

Menjadi Indonesia adalah
Kota yang melahap desa
Manusia menjadi sistem
Tawa anak bermain di jalan
Wajah pasi beban hidup
Bangunan menyangga langit
Keluarga kecil berencana
Sepi di kerumunan langkah sibuk
Tubuh terikat komando waktu
Daerah disatukan silang jalan
Orang menunggangi jarak
Suara tersimpan di kotak magnetik
Spiritual berjubah hedonis
Komunikasi tiada halang ruang waktu
Setiap jiwa membangun penjara hati
Tak ada ramah dan basa basi
Tembok berdiri atas nama privasi

Menjadi Indonesia adalah
Pulau kosong penunggu lau
Satwa endemik garis Wallace
Gunung memeluk api dalam tidur
Celoteh burung dalam sangkar
Hutan hujan rumah ekosistem
Serangga menghindar walet
Biduk memecah riak coklat
Riuh binatang musim kawin
Puncak bertudung es abadi
Elang mengawasi mangs
Rantai makanan piramida
Besar kecil sebab akibat
Sabana padang panas berumput
Banteng memondong burung
Angin samum berputar dan naik
Suara tonggeret tanda kemarau
Menjadi Indonesia adalah
Budaya modernisasi
Suku berbaur dalam puak
Ramah disertai toleran
berkumpul dimana sempat
Tradisi seremonial dijunjung
Pernikahan mengaburkan sekat
Melebur kebiasaan leluhur
Silaturohim dijaga
Agama ageming ati
Disisi moral ada budi pekerti
Semua menjalani ritual
Walau hanya di hati
Kode etik rambu tindakan
Hukum sebagai panglima
Politik adalah raja
Uang yang kuasa

Tito Semiawan
131220

----------<0>----------



UTUSAN KABAR GEMBIRA KABAR CELAKA

Siang itu matahari gurun terik menyibak awan
Di ujung oase pelepah kurma kering merunduk
Seorang tua terbungkuk menatap lautan pasir
Perlahan ia berjalan ke barat dengan harap
Ke timur melangkah kerap mencari
Matanya nanar karena silau yang kemilau
Menanti di lautan pasir tiada batas kafilah lalu
Wajah suasanya bermata teduh dan cerdas
Tubuh terpapar cahaya
Siluetnya menghitam di pasir kering

Dari arah matahari terbit terlihat rombongan melintas
Dengan cepat mendatangi pak tua berkulit suasa
Mereka muda seumur seukur sebentuk serasi
Berpakaian putih dan bersih hilang debu
Tampan berwibawa sedap dipandang
Tak terlihat letih perjalanan di wajah dan baju
Setelah dekat mereka uluk salam "Assalamu 'alaik"
Di jawab dengan gembira hati
"Wa 'alaikumus salaam wa rohmatullahi wa barokaatuh"
"Silahkan datang dengan aman dan sejahtera
Rebahkanlah penat di tenda sederhana"
Dengan sigap disilahkan rombongan masuk tenda
Mereka duduk berjajar dan diam seribu bahasa
Hanya pandangnya bening di kandung kudus

Dengan tergesa pak tua berjalan ke belakang
"Istriku, masakkan sapi muda yang tadi pagi dipotong"
"Kita kedatangan tamu temani makan siang
Menumpang istirahat dari terik gurun yang menggigit"
"Masaklah semua daging sapi muda
Yang lezat aroma bumbu istimewa"
"Kelihatannya mereka bukan sembarang orang
Jangan meletakkan kecewa di wajah mereka
sebab kurang adat dan sopan"

Hidangan telah dihidangkan di hadapan
Aromanya memenuhi tenda beratap samak kulit
Dengan santun pak tua berkulit suasa merobek daging
Memberi potongan besar pada pimpinan rombongan
Mereka hanya diam dengan wajah wibawa
Curiga dan takut mulai merayapi sekujur tubuh uzur
Dengan santun pemimpin rombongan menegur
"Hai, bapak tua berkulit suasa
Aku adalah pesuruh hamba dan utusan
dari Rabbmu, Raja Segala Raja
Penguasa Langit dan Bumi
Pemilik Qodho dan Qodar"

"Kami diutus memberi kabar gembira
Istrimu akan memiliki anak yang cakap dan perkasa
Dijadikannya dia nabi dan utusanNya
Diwajibkan atasnya shalat puasa dan zakat
Diberikan padanya keturunan sebanyak bintang di langit
Sebagian keturunannya akan menjadi nabi bagi bangsanya"

Dengan wajah pasi kakek suasa berbisik terbata
Setengah tak percaya
"Wahai, istriku telah renta dan mandul
Kami berusia hampir seratus lintasan matahari
Kami telah sekian lama purnama tanpa sentuh birahi
Bila kerahmatan tersebut akan tersemat pada kami?"
"Bagi Allah tak ada yang tak mungkin
Cukup berfirman "Jadi" maka tanpa kejap jadilah"

"Telah cukup kabar gembira dari langit kau terima
Kami akan melanjutkan perjalanan
Menuju rumah saudaramu satu kakek
Di kota maksiat terlaknat berlumur dosa lendir
Kami di utus memberi kisikan padanya
tentang azab Yang Maha Perkasa wajib bagi kaumnya"
Lalu rombongan wajah mulia berputih destar lanjut berjalan
Langkah mereka hilang jejak menuju matahari terbenam

Kota purba, kota makmur di tengah lautan pasir kerontang
Dengan oase berair jernih dan barisan kanopi pohon kurma
Penduduknya memuja lingga dan yoni dengan brutal
Didatangi pria dengan dosa bersama laki-laki hamba nafsu
Berpeluk gadis dan wanita bersyahwat tanpa kenal malu
Durjana menjadi kehormatan diantara pesta orgi masyuk
Tuak merantai kesadaran dengan api birahi sejenis
Menipu dan merampok adalah kejantanan gaya hidup
Memalsu timbang takar seni berdagang

Malam nyaris tegak vertikal mendongak pada bintang
Ternak telah lelap tanpa mimpi
Binatang nokturnal mengendap mencari mangsa
Penduduk mengisi sibuk malam gurun
Berbaring dengan nafsu yang keji
Bercumbu dengan sesama
Mengintai membegal membunuh di malam apes nyawa

Di sebuah rumah beratap pelepah korma
Terpencil dari kerumunan rumah dosa maksiat
Serombongan lelaki putih santun berwibawa berdiri
Mereka muda seumur seukur sebentuk serasi
Berpakaian putih dan bersih hilang debu
Tampan berwibawa sedap dipandang
Tak terlihat letih perjalanan di wajah dan baju
Mengetuk bilah pintu dan mengucap "Assalamu 'Alaikum"

Dari dalam rumah terdengar seret sendal beradu tanah
Cahaya redup lentera menerangi mata tua terkantuk
Di bukanya pintu perlahan dan
seraut wajah lembut lelah berucap "Wa alaikumus salam"
Dilihatnya serombongan laki-laki bagus indah perkasa
Penuh wibawa bersinar kudus bermata permata

Tiba-tiba hatinya berdebar gelisah
Takut pada kenyataan kaumnya akan beringas
medapati keelokan sempurna surgawi
Lalu merajam mereka dengan nafsu nista yang keji memuakkan
Dipersilahkannya mereka masuk menghindari dingin malam
Sembunyi dari pandang liar nafsu binatang
Sebab sebagai tuan rumah memiliki tanggungjawab
melindungi dan mengayomi tamu yang lapar dan lelah

Istri pak tua berwajah lembut menyelinap
Lewat pintu belakang tanpa palang menyilang
Berlari tergesa nafas memburu
Menuju rumah tetua di ujung kebun kurma rimbun berbuah
Dikisikkan perihal kedatangan kecantikan surgawi
Menyeru penduduk agar merebut tamu pak tua lembut
Minta imbalan berita lelaki pahatan dewata

Mereka berbondong membawa obor
Dengan muka beringas syahwat mengeras
Mendatangi rumah pelepah kurma
Lalu berteriak menggetarkan malam yang nestapa
"Hai pak tua berhati lembut
Berikan tamumu pada lapar birahi kami
Agar terpuaskan kami pada cakap indah nafsu binatang
Engkau tahu kami adalah pemuja nafsu bebas tanpa karma"

Dari dalam pak tua menyahut dengan serak tua kecemasan
"Enyah kalian semua, hati bejat tatap durhaka
Tamuku dalam lindungan
Demi kehormatanku pergilah kalian
Jika birahimu memuncak, kuberi anak-anak perempuanku
Mereka ranum, muda bersusu penuh dan halal
Janganlah kebejatanmu merusak kehormatanku sebagai tuan rumah"

Tiba-tiba sang pemimpin putih nirwana mendekat
"Tak usah cemas bapak tua berhati lembut
Kami adalah utusan dan pesuruh dari langit
Di utus oleh Sang Maha Perkasa, Raja di Raja
untuk mendatangkan kutuk bencana bagi kaummu
sebab kedegilan dan kedurhakaan mereka pada jalan kebenaran"
"Subuh nanti, kami akan mengirimkan laknat bencana. atas ijinNya,
dan memberi kisikan pada orang percaya agar terhindar azab"

"Malam telah tua dan subuh telah dekat
Bangunkan anak-anak
Panggil semua orang percaya
Siapkan bekal seperlunya
Kenakan baju yang melekat
Pergilah ke arah bukit gosong di pelupuk
Jangan sekalipun menatap belakang
Tinggalkan istrimu sebab ia durhaka dukana"

"Dengan nama Allah, berjalanlah dengan tetap"
"Tak nanti kaum keji melihat lintasmu"
Tergesa mereka berjalan di kejar cemas
Langkahnya buta di gelap malam gerhana
Tertatih menginjak kerikil jalan menanjak
Subuh mengejar hadap waktu
Harap menemui tempat berlindung atas siksa
Di ceruk batu padas kelabu mereka berkumpul
Duduk bersinggungan terengah kantuk hilang
Tegang dan takut terkejar durjana birahi gila

Di langit awan hitam bergulung menutupi pandang
Tiba-tiba suara gemuruh menggetarkan bumi yang durjana
Cahaya berkelip silau melatari amuk awan
Dari langit berjatuhan kerikil panas dan tajam layaknya hujan
Deras berjatuhan membawa amarah langit
Tangis dan erangan menyusul derak batu menghujam
teriak putus asa meregang memenuhi jalan desa
Tumbukan batu merajam insan maksiat
Rumah ternak dan pohon rata telungkup di bumi yang luka
Tak ada kehidupan yang terhindar amarah
Dibalikkan tanah hingga kota tertimbun gersang
Tersisa kekosongan memilukan hati yang tandus
Sebagai peringatan bagi jiwa yang lupa

Tito Semiawan
061220

----------<0>----------



HIKAYAT SANG UTUSAN

Malam padang pasir purba
Bintang berkedip menunjuk arah
Batas langit berkelok di ujung horison bukit tandus
Kafilah kecil unta berjalan beriring
Meninggalkan jejak panjang
Kawanan kambing bergerombol mengikuti di belakang
Bertingkah dan mengembik

Di depan seorang lelaki pahatan pualam
Memimpin langkah perlahan
Bertumpu pada tongkatnya kayu
Di belakangnya wanita dan anak-anak
Berjalan dalam bisu dan sepi yang terasing
Suara langkah beradu pasir padang tak bertuan
Berirama sesuai pijak kaki

Lapar dan lelah terlukis nyata
Di garis wajah murung terkuras tenaga
Angin dan pasir mengepung kering
Sejauh mata memandang
Membentang hamparan luas kekosongan
dan senyap yang mencekam
Meninggalkan perih mata dan pecah bibir
Serta luka mengiris telapak nestapa
Lelaki pahatan pualam mengangkat tangan
Rombongan berhenti di tengah hamparan pasir halus
Sambil memegang tongkat
Disapukan pandang pada orang-orang
yang bergantung dan berharap hidup padanya

"Akan ku datangi medan di depan
Tampak ada sinar berkedip
menyimpan kabar dan hangat
Istirahatlah semua disini
Ku selidiki unggun menyala
Semoga mendapat api
Dan tempat berlindung dari kelam malam
Setidaknya mendapati kabar negeri yang di lewati"

Perlahan ia melangkahkan kaki
Berbekal tongkat gembala
Penjaga dari liar binatang malam
Setiba di kaki bukit terlihat sebatang pohon
Kering meranggas dan besar terselubung api
Berkobar tanpa membakar cabang ranting
Lidah api melambai berwarna suci
Menebar terang indah sekitar
Penuh nuansa magis yang surgawi

Tiba-tiba langit terbelah menganga
Tampak 'Arsy berkilau wibawa
Terdengar suara murni indah syahdu buluh perindu
Dari arah kanan bukit
Suara yang tak pernah terlintas dalam fana
Iapun kaget dan terjerambab di pasir
Matanya nyalang mengikuti debar
Menatap kobar api rahasia langit
Kakinya getar dan hatinya ciut karena takut

"Hai lelaki wajah purnama
Lepaskan alas kakimu
Sujudlah dengan meletakkan kepala
Juga hatimu
Dan dengarlah firmanKu:
Akulah Tuhanmu
Rabb Penguasa langit dan bumi
Raja Diraja dari raja-raja.
Aku Allah"

"Kau menghadap sembah padaKu
Di bukit suci yang terberkati
Kau Ku tahbiskan sebagai nabi dan utusanKu"

"Utusan dan nabi bagi kaummu
Anak turun duabelas suku
Ajarkanlah tauhid, shalat dan shaum
Hukum Ilahi dan waris"

"Utusan untuk memberi peringatan mengerikan
Bagi kedegilan maharaja angkara yang melampaui batas
Menjadi tuhan bangsanya dan menzinahi adiknya"

"Ku beri bekalmu dua mukjizat
Tanda kau khalifahKu di dunia
Tongkat menjadi ular dan
telapak bersinar cerlang cemerlang"

Dengan takut lelaki berwajah purnama tengadah
Memandang api suci putih silau mata
Diangkat kedua tangannya tinggi
Hingga terlihat ketiak di balik lengan baju
Dengan prihatin perlahan memohon

"Ya Allah Ya Rabb
Yang Maha Membolakbalikkan Hati
Yang Kuasa Atas Segala Sesuatu
Hamba mohon
Lapangkanlah dadaku
Mudahkanlah semua urusanku
Lancarkanlah lisanku"

"Karena kelat bicara
Hamba mohon seorang pembantu dan nabi
Fasih hujahnya
Cerdas akalnya
Juru pikir dan ahli strategi.
Saudaraku satu liang rahim
Untuk melawan kelaliman raja durhaka dan bala tentaranya
Menjadi rekan dalam membimbing bangsa
Menyusun langkah merebut kemerdekaan
Mendampingi bangsa tertindas ini mencapai tanah perjanjian"

Segenap penduduk langit tujuh tingkat berkumpul dalam ria
Menyambut utusan pembawa kabar sukacita dan dukacita
Semua bertasbih dalam khusyu
Memuji dan mengagungkan Sang Maha Satu
Menjadi saksi pertarungan Ahura Mazda dan Ahriman
Terang dan gelap
Yin dan Yang
Di bumi manusia

Tito Semiawan
291120
TITO SEMIAWAN



Tidak ada komentar:

Posting Komentar