KISAH USANG WAKTU YANG RANCU
Aku telah berdamai dengan perih yang kau taburkan itu puan,
agar tiada lagi ruang bagi geram
tuk memeteraikan dendam memaharkan luka yang tergores
Aku juga telah berdamai dengan keheningan, walau tanpa elak diri ketika nadi yang berdetak kencang itu menikam dengan tajamnya taring kerinduan, hingga menyudutkan alur matahari mewartakan sinar pada jejak jejak janji, tuk menarasikan lembah biru berngarai madu di atas bianglala mimpi
Dan demi hela nafas yang masih terkait pada tiang langit , tak akan ku lepaskan lagi sayap sayap api pada reranting malam mu..
biar bulan bergairah mendiksikanl bintang tanpa bayang kepak kalelawar dan menjabah hasrat mu hingga melelas
Percayalah puan, usah lagi kau pejamkan mata, karena tak akan
lagi kau baca desah harapku disana
maka nazarku pun terkhatamkan
Aku telah mendamaikan luka dan erangnya puan, meski harus tergenggam rampai kering dari taman waktu yang berduri,
agar tiada lagi ku maknai sepi dengan lembabnya keluh yang meluluh, saat tak terengkuh lagi bayang bayang mu yang menjauh dari sudut pandang angan yang merapuh,
karena di bahagia mu itu puan, ambang iklasku telah menghamba mati tanpa pusara pasi menadah janji.
JKT.21*IsRa*
SKENARIO
Kesempurnaan terlahir dari purna keluh dan kesakitan
lakon berjalan bersama kisah rentanya jaman
Tiada ketidak sempurnaan
yang ada adalah penyempurnaan
terajah pada alur sungai kehidupan
sehakekat tantangan setimpal perbuatan
Pada baik dan buruknya
tetap hulu ke hilir berujung lautan
layar pasti terkembang di sana
ketika angin menyambutnya
Bukankah sempurna lukisan samudra beriring biduk?
dan kitalah nakhodanya
menuju dermaga akhir sang Paduka
JKT.21*IsRa*
------------------
Sekuat apa benak menahan cumbu bertubi dari sang penabuh jantung malam?
Hayal pun bertahta
DERMAGA RASA
Ada segumpal tanya berduri
di lengangnya kebisingan ragu,
"haruskah cinta itu terkultuskan hanya pada mu saja puan?
Sementara berjuta warna tentangnya masih banyak berhamburan pada warna warni bunga liar di jalangnya mata mengeja takjub, hingga keafatisan meredupkan suluh menerangi hakikinya dermaga akhir berlabuhnya jejak sang pelaut
Atau
Haruskah ku jadikan pelangi seluruh
makna indahnya dan kuletakan pada tepian altar senyum mu? Biar dapat kau majaskan ego mu itu sebuah kepatutan yang mengikat sukmaku
dan ku sahaya mu di maumu
Bila itu dogma takdirku,
rangkul aku puan,
dengan kekarnya kepastian janji
agar tak lagi kujinahi rasa di sepanjang jalan hening yang berserabut keraguan,
saat coba menafsirkan yakinku di tengadahnya raut wajah doa yang ku hamparkan pada ruang malam ketika menggapai lembar suci kesetiaan
Yakinkan ku puan,
setidaknya getarkan dawai dawai harpa beku rasa yang lama membekap kelu itu gairahkan rungu
acuh mendecap riang pada gita bulan merajuk bintang
Hingga bila sauh harap itu bertanya,
dermaga akhir itu telah
tergenapi bangga
menjabah kata
" Ya ..!
Jkt.21*IsRa*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar