Huma berserak di punggung bukit
Tadahkan wajah pada biru langit
Tanaman, bebatuan bahkan tanah bersatu
Menjalin kerontang dan merana
Ketika pagi terkerek perlahan
Burung bersiul mencari ranting
Jika matahari telah payungi
Hanya desir samum, terik dan tongeret tersisa
Kadang debu merabu mata
Ikuti saja langkah
Dituntun debu dan bata merah
Jalan desa akan mengantar hingga tanah perjanjian
Tidak panas sebab kapuk randu berbaris
Kadang satu dua sengon menuding langit
Juga jati yang merana
Karena daunnya berguguran menutupi bumi
Tidak perlu tergesa mengejar
Karena jarak dan waktu bukan beban
Dangan pandang terlihat tujuan
Jika telah berjalan separuh jarak rindu
Sebelum melewati beringin tua penunggu desa
Jalan menjadi persimpangan harap
Ke kiri adalah mata air mata
Ke kanan tinggalkan kenangan tumpah darah
Maka melangkah lurus saja
Lewati beringin kokoh dengan sulurnya
Ucapkan salam hormat pada tuanya
Di ujung jalan penantian
Di sanalah tikungan akhir
Di mana huma disambangi
TITO SEMIAWAN
010821
----------<0>----------
BIDADARI PAGI
I.
Bangun memunggungi matahari
Ketika kejora kian dekati sabit
Matamu masih sisakan lelah siang
Dan ruang hanya ada senyap
Daster bermotif batik pabrik
Berwarna luntur sebatas dengkul
mematut sejenak kenakan sandal
Perlahan berjingkat tinggalkan malas
Air kendi diendap semalam
Diteguk nikmat binar pandang
Merias wajah dan lembut kulit
dibilas sejuk air wudhu
Mematut kenakan mukena
Berhias dengan doa
Tadahkan wajah pada langit
Berdialog dengan hati
II.
Di pawon membuat unggun
Onggok kayu telo dan ranting
Sepanci air dijerang
Api meletik asap bergulung
Nasi sisa makan malam
Bawang, brambang, uyah dan penyedap
diulek dalam cobek
Digoreng ditambah kecap
Melintas ruang tengah buka pintu
bau obat nyamuk bakar dan dengkur
Kakak, adik, ayo bangun
Solat dan mandi siap-siap sekolah
Seragam rapi putih merah dan biru
Sarapan nasi goreng dan teh manis
salam dan salim cium tangan
Mencangking tas dan menuntut ilmu
III.
Matahari manjing di horizon
Kuningnya berbagi dengan langit
Harum seduhan secangkir kopi tumbuk
Leyeh-leyeh di kursi usang pandangi pagi
Menenteng sapu dan kain usang
Jendela yang pejam karena malam, dibuka
Pagi masuk dengan santun
Cahayanya sapa tiap ruang
Ruang tamu disapu hilanglah sepi
ruang tengah dilap tuntaskan malas
Kamar anak dirapikan datanglah ceria
Ketika telah usai semua lelah, rumahpun berseri
Sisa kopi diteguk, ah nikmat
Badan dihempas di kursi tua
Segenap keringat teteskan lelah
Mentari telah penuh, senyum pada dunia
IV.
Kamar mandi tempat meditasi
Lunturkan segala kedegilan
Menelisik tiap inci tubuh bugil
Mencari dan menghapus noda dan dosa
Menatap kaca menyisir rambut
Kenakan daster bertisik lembut
Telusuri tiap lekuk mematut
Ujung mata berhias kerut
Menuju dapur menjemput sarapan
Sisa nasi goreng untuk anak
Mengunyah perlahan nikmati suasana
Di luar burung bercakap dengan sisa embun
Pintu kamar utama terkuak
Melangkah perlahan dan menguap
Lalu berteriak parau "Ma, mana kopi?"
Matahari telah sepenggalah
TITO SEMIAWAN
010821
----------<0>----------
SAYAP PATAH
Seperti dihempas getir
Segenap terhadang tabir
Langkah terhenyak di ujung tubir
Selekas dahaga rindu tersedak
Setiap kata menjadi kepak
Malam sungguh menjaring
Sekejap sua tanggalkan bulu
Setumpuk bukupun seteru
Leher terantai ragu hingga bisu
Setelah senja mengundang pulang
Semua sedih menjadi kungkung
Sekedar sayap patah yang berjuang
TITO SEMIAWAN
080821
----------<0>----------
MENANGKAP PELANGI
Musim kerap sembunyikan gairah dengan gemulai
Tiada angin mengembang laksana selendang serimpi
Kemarau yang tertulis di setiap pelepah dan ranting kering
Melafal mantera hujan di bendung langit
Manyar sayup pentangkan sayap meniti udara
Menebar benih dikandung harap di luasan cakrawala
Tiap kecambah titik air yang dilahirkan di perut mega
Menyerap hidup yang berserak menanti takdirNya
Angin yang biasanya hanyut lewat tanpa kabar
Mengirim tanda di segenap gerak dedaunan
Awan bergulung membawa bau hujan
Dan melepas tetesnya pada dahaga ibu bumi
Setelah genap langit tumpahkan segenap rindunya
Perlahan mentari menganyam sinarnya di telaga bidadari
Percik air menghiasnya menjadi warna warni bias
Dan menyematkan ujungnya di beranda hati
TITO SEMIAWAN
080821
----------<0>----------
KELUAR DARI BUKU
Sejenak kata tersesat di labirin ingatan
Tenaga maknanya hanya sebatas retorika
Setiap huruf yang tercatat di buku jiwa
Menanti nurani menjumputnya dari kredo kesunyian
Pujangga hanya pemahat lambang di gulungan rontal
Menuang setiap bunyi dengan keindahan makna dan puja
Sedang penerjemah luka adalah kesadaran yang terjaga
Mengeja guratan senyap dan tiupan nyawa
Sejak buku sembunyikan rahasia ingatan
Yang tersusun atas suara sunyi dan lambang
Kesadaran wariskan alam pikir dan keterampilan indera
Untuk membangun dan memusnahkan generasi
TITO SEMIAWAN
150821
----------<0>----------
TURUNLAH SINAR MENTARI
Seharusnya tak perlulah semalas kedip gerhana
Dalam jarak terhingga kau tuntaskan hitungan
Mengapa setiba di pelataran rumah,
kau hanya berdiam di ujung daun temani embun
Padahal sendi yang kaku sebab usia butuh hangat serimu
Dan kantuk bercinta tanpa aling bulu roma
Sedang geliat pagi mencari gairah pancarmu
Burung-burung merayu dengan kicau birahinya
Jika kau tetap enggan menyapa sebab tersandera
Tegurlah mendung agar ikhlas iringi awan
Peluklah gelapnya dengan helai cahaya yang manis
Ucapkanlah mantera penunduk agar awan beralih menaungi kering
Jika tiada aling antara wajahmu dan ibu bumi
Sapalah segenap kehidupan yang masih bergelung
Belailah wajah rindu dengan hangat warna emasmu
Hingga alam dilingkupi senyum damai
Jika embun telah berubah sebagai kupu-kupu
Dan dedaunan telah hijau sebab bahagia
Tiadalah kau tarik segenap wajahmu benderang
Sebab awan pasti menyingkir karena malu
Panasilah setiap yang melata dengan gairah
Hingga harapan dapat terjangkau sejauh genggam
Dan rejeki terhampar sepanjang janji mencari
Karena itu, turunlah sinar mentari
TITO SEMIAWAN
150821
----------<0>----------
RUANG PENUH CERMIN
Kamar? Sepertinya tidak
Sebab ruang itu, ruang berukuran 2x3 meter, dibuat hanya menempel di tembok utama
Persis seperti benalu
Tembok utama rumah dilubangi seukuran pintu
Lalu tanah di sekitarnya ditutupi bata
Tanpa penguat rangka besi
Atapnya hanya separuh dan ditutupi asbes
Lantainya semen tipis dan kasar
Temboknya dilabur kapur dan lembab
Tanpa jendela
Jika kemarau panas, jika musim hujan dingin dan lembab
Masuk ke kamar lewati pintu tanpa kusen
Dibatasi gorden lusuh berwarna luntur
Memisahkan dengan ruang belakang
Di dalam kamar ada kursi dan meja kecil
Di meja terletak cermin bundar dan sisir plastik
Buku pelajaran solat dan 1001 tafsir mimpi
Sebuah buku tulis lusuh bergambar penyanyi kondang
Mejanya ditutup taplak batik merah kusam
Kursi. Sebuah kursi penjalin
Tempat banyak waktu dimamah
Selain kasur lusuh di pojok
Menghisap rokok kretek murahan
Baranya kadang meletik melubangi baju
Sekali-kali menyeruput kopi jagung tumbukan si Mbok
Khayalan naik ke langit-langit diterpa asap rokok
Bau rokok menepel di setiap sudut,
seperti semua kenangan dan harapan yang kotori laburan kapur
Mimpi adalah menu utama ketika hening cipta
Kursi berderit ikuti gerak tubuh yang beganti karena pegal
Kaki dinaikkan ke meja dan pikiran berlanjut berkelana liar
Ketakutan berkerenyit di kening
Bayangkan masa depan
Pinta pun tiada kata berani
Hati terus mengkerut
Jika dan jika segala jika menjadi kebenaran
Keberanian kadang melepas angin segar
Mengantar pikiran positif
Seperti riak kecil di gelombang putus asa karena takut yang merajut
Kopi telah tuntas
Rokok pun nyaris habis
Malam kian renta
Dan sepi hanya berkawan dengan cicak yang berburu makan malamnya
Aku tetap di kursi
Menggoyang kursi
Hingga derita berirama monoton
Dan aku tetap sendiri tiada kantuk
Hanya lelah hati dan pikir
Jika kantuk tetap belum mampir, namun lelah menghampir
Petualangan khayal kupindahkan ke ranjang beralas sprei butut
Dan letakkan kepala yang penuh dengan soal di bantal yang telah hilang empuknya
Tubuh telentang melepas lelah
Mata terpejam menatap fragmen khayal dan pikir
Setiap lembar pikir, kebanyakan jelek dan rusak, silih berganti mengganggu cemas
Hanya hati kadang ingatkan bahwa tidak semua lembar kusut
Kadang ada harap menyeruak
Kantuk belum mampir
sedang lelah telah pudar
Mata membuka menatap sudut tembok lembab
Tiap incinya tertera tiap gundah dan harapan
Berseliweran mendera otak
Cicak kembali berebut kepingan rindu
Nyamuk berbisik di kuping memohon setitik darah
Kecoa hilir mudik mengukur luasan kamar
Semut berbaris bawa remahan mimpi semalam
Jarum jam telah condong di Timur
Malam semakin renta
Bayangan di tembok tetap jadi bayangan
Semua menuduh menunjuk ketidak becusan
Tubuh kian tersudut di kasur apek
Tersungkur tanpa sisa sanggah
Walau nurani membela
Capai berbaring
Tubuhpun bangun
Letakkan penat di ujung peraduan
Mata nanar menatap tembok bisu
Sayup terdengar suara azan
TITO SEMIAWAN
22082021
TITO SEMIAWAN |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar