DIALOG OMBAK DAN CAMAR MENUJU BINTAN
Romy Sastra
siasat badai guncangkan laut mendesir takut
remuk redam gamang menyeberang
sepucuk rebah dicium hujan
ombak mendayung anganku bintan
tanah bertuah itu hendak kujelang
secarik puisi kutitipkan pada camar
kubawa menari
telah kuhitung di jari seribu hari
bintan yang kurindukan tak kunjung sua
sebab dunia merisau payau mataku
seperti cacing masuk ke mata
: oh corona
dan aku berkisah pada madah
Jakarta, 6 Juni 2021
TAREKAT BATIN
Romy Sastra
_
hening sesaat
mengulum kata-kata
berpikir, ke mana aku berlayar?
ombak di batin
pantulkan adiratna
wahyu turun ke kening
: baitullah
aku bersaksi, musyahadah
_
hening sesaat
mengurai sabda-sabda
bertasbih, layaranku berpendar
ombak di batin
adalah riak semesta
mewujud sebentuk telaga
: fana
aku bersaksi, mukasyafah
_
hening sesaat
merayu pemilik cinta
berharap kasih diterima
ombak di batin
bergejolak seperti api dan panasnya
air dan dinginnya
: bersatu
ana-anta, anta-ana, mahabbah
tarekat batinku makrifatullah
Jakarta, 7 Juni 2021
OMBAK BERDANSA
Romy Sastra
sepicing mata elang tubuh telanjang
angin mengibas gaunmu
kita membaca kisah
tentang rindu beralamat di muka buku
adalah cinta disaksikan
bersama anak-anak nelayan
sampanku basah
ombak berdansa paling setia
di mana pulau bintan?
daku ingin ke sana
Jakarta, 1 Juni 2021
PENTAS SUNYI
Romy Sastra
pentas membisu
bersiul angin
: kita membatu
hanya bisa menyepuh ingin
kapan virus berpulang pada sunyi?
azan berkumandang maskumambang
nasib bernisbah
enyahlah musibah!
aku mementas hati
Jakarta, 31 Mei 2021
ALEGORI
Romy Sastra
tuan, aku membaca kisah rantau berperahu
mendayung nafsu, seloki madu mereka teguk mabuk bawa misi. dan bangau putih terbang dari jauh, menyisir laut berenang di bibir muara keruk mutiara. lalu tiba-tiba mimpi buruk bersemayam di ranah, para tuan-tuan kecundang bimbang memanggul beban hutang. sejarah kelabu terjadi di tanah bunda.
lihatlah tuan! singa duduk bermegah merajai nusantara bermata sayu, anakku anakmu kehilangan kampung. tugu berpanji warna asing para veteran termenung, dan samudera telah menjadi istana di lepas pantai bergulung asap, tatapan kelabu. apakah duri mencucuk mata belum juga buta? dan debu dianggap embun. telaga di sudut pasrah tenggelamkan ilalang.
tuan, aku cerewet kan?
Jakarta, 12 Juni 2021
SHELTER BANDAR PUTRI
Romy Sastra
satu malam di Bandar Putri
menyunting kenang di jendela Sri Puchong
pada musim semi menatap sepi
di suatu shelter di seberang jalan Giant
pagi-pagi sekali terjaga
nasi lemak kucari
makcik, aku hendak makan
berapa nasi lemak dijual, ya?
lalu, makcik menjawab
campur-campur harga 5 Ringgit saja tuan
dan aku bertanya kembali,
adakah bus ke KLCC dari sini makcik?
ada tuan,
dari manakah tuan ini berasal?
aku dari seberang
baru saja kembali dari Kelantan
makcik terkejut,
wah, ada apa gerangan tuan ke Malaysia?
aku menjawab;
aku mencari kekasih
yang tak pernah kujumpai sebelumnya
alamakk... jawabannya
cinta, oh cinta?
tak beralamat rupanya
krakk.. krakkk.. krakkk....
suara itu burung gagak hitam
aku melirik ke atas atap dan tersenyum
gagak bersorak, hakk.. hakk.. hakkk....
kenapa pula kau cari,
kekasih tak beralamat tuan?
bisik gagak mencibir bersama pasangannya
lalu ia terbang ke dahan rindang
dialog itu usai pada kondisi tercengang
bus ke KLCC sudah berlalu tiga kali
siang sudah datang
ternyata lamunanku bayang-bayang
aku ketinggalan sesuatu di ranah kenangan
dan aku pulang
Bandar Putri 23 Juli 2018
ADIRATNA BANGSA
seawal iktibar digelar peradaban berpendar
di tanah purba tak berpenghuni. bulan meminjam cahaya pada matahari, tiba-tiba buku bermenung di kepala pengkaji. tanah archaeikum menantang terik berevolusi
prokariot disorot iklim adalah kehidupan berjalan menggenggam sebongkah embrio
seiring sabda menuju bumi berkisah arah:
alam bernisbi sejurus sungsang, batang tumbuh tumbang tunggul berjamur, palkah temukan kaum berlayar bersandar teknologi di perjamuan mabuk, geming menilik sunyi yang gemilang, sekilas menengok ke belakang tentang sejarah silam merungkai masa depan menggenggam android
bumi ini kecil tergadai, tatapan hampa pada megah-megah. tuhan bermahkota warna dipuja lupa muasal. padahal hu dzatullah mencipta tak sia-sia, sedari awal - akhir cinta dihantui apokaliptik, mesin pembunuh menabur maut berujung musnah. kelak kau dan aku berpisah kita ada di mana? aku menemukan tongkat makrifat, taklah debu menangis, alif itu kupegang.
lalu, aku dibukakan titah rahasia batin,
pada sabda guru duduk purna semalam
nak, kau tahu apa itu adiratna bangsa?
sekiranya kau tahu, jagalah! jika belum tahu,
masuklah pujamu ke dalam kematian
dan temui bhineka tunggal ika di sana!
sebelum kusibak jendela rumah, aroma kasih dari kekasih telah dulu menyapa. pintu-pintu mahabbah terbuka sedari cinta
menguntum mesra menyilau jeladri jiwa.
nak, kau tahu falsafah negara?
Sekiranya belum tahu, bacalah tubuhmu!
negara adalah wujud dirimu
kau pahami makna burung garuda
mursyid engkau jalan kalbuku adiratna kujaga, sepanjang doa-doa kupanjatkan:
seiring salam pada negeri kita mengabdi
seiring salam pada diri kita memuji
seiring salam pada sesama kita berbudi
seiring salam pada sejawat kita bersahabat
seiring salam pada generasi kita berjanji
adalah bakti pada anak cucu nanti
aku membaca Indonesia pada ubun-ubun
di mana rahasia adiratna bangsa berada?
ternyata berada di jiwa-jiwa patriotik
tekad mengisi kemerdekaan Indonesia
: sampai mati. merdeka, merdeka...!!!
Romy Sastra
Jakarta, 17 Juli 2021
BERDIANG MATAHARI
Romy Sastra
seringkali awan mengundang rusuh
kilat mencambuk sasaran
seakan gunung runtuh musuh bertabuh
bulan membuat perhitungan pada malam
embun tak cukup membasuh debu
tunas-tunas berpacu tumbuh
dipangkas duluan: ilalang tumbang
lihatlah petani mengoyak bumi
nelayan menimba lautan
pedagang termenung sunyi
buruh-buruh merisau di ambang ketakutan
negeri dihantui paceklik dicekik globalisasi
seekor kerbau dicucuk hidung
: memanggul istana
tak lengah berjalan di sebilah papan
corona menjadi-jadi
di sana kafilah berpanji bermain judi
sedari berdiri menghitung untung rugi
bercita-cita membangun dunia ketiga
padahal kacamatanya terbalik
retak di silau dunia
ah, strategimu sudah terbaca
dan aku tak mengutuk zaman
kupacu nyaliku melawan ketidakadilan
meski berdiang matahari
tak ingin kedinginan
Jakarta, 15 Juni 2021
KUPINJAMKAN TINTAKU PADAMU
Romy Sastra
bumi berguncang setelah semesta tercipta
melayu jadi benua hilang memanggul sejarah
serpihan berpuak-puak
lalu, bermukim musim-musim
seirama muzika mendayu rumpun bambu
tentang anomali kemistri regularisasi teori
perjalanan sudah berabad-abad berkisar
dian di mataku dan di matamu berpendar
: tirani membaca zaman
mercusuar itu harus dibangun kembali
panji-panji terkurung di peta kibarkan!
adakah teknologi mampu mengurai makna?
tentang flashback sejurus futuristik
tak lengah melayu menggapai cita
: buka sejarah
kupinjamkan tintaku padamu
puisiku membuka teralis
yang selama ini dikurung kolonis
anakku dan anakmu
adalah penjaga palang pintu bumi melayu
di mana tokoh-tokoh bernisan
jangan biarkan bertangisan
mereka berharap kejayaan tempo dulu
catatan itu belum padam
Jakarta, 9 Juni 2021
TEGAR KE PUNCAK UBUN
Romy Sastra
seperti planton diterangi bulan
awan malam menyibak kelam
pada pelayaran diri
tiba-tiba sampan diamuk badai
gugurkan harapan
aku kembali dulu ke pantai
kutunggu badai reda
nyalakan pelita di dada pasrah
aku berterima kasih pada siang
teriknya mengukur bayangan
meski tak sama panjang
aku berterima kasih pada senja
bunga-bunga bermekeran
sunset menyilaukan pandangan
aku berterima kasih pada malam
bulan bintang bermesraan
dan belajar bagaimana cara berdamping
lalu, aku duduk di pintu sujud
tegar ke puncak ubun
diam memaknai sunyi
ternyata aku masih hidup
Jakarta, 7 Juni 2021
MUZIKA YA HU
Romy Sastra
asmaning izzati kuseru lirih
hati, jantung, nadi bertasbih
adalah partitur mengalun luhur
di antara debur sepanjang jalur getih
: ya hu
Jakarta, 25 April 2021
PENDAKIAN
Romy Sastra
kujelang rantau menuju kematian
shaum menghimpun seluruh pelaku rindu
perjalanan malam merafal doa-doa taubah
pintu langit tak pernah dikunci
tasbihku mengelilingi adiratna
aku nisbahkan pendakian menatap kesucian
mengurai rantai keimanan
sepanjang laju duduk diam
tubuh gemetar nafsu terpenjara
seberapa jauh malam kutempuh?
ya'qilun, yatafakarun, wa yatazakarun
: aku fana
Jakarta, 22 April 2021
OBITUARI BUNG HATTA
kantata perjuangan senandung mimbar
kaki marhaenis dijerat kolonialis
350 tahun nusantara dikoyak
: konferensi den haag
di persimpangan ideologi meja bundar
bung hatta,
apa yang kau tuliskan?
di matamu dian bercatatan
pada selembar surat sakral
menuju kemerdekaan
kau jadi tahanan
bung hatta
apa yang kau pikirkan?
generasi kini terompah berjalan
mengisi kemerdekaan
apakah mereka lupa tentang sejarah?
pejuang bangsa berdarah-darah
kehilangan nyawa
satu abad berlalu
sejatinya obituarimu
penyemangat pemuda-pemuda itu
Jakarta, 15 Juli 2021
KAU KUKENANG
...kutatap sunyi geming membatin
menyilau mentari sebentuk cermin
beriak berisik seirama:
tak berpaling mengejawantah
indonesia, aku menulismu di ujung pena...
pahlawan
aku bermadah di zaman merdeka
menguak sejarah di jelaga hitam
berbatu berliku kejam
bagaimana perkembangan tercipta?
pada kisah jendela dunia
tertulis anonim di rahim ibu
peneliti membaca kata-kata
bisakah kita berpikir seperti bung hatta?
pahlawan
dikau titipkan negeri ini pada generasi
'kan dijaga sampai mati
aku merunduk menghening cipta
selamat jalan kusuma bangsa
: kau kukenang
Jakarta, 19 Juli 2021
BUNG, BAGAIMANA KABARMU DI SANA?
ia berasal dari bumi minang
terpelajar
tokoh yang didamba
semenjak nusantara dijajah
hingga merdeka
jejakmu adalah sejarah
meski jasad berkalang tanah
jiwamu selalu hidup
dan dikenang
bung, bagaimana kabarmu di sana?
kami di sini menyapa
senampan kembang setaman ditaburkan
adakah indonesia di pembaringanmu?
: berduka
sebab tualang bangsa ini masih berjuang
berjuang melawan ketimpangan
hatta yang dibuang ke bouven digul
dan bersidang di den haag
adalah mengadu prinsip
panji berkibar kapal berlayar
di mata pena lautan diseberangi
berpikir tentang indonesia berkembang
membangun koperasi
sebagai tiang-tiang pancang berdagang
antisipasi serangan globalisasi
tak runtuh rumah tanduk berpanggung
bung, rumah tanduk berpanggung itu
di sana putra putri digadangkan
adakah tokoh generasi seperti hatta?
kami menunggu dan membaca pemikiran:
pemuda pemudi bumi minang
sedangkan kabar generasi kini
memperebutkan bagiannya sendiri-sendiri
jadi maling-maling berdasi
Jakarta, 22 Juli 2021
Alhamdulillah dua puisi saya ini lolos di antologi puisi Khatulistiwa Dari Negeri Poci
ZONA KHATULISTIWA
Romy Sastra
seberapa lama alam berpayung langit?
selama kutatap matahari terangi semesta
plasma sebentuk magnet
menyeret senyum yang tak padam
di antara kutub utara dan selatan
...aku merawat cinta pada lembah-lembah,
pada sungai-sungai, pada gunung-gunung
pada lautan, pada hamparan, pada ozon
dan pada dirimu. mencintai semesta adalah keniscayaan menjaganya tak murka...
dan ilahi mengatur perjalanan matahari
memayungi seiring tasbih
cincin ekuator melingkar kesepakatan persahabatan suatu bangsa
unsur tercipta kausalitas tiba
sedari bumi berputar mengelilingi batas
: aku membaca zona khatulistiwa
Jakarta, 2 April 2021
DIALOG DAUN
Romy Sastra
rerumputan berbicara padaku,
setelah angin menyentuh helai
kukabari dingin di matamu
aku meradang sumbu membahang
"terdiam memaknai bisik sepadang ilalang
berguru di tegar tumbuh menjulang
daun-daun bertasbih memuji ar-rahim"
sedari dulu, kini, dan nanti
hingga tenggelamnya peradaban
apakah kita tuli mendengarkan sabda?
kita perlu kontemplasi demi revivalisme
menuju kontemporari yang bijak
pada sajak-sajak menyadarkan embrio
di sebatang benalu
percakapan musim adalah iklim berputar
bagaimana alam lestari mengikuti peredaraan
dan daun yang gugur jadikan humus
siklus subur: mari bijak pada bestari!
Jakarta, 20 Maret 2021
CAHAYA MENUNTUNKU BERCINTA
menguak ombak pada layaran singkat
deru gemuruh kapal berpalka
tak nakhoda bingung menuju arah
musim terus berkisah dan berpisah
sekejap kontemplasi diri
merenung membaca isyarat taat
melalui perjalanan hidup
tak kenal lelah bermusafir
satu tongkat dibawa-bawa
pasrah dengan segala keadaan
aku berpikir dan berzikir
hasrat mengantarkan asma kekasih
siang malam berkisah
astaghfirullah al adzim menyadarkanku
pada setiap langkah bermula
kusadari pujian takzim
bagaimana merdu daud
mengajarkan senandung taklim
diajarkannya gunung-gunung bertasbih
daun-daun bertasbih
burung-burung bertasbih
samudra bertasbih
hamparan langit berlapis bertasbih
semesta bertasbih
semuanya bertasbih
bahkan ibis pun bertasbih
dan sampai pada kematian tiba
apakah aku terus ingat pergulatan
tentang sedari awal bertuhan
cahaya menuntunku bercinta
Romy Sastra
Jakarta, 14 Agustus 2021
MERINDUKAN MUHARRAM
Romy Sastra
Muharram bulan yang mulia
Para sahabat dan nabi berdemokrasi
Menentukan ketetapan
Tahun baru Islam
Betapa mulia pengukuhan jati diri
Muharram bulan yang dinanti
Doa-doa dilangitkan
Ibadah ditingkatkan
Aku runduk pada-Mu Tuhan
Muharram bulan Qomariyah
Menunggumu merindui amalan
Berpuasa sunnah Tasua Asyura
Penghapus dosa setahun
Muharram bulan menuju madani
Bagaimana Rasulullah hijrah
Membawa umat dari Mekah ke Madinah
Sampai saat ini hingga kiamat nanti
Aku mengabdi
Muharram bulan yang suci
Mari menyepi bertakwa diri
Riyadhoh pada Ilahi
Aku dan semesta bertasbih
Jakarta, 12 Agustus 2021
Catatan:
Puisi ini atas permintaan dik Qoni Makhfudhoh di Ngawi untuk dibacakan sama anaknya di sekolah SD kelas 3
KUTITIPKAN MATAHARI PADAMU
Romy Sastra
kau sebentuk taman kusiram
pada tatapan tak puas
sedangkan sudut kisahku yang lalu
: membeku
adakah kau tahu?
penantian panjang kutimang-timang
kini kurengkuh
masihkah bunga tumbuh melayu?
rindu paling gemuruh
seirama muzika mengalun merdu
menghilir di antara tatapan mata
desah bibir bercumbu
kita tak mengantuk pasrah
dan tersadar sesaat
pada sabda di dada
mengingat batas tak lepas
cinta mengutuk yang terkutuk
kubungkam laknat kubunuh khianat
rasa setia mendamaikan noktah
terpelihara di ranjang suci
kita pulang ke sajadah panjang
perjalanan cerita lesap tanpa penyelesaian
sedari berziarah di antara kisah-kisah
lalu sepakat menutup kelam
jadikan kenangan adalah pedoman
mengukur sepanjang bayang menghilang
kutitipkan matahari padamu
dan kau lembaran terakhir kulukis
: puisi di matamu kubaca
Jakarta, 19821
ALEGORI KEMERDEKAAN DI TENGAH COVID 19
Romy Sastra
mataku sayup
setiap saat menatap update media
dunia merisau takut
momen kemerdekaan itu tiba
virus corona membuat kemelut
di sendi-sendi kehidupan
kemerdekaan dibalut penderitaan
suasana itu berkata lantang
tak ada kemerdekaan hari ini
anak-anakmu menangis
tak rayakan seremonial jalanan
bangsa berkabung mata bersenandung
menatap panji bermenung di tiang bambu
gulali semacam pahit di lidah
hiba di balik jendela menjadi-jadi
sirene kematian mengaum setiap saat
sejurus el-maut ribut-ribut
keranda berjalan serupa hantu
satu per satu daun-daun gugur
pada perayaan kemerdekaan kali ini
adalah duka luka menganga dijajah corona
generasi mengenang sejarah silam
berdarah-darah bahkan nyawa
di sana, masih saja tuan-tuan begaduh
retorika politik bermain cantik
berdelik aturan covid
bantuan bergulir ajang keributan
berebut sasaran ladang-ladang empuk
kau korup
lebih buruk dari virus yang terkutuk
aku berterima kasih pada covid ini
bagaimana ia mengajarkan waspada
mengajarkan bersuci
mengajarkan arti peduli
dari sisi lain
kita resah bahkan menyumpah
enyahlah corona
dan corona menjadi ajang kontemplasi
padahal tuhan selalu hadir berperan
memanggil hambanya tahu diri
mengenali azali dan jalan kembali
kertas tak mungkin membungkus api
tungkuku padam
Jakarta, 19 Agustus 2021
MEMINJAM KETAPEL DAUD
Romy Sastra
mentari mengitari gelap bercahaya tak membakari yang ada cinta, sedari awal angin api air dan bumi bertasbih amanat zat ilahi tercipta energi. kontradiksi pergulatan hati dan empedu menyuluh sumbu-bumbu angkara menuai bara, manekin rupa api menjadi panas menjelma amarah subur di telinga. tariannya lembut isyarat mahkota sanggul menari, timbul asap-asap ngebul ke angkasa, awas kau dibakar gas yang muntah...
apakah gelora akan berpesta membentuk onggokan rumah-rumah abu? gesekan kepentingan diguncang dentuman bom di dada. ledakan di kepala membuat mata merah saga berganti basah akan darah-darah dunia menyuburkan kebencian tak sudah. aku meminjam ketapel daud dalam sujud, membidik goda mentransformasikan api menjadi cahaya. kuruntuhkan keegoan nafsuku dengan batu tauhid. maka, hancurlah segala rupa yang ada awasnya; subhanallah.
Jakarta, 2 Juli 2020
NAN TERLUPAKAN
Romy Sastra
rajut koyak sulaman rapuh
roda waktu menjajah lara
terbuka benang memori di album lusuh
hari berlalu musim berganti
nyanyian jiwa leraikan resah
rindu bertamu di tepian hati
lembaran asmara telah kubencii
dan aku pernah kalah pada gita cinta
yang tak memihak pada sebutir embun
pergi sajalah kisah jangan datang lagi
rawat kenangan dan lupakan kekecewaan
lalu kutatap laju ke depan meski rasa itu pahit
berdamai bersama jiwa tinggalkan dendam lupakan kisah sedih yang dulu
kisah kasih yang tak sampai
memang noktah kau dan aku berbeda
dan tak mungkin kita bisa bersatu
hilang jangan dikenang
rindu terbang bersama debu
nan pergi biarlah pergi
usah kembali lagi
Jkt,18/01/2017
PALKAMU MELAYU
Romy Sastra
Tempo dulu jemari yang bersatu
Berlayar di sebatang bambu
Nenek moyang menumpang satu geladak
Mereka menuju nusantara berpuak-puak
Lalu, nakhoda berdansa di atas riak
Nenek moyang itu tak resah
Nakhoda mengarung cita
Berlabuh membangun nusa
Tiba-tiba kolonial mengadu domba
Corona pun ikut serta
Dan kami putra putri nusantara
Berjanji:
Palka Melayu takkan hilang di bumi
Meski darah dan nyawa taruhan
Akan kami pertahankan
Pada saat ini
Kolonial itu pandemi
Bagaimana virus dibasmi
Hanya mematuhi aturan jaga kesehatan
Sebagaimana tunduk pada kearifan alam
Pada kemerdekaan kali ini
Tak akan ada duka yang bertirani
Mari menatap masa depan
Adalah cita-cita para pahlawan
Kini kepalkan tangan
Rapatkan barisan tuan puan
Kita jaga nusantara hingga akhir zaman
Jakarta, 21 Agustus 2021
KARAM
...flamboyan menari di mataku
silau kemayu lekuk mengutuk
kuraba mayangmu merayu
deru berguncang
pada suatu taman aku tumbang
dan titian kujelang tali pengikat putus
aku karam kawan...
Romy Sastra
Jkt, 21821
LAYARAN AKAN TENGGELAM
Romy Sastra
dayung ini hampir rapuh impian
laju layaran itu akan sampai jua tenggelam
tak mesti gagah berdiri di destinasi
menikmati hidup di setiap langkah sampai
lelah menabur haru debar kian gemuruh
riak-riak menari usiknya sang bayu
berkacalah diri pada kisah nan lalu
hidup keniscayaan kematian pun bertamu
memang layaran akan tenggelam
tak mesti di dermaga berlabuh
satu langkah melaju jatuh
beribu kilo berlayar tetap karam
nikmati pemberian bersyukur
berkeluh kesah jatah itu diberi
ikhtiar hasil sedikit banyak sama saja
hanya amal pelipur lara di alam misteri
tuan dan nyonya
mari menyirami daun-daun nan layu
sedangkan ilalang tegar berdiri cabari gersang
berbunga berbuahlah aset budi itu nanti
menunduklah sekejap wahai keangkuhan
adakah rinai terjatuh di liang zam-zam
temukan kedamaian rindukan kematian
diri ini tak berlangsung lama iringi dunia
merenungi jejak-jejak dijelang
serasa semu tiada yang abadi
menangis akan dosa mungkinkah terampuni
sedangkan noda daki di hati kian menumpuk
pada puisi kutumpahkan sesalan
pada doa kularung kesalahan
pada kekasih membawa rindu
semoga yang dicintai sudi bertamu
kekasih, kumerinduimu
peluklah bangkai ini, ampuni aku
leburkan segala dosa yang ada
benamkan pencarianku di sudut kalbu
terrsenyumlah dikau menyambutku nanti
jangan berpaling rahmat itu datangi
untuk apa aku hidup seribu tahun lagi
berbiduk tak berdayung tetap saja mati
HR RoS
Jakarta, 23/03/2018
TAFAKUR
menanti purnama semusim
pijar-pijar kejora mengulit malam
malam usai ia tenggelam
mencari kerlip di hati bersihkan jiwa
taklah bermandi kembang setaman
dengan air tujuh telaga
cukup berwudhu batin netra pejamkan
tengoklah ke ujung sukma kerlipnya selalu ada
bunuh riuh pada onak pikir
nan menggoda jalan pulang keharibaan
sunyikan diri menuju keabadian
baitullah siaga menanti
tak jauh menempuh destinasi
cukup fana sekejap dan bangkit lagi
sejenak berpikir jembatan keselamatan
untuk apa beribadah seribu tahun lamanya
berjalan tak memakai panduan 'kan tersesat
lebih baik mati dari awal tak menumpuk dosa
penyesalan di ujung nyawa tiada gunanya
HR RoS
Jakarta, 150318
ALAMAT MISTERI
Romy Sastra
angan di batas bayang
seperti tarian layangan diterpa bayu
ke mana laju lamunan diri dituju
sedangkan sepi berkawan lolongan misteri
seakan malaikat datang menyapa
bahwa pemberhentian jejak-jejak hari
kian sampai di ujung senja
pada malam bersandar diri
resah menikam kelam
serpihan mimpi memang bunga-bunga hari
nan bermain pada kisah yang terlewati
mengisyaratkan alamat alam teka teki
dan kematian pasti terjadi
berbenahlah sedari kini
jangan menunggu hidayah 'kan terlambat
ketika el-maut bertengger di ubun
menyesal tiada guna
berusahalah meraih hidayah-Nya
padahal hati, akal dan pikiran
kendaraan untuk mengejar ketertinggalan
mengisi kekosongan catatan raqib
lipat saja buku atid
jangan biarkan memori malu
pada masa perhitungan nanti
HR RoS
Jakarta, 110318
SAHABAT KESAYANGAN
Romy Sastra
telah aku tarik rentang tali temali
berjarak jauh kupintal mendekat
nan terikat pada simpul pohon rimbun
akar mencakar di ujung kuku
tak melukai dada ibu
pucuk melambai menyentuh arasy
sebagai saksi laju perjalanan kereta itu
nan acapkali singgah di berbagai stasiun
ketika perjalanan usai jejak terbengkalai
menempuh titian dunia
pada pengadilan maha adil
terpaku menunggu di meja maha hakim
di sana terjawab perkara rahasia
nan bersembunyi sunyi
di lembaran hati
berkawan dengan dua sahabat
kuberi nama iman dan tauhid
napasnya setia berhias di setiap laku
tak melolong hanya diam
berbicara bisu
roda kereta berantai besi
rel berbantal baja
pergi bermusyafir membawa diri
kasih terikat di dada si empu cinta
bermanja berkasih sayang tak terkira
dua sahabat kesayangan bersimpuh
di atas sajadah membentang di setiap laku
pada jejak-jejak santri
siang malam memuji
menuju dermaga abadi
HR RoS
Jakarta, 08 Maret 2018
RESAH BERSELIMUT MIMPI
Romy Sastra
nada rinai lirih leraikan gersang
hujan turun suburkan alam riang
siulan malam ini riuh
sayap-sayap terbang siang tadi berteduh
ada seekor merpati kedinginan
terkurung sepi
dingin tanpa selimut kekasih
tersisih
oh, tetesan rinai malam
kau undang kedukaan pada suatu mimpi
terlelap di kelambu nan merindu
koyak tergigit resah impian tak bersemi
pejamkan bola mata nan hampir layu
tidurlah!
biarkan memori berselimut history
kunci saja jangan dibuka lagi
andaikan malam ini tak berkejora
purnama enggan merupa
yakinlah,
esok terik masih ada
menyinari kehidupan kembali
HR RoS
Jakarta, 7,3,18
KETIKA JALAN LICIN
Romy Sastra
sudah dibisikkin angin
jangan berjalan di hari hujan
jalan ditempuh licin
diam dulu sekejap tunggu rinai reda
petir masih kilatkan apinya
payung pun tak dibawa
bertahan di suatu keadaan
berhati-hati
jangan berkaca diri pada bayangan
jejak laju langkah terhalang kelam
memilih sebuah pertimbangan
supaya tak terjerumus kedua kali
ke dalam lobang yang sama
tersesali nanti
berpikir sejenak
pilihan terbaik ada di tangan
bersabarlah
suratan tak terhapus meski arah itu buntu
berikhtiar jalan menuju keberhasilan
jangan menumpang dagu
yang hujan ada masa jalan tak licin
berteduhlah
biarkan takdir berbicara
tunduk pada ketentuan-Nya
HR RoS
Jakarta, 2-03-2018
TEH PAHIT
Romy Sastra
bayang-bayang kabut semalam masih hitam
pagi datang menitip embun
menghalau duka
asyik merajut mimpi dalam angan
renda tak indah disulam
seduhan tak manis dihidangkan
duduk tertunduk di sudut kursi
seketika lamunan terhenti
secangkir teh pahit tak bergula
hirup sajalah meski tak wangi
memang gula tak lagi mampu dibeli
jejak kian susah
ah, kulum saja pahit ke dada
kutiup panas terus kusruput
lidah terkejut sakit
lamunan terjaga menjerit
duh, nasib kian sulit
terik telah meninggi
asap bersorak bisu membubung
tenggelam ke dalam wajah kusam
melalaikan kerjaan
hidup jadi malu
angan buyar bersama mimpi semu
ternyata,
tubuh kering berdebu
mandi gosok gigi beraktivitas kembali
biarlah teh itu pahit
semangat mengisi hari dengan hati
berharap manis seduhan di kemudian hari
HR RoS
Jkt, 03-03-18
GAMANG DILAMUN OMBAK
Romy Sastra
kupetik setangkai anyelir di ranah bundo
bawakan kado berpayet paco
anyelir berbungkus kain putih
tertata rapi di genggaman
ingin kutanam ke negeri seberang
biar bunga berkembang jadi biang
disirami pagi dan petang
jangan layu sebelum sampai ke tujuan
badan bermenung menatap kejauhan
hendak melayari semenanjung
berkunjung sayang
biduk tiris pendayung patah
mungkinkah layaran itu 'kan tiba
harap bersua di beranda rumah
titipan kuserahkan
pamit segera tinggalkan kisah
riak menghempas ke dada gelora
buih-buih tumpah di sudut netra
sebab gelombang kian menantang
olengkan laju di segara biru
takut berbuah malang
perjalanan tak sampai
terdampar di dermaga bisu
apakah layaran itu masih ditunggu?
HR RoS
Jakarta, 030218
CIBIRAN UNTUK TUAN
Romy Sastra
Tuan
Kenapa memancing ikan di air laut
Airnya asin tak bisa diminum
Tuan dapat pari lapar sekali
Ikan teri pun diembat
Udang-udang berjingkrak
Sebab, kotorannya di otak
Yang penting kenyang
Suara-suara dibeli
Tuan
Kenapa tak memancing di telaga
Airnya tawar tak tawar menawar
Beriak damai
Ada tumbuh bunga-bunga teratai
Meski ikannya tak banyak
Taman telaganya asyik
Bisa untuk duduk bersantai
Cari nilai tinggi
Jangan maruah tergadai
Cari harga diri tak membeli
Padahal sanjungan itu gratis
Kenapa tuan kejar gelar
Semut-semut berkoar lamis
Yang terjadi sindiran cibiran
Hingga jubah tuan ternoda sinis
Kenapa ada seribu Tuhan di hati ini
Gara-gara uang jangan tolol
Iming-iming materi
Berani konyol
Tanamkan prinsip di sanubari
Biar cerita tak mengada
Instan mengejar pengakuan
Demi rasa kepuasan
Sejarah adalah kisah
Torehan berjasa
Alam akan memberi hadiah
Puisi itu jiwa
Jangan beli nama dengan Rupiah
Biarkan puisi bermain di daun-daun mati
Sebab puisi sejati tumbuh di hati
Demi cita, politik sastra akhirnya fenomena
HR RoS
Jakarta 2-2-2018
LELAKI SENJA
Romy Sastra
redup cahaya di tepi senja
lelaki gagah ditikam masa
bayangan menjauh
jejak kian berlalu
melangkah ke depan kaku
anak-anak merpati di daun pintu
bercumbu
lilin dinyalakan
tak cukup waktu menerangi
sebab kelam terasa panjang dihadang
untuk apa meminang putri malam
sedangkan senja telah sunyi
kembalilah ke rumah
usah berkelana lagi
mencumbui kunang-kunang
lebih baik memetik mutiara
yang bersinar di dalam hati
di sana pintu pulang
jalan abadi
HR RoS
Jakarta, 280118
MATI TAK BERKAFAN
Romy Sastra
tubuh berdiri kokoh teguh
niat berlabuh di dermaga ruh
dekap erat jantung bergemuruh
menyusun sepuluh jari, takbir
asyik membaca ayat-ayat suci
tenggelam khusyuk menunduk, lalu sujud
nafsu mati tak berkain berkafan
melainkan diam menatap kalbu
hidup kembali menyemai rindu
HR RoS
Jakarta, 11-02-18
KEMBANG SENJA
Romy Sastra
kugenggam sekuntum bunga
kudekap ke dada cinta
kupetik setangkai berwarna ungu
kucium seluruh wangimu
aromamu bukan aroma kemboja
tetapi melati cinta
ditanam di sudut rasa
kelopakmu memanglah penggoda
sekuntum melati tumbuh di senja hari
peri-peri hadir menari titipkan selendang
pembungkus rindu dan kasih sayang
kumbang-kumbang datang berdendang
mengisap madunya lalu terbang
melati itu tetap tumbuh tak gamang
walau cabaran awan berselimut hitam
tegar dan teruslah mekar
kembang senja di taman setia
menyulam kata penghibur lara
ketika datang badai menerpa
gugurlah segala asa yang digelorakan
kembang itu terkulai ingin disayangi
tirta datang dari sana sini menyirami
ternyata sekadar basa-basi
yang hampas tersisih, sejati tegar berdiri
HR RoS
Jkt, 28,2,18
GARIS TANGAN
Romy Sastra
Tuhan titipkan rahasia di catatan azali
Cinta dan tragedi ada di garis tangan
Pada dunia, lembaran kisah terjadi
Kita hidup terus mati
Tubuh ini sakit mengundang misteri
Apakah musibah itu diterima sebagai ibadah?
Berbisik derita pada jiwa
Bertanya duka pada cinta
Apakah Tuhan itu ada?
Lalu, pada musibah itu jawaban adanya Dia
HR RoS
Jakarta, 18-02-18
MENATAP HALAMAN KEDUA
Romy Sastra
kemarin adalah cerita
yang lampau menjadi sejarah
kekinian realita
history seperti daun-daun kering jadi sampah kenapa enggan dibuka
padahal ia organik jadikan pucuk berbunga
sedangkan ranting kokoh menyambut kedasih
meski batang 'kan roboh ditelan usia
angin kian lirih menerpa
siklus terus berganti
tegarlah
di halaman pertama kisah baru saja dimulai
mengiringi laju yang terus berlalu
menuju bakti berikutnya
pada halaman kedua menyemai haluan ketiga dan seterusnya hingga selesai
biarlah nama dan sejarah tertulis di batu nisan
berpuisi sunyi
ilalang siap menemani
HR RoS
Jkt, 3118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar