Pagar melintas semak rebah berserak
Memanjang menerjang terang terawang
Putih senja luruh sebagai tirai
Berhias kuntum bunga dan daun kering
Tugu tua menjaga keping kenangan
Mengapit gerbang menarik larik sunyi
Semut berbaris mengais garis
Bayang perlahan hilang di rembang petang
Lampu taman sertai bulan yang sabit
Kuningnya memeluk dampingi diam
Malam menghindar sergapan pemangsa
Pagar menahan sepi menanti pagi
TITO SEMIAWAN
300521
----------<0>----------
WAJAH SILAM
Menyusun potongan tak lengkap wajahmu
Serupa mengais ingatan dari timbunan
Setiap bilah garis yang berkarat oleh waktu
Masih menyisakan samar yang memudar
Kadang senyummu sekilas melintas
Lalu aku tergesa mengeja setiap pertanda
Dan dari kedalaman rindu tak berdasar
Kesadaran mencoba mengingat siluetmu
Ketika guratan ingatan hanya sanggup melukis bayangmu
Air mata menguatkan sisa jejak hadirmu, kekasih
Hati sibuk menjalin harap dan memintal duka
Kau tetap hilang dalam keabadian
TITO SEMIAWAN
300521
----------<0>----------
RUMAH TIADA PINTU
Rumah tiada pintu dengan sokoguru kayu gaharu
Berdiri murung di atas bukit penantian
Atapnya rumbia dijalin dari pelepah langit
Menepis hujan pertama musim gulana
Dan panas gerhana malam tanpa bintang
Angin berhembus masuk menyapa setiap sepi
Rumah tiada pintu bercat suram temaram
Aksennya menjadi sebentuk jendela hati
Hiasan renda putih mengusik buram kaca
Sepotong pedih teraling sepanjang teralis
Memisahkan luasan dunia berwarna harapan
Dari sempit kecewa di ruang senyap
Rumah tiada pintu mendongak congkak
Tegak sendiri di hamparan rumput lamping bukit
Jalan setapak menanjak miring belok berkelok
Mengiringi langkah menginjak jejak kepastian
Di punggungnya batu padas tertanam menghujam
Pagar bata hijau lumut memisah dunia fana
TITO SEMIAWAN
300521
----------<0>----------
TIDAK BERUBAH
Lonceng besi telah usai berdentang
Tanah lapang sendiri dan sepi
Matahari belum lagi sepenggalah
Kita selalu bersanding di halte yang sama
Dengan topeng tergores sedikit cemas
Menanti teriak serak kondektur
Mataku selalu menghampiri diammu
Berupaya ramah lewat sinar mata yang menyelinap di kerumunan
Dan hatiku menyapa mesra dengan tersipu malu
Kerumunan wajah menyesaki tangga
Kau melangkah perlahan jauhi senyumku
Sebagian debarku hilang terbawa angin
Aku nanar mengawasi segenap bayangmu
Sesaat menghilang di balik kaca retak
Aku termangu dan cemas melepas wajahmu
Lonceng besi telah usai berdentang
Tanah lapang sendiri dan sepi
Matahari melewati sepenggalah
TITO SEMIAWAN
130621
----------<0>----------
DI BAWAH SATU LANGIT
Natal melingkupi bumi dan hujan berderai
Genta berdentang kudus menguak sunyi
Lantunan lagu puji menebar harap
Bisikan doa mengoyak senyap
Sawah kembali menghitam sebab lembab mengendap
Menanti karunia tangan terampil menganyam nasib
Ketika matahari hampir sisakan lelah
Alunan panggilan dari surau desa berkumandang mengundang
TITO SEMIAWAN
130621
----------<0>----------
TAK DAPAT KELUAR DARI BENAK
Emosi coba hempaskan
Ketika kau mengajuk lemah
Isak sedu tertahan
Rintih airmata
Cemas kata yang ruah
Sebagai rengek tiada kerap
Harga diri telah gadai harap
Prasangka tetap halangi tatap
Gelap mata telah sembilu
Amarah menjadi yang ke tiga
Ku rapal setiap sumpah
Kau tetap tak dapat keluar dari benak
TITO SEMIAWAN
130621
----------<0>----------
CATATAN SABTU
Bersua hari di pucuk muda angsana
Pagi menari layaknya selendang pelangi
Kicau burung sapa mentari sejarak penggalah
Melompat di bilah ranting dan kepakkan sayap
Segenap rencana tuntas kepung malam
Titik sua tetaplah janji terucap
Sabar! Tiada hingga sore memandang Barat
Langit menulis ketentuannya. Pasti
Awan melepas amarah dan gemuruh hitam
Hanyutkan harap pertemuan
Cemasku sejumlah deras meredam hati
Menghapus semua catatan Sabtu
TITO SEMIAWAN
130621
----------<0>-----------
KABUR DARI RUMAH
Berjingkat perlahan susuri sunyi selasar
Hindari suara mengusik tidur
Cahaya terobos pintu terangi temaram lantai
Sepotong desah sayup sampai dari hangat selimut
Hatiku pecah karena berontak murka
Kutumpahkan semua serapah lewat sinar mata
Ayah tudingkan setiap sanggahan dari ujung jari
Matanya api geramnya halilintar
Ibu hanya diam mendekap air mata yang gundah
Duduk meringkuk memeluk duka
Setiap alasan kumuntahkan
dan argumen kutikamkan pada amarah
Hingga akhirnya hanya sepi dan tercenung
Karam karena emosi yang menguap
Perlahan ayah memandangku dan berucap gemetar
"Engkau beda agama, nak!"
Kaki kian berat menyeret terbebani detak jam dinding
Ruang tengah serasa tanpa ujung
Samar, perabot terlihat memandang debarku
Daun pintu congkak menanti tibaku
Pada mulanya adalah cinta
Berkubang bersama bahagia
Membangun surga dengan rindu-rindu kecil
Menghiasnya dengan cemburu yang manis
Ketika esok telah padu dan kata tiada bantah
Kerikil tiba-tiba bergulir
dan membesar menjadi batu perbedaan
Diskusi dan pembenaran selalu didengungkan
Jalan tengah pembelaan telah dibangun
Kita akan tetap satu cinta di atas dua keyakinan
Kau buka hati orangtuamu
Aku memohon restu ayah ibu
Meja dan kursi silahkan lewat
Memberi ruang sedihku jalan
Suara malam samar berdesir
Menutup gelap di balik pucat tembok
Kumasukkan baju ke dalam ransel
Begitupun segenap amarah dan sedih pedih
Kecewa tak lupa kusematkan
Air mata menemani tiap gerak
Diam sesakkan dada
Aku menyumpah pada adil
Mencerca setiap ucap yang melecut
Kubulatkan tekad untuk tentukan arah nasib
Kuarahkan pandang pada seputar kamar
Dengan gontai dan menunduk
kaki melangkah menuju pintu
Pintu terdorong dengan hati berat
Tanah perjanjian terbentang menantang
Kupandang langit malam dan taburan bintang
Hatiku penuh dan berteriak : "Cintaku, aku berontak!"
TITO SEMIAWAN
200621
----------<0>----------
TITO SEMIAWAN |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar