KOLABORASI PUISI
EPITAF KENANGAN
Romy Sastra & Kitikiti Jopantu
#_Romy
Pernah kusinggahi dermaga tak bertuan, tatap menara gading kelap-kelip lalu padam. Di sana, di pantai rang bulan aku bayangkan tali sauh para nelayan kokoh mengikat cabaran. Kenapa nakhoda yang hendak mengharungi segaramu semuanya seperti ambai-ambai pantai, menggali pasir lalu sembunyi? Kau puan, tegar pada jalan kehidupan mengikuti fitrah demi taman-taman tiranimu bermekaran.
Puan, tegarlah dianyam sepi! Dulu kukibaskan bayangan hitam menghantuimu, tentang kegagalan dan kematian pada noktah. Kutitipkan satu kejora cinta di rambutmu,
biar helai menyemai. Ternyata gugur bunga di jambangan.
Duhai sang kidung hati, bukalah matamu! Jangan pejam menatap ilusi, yakinkan esok pagi kembali. Jadilah bestari pada reinkarnasi mimp-mimpi, mimpi yang akan jadi kenyataan
pada konflik hidup penuh cabaran.
Aku berdoa untukmu, meski cerita bersamayam epitaf kenangan di peti mati. Sedangkan kita selalu memadah rasa tak melupa sapa. Kau dan aku pernah merangkai kisah, kita tak dendam, kan?
#_Mawar
Duhai, tuan?! Singgahmu yang kejap di dermaga tak bertuan ini. Sepicing mata menatap kelip di balik tirai ilusi kau harap. Aku yang merangkai taman ros setelah pelitaku padam. Ya, tuankah hendak menghidu bungaku pada warta angin dari pantai rang bulan diangan?
Kiranya aku ini cuma bunga layu, dan daun hampir gugur enggan bertunas. Takkan mampu setitik embun tuan siramkan. Dulu, aku tersalah melambai rindu di angin lalu. Aku teralfa mengiris sebak, garis-garis pemisah masa lalu adalah luka tak berbalut kubiarkan. Kau tuan, tak akan mampu menjangkau jarak. Mungkinkah sepasang merpati bisa bersatu di khayangan hati yang sudah ada pemilik? Rantaimu di kaki senja terikat kuat hendak bersanding di awan. Pipit di jelapang mencari makan bersarang di halaman rumahku.
Ah, tuan. Epitaf kenangan kau ulang kembali, singgahi mimpi-mimpi menghulur kejora tak bernoktah. Kau tahu, aku tak dendam pada kenangan, aku telah redho pada ketentuan suratan sebelum aku tercipta. Takdir mengajarkanku perjalanan hidup tak sia-sia. Aku selalu berdamai pada dunia yang kejam. Tuan, kau adalah persahabatan dari kejauhan. Ikrar yang dipujuk dahulu adalah taman-taman ilusi kau dan aku pernah merajuk. Meskipun aku pernah gagal pada noktah tertulis epitaf di batu nisan, hidup ini tetap kuteruskan. Aku tak dendam akan kisah silam, relakan bungaku menanti kejora menerangi malam.
Jakarta - Kota Belud, Sabah 28-10-2020
DESTINASI MAKRIFAT CINTA
Romy Sastra
berkabut tuju kutempuh
jejak lurus bayangan tak terpijak
tatapan tajam menatap kelam
memilah garis rasa tak tercela
aku raba doa menyingkap sukma
mati di dalam hidup
jantung bergerak nadi bergetar
alam sunyi menepi
hening bak lonceng berbunyi
bashiran, sami'an, hayatan ilallah
tubuh halus menembus kosmik alam diri
menatap segara riak berwarna
hawa menggodaku simak bisikkan kalbu
duhai musafir kerdil
janganlah berpayah berzikir
cukup sampai di sini keindahan yang dipikir
sebab di sana kosong
godaan itu nafsuku
iman terus berlalu tinggalkan jejak abstrak
dalam tarikh nafas ditahan
tak ingin tergoda kancah warna
dalam kepalsuan riak
destinasi imanku melaju terus melaju
pada perjalanan pikir, akal, nafsu bercumbu
meninggalkan rona semu fitrahku lebur
berbaur ke kolam rasa
menuju awas tak berujung tak bertempat
bening bukan warna lagi
lingga sariraku kaku dalam yoga zikra
pentauhidan itu menuju tauhid
destinasi yang hakiki tak berwujud
awasnya jiwa kepada maha jiwa
bayangan sirna yang ada adalah dia
destinasi makrifat cintaku fana
Jakarta, 25-10-2020
PATRIOT
Kupotong sebatang bambu
Lalu, kutancapkan ke dada Ibu
Darah suci mengalir peluh di tubuh
Kuminum seteguk
Merah mendidih di hati yang perih
Tak ingin negeriku dijajah benalu dunia
Dan para pengkhianat bangsa
Aku bersumpah!!
Sejengkal tanah adalah nyawa
Berguruh riuh di cakrawala
Panji itu tak gamang diterpa angin
Tak goyang digoda ingin
Pada hipokrit di balik cermin
Angkasa ini biru bung, masih biru!!
Negeriku tak rela berdebu
Pantang mundur diserang musuh
Meski baju ini compang-camping
Pekik pemuda pemudi itu
Menyatukan sumpah pemuda bela negara
Singsingkan lengan mari bersatu!
Sabda bangsa tertulis di dada Garuda
Falsafah negara Bhineka Tunggal Ika
Mari kita jaga jangan sayapnya patah
Tak bisa terbang tinggi
Menjelajahi dunia
Mana dadamu kawan?
Ini dadaku!
Mana otakmu kawan?
Ini otakku!
Bersatulah kita
Jangan terkotak-kotak ibu merintih
Takkan bapak bersedih
Runtuh tiang-tiang generasi
Tuhan titipkan negeri ini
Benteng terakhir perdamaian abadi
Dari pengalaman dicabik-cabik kolonial
Mari berdiri
Tundukkan lawan dengan prestasi
Romy Sastra
Jakarta, 23-10-2020
Naskah puisi untuk menyambut hari sumpah pemuda 28 Oktober
ANTARA HUJAN DAN AIR MATA
Romy Sastra
kututup jendela ini, di luar rumah akan turun hujan. kabus-kabus putih mengintai di balik tirai lalu, kilatan seketika menakutkan. suasana mendung dan hawa dingin kian menyemai tubuhku berpalung. aku gigil
selimut kekasih tak lagi kumiliki 'tuk hangatkan tubuh ini, tentang sepi membayangi hari kekasih menjauh pergi
hujan, usah titipkan awan hitam di jalanan
redalah sekejap, izinkan aku berjalan
meski kaki ini melangkah tak lagi bertujuan
sebab, jalan yang dituju tak lagi menyemai rindu, yang dirindukan telah berpaling ke yang lain hati, aku mengalah demi kebaikan pergilah bersamanya!
air mata, usah mengundang gerimis. takkan tangis di kelopak nan tipis meleleh di pipi. sebak di dada nan rusuh menghentak jantung debar debur tak menentu, tubuh rapuh jangan layu tegarlah selalu, aku yakin:
bunga-bunga setia masih ada di sana.
antara hujan dan air mata basah menyatu ditingkah pilu pada cabaran kesetiaan yang tergadai oleh kasih yang tak sampai. sejatinya
aku mencoba berdamai dengan rindu
tentang kau dan aku pernah bersatu
mengikrar janji sampai mati, nyatanya kau mengkhianati.
memilikimu adalah cinta semusim kukenali
Jakarta, 26 November 2020
MENUNGGU JAWABAN
pertanyaanku dari semalam tak kunjung dijawab. aku menatap dari jauh, lilin di ruang tamu rumahmu masih menyala, apakah kau tertidur? atau mungkin lagi melukis sketsa seraut wajah yang lain di peraduan. sedangkan kau mengabaikan lilin di meja menerangi malam. aku begadang menunggu jawaban sampai fajar tenggelam
sunrise membuka arunika, anak-anak ayam di belakang rumah berlari-lari mengejar induknya. anak ayam itu bertanya perihal bapaknya kepada si induk, cit-cit-cit... di mana bapak tak bersama kita, bu? induknya menjawab; tu bapakmu kukuruyu dari jauh mengalun merdu menyapa bunga-bunga bermekaran
secangkir pagi di ujung kretek menunggu jawaban hati tak kunjung datang
di mana puisiku berserakan di bait-bait diam
Romy Sastra
Jakarta, 16 November 2020
ALEGORI
kalian sudah berunding sebelum adu tanding,
strategimu bermain catur berujung ngawur. lincah menebak angka-angka demi dapatkan kucuran istana. perang urat saraf segala sisi memperebutkan tulang-tulang ayam disantap di meja makan lima tahun kau mainkan. ah, petahana ingin menambah dasi mewah lagi naik ke bulan sebelum fajar menyingsing mencuri start di bumi demi kursi berduri
kau tahu kan bangkai ayam tiren busuk, nyatanya direbus juga. alih-alih berbakti, jerih mendatangkan untung berdelik kerja tak memuaskan panggung. padahal kau sudah diincar audit pertanggungjawabkan amanah di balik laci terkunci, tikus mati di lumbung padi. matilah kau kejepit tali menjurus terali
Romy Sastra
Jakarta, 14 November 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar