PUPUS
Senja telah menggaungkan catatan kisah
detak jantung kita yang nyaris usang
dan benteng acuhku pun tak mampu menghadang gemanya merobek rungu kenang
tidakkah tertampar ego angkuhmu juga puan?
Semusim hening telah tercipta
merotasi senyum pada titik nadir beku
hingga lumpuh jemari jiwa memetik dawai dawai cahaya seribu bintang yang dulu pernah membisingkan panggung opera biru dengan puitisnya syair berembun sejuk
Puan,
Mungkin rangkaian alpa terlanjur menjadi kitab berduri yang telah bermeterai merah
pada majas yang kita genggam ditakdir rajah jantung kisahnya telah letih berdegup mengejar bayang bayang mimpi yang meredup
Ah sudahlah puan,
mungkin hanya birama semu dari partiture lusuh senja menyambut malam
yang salah kutafsirkan maknanya disana
Teruslah kau melayang puan,
dan ku pun membenam angan
hingga esok hanya terbilang dan hilang
lalu lupa bila kau aku pernah menjabah luka.
Jkt20*IsRa*
LELAKI DAN MALAM
'Tak akan ku biarkan lagi bayangmu mengusik lelapnya hening malam
biarkan lusuhnya selimuti hasratku membekap asap
Getaskan detik akhir ku memujamu
karena ku lelah menggapai rasa
pada pucuk gemerlapnya
pesonamu
Lelahku muak meniti pada titian lapuk sang candra
yang bersinar pucat
geraham angan telah rapuh
melumat kerasnya angkuh mu
Yah
akulah sang pemimpi
yang terkurung langit
tingkap tingkap malamku retak
nyali luluh merebah sesak
Ach,
redup temaram berpupur pucat rancukan mata doaku
melangkah
pada pintu jabahnya hasrat
Jkt.20*IsRa*
MENAMPAR ANGIN
Ada yang terhilang
di bawah bias sinaran matahari
detik detik waktu yang tercerai
dari bait bait kitab nadi
Narasi jejak tunas yang patah
sebelum kokohnya pokok bara menyangrai mimpi dan menyajinya di altar lelas cahaya
Ngarai dan lembah biru saling menatap perih titian yang patah,
tak dapat lagi tersampaikan salam
gerai manja ilalang pada pada sang penabur gita embun
Ayat ayat kesunyian
terselip di spasi bisu
rancukan sempurna
tak lagi bertahta
Engkau dimana duhai serpihan
senyuman penyempurna senja
lihat,
lihatlah mozaik wajah letih ini
tak dapat lagi terakhiri bangga
Ah,
hingga majal belati garang tergenggam, belukar tanya itu
masih tak pernah terurai jawab
JKT.20*IsRa*
MERDEKA KAH AKU,KAU,KALIAN
Tidak kah kita merindunya,
sayap sayap sutra kita merdeka mengepak
di hamparan aurora bintang bintang
saat ihwal kudus kita masih perawan?
Tidakah itu termakna lembut dikitab nalar,
pun ketika langit dan bumi membelai manja dengan sentuhan perawan embun nirwana yang bernafaskan sejuk, tidak kah itu suluh rindu kita ?
Tapi acap kali kita acuh,
bangga berhias pupur debu
lalu berlenggok genit didepan cermin yang retak,
bukankah jadi termozaik wajah kita?
Dan kita biarkan suluh itu meremang,
bahkan hampir padam tanpa halau kita membentengi hembusan angin merampas terangnya.
Ah roh kita terlalu lama menggigil,
ketika kita merantainya dipuncak beku nurani yang kita buat sendiri,
keluhnya memajalkan batin,
tak lagi mampu merobek sekat sekat belukar berduri,
lalu kita menyudutkan rancu rajah jemari dalam penjara yang kita kaligrafikan itu iklas.
Mulut kita hanya berjubah madu,
raga kita hamparan kepahitan yang binal
terlalu birahi kita menggumulinya
hingga rahim ekstasi ciptakan anak anak bertaring darah.
Sepotong mantra sewarna susu acap terucap enggan,
tapi beribu serapah berpelangi tak letih kita gaungkan,
gemanya menghardik lantang bulir bulir embun dengan api geram hingga menguap kering dari pucuk pucuk rerumputan.
Lihat,
lihatlah
nyali kita telah kehilangan taji,
taji perak kesucian,
penghias bidadari swarga para dewa.
mata hati kita terbalut lendir lendir problema angkara ego yang kita racik sendiri,
hingga mengental menjadi bebukitan tandus,
lalu dengan bangga kita membai'atnya sebagai seorang musafir.
Masihkah itu kita pahami sebagai aksara putih
KEMERDEKAAN..?
Jkt.20*IsRa*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar