UNTUK MENCARI PUISI-PUISIMU CUKUP KETIK NAMAMU DI KOLOM "SEARCH" LALU "ENTER" MAKA SELURUH PUISIMU AKAN TAMPIL DI SINI

Rabu, 02 September 2020

Kumpulan Puisi Tito Semiawan - MALAM KITA



KATA

Pada mulanya adalah kata
Rangkaian verbal tiada duka
Telanjang hilang arti
Bebas dari dosa dan terasing

Seperti sembilu mengoyak
Luka alirkan ribuan arti
Kata membiak jadi bencana
Menjilat seumpama lidah api

Perlahan kata bertiwikrama
Menjadi doa, serapah dan janji
Melahap segenap syahwat
Kredo bagi para penafsir langit

082020



QODAR

I. Muqodimah:Sebuah sketsa tentang
a) Suasana b) Saat
II. Pencarian sebenarnya a) Bangun b) Tidur
III. Atas namaMu dengan namaMu
IV. Epilog:fragmen

Angin diam tiada jejak
Bintang berpendar lembut
Kantuk berkejaran dengan malam
Doa dipanjatkan di sela jari
Tengadah menghujam langit
Gerimis terkadang menyapa
Membawa pesan seribu rahmat
Qodar membimbing langkah
Lewati belantara waktu

(Wahai jiwa yang tersesat
Ud'unii astajib lakuum
Gapai qodar seribu bulan)

Berburu qodar di malam kemarau
Seperti bentangkan perangkap
Menjala mangsa
Ubarampe kopi dan kudapan
Sebagai teman mata
Dzikir dan diam senjata
Membidik di belantara waktu
Menebar Qur'an dengan berbisik
Berkelompok maupun sendiri
Para pemburu hajat teliti
Mencari di tiap jengkal masjid

Jika malam tua
Bergegas sujud
Mohon sebanyak yang terpikir
Segenap yang diinginkan
Meraih semua yang ditawarkan
Meraup setiap angan-angan
Sebagian yang lain terlelap
Memetik qodar dalam mimpi
Ngalap berkah dengan sarung

(Wahai Pemilik Segala Duka
Singkaplah hijabMu
Bentangkan rahmatMu
Tetapkan qodarMu)

Kau datang Dia menghampiri
Kau jalan Dia berlari
Kau bentangkan tangan Dia memeluk
Kau bersimpuh Dia meraih
Kau mohon Dia memberi
Kau menangis Dia terharu
Kau mengeluh Dia menghibur
Kau mencari Dia menemukan
Kau berharap Dia memastikan
Kau lemah Dia Menguatkan
Kau lelah Dia Memberi semangat
Kau menggapai qodar Dia meletakkan dalam genggamanmu

Malam nyaris di penghujung
Qodar telah ditetapkan
Garis tertatah di catatan langit
Fajar merekah
Hitam putih bercerai
Subuh menutup perburuan

082020



MENANTI

Menanti adalah jarak aku dan bosan
Detaknya menusuk kesadaran
Menitis dalam peluh
Perlahan memamah waktu

Menanti adalah deretan bangku
Tembok dingin berdebu
Mata nanar menghadang pintu
Siap menelan segala keluh

Menanti adalah wajah lesi
Hitungan mundur melambat
Ucap adalah bagian diam
Tak bersahabat apalagi semangat

Menanti adalah suara sunyi
Berbisik di hati gundah
Dimuati segenap serapah
Hingga panggilan memecah

082020



MUDIK

Kutaruh kangen sua
diantara tumpukan baju di kopor tua

Kereta bergerak berderak
menjemput kampung halaman

Kubungkus sejumput sombong dan secercah ria
buah tangan bagi sanak di desa

Kereta menembus malam
mendengus membawa cinta menuju tanah tumpah

082020



ABSTRAK

Kucari suasana
di labirin imaji

Kutangkap suasana
dan kuikat dalam kata

Kusematkan suasana
di lipatan kertas putih

Kusimpan suasana
di laci sanubari

082020



MINORITAS


Suara luka dunia terlupa
Mengucap terbata pepatah cinta
Di ranah terlarang hati dan mata
Tanya tanpa sapa

Suara duka di panjang hari
Menghujam nurani tanpa bunyi
Bersorak gembira di balik terali
Melakoni ratap tanpa tangis

Suara sunyi tanah leluhur
Senandung duka tanah luka
Menggapai asa merajuk doa
Menapak lemah jejak akhir

082020



JENDELA

Jendelaku menggapai angin barat
Mengajuk ke dalam hati
Mengoyak kenang
Juga waktu

Tirai putih bermotif bunga
Menyentuh cakrawala
Menghalangi mentari
Seperti kau mendekapku

Dari teralis pandangku mengejar pikiran
Melayang ikuti burung manyar
Menjemput rejeki pagi

Cahaya lembut melandai
melukis bayang di lantai
Memanjang serupa jeriji

082020



MALAM KITA


Menggadangi malam muda
Langit tersenyum di serambi
Bintang jatuh mengibas ekor
Bau humus menggelitik hidung

Sinar bulan berpendar
Meresap dalam kopi
Hitam dan panas
Tercampur aroma tubuhmu

Berbincang bertelekan kursi
Menikmati kata
Pikiran bergumul
Angin mengusik

Kita menghayati malam
Malam melingkupi kita
Kita dan malam melebur
Semakin larut

092020



Trilogi AMARAH: I. BARA

Tiba-tiba semua berwarna merah
Seperti darah, mengalir dan tumpah
Bermuara dengki bercampur resah

Tiap langkah menggiring hujah
Ucap berubah menjadi serapah
Mengalir ke kubangan dosa dan salah

Waktu merujuk sore terik berpeluh
Bermandi airmata mengupas kilah
Membiarkan ego menjadi suluh

Khilaf dan maaf terdiam dan kalah
Duka mengisi hari dengan pongah
Menepis damai melepas amarah

082020



Trilogi AMARAH: II. AHANGKARA


Luapan amarahmu mengguncang emosi
Menutupi seluruh kesadaran dan luka.
Tenggelam di lautan kata

Kata yang menelan semua kesantunan
Seolah belati berkarat menghujah jiwa
Merasuk menjadi Durga dan duka

Duka membariskan semua argumen
Menjadi benteng setiap dosa yang terucap
Lalu mengendap menjadi benci

Benci yang menghapus semua kenangan
Tahun-tahun dimana cinta direguk
Saat nafas kita menjadi birahi

Birahi adalah keniscayaan menyakitkan
Karena ada dirimu di sana
Hilang dan menitis menjadi ahangkara

082020



Trilogi AMARAH: III. SESAL

Telah senyap Kurusetra
Telah lenyap badai amarah
Telah lelap Durga Kala
Telah silap netra memerah

Telah hilap Sangkuni Drona
Telah genap emosi tertumpah
Telah lengkap Cakra Syiwa
Telah sigap membuka langkah

Telah gelap Sang Surya
Telah tetap akal islah
Telah siap Bisma moksa
Telah kasip sesal merekah

082020



TAHUN BARU

Kusingkap tahun yang lewat
Ketika itu hujan turun
Basahi ranting daun

Dan padi merunduk
mencium bau tanah
Batangnya menunjang langit

Malam kuyup dan dingin
Gelap menghampar serupa tudung
Memeluk pepohonan yang gemetar

Hari dipisahkan oleh harapan
Disimpulnya nasib di tulis
Serupa sarang laba-laba

Esok ketika timur terbit
Waktu tetap melintas
Dan cahaya merambah barat

082020

 



AWAL MUSIM HUJAN


Musim malu-malu rontokkan daun
Sebab dahaga panjang
Debu mengendap di teritis
Panas di akhir kuning kemarau

Pepohonan lelah ranting kerontang
Lantunkan doa bercampur cemas
Langit menitikkan berkah
Pesan kehidupan dari wangi tanah basah

082020



HARI


Sepotong hari tak pernah tuntas kusambangi
Walau banyak waktu kubawa bersama langkah
Seperti nasib, hari memiliki peruntungannya sendiri
Kadang tertawa seperti siang yang terik
Sering juga menangis mengiringi derai hujan

Perlahan hari tiba di ujung
Merangkul senja ungu
Memayang teja di langit

082020



DOLANAN

Teman-teman
kita main, yuk...
Main perang-perangan, mau?
Mau, ya?!?
Pilih senjatanya
ada pistol,
stengun,
bazoka,
senapan.
Atau pilih pisau,
atau pedang,
atau tombak.
Semua ada!
Oke, semua sudah pegang senjata
Aku jadi pemimpin, ya? Oke!
Kita berperang dimana, teman?
Di hutan asyik
Di kota seru
Di pantai bisa
Baiklah kita berperang di sana saja
Sekarang, semua bersiap!
Pilih posisi masing-masing
cari yang strategis,
nyaman, dan
mulai memandangi gadget masing-masing
dan menarilah jari dan jempol.....

Teman-teman
Mari kita olah raga
Bagaimana jika sepakbola?
Setuju semua? Oke, kita main.
Kita berbagi posisi, ya
Kau di depan
Aku di tengah
dan kamu sebagai gelandang
Kamu, kamu dan kamu,
jadi back ya!
Siapa yang mau jadi kiper?
Baiklah engkau saja teman.
Bagaimana dengan klubnya?
apa klub luar negri,
klub yang top,
klub juara terus ,
juaranya juara,
juara liga awang-awang?
Tentunya, klub lokal juga.
Klub sudah dipilih
dan posisi sudah ditentukan
Sekarang, semua bersiap!
Pilih posisi masing-masing
cari yang strategis,
nyaman, dan
mulai memandangi gadget masing-masing
dan menarilah jari dan jempol.....

Dahulu teman bermain selalu
keringat,
bau badan,
haus,
lelah,
kulit kusam,
luka,
jatuh,
mencuri buah di kebun tetangga,
serapah kakek pemilik kebun,
sembunyi,
berlari,
mengejar,
tertawa,
marah,
berkelahi karena karet,
hitungan 100 yang lompat,
kecurangan kecil yang menyenangkan,
gendong menggendong,
dan langkah lemas mendekati maghrib
saat matahari surup,
teriakan ibu menyuruh mandi.
Semua berganti menjadi
Sekarang, semua bersiap!
Pilih posisi masing-masing
cari yang strategis,
nyaman, dan
mulai memandangi gadget masing-masing
dan menarilah jari dan jempol.....

09020



DEMAM

Sakit menegurku tergagap dalam senyap
Meradang di setiap sendi
Merintih di simpul saraf
Suhu merayapi tubuh
Sisakan panas yang membakar
Sedang otak terisi fragmen mimpi
Berkelebat di pelupuk
Mulut, muara segala dosa
Kering dan pahit
Dipenuhi liur dan serapah.
Kamar seakan menjauh serasa mendekat
Ikuti irama nafas
Suara-suara seakan peka dan bergema
Berdenging di kuping
Menulikan ruang
Tubuhku terbaring lemah
Mencari keringat ditiap lipat selimut
Meletakkan kepala di bantal kumal
Di alas sprei lusuh
Mulut, ya kembali mulut, menginisiasi tubuh
Melebur semua luka
Meneguk pahit obat
Harap yang melegakan. Lemah
Akhirnya, perlahan kesadaran kembali direbut
Tubuh tergolek lemah menghitung waktu
Langit-langitpun kembali diam di tempat
Sedangkan suasana tersapu angin
Bau obat dan keringat. Lega.

092020



KESEPIAN KITA

Kesepian kita hanya deret neon
Kerumunan orang tanpa wajah
Hilir mudik produk masal
Kadang kita bicara
Menari jemari
Berkirim sapa angin
Senyum pada langit-langit
Senandung kecil ikuti irama
yang keluar lewat pengeras
Menatap rak penuh iklan
Melangkah di lantai dingin
yang tak pernah mengajak istirahat
Berpapasan dan beradu bahu
Hanya untuk lebih tidak mengenal
sambil menampilkan wajah "ma'af"
Lalu kita saling membelakangi
Sibuk mengeja daftar dan harga
Memeriksa diskon dan senyum pramuniaga
Mulailah pemuasan dahaga belanja
Rak demi rak
Lantai per lantai
Waktu berhenti berpihak
Tenaga mencapai kulminasi
Antrian mengular
Akhirnya, ritual neraca yang tak pernah adil terjadi
Recehan tidak bersahabat
Permen atau bujukan donasi
Dan kita, membawa semua omong kosong iklan
Diskon yang mencekik leher dan tas plastik yang cemar
Beserta sisa hari.

092020



BALADA SAKIT GIGI

Kepalaku serasa pecah
Terburai jadi serpihan kecil meletik liar
Mengusik syaraf lewat suara
Menghujam kejam ke dalam gigi
Menggiring santun jadi luap emosi
Keluhan meradang tutupi setiap jengkal nalar
Mulut adalah muara masalah
Dijejalkan semua hasrat
Menimbun semua nafsu dan menelannya
Disodorkan lewat baris gigi
Sambil mengunyah pongah
Panas jadi seteru
Dingin menikam
Suara memantik
Ruang menghimpit
Waktu melambat
Setiap denyut di gigi adalah siksa
Setiap kumuran garam berubah serapah
Setiap sikat gigi tinggalkan ngilu
Setiap kata hanya erangan
Segala laku diterjang
Seperti pencuri menyelinap
Bersekongkol menebar sakit ke seluruh tubuh
Menyelipkan sumbu di sela gigi
Meretas semua akal sehat
Ketika semua daya telah kalah
Pasrah menggadangi rasa sakit
Dengan berat hati kulangkahkan kaki
Menuju harapan pamungkas menakutkan
Dokter gigi

092020



MENANTI HUJAN BERHENTI

Musim seperti tidak beranjak
Meringkuk di ruang siang
Angin semilir serupa selendang
Ronanya membekas di dedaunan

Langit menulis kisahnya dengan warna
Melintas perlahan menjaring mega
Waktu menyimpan jawabnya di teritis
Mendung datang menabur benih

Mentari mengibas helai sinarnya
Menari diantara titik hujan
Aku tercenung menatap kotaku kuyup

Di tangga air menetes
Membentuk kubangan kecil
Aku dan hujan berbagi ruang

092020




RUMAH SAKIT

Di rumah sakit ruang dan waktu memiliki hukumnya sendiri
Malam semakin panjang dan siang kian merambat
Semesta mengecil selebar tempat tidur dan seluas kursi tunggu
Hiasan termewah hanya tabung oksigen, tubuh terbaring lemah dan senyum perawat
Tetangga kita terdiri dari deretan tempat tidur, lorong panjang dan penyakit
Tamu yang rajin menyambangi adalah dokter dan perawat
Datang bersama dokter muda seperti seregu polisi patroli
Seperti semut dan nyamuk yang tak pernah absen menyasari remah dan resah
Keluarga tercenung nanar menatap langit malam menanti qodar
Kurang tidur, kurang makan, kurang kopi, terlalu sedikit pembunuh waktu lengang
Dokter seperti "tuhan", memutuskan siapa pulang dan mana dirawat
Apa yang dimakan dan mengapa dilarang
Memutus ini itu tanpa ada penyanggahan
Hanya anggukan mafhum dokter muda dan senyuman perawat berusaha mengerti
Perawat dipanggil lewat bel untuk sekadar membetulkan letak bantal atau hanya untuk iseng
Kadang untuk mengganti popok yang bersemu kuning karena pipis bercampur faeses lembek dan berbau khas
Di jam senyap mereka menghampir ranjang memeriksa kondisi
Mencatat semua parameter untuk konsumsi "tuhan"
Bicara makanan, menu rumahsakit layaknya resto bintang Michelin minus rasa
Dibuat hanya untuk dibuang
Handai taulan.....
Ah, mereka hanya sekali datang beramai dan hanya membawa buah serta meninggalkan gaduh
Kadang sebaris doa.
Selebihnya adalah tubuh-tubuh tanpa wajah
Suara detak jam yang menyisakan detik dan bosan. Sepi dan menggigit
Selain semua kekurangan yang menyertai, rumah sakit adalah hunian yang lebih baik dari hotel prodeo tapi lebih buruk dari hotel kelas melati
Ada hitungannya setiap akhir perjamuan atau jasad tersandera sebesar rupiah terhutang

092020



ANGIN

Angin tak lelah hampiri pagiku
Selalu gelisah tampakkan gemulainya
Dibawanya semua kisah berdebu dan kuning daun

Angin rindu
Angin mendesau
Angin kemarau

Mentari menarik angin menuju buritan
Menaiki awan jelajahi cakrawala
Hembusannya kencani pepohonan berderai

Angin cinta
Angin tenggara
Angin menebar salam

Angin datang dan pergi
Meliuk antara mega laksana naga menari
Jemarinya menabuh buluh perindu

Angin kembara
Angin mangsa ke tiga
Angin melayang bak selendang

Dipeluknya mata dengan kantuk
Disamarkan terik lewat hembusan
Ditinggalkan aku dalam ekstase

Angin lembut
Angin sepoi
Angin musim

092020



DIET

Niatku terkungkung kokoh dalam tekad
Pikirku mengecoh mata, hidung bahkan lidah
Otakku berselisih terhadap citarasa
Mataku nanar memandang kudapan

Lenganku gemetar leherku tersedak
Perutku berbunyi asamku naik
Keringatku dingin bibirku bergetar
Tubuhku terkapar didera lapar

092020



MALAMKU

Malamku terbalik meletakkannya
Tampak ketika kantuk menjauh
Dan gelapnya hilang ditelan bosan

Malamku bertutur tentang angin
Suara lembut gesekan daun
Jeritan jangkrik mencari pasangan

Malamku hanya kenal menanti
Dengan cahaya lampu menari sunyi
Sebab ruang dan waktu tetap berdiri sendiri

Malamku lupa meletakkan mimpinya
Di sana ada setangkup cinta terjaga
Sedang pikiran telah menjadi rimba kata

Malamku datang dan pergi tanpa salam
Mengendap menyergap kamarku
Menebar dingin lewat waktu

Malamku tak berbatas tak beranjak
Bernaung dibalik ujar-ujar dan petatah petitih
Perlu hati untuk menjelajahi diamnya

Malamku terbentang antara pohon dan gunung
Ditebarnya bintang sebagai paku
Digantung bulan selaku lampu

Malamku akhirnya beranjak lalu
Membawa seluruh hitam berlalu
Tinggal aku sendiri melukis rindu

092020



KANTUK

Aku menanti kantuk bertandang ke ranjang
Biasanya ia datang ditemani malam dan hadir lewati jendela kamar
Tapi telah lewat tengah malam ia belum juga menyapa
Suara musik dari radiopun membujuk agar ia berbaring di sampingku

Aku terbujur diam bertelekan bantal sambil pejamkan mata
Otakku berdiskusi dengan hati menghabiskan waktu
Kantukpun tak juga hadir
Aku tetap sendiri menanti pagi

092020



WARUNGKU

Warungku warung penantian
Menanti malam mengantar rejeki
Rejeki yang terbawa asap motor
Motor yang memapaki lembaran rupiah

Warungku warung kopi
Kopi pekat dan gorengan dingin
Sedingin malam ketika wajah lelah menghampir
Tiba dengan recehan kumal penukar dahaga mata

Warungku warung kecil
Sekecil dunia tersapu angin malam
Angin malam pengantar pelanggan
Pelanggan yang mencari kehangatan obrolan ringan

Warungku warung menghadang malam
Malam yang dihangatkan harum kopi dan asap tembakau
Tembakau pencuci mulut bagi mie rebus bertabur cabai
Cabai yang meremas perut karena pedas

Warungku warung penjala siang
Siang yang disesaki debu dan polusi
Debu dan polusi yang merangsang lapar dan dahaga
Lapar dan dahaga yang mengantar langkah dinaungan warungku

Warungku warung pinggiran
Di pinggir keramaian kota besar
Kota besar yang menelan semua nafsu manusia
Manusia yang mengejar remah-remah pencari hajat

Warungku warung dahaga
Dahaga yang terlarut dengan kopi dan teh
Kopi dan teh sachet murahan
Murahan karena malam semakin pelit membagi rejeki

Warungku warung hidupku
Hidupku yang kujalani dan kusinggahi
Kusinggahi hingga dagangan ludas
Ludas karena janji telah digenapi

092020



ID

Menziarahi hari kemenangan
Berjuta rindu berbondong susuri jalan mudik
Bawa mimpi dan keberhasilan yang sedikit tertunda untuk dipamerkan ke sanak
Genapi janji nazar yang terlanjur terucap ketika langkahi tanah leluhur

Anak dikenalkan pada saudara, kasta, tingkat dan kedudukan dalam tata sosial
Istri jadi tranding mode
Pusat informasi bagi kadang
Segala harga yang didapat karena pulang dari perantauan

Baju baru tersimpan di koper
Hadiah kecil tersusun di tas
Gepokan uang receh tersedia di dompet
Semua untuk membeli perhatian dan membayar kedudukan dalam keluarga

Ketika eforia telah berlalu dan sisakan lelah
Harga diri dan kebanggaan telah terbanting sebab sanjung telah reda
Bagasi mobil dipenuhi beras dan pernik
Apapun yang bisa diangkut ke kota untuk menyambung hidup

Teriring doa dan lambaian tangan
Selamat tinggal kampung halaman
Selamat berpisah sanak dan handai taulan
Aku merantau kembali agar tahun depan dapat kembali membual

092020



KAFE

Udara malam terasa padat
Seperti sesak yang melesak di dada
Lampu temaram terpapar asap rokok
Bergulung menyentuh diding ruang
Pendingin udara terengah memasok kesejukan
Di panggung kecil
home band menyanyikan sebuah lagu ceria
Penyanyi dengan riasan riuh
Atraktif meliukkan tubuhnya
Penonton acuh sambil menghirup minuman
Pasangan berbisik mesra sambil bertatapan
Waiters hilir mudik mengantarkan pesanan

Lagu berganti
Irama melambat
Penyanyi memeluk mikropon
Lengking gitar menusuk dalam ingatan
Bait cinta dinyanyikan dengan hati
Bercerita tentang kasih tak sampai
Melodi kian mencekik memori
Merintih menangis mengais
Menggapai hati yang sepi
Lantai terisi beberapa pasangan berdekapan
Saling mengeja langkah
Perlahan mengikuti irama lagu
Udara semakin pekat
Bercampur bau parfum, alkohol dan tembakau
Larut kian menghujam di jantung malam
Waktu terhenti di pintu masuk
Orang tetap berdatangan mengejar suasana

092020



SURAT UNTUK CINTA
Untukmu cinta, dimanapun kau berada


Sebenarnya aku masih tetap selingkuh dengan sendiri, sayang
Walau sisa indahmu masih saja berbisik mesra
Menelisik sisi hatiku
Duka bersenandung melantunkan seloka dan luka
Merajam rinduku, cinta
Bersatu dalam nadi syahwat dan tarikan nafas kecewa

Aku melamar mimpi yang menghampar
di gemerisik daun berangin kering, sayang
Kubawa mahar kelopak mawar
tanda setiaku janji sejuta nestapa
Tetapi rinduku tetap diam dan meneteskan luh
Tercenung memeluk diri, kekasih
Meratapi hilangmu yang mengalir
bersama sungai kecil yang beriak di celah hati

Wahai cinta dimanapun kau singgah

Aku memanggilmu dengan segenap bahagia
Ku lukis dengan tinta harap di langit biru, sayang
Bayangmu menari riang dan mendekap mimpiku
Membimbingnya melintas jembatan kasih bermotif jingga
Bertiwikrama menjadi nafsu melebur kesadaran, smara
Di lain saat aku terkapar menggelepar dihamparan birahi sunyi
Dan memeluk lekuk khayalmu indah

Selangkah lagi ku ingin menyunting egomu
Berhias ayu dalam balutan malam pengantin purnama penuh
Semua daya ku curahkan tuk memerangkap kau
dalam sangkar asmara dan temali bahagia yang berpilin janji
Engkau tetap tak terjangkau nalar
tak tertangkap rindu
tak terperdaya rayu bertabir sedih
tak tergoyah nasib tertulis di mata haru
Hanya bayangan samar tertunduk gontai
meratapi jalan berliku dan berangin
seperti erangan putus asa dari dukamu abadi

Wasalam cinta kapanpun memudar

092020
TITO SEMIAWAN


Tidak ada komentar:

Posting Komentar