UNTUK MENCARI PUISI-PUISIMU CUKUP KETIK NAMAMU DI KOLOM "SEARCH" LALU "ENTER" MAKA SELURUH PUISIMU AKAN TAMPIL DI SINI

Kamis, 11 Juli 2019

Kumpulan Puisi & Prosa Romy Sastra - SEBATAS KISAH ORIGAMI BUNGA



SEBATAS KISAH ORIGAMI BUNGA
Romy Sastra


menggulung senyum di semilir yang mendesir
aliran mengalir di nyanyian sebelah pohon bambu
mata nan syahdu berpeluk rindu
kubuka lembaran memori
pada suara hati berbisik lirih di rambutmu
kelopak merekah menyemai manja
ada air mata tumpah dan kubertanya;
tentang satu cita yang dipesankan cinta ke dadamu
masihkah rasa itu memadah kisah?

aku menatapmu puan tak menyentuh hina
kunikmati seluruh anugerah yang dititipkan padamu
puan yang kucinta
kau terindah di kaca mata rasaku
kudekap dikau ke dalam doa, jadikan ibadah

oh, rindu
matilah aku dimabuk senyuman palsu
ternyata kau sebatas kisah origami bunga
mekar tak menebar aroma
kau ada dan tiada

aku berpaling mencari sekuntum pagi
menyibak bestari di kaki musim yang semi
dan tualang ini kusudahi meniti jejak tak pasti

ah, ternyata musim terus berganti

Jkt, 10719



PERTEMPURAN PESISIR SELATAN
Romy Sastra


siasat badai kepada laut menyisir pantai, dan layaran tuan-tuan eropa ekspedisi samudra ke nusantara, mendapat kabar: surgawi turun ke bumi di pesisir sumatra, bertempat di aceh, tiku, padang, bayang, salido, batang kapas, indrapura bengkulu, sriwijaya hingga lampung banten dan batavia. kau kolonialis datang membawa bara adu domba bersenjata iblis, di mana raja-raja kecil di bumi minang kau kencingi oleh bibir manis. berdelik mencari rempah-rempah: pala, lada, kapas dan lainnya. kau berlayar bernakhoda sadis, tentara portugis, belanda dan inggris. bersekutu saling sikat, saling sikut, merebut suku-suku mencari kesempatan di ladang-ladang yang dipecundangi. di sini di bumi kami, riak-riak pantai sangat damai, dan kau bertingkah seperti elang mencincang burung-burung sawah, dadamu membusung diembus kabus akal bulus, bedebah...!!!
kolonial serakah.

kolonial menyisir di pantai pesisir selatan painan zona strategis, dan di poeloe tjinko tempat menyimpan meriam-meriam serdadu menjaga rempah-rempah menuju eropa. siap siaga bertempur dengan senjata mesiu dihadang runcingnya bambu.

seribu satu raja di tanah ibu bersatu
saiyo sakato tak lagi mau diadu.
rajo nan tigo selo: rajo alam, rajo adat, rajo ibadat bertakhta di pagaruyung tak punya panglima mengempur penjajah. melainkan bangkitnya jiwa-jiwa punggawa penghulu bertuah di daerah masing-masing menyibak tongkat ke langit, bebaskan bumi minang dari penjajah! perang bayang dan salido pecah dari siasat adu domba dapat dipatahkan dengan maruah adat. duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, bersatu jadi teguh dengan satu tongkat tauhid, dan minang jangan sansai
pertempuran zona pesisir selatan sumatra adalah sejarah seribu tikai
badai zaman di dada generasi selalu mengintai
berpikirlah...!! jangan lengah.

Jakarta, 8 Juli 2019



IKAN LARANGAN NAGARI KUBANG
Oleh Romy Sastra


Lubuk jantan dan lubuk betina adalah satu cerita turun temurun, dua lubuk sungai yang berdekatan, ada batu sebesar rumah atau musala bergandengan seperti arca alam bersanding mesra sepanjang masa di lubuk tersebut. Lubuk tempat berkumpulnya bermacam ikan-ikan menjadikan tempat itu sebagai salah satu destinasi memancing orang-orang kampung pagi petang hingga malam hari, sambil menikmati sepoinya udara sungai tak tersentuh asap-asap teknologi, dan menyimpan cerita-cerita mistis (angker) penunggu lubuk bagi yang mempercayainya. Ah, lubuk jantan yang masih menyisakan kisah meremang bila diceritakan bagi yang pernah mengalaminya. Termasuk penulis pernah demam semasa kecil pulang sekolah mandi di siang hari di lubuk tersebut.

Sungai sepanjang batang Bayang mengalir dari hulu lurah-lurah rimba Bayang Utara hingga ke muara bercampur dengan asinnya samudra.

Nagari Kubang, Kecamatan Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan Sumbar, yang dipimpin Kepala Nagari atau Kepala Desa Novriadi (Epot) di saat ini beserta perangkap mulai berbenah memperhatikan akan biota sungai yang hampir punah.
Di kepemimpinan pertama wali nagari Kubang di era reformasi ini, sudah diberlakukan sistem ikan larangan dengan memiliki sangsi hukum adat bahkan bersinergi dengan hukum formal, program itu sempat berjalan dan biota-biota sungai hidup damai tanpa diintimidasi si pemusnah generasi ikan, dengan adanya gerakan dari wali nagari yang sekarang. Masyarakat berharap kepada pak wali nagari yang baru ini konsisten menjaga lestarinya kembali biota ikan-ikan di sungai sepanjang aliran air Batang Bayang di Nagari Kubang yang diawali menyemai bibit dari lubuk jantan di ujung kampung hingga ke jembatan simpang tugu hilir kampung.

Satu catatan yang perlu diraih ketika program ini sukses, setidaknya kita telah melestarikan kebiasaan orang-orang kampung memancing secara tradisional kembali dengan melimpahnya ikan-ikan di sepanjang tapian mandi anak-anak nagari tanpa menangkap ikan diracuni atau dengan disentrum listrik, dan ini perbuatan yang harus ditindak tanpa pandang bulu dengan sangsi tersebut disepakati secara bersama melalui musyawarah melahirkan mufakat.

Obsesi, visi, misi di kepemimpinan wali nagari sekarang perlu ada perencanaan matang sinergi ke berbagai perangkap nagari. Di tangan pemimpin yang loyal untuk suatu kemajuan bahkan kesuksesan dalam program kinerja di berbagai aspek kinerjanya akan terciptakan sejarah tersendiri di kemudian hari, prestasi itu perlu dicapai! Bagaimana suatu kemajuan itu bisa menjadikan program ekonomi kreatif seperti terciptanya objek pariwisata berbasis kerja sama antar nagari sepanjang aliran sungai batang Bayang berbenah.

Lanjutkan visi misi itu pak wali!
Jakarta, 6 Juli 2019



PURNAMA KE SEKIAN DI TEMBI

engkau di masa lalu di tanah tak berpenunggu
mencari jejak kehidupan yang padam
di bumi yang kelam
lampu-lampu kemajuan diterangi kerajaan
hidup terus berjalan

engkau di masa lalu merayu kehidupan
tentang tunggul yang berdebu menjadi hijau
di mana cinta menebar kisah di masa silam
tirani menyemai sejarah yang panjang
oh, yogyakarta
lestari negerimu di tanah bertuah

engkau di masa lalu adalah pejuang tanpa pamrih
tapakmu bernanah menjejaki gunung ladang dan sawah
kini kunikmati seluruh waktu
tentang jasa yang kau titipkan di mataku

aku di masa kini, menikmati bahagia
kudatangi kota-kota yang berbenah
sebab, yogyakarta membangun manusia dengan budaya
aku bangga suatu kemajuan bumi jawa

aku di masa kini, di punggungku berlari sayap-sayap tumbuh di hijaunya daun-daun generasi
tentang orang-orang yang kutemui di tembi
mereka memetik bintang di langit
dari purnama semalam di pentas yang sunyi
kugaungkan satu puisi ini hingga malam temaram
dan purnama ke sekian masih menerangi

Jakarta, 5 Juli 2019







KEKASIH YANG PERGI KE DALAM DIRI
Romy Sastra

Tatapan ini bertanya pada langit,
di mana istana Tuhan berada?
Langit tersenyum luas, seluas mata memandang, terpana

Wahai langit?
Ke mana perginya kekasihku yang tercinta
Langit menjawab!
Tanyalah kepada hatimu wahai hamba yang lara

Lalu, seraut wajah tertunduk menatap hati, berbisik pada jiwa

Wahai jiwa?
Ke mana perginya kekasihku yang tercinta
Hati pun tersenyum, seakan menitip isyarat

Shaumlah sepanjang hari dan berzikirlah!
Ternyata kekasih itu tak berlalu jauh
Ia berada, berjubah pada jiwa-jiwa yang fakir

Ngawi 270617



NO WAR HUG PEACE
Dunia Korban Hoax dan Proxy
Romy Sastra


etiopia, zambia, liberia, nepal, zimbabwe, burkina faso, togo, guinea-bissau, djibouti, haiti, india, banglades, kamboja, zambia, nigeria, angola, yaman, republik afrika tengah, madagaskar, komoro, mozambik, sierra leone, dan sudan kelaparan, lapar, lapaarrr ...
lapaaaaarrrr ....!!!
mereka lapar

gaza berdarah,
tikai tak kunjung usai di bumi ambiya
israel vampir di tanah berpasir

yaman teraniaya,
amal hussain potret kelaparan
peperangan suriah tolong hentikan!
perang saudara antar kekuasan korban akidah
tuan-tuan ber-unta mewah!
jubahmu berdarah bernoda najis duniawi
sadarkah duniamu diintai proxy?

afghanistan, irak, iran,
dikangkangi hoax dan proxy, luluh-lantak masihkah punya nurani?
bertabayyunlah jangan dibodohi hoax.

korea utara dan selatan dua negara bersaudara
tertipu tak sadar diri diadu domba hingga kini
di mana malu?!

rohingya, uighur, genosida merajalela
hanya demi eksistensi ekonomi, akidah dirongrongi

timor timur referendum,
indonesia kecele di tangan yang santun
timor leste merdeka, siapa disalahkan?
lemahnya dada generasi di tangan proxy
belajar pada pengalaman buang kebodohan!

nusantaraku nusantaramu, nusantara kita
mari bersatu, jangan mau diadu
di bawah panji merah putih
di dada garuda terbang bersama
behinneka tunggal ika

dunia benar-benar dicekam hoax dan proxy
seperti elang menantang perang
seperti kelelawar mengintai malam
menikam, menerkam pertiwi diam-diam

tafakur sejenak, memikirkan konflik dunia ini
bisakah satu puisi mendamaikan senjata teknologi?
idajil mengintai di setiap sendi

Jakarta, 06 Pebruari 2019
menyambut festiva lpuisi dunia
tolak peperangan ciptakan perdamaian
21 juni




MONOLOG IMAJI

satu misteri memaksaku tentang diksi
'tuk selalu menulis obsesi puisi
di sudut bisu gemulaikan jemari yang kian layu
kanvaskan mutiara kata yang tersembunyi

ah rasa, kenapa sunyi mengundang resah
seperti ranting cemara di padang gersang patah, dedaunannya berterbangan
bertengger angan hilang melayang
takkan kembali lagi ke dahan

daun mati menghilang ke jurang terdalam
ilalang tumbuh menjadi bunga pusara
akankah separuh jiwa yang tersisa ini
mampu menyuburkan dedaunan imaji?

koloni awan yang berarak turunkan hujan!
sirami alam ini 'tuk kesuburan taman hati
burung-burung kecil, mari bersiul bersama tintaku menyapa pagi

ranting-ranting kering yang gugur ke bumi
siklus tunas berganti
tunaskan kesuburan dahan menghasilkan dedaunan kembali

jiwa yang pasrah tegarlah!
bertahan dengan cabaran
melukis menulis seribu mimpi

teranglah kau hati suburkan ilusi
mendung di ujung sendu hujanlah!
basahi lara hati yang gersang ini

Jakarta, 28-9-2015, 09,59



AMPUNKAN AKU, BU
Romy Sastra


Kaki ibu Suriati dan pak Sardi yang sudah retak, berjalan terpingkal-pingkal pergi ke sawah. Seperti musim yang terus bergulir di kaki roda pedati mengiringi langkah kerbau berlari di jalan bebatuan sepanjang pagi dan senja hari.

Ketika bu Suriati tiba di sawah, dia berdendang ke arah mata angin.

"Berembuslah duhai hari! Kirimkan kesejukan ke dada yang resah ini. Bawalah gumpalan awan menurunkan hujan di tanah yang kemarau.

"Tuhan, kami selalu gagal panen di setiap tahun. Apakah tanah yang tak subur di musim kemarau yang selalu tiba, atau dosa-dosa yang semakin merajalela. Hingga kebun, sawah dan tumbuh-tumbuhan tak dapat hidup baik atau orang-orangnya yang tak bersahabat, lupa norma adat dan akidah di kampung ini?" Doa ibu Suriati di pematang sawah menatap langit yang tinggi.

Sudah beberapa tahun ibu Suriati dengan suaminya menggarap sawah di desa untuk kelangsungan hidup dan anak-anaknya yang mulai remaja. Ada yang masih sekolah ada yang baru balita.

"Pak, kita selalu gagal panen, dan anak-anak kita sudah mulai tumbuh dewasa, kita kan punya kebun karet di rimba. Bagaimana kita menyadap karet kembali ke rimba untuk biaya hidup dan biaya anak-anak ke sekolah?" pinta bu Suriati, dan juga salah satu anak sulung pak Sardi di senja hari.

Keesokan paginya, pak Sardi bangun dan mengajak anak sulungnya tersebut ke rimba.

Di tengah pendakian rimba menuju kebun karet miliknya, pak Sardi bertanya pada si Buyung.

"Anakku Buyung si sulung, ketika kau besar nanti? Ingat pesan bapak ya, nak! Jangan kau lupakan jerih payah orang tuamu di masa tuanya! Ingatkan kepada adik-adikmu nanti. Jika ada rezeki lebih di mana pun kamu berada dan dengan siapa pun kamu menikah, bantulah ibu dan bapakmu walau sepersen pun kau beri, meski setiap tahun apalagi setiap bulan. Betapa ibu dan bapak merasa memiliki anak-anak yang berguna, setidaknya doa pun bapak harapkan pertanda kau tetap ibadah."

Sebagian anak-anak bu Suriati pergi merantau, dan yang lainnya berusaha di kampung.

Si Buyung dan adik-adiknya teringat curhat bapaknya di masa muda di punggung bukit di desanya.

Kini anak-anak bu Suriati dan pak Sardi sudah berumah tangga ke semuanya. Hidup anak-anaknya selalu merasa kekurangan sepanjang hari di dalam rumah tangga. Padahal kesempatan di rantau sudah berulangkali mereka dapatkan, dan anak-anaknya di kampung juga memiliki kesempatan yang sama berkat pendidikan disekolahkan oleh kedua orang tuanya, akan tetapi mereka menyia-yiakan rezeki yang mereka dapatkan untuk kemajuan masa depan. Entah bagaimana anak-anak mengelola keuangan di dalam rumah tangga untuk kehidupan mereka.

Bu Suriati dan pak Sardi tinggal bersama anak bungsunya di kampung.

Ironis, di masa umur ibu Suriati dan pak Sardi yang kian senja. Anak-anak mereka masih saja mengemis meminjamkan uang untuk berbagai alasan keperluan dan modal usaha ke orang tuanya.

Salah seorang anaknya, meminta uang ke orang tua yang sudah renta, tak diberi. Cerca dan caci maki menggunung di dada anak yang tak tahu di untung.

Flashback, di masa mereka masih kecil untuk menyekolahkan anak-anak bu Suriati dan pak Sardi, kedua orang tua itu sudah payah. Hidupnya seperti kaki di kepala, dan kepala di kaki, jerih, pediiiihhh....

Di suatu malam, suara parau dari sudut rumah, doa-doa bu Suriati seperti menggemparkan langit, hujan turun sederas-derasnya. Sederas air mata bu Suriati di tengah malam buta. Memohon ke Yang Maha Kuasa,

"Ya Ilahi, bukakanlah pintu rezeki bagi anak-anak hamba di mana saja mereka berada."

Doa itu di puncak ikhtiar yang menggelegar diiringi petir malam di seantero alam.

Sayup-sayup suara azan subuh terdengar, hujan mulai reda. Sungai di kampungnya banjir bah tiba-tiba.

Terdengar suara, dum, dum, dum. Gemuruh bebatuan dan kayu-kayu hanyut dari hulu sungai mengirimkan ke muara dan segara.

Ibu suriati jantungan, dapur di belakang rumahnya hanyut karena hujan semalam.
Ibu Suriati kepayahan, menghela napas melihat pak Sardi hanyut dibawa air bah.
Ibu Suriati pun meninggal di pagi buta, disaksikan anak, cucu dan menantunya.

Kabar musibah itu sampai ke perantauan diterima oleh anak-anak Bu Suriati dan pak Sardi.
Salah satu anak mereka berteriak
...
Ampunkan aku bu, dan bapak. Aku yang tak berbakti ini maafkanlah, yang selalu menyusahkan dan tak berguna ....

Jakarta, 21 Juni 2019



KEKASIH TELAH PERGI
Romy Sastra


kesempatan itu terbuang sia-sia
penantian panjang berlalu
padahal setahun sudah aku menantimu
kini dia telah pergi
meninggalkan pesan-pesan kekasih
ibadah ramadan bersemi
penerang jalan yang hakiki

sedih rasa ini,
karena kemarin tak selalu bersamanya
hikmah yang dia hidangkan tak kucerna
aku menyesali,
tak berjubah dalam penjara cinta
teralis itu terlalu rapuh kupatahkan
imanku payah

oh kekasih,
kesetiaan cintamu tak kujaga
yang kaupersembahkan di ujung-ujung malam
ya ramadan karim, jiwaku miskin

malam penuh hikmah
malam yang indah
keindahanmu lebih baik dari seribu bulan
tak kujumpa

kepergianmu begitu santun
titipkan fitrah dari ujung kaki hingga ubun-ubun
pesan fitrahmu di hari raya begitu mengalun
se-isi alam bahkan arasy
menghantarkan kepergianmu ke ujung waktu
dengan lantunan syahdu
merinding tubuh merindu pilu

takbir, tahmid, tahlil, tasbih menggema
daku di bumi,
luluh runtuh segala peluh
roh di langit tergugah haru
pada suara fitri mendayu
jika umurku ada di tahun nanti
berharap dikau temui daku kembali

ramadan,
cintamu tak pernah pudar
sedangkan cintaku rapuh
jalan yang kami tempuh berliku
dosa ini entah terampuni entah tidak
semogalah fitrah daku raih
seperti bayi lahir ke bumi

di keheningan lamunan ini
di sana alunan raya menggema
malu menyapa rasa tiba-tiba
layakkah aku menjadi hamba-mu ya allah
mmm, entahlah
karena kesempatan ibadah puasa kemarin
aku menyia-nyiakannya

Ngawi 140619



EVALUASI BATIN
Romy Sastra

menyingkap tirai bangkai
berbau busuk di ruang hati
di batin ada hijab terperangkap
mencoba berjalan di tengah kampung
rela menelanjangi diri
pukullah tubuhku kawan
aku tak canggung
bakar saja dengan cercaan
dadaku tak peduli tikaman belati

dan aku terus berlari tak beralas kaki
tusuklah duri hingga telapakku bernanah
rela dibakar terik tak bercaping
ubunku mendidih,
mencari keteguhan batin
mencari ketenangan hidup
mencari kedamaian di dalam kematian

jika sudi
berikan aku payung
jalan ini masih jauh kutempuh
ragaku kehujanan tanpa perlindungan
pinjamkan aku selimut gigil kedinginan

pada anak-anak recehan kutebarkan
pada harta penggoda kuzakatkan
pada shaum kufitrahkan
pada solat kumakrifatkan
pada doa-doa kukhusyu'kan
pada kerabat senyuman kumekarkan
pada kenangan kusimpan rapi
pada aib kukurung di peti mati
lalu, cinta kutawarkan di sepanjang jalan
kasih sayang kupupuk di setiap hidangan

nafsu angkara bersorak terbahak-bahak
memandang hina sebelah mata penggoda;
pulanglah hai orang gila!
malumu sudah tiada
tempatmu si sinting di balik pintu!
jangan buat onar rumah kami mewah

lalu si sinting dalam pengembara batin
mendengar satu bisikan turun dari langit
malaikat uluk salam, berpesan:

duhai si sinting yang telah fitrah
bidadari-bidadari surga tergoda jiwamu
parasmu indah berselimut sutra
mereka ingin melamarmu
dulu kau si bangsat yang tobat
anggur yang pernah kau teguk mabuk
telah kau tukar dengan tuak ilahi
tuhanmu tersenyum memandang kau gila
gila dari perjalanan mati tentang duniawi
baru saja kau jelang
kau pulang bertandang di ujung ramadan
hingga takbir berkumandang tak henti-henti
fitri wujud surgawi kau sandang kini

Ngawi 150618



HUJAN TAK PERNAH SALAH
Romy Sastra


karena siklus semusim wajah iklim tersenyum
semestinya berbahagialah bunga
jangan sesali tetesan menyirami walau sesaat
bumi gersang inginkan hujan basahi alam
badai tiba dahan bergoyang
akar cabari batang tak tumbang
kenapa bunga layu mengundang rusuh?

karena siklus semusim wajah iklim meranum
tentang hati nan rindu pada dekapan syahdu
jangan tangisi kepergian bayangan
yang pergi tak kembali lagi
bunga nan tumbuh diserang benalu
tak mungkin mekar lagi di taman hati
satu-satu kelopak layu, lalu luruh

karena siklus semusim wajah iklim dingin
jangan bermain sayang pada kenangan
ketika layaran tak lagi berlabuh
awan titipkan hujan membanjiri
gelombang menghadang perahu karam
ah, larungkan saja nisanku pada riak
biarkan pantai mewangi kembang setaman
ambai-ambai jadi bangkai dikubur sunyi

rindumu padamkan saja jika tak lagi ada rasa
jangan bermain di pantai fatamorgana
petikan saja memori kita biarkan terkunci mati
jangan tangisi takdir terjadi
relakan sebait doa kaukirimkan ke misteri
izinkan aku kekasih mendayung bahtera
berlayar menuju ilahi ....

Ngawi 110619









PESONA BUMI TAPIS


seandainya raja buay masih ada,
takkan gading-gading gajah itu patah
raja buay tetua jenggala jaya dwipa.

aku bersemadi di tilam hati semalam
raja buay berbisik dalam titah;
"duhai tutur yang berantai, kabarkan telik sandi ini untuk suku tumi! aku si raja buay memikul amanah langit untuk keturunan, jangan biarkan hutan dirambah sembarangan!
rumah-rumah gajah terbakar dan lapar.
suku tumi berduka gajah ditembak mati,
apa salahnya trah ganesa?"
"ganesa wignesa wigneswara"

gajah dewa rimba yang tersisa di bumi jaya dwipa, belalainya menyapa dengan cinta. kenapa kearifan alam diganggu?
biarkan gajah itu hidup bersahabat dengan manusia, permata rimba.

"wisata lampung way kambas berbenah"

dalam lipatan sejarah lereng pesagi,
ada rasa menyimpan aroma wangi
di kala embun datang kenang membayang
ratu sekerumong berpayung hijau di atas gunung
memandang jauh meneropong zaman
di mana umpu-umpu duduk bersanding di awan
ruh-ruh menguar kabarkan pesan:

"jagalah kearifan bumi lampung tak tergerus bencana globalisasi, hingga lampung tak lagi luas berganti gedung-gedung tinggi, bumi lampung wisata nan agung."

jejak-jejak sekala brak dalam sejarah,
cikal bakal kerajaan lampung
di setiap budaya ada cerita bermula ditemukan.
sejarah tak disimpan di peti mati,
lestarikan!
sejarah aset generasi.

istana sekala brak dikelilingi danau ranau
di masa lampau;
dikisahkan ekspedisi leluhur perantau tangguh, melahirkan kepaksian umpu,
anak-anak raja bersaudara berkelana dari pagaruyung ke bumi lampung.
sistem kerajaan berbentuk demokrasi berbagi tak menimbulkan sengketa.
kepaksian menjadi tirani yang harmonis
adat-istiadat berdiri taat religi.
dalam sejarah di dada ibu, umpu berseru:
kepaksian empat umpu harus bersatu
titah raja menjadi tongkat bertuah, bersuluh.

sejarah itu
umpu beradaptasi dengan alam selaras budi, tutur leluhur disepakati
tercipta budaya demokrasi hingga kini.

dari mana asal badan tuan-tuan rantaukan,
mencari kehidupan di bumi lampung?
lampung bersosialisasi bahasa nasional yang kental
bahasa asli lampung tetap bersenandung
kearifan lokal yang mahal.

lampung menyimpan tarian nan elok dinikmati, tariannya bersolek seperti bidadari di pentas tradisi
ada kain-kain tapis di pundak muda-mudi
zaman tersenyum memandang budaya
kerajinan adiluhung lampung
peninggalan ibu-ibu cekatan dari lembah pesagi dikenal ke samudra terjauh.

tapis bermanik emas
dipakai dewi-dewi ke bulan semalam
pesona keindahan bumi tapis penuh sensasi
corak alam flora fauna menggoda mata
dewi membawa tirai istana ke wajah nusantara
kain tapis eksotis disulam manis
siger di kepala mahkota istana
adakah dikau punya?

mari ke lampung mengenali sejarah dan budaya
kita seduh aroma kopi di secangkir puisi
kita berwisata dari martapura hingga bakauheni
ada kapal ferry menanti.

lampung, puisiku berkunjung
Jakarta, 26 Maret 2019



MATI DIKUBUR KENANGAN
Romy Sastra


badai itu datang lagi, sampanku hendak berlayar jauh. bekal yang dibawa tak memadai, kompas mati jangkar terkapar

mungkin lebih baik bertahan di dermaga
sebelum angin berarak reda, untuk apa mengharungi samudra? sedangkan badai masih menyimpan murka di ujung sauh tak bersuluh. ombak pun bertikai pada pantai yang disinggahi tak bersahabat, resah menjadi-jadi

berbalik arah kaki melangkah tertusuk bayangan, jatuh tersungkur tak tahu jalan pulang. matilah angan dikubur kenangan
air mata jadi asin menetes di badan
debu melekat di baju
kuyup mengundang malu

ah, samudra tumpah di dada, mengaliri genangan menjadi garam
sampanku karam sebelum berlayar
sia-sia penantian

Jkt, 27,7,19



DARI SERAMBI MEKAH KE GUNUNG SAHILAN

Romy Sastra

Titah tuan guru di Serambi Mekah:
Mari Datuk empat sekawan!
Bawa agama Islam ke Nusantara
Salah satumu pergilah ke gunung Sahilan
Di sana ada putra Pagaruyung bertakhta
Titipkan selendang sunah di dadanya
Sebagaimana syekh Burhanuddin berdakwah di Ulakan
Jangan kembali dari jihad dakwahmu
Sebelum gunung Sahilan dan Rimbang Baling bersyahadat
Semoga akidah dan adat terjalin erat

Sembah sujudku tuan guru
Titah tuan kami laksanakan!
Dari Serambi Mekah membaca bismillah
Satu langkah, dua langkah, melaju jauh
Ya Hu, Ya Hu, Ya Allah, hamba berjalan
Dari rantau oborkan tongkat menuju Sahilan
Dalam hening mencari Tuhan
Sampai gunung Sahilan dan Rimbang Baling
Seluruh Kampar Kiri berdian sepanjang zaman
Tak lekang dengan panas tak lapuk oleh hujan

Ngawi, 17 Juni 2018
Puisi ini dapat apresiasi dari HPI Riau untuk buku antologi puisi KUNANTI DI KAMPAR KIRI 2018



PIJAR HATI YANG KUCARI
Romy Sastra


Siang tadi pijar hari menyapa, suatu keniscayaan spirit alam menyinari mayapada. Terik menyemangati kulit ariku, bukan membakari, dan embun pagi lenyap ditikam aurora langit, lebam di tangan tak peduli, kubiarkan saja guratan menggenggam nasib badan. Ya, jalani saja lika-liku perjalanan hidup ini menempuh destinasi cinta di penghujung usia. Ah... resah, kenapa bergayut iba di sudut mata yang mulai basah? Seperti embun senja menyapa dedaunan, dahaga dibakari pijar siang hari. Senja telah tiba di batas penantian, sedangkan siluet kembali ke peraduan sunyi. Kulipat langit kala malam, kuhamparkan sajadah, kuhitung-hitung tiket pertunjukkan menatap layar diri. Layar terbentang pijar-pijar hakiki bertandang, inilah destinasi cinta yang sesungguhnya kucari.
Bersemayamnya Maha Cinta di hati ini. Ia yang tak pernah alpa menatap dengan kasih sayang tak berhujung tak bertepi selagi batin memandang.
Makrifat cintaku nyata adanya, kehadirannya memanglah indah, aku terpesona....

Jkt, 24/07/19



PAHLAWANKU

kita adalah negeri dwipantara
tersebut di catatan sanskerta
diarungi ekspedisi mata biru
belahan benua indocina australia
nan-hai, kepulauan laut selatan
samathrah, sholibis, sundah, kulluh jawi

kita adalah serpihan sejarah
yang terlahir dari luka
pada pejuang itu tak berbaju
memanggul bambu runcing
pekiknya pedih

kita adalah manusia
yang diperbudak penjajah
indonesia masih di dadamu:
romusa

kita bangsa merdeka
dari darah yang tumpah
kau kukenang di batu nisan
fulan yang gugur
kembang setaman kutaburkan
pahlawanku

Jakarta, 21 Juli 2019



KEPAL TANGAN INI

di tanah ini kita berdiri
dilahirkan dari rahim ibu pertiwi
negeri surgawi yang turun ke bumi
kita jaga kelestariannya dalam kasih
meski kita berbeda prinsip dan keyakinan
usah dibentangkan perbedaan
kawal perbedaan menuju kebersamaan: indahnya pelangi

pada janji di tiang merah putih kita berbakti,
satu cinta kepada cinta saling berbagi
seperti kekasih memupuk kemesraan
seperti jari-jemari mengikat temali
seperti sampan tabah diayun ombak
seperti daun menari diterpa angin
seperti aku dan kamu saling merindukan

putra putri bangsa bersatulah
walau berbeda suku dan agama
kita satu bahasa indonesia
kepal tangan ini mari berjanji
satu hati saling menyayangi
meski kiblat kita berdiri tak sama
dalam pijakan beriring jalan
berpelukan di dada yang terbina
menjaga kerukunan di antara kita
kita pupuk cinta sepanjang masa
tersenyumlah wahai indonesia

Jakarta, 15719

Tidak ada komentar:

Posting Komentar