UNTUK MENCARI PUISI-PUISIMU CUKUP KETIK NAMAMU DI KOLOM "SEARCH" LALU "ENTER" MAKA SELURUH PUISIMU AKAN TAMPIL DI SINI

Jumat, 12 Juli 2019

Kumpulan Puisi Ayu Ashari - BUKALAH MATAMU




BUKALAH MATAMU
Oleh Ayu Ashari


Aku yang datang padamu malam ini,
bukanlah syair yang bermain dalam sisa hujan,
atau tembang kenangan penuh luka
yang acap kali ku dendangkan
dari bibirku
tapi, tentang sebutir air mata
yang ingin menjelma jadi rindu
untuk kembali mendayung perahu di atas sungai berbatu,
sambil melewati daun-daun hijau
atau musim bangau terbang
ke selatan.

Duhai, jangan kau makamkan dihatimu
cinta kita yang lestari tak terperi
biarlah ia tumbuh bagai bunga bermekaran
agar seekor kupu kupu dapat hinggap di pucuknya.
Dan naikklah engkau
ke anak tangga rumah panggung di tepi sungai itu
engkau dapat melihat
bulan sedang merenda alam
dengan cahayanya
Membuat kunang kunang menepi ke balik belukar
Lantaran sinarnya kalah terang

Bukalah penutup ke dua matamu
Nikmati saja keindahan malam ini
Pun rindu menggiring kita menyatu
Tinggalkan saja ia yang menjarahmu dengan trick licik
Lalu kerap menyayatmu dengan sembilu.

O, sebutir air di kelopak mata
angin bertiup menguak sunyi
Mari kita lupakan saja luka lama
agar arus membawa kita kembali
pada malam bermandikan purnama

Medan,1007019



BERDAMAILAH DENGAN ALAM MAYA
Oleh Ayu Ashari


Duhai engkau yang tengah bergelut dengan diri mu sendiri
Mendekatlah pada gugusan keindahan aksara puisi

Jeda lah sedikit waktu
Mari kita nikmati buaian angin
Yang membawa kesejukkan bagi
Jiwamu yang kepanasan
Agar untaian kata yang kau lontarkan tidak semakin mengotori hatimu yang buram

Berdamailah dengan alam maya yang penuh warna
Tak perlu kau musuhi apa yang tak kau suka
Sebab bintang dan rembulanpun tak pernah mau tau apa yang kau suka
Hingga kau dapat merasakan
Betapa indah nya pelangi yang rupa rupa warna melengkung menyatu di angkasa

O, damai, damaikanlah hati para penjudi duniawi
Padamkan lah bara yang membara di dada nya.
Supaya dunia tak bersengketa

Medan,0907019



RINDU TELAH TERSAMPAIKAN
Oleh Ayu Ashari


Subuh baru saja mencium fajar
Aku duduk di kursi barisan belakang
di stasiun bis, kerinduanku akan kampung halaman
membuat ku tak sabar menunggu hingga hari menjelang terang

Mendung, angin berhembus kencang pagi itu
membuatku mengeratkan jaketku
pada tubuh rapat-rapat
dan menambah sebo diatas hijabku
lantaran dingin merambati seluruh wajah

Susana stasiun lengang dan sepi
para pengamen dan tuna wisma
beralaskan selembar kardus berwajah pasi
masih terlelap dalam lelah

Sementara para penumpang
mulai berdatangan dari berbagai arah.
setengah jam menunggu dari pukul setengah enam
pemberitahuan terdengar
jika semua penumpang menaiki bis
yang akan membawa ke tujuan,

Aku bergegas naik
dan menduduki bangku sesuai petunjuk
yang tertera dikarcisku
Kumasukan koper kecilku dibagasi
yang ada atas kepala ku
kemudian perlahan bis bergerak
aku menikmati segala pemandangan pada subuh sepanjang perjalanan,

Satu jam berlalu bis memasuki stasiun Binjai,
Aku turun lalu meneruskan perjalanan
Dengan menaiki angkot selama 1 jam perjalanan
Untuk menuju kebun lada.

Tak sabar rasanya hati ku
Untuk menaiki anak tangga rumah kayu
peninggalan kakek ku.
Saat itu udara segar datang dari lambain daun-daun melambai burung-burung tampak bermain
di ranting-ranting, suling gembala
terdengar bersahutan, petani ramai menuai padi
anak-anak berlarian mengejar layang-layang
oh, pemandangan yang tak lagi dapat ku temui
di hiruk pikuknya kota

Hampir dua jam aku berjalan
mengitari perkampungan
matahari semakin tinggi
aku pun berteduh di bawah sebatang pohon rindang
sambil kupandangi kolam ikan warisan dari atas perbukitan

Ya, begitu banyak puisi yang ku tinggalkan
Kini tersesat di balik semak belukar
dan hari ini rindu ku pun telah tersampaikan.

Medan,0907019



SELAMAT PAGI BURUNG
Oleh Ayu Ashari


Selamat pagi burung di dahan kayu,
semoga fajar dapat membawamu
untuk bertemu dengan rumahmu
yang pahit karena madu yang kau hisap berubah menjadi empedu.

Selamat pagi burung di dahan,
walau ranah mu terukir di batu karang
dan hutan mu sepi karena daun-daun berguguran
kau selalu menyulam wangi pagi
dengan halus jaring rambutmu.

Selamat pagi burung di dahan
pabila kelak engkau bersimpuh,
kemudian tak kembali lagi
akan kuingat selalu kicaumu
Yang acap kali membangunkan ku dari mimpi burukku

Selamat pagi burung
Kepak sayapmu menghiasi angkasa
Dalam arunganmu mencari
Perladangan tempat kau bertandang
Dan menikmati biji kacang

Selamat pagi burung
Semoga kau menemukan
Sebuah sarang tak bertuan
Tempat kau istirah kala malam telah datang
Menghangatkan tubuh menghalau dingin sang embun

Medan, 0707019



PERSEMBUNYIAN TERAKHIR
Oleh Ayu Ashari


Kau yang tak bisa kuselamatkan.
dari guyuran hujan bulan Juli malam ini
cobalah kau baca dongeng sederhana
yang selalu kau simpan dalam saku bajumu

jika engkau merasa malu
biarlah malam hilang di tanah gersang
dan di bawah reruntuhan perang bathinmu
Barangkali itulah pesan
ketika musim hujan diam-diam sempurna
mengomeli mereka yang mulai pikun.

Suatu pagi kupungut buah ara
berusaha membersihkan getahnya yang menempel
namun engkau selalu saja diam
Bersembunyi di bawah sebatang pohon
yang rerantingnya gemetaran di hembus angin
“Di situlah persembunyian singkatmu kini berakhir.”

Dan akan ku semedikan puisi puisiku tentangmu
Ku biarkan tertimbun di bawah nisan bertajuk kenangan
Jangan berharap ada air mata ataupun luka yang menggores di detik berikutnya
kita sama mengerti
Setiap musim berganti akan tumbuh tunas baru
yang akan kembali menghiasi taman rindu

Medan,0707019



SURAT DI ATAS MEJA TAMU
Oleh Ayu Ashari

Bangun dari tidur
melihat sepucuk surat bersampul merah hati di atas meja
di samping segelas kopi, tertimpa sinar mentari
karena aku tau siapa pengirimnya aku memutar-mutar surat itu,
lalu meremas-remasnya kemudian ku buang lewat jendela.

Rasanya kelengangan demi kelengangan
masih saja muncul di perladangan sepi.
kehilangan demi kehilangan
selalu hadir setiap waktu.
sementara cuaca senantiasa membawa rindu
yang menggayuti bulu-bulu pelupuk mata.
mata rindu, mata sepi,
mata yang selalu berlari

Tahun ini aku akan terus menulis tentang seikat bunga,
meski daun-daun nya gugur
dan tinggal tangkai-tangkainya yang cidera.

"Adakah pagi dan purnama datang juga?
di bilik rumah ku puisi kan tentang
Laki-laki dan mimpi, suaranya tinggal sunyi,
malam merekam misteri di antara tahiyat
dan gerisik mukenaku lamat-lamat lewat

Sebuah bola lampu lima wat menyala
tergantung di pojok kamar bersawang hitam
Ku letakkan tanganku
di atas bayangan-bayangannya
nampak seperti ingin memberi pesan
" Bulan sepotong kini gemetar dibalut luka"

Luka nanah yang kian memborok di palung dada akibat pengkhianatan cinta yang tak beda dengan pengkhianatannya padaku.
Sementara lukisan dirinya telah ku buang jauh di tengah samudra terdampar di himpitan batu karang
Dan kini hanya tinggal ziarah di nisan
Ku kira tak perlu lagi kau kirim surat padaku, sebab apapun itu aku tak mau tau.

Medan, 0607019


-------------------------------------------------------------------------------------------


Selamat malam sayang
Mari kita jeda waktu
Jangan biarkan harun melati
Dari dalam kelambu
Terlalu lama menunggu
Untuk kita hiasi
dengan debar jantung
yang berpadu rasa dalam pelukan

Ayu Ashari
Medan 0607019




SEPI DAN KUDUS
Oleh Ayu Ashari


Bagai padang terbengkalai lupa
belukar dan kemenyan
tumbuh dan berbunga.
tapi jangan gegaskan tuk tindak mesra
karena sepi ku kudus, harumku hilang
di tahun terakhir musim semi.

Bagian dari malam adalah :
menahan bagian kita dari pagi
dan kusadari itu, kemudian
biarkan ia tetap mengalir dan tersedan,
meski semuanya ada di antara
apa yang mengelupas dari tubuhku
juga dari jari-jari tanganku.

Tapi engkau yang selalu memberiku kenangan
pun tak membiarkan segalanya jadi kenangan
kendati aku sering tersesat
sewaktu duduk sendiri, atau
saat terjaga malam-malam untuk menulis
segala apa yang merekah pada bunga.

Malam kereta melaju menembus hujan tanpa diriku
dan berapa banyak jalan yang harus ketempuh
untuk sekedar mampir dan minum kopi.

Tapi, di kemarau terkelam sepanjang tahun ini.
di tengah-tengah kobaran api
kalimat-kalimatku adalah sungai
yang selalu mengaliri hatiku yang terbakar.

Medan,0307019



SEPI DAN KUDUS
Oleh Ayu Ashari


Bagai padang terbengkalai lupa
belukar dan kemenyan
tumbuh dan berbunga.
tapi jangan gegaskan tuk tindak mesra
karena sepi ku kudus, harumku hilang
di tahun terakhir musim semi.

Bagian dari malam adalah :
menahan bagian kita dari pagi
dan kusadari itu, kemudian
biarkan ia tetap mengalir dan tersedan,
meski semuanya ada di antara
apa yang mengelupas dari tubuhku
juga dari jari-jari tanganku.

Tapi engkau yang selalu memberiku kenangan
pun tak membiarkan segalanya jadi kenangan
kendati aku sering tersesat
sewaktu duduk sendiri, atau
saat terjaga malam-malam untuk menulis
segala apa yang merekah pada bunga.

Malam kereta melaju menembus hujan tanpa diriku
dan berapa banyak jalan yang harus ketempuh
untuk sekedar mampir dan minum kopi.

Tapi, di kemarau terkelam sepanjang tahun ini.
di tengah-tengah kobaran api
kalimat-kalimatku adalah sungai
yang selalu mengaliri hatiku yang terbakar.

Medan,0307019



BERI AKU WAKTU SEDIKIT LAGI SAJA
Oleh Ayu Ashari


Pagi datang mengemas mimpi para petualang malam
Menyimpan misteri dalam lipatan selimut
Menina bobok kan khayal pada tepukkan bantal

Bergegaslah para hasrat memburu peluh di bawah terik mentari
Sedang aku tengah melumpuh hingga lupa kapan terakhir aku menanak nasi, mematikan bara dalam tungku bekas memasak hidanganku

Ketika asa mnggulir dalam riuh ketakutan akan datangnya esok hari yang masih memburam bayang
aku hanya bisa termangu menatap jalan setapakku penuh lubang dan berdebu
Sementara buku buku jemari semakin memurba keriput
Dan garis garis halus wajahku kian menyata.

Harum tanah semakin menyengat menusuk hidung pada penciumanku yang kian melemah
Aku sadar waktu kian mepet untuk berpulang
Pada hamparan padang yang luas dimana bayang bayang berjubah putih melambaikan tangan untuk bertemu dengan ibu bapakku, kakakku atau leluhurku
Yang sejak malam tadi membisikkan rayuan mengajakku bacakan puisi puisi indahku pada mereka

Ah, aku ingin pulang tapi anakku belum siap kutinggalkan
Maka tatkala azan subuh menggema aku memohon pada Tuhanku
Untuk sedikit lagi di beri waktu hingga jika telah tiba anakku tak lagi gamang sebab ia telah berpegang

tapi dapatkan sedikit saja virus berhenti untuk melahap sendi, lantas membebaskan aku dari kebuasannya, entahlah!

Medan, 0307019



KUSIMPAN KAMU DI MEMORIKU
Oleh Ayu Ashari


Saat malam dihiasi rembulan,
saat itu pula akan kuselamatkan suaraku yang lembut bernama sajak aku pun tak sempat pula memikirkan bagaimana pendapat orang
ketika aku harus membawa seikat mawar di lepas malam.

Dan tatkala daun-daun bunga masih basah di halaman,
angin yang menghembus membawa harum tanah,
sepatah ayat Al-Fatihah menerobos ke telinga menjaga kan ku
sekalipun dengan segala tabah aku semayamkan mimpi ku ke dalam cawan merah jambu
masih kusimpan kenangan tentangmu di album memori ku yang terindah

Seberapapun kemesraan sepanjang umur yang membawa pilu tak tersembuhkan,
meski itu urusan nanti,
ketika cinta membawanya ke peraduan dengan mesra.
Kedua tanganku tetap ku buka
Seperti terbukanya hatiku
Biar pun masih asing bagi ku

Percayalah
Tat kala pagi mencium hari
Saat itu pula ku kecup keningmu
Membangunkan mu dari lelapmu
Bersama harum kopi kusaji dimeja samping ranjang kita

Dan kau tau
Walau entah berapa musim kulalui tanpamu
Namun figuramu masih terpajang denga rapi di sudut relung hati

Medan,0307019



Jampi

Langit mengunyah matahari
Menenggelamkan dengan mantra mantra suci
Lalu menyemburkan tampilan gulita bumi.

Inilah nyata malam
Yang meletakkan jari diatas pelupuk mata setiap insan,
Semua harus terpejam, begitu ungkapnya.

Saat bumi terlelap, malam meniup pelupuk mataku agar terbuka.
Hidungku disentil dengan penuh gemas.

Aku melotot, aku kesal
Kenapa malam bangunkanku,
Lalu ia berbisik mesra ke telingaku.
Ia ingin membawaku pergi ke tepian pantai, begitu katanya.

Malam nakal,
Ia sengaja lenakan alam untuk kemudian menculikku.

Angin laut menyibak rambutku,
Aku terlena
Malam mendengus membacakan mantra mantra indah padaku.

Aku mulai jenu
Kucubit pinggang malam,
Malam menggeliat
Tawanya kering
Mantranya mengubah buih pantai menjadi api mengepulkan asap hitam.

Aku tercekat,
Aku ingin berlari tapi kakilu terpaku.
Malam seram
Wajahnya muram
Dia menelan semua cahaya temaram,
Lalu aku terdiam

Kupeluk kedua lulutku yang bergetar ketakutan, entah apa rencana malam
Hingga aku di bawa untuk kemudian di hempaskan.

Aku menghela nafas, aku duduk bersimpuh di alam malam.
Aku baru saja menapaki mimpi yang melelahkan.
Mimpi yang temui bahkan sebelum tidurku,
Mimpi yang ingin ku tinggalkan
Jauh lalui batas malam



PENCARIAN
Oleh Ayu Ashari


Langit tampak biru terang
Bumi disirami sinar garang sang surya
Tapi keadaan tak senantiasa
Seperti apa yang terlukis mayapada

Di sudut lain nabastala
Kabut menggelayut tak kasat mata
Memburam penuh nestapa

Soneta bermakna luka luka
Mengurung sendu tak terlepas jua
Merangkum cerita seorang anak manusia

Berjalan bersama buah hatinya
Mencari arti hidup yang tiada rupa
Menentang ribuan prasangka
Madah hanyalah bayangan tak nyata

Medan, 0207019



MENGAPA
Oleh Ayu Ashari


Hai mentari
sinarmu sungguh cerah
Menyusup dari balik tirai jendela
Hari yang indah penuh warna
Tapi mengapa
hatiku tak seceria wajah pagi ini
Ruangku redup seolah tanpa cahaya
Hampa seakan tiada udara
Sunyi meski kicau burung riang bernyanyi
Ah, mengapa
akupun tak tau jawabannya
Ada rasa kehilangan di dalam dada
Tapi apa?
Entahlah mengapa?

Medan, 0207019



DUDUK BERAYUN, BERSANDAR PADA SENJA
Oleh : Ayu Ashari


Sungguh waktu yang cukup lama
sebab setiap awalan hanyalah sebuah lanjutan
dari kitab yang tak sepenuhnya terbuka
sedang angin selalu membukanya perlahan
agar aku segera membacanya.
ada sesuatu yang hilang sekaligus tertangkap
dari semak masa kanak-kanakku,
aku ingin sebuah tempat, di mana kelak
dapat bersandar bersama senja
meski langit biru, dahanan hijau,
ladagang-ladang jagung kuning
selalu bertikai lantaran tak ada cinta kasih
yang hinggap dari satu bahu ke bahu lainnya.

O, rerumputan musim semi
bulan purnama di ranah hijau,
ranting-ranting merunduk berat
bersama lembutnya hijau muda.
sedang rindu ke padamu selalu menyelinap
memasuki tirai dan kelambu,
yang lama menunggu, meski harus kuhalau
segala ingin yang datang memaksa
untuk masuk lewat jendela kamarku.

Dalam kemurnian
ingin aku kembali ke batas-batas waktu,
agar Tuhan selalu mengajarkanku
kearifan surgawi kepada lidah-lidah fana
yang senentiasa menacapkan belati,
kala semua telah jadi taman yang berbunga.

Kan kucecap kesementaraan masa beliaku,
walau tak pernah kudapati secangkir susu
yang kerap kurindukan senantiasa pergi berkelana
untuk menempuh jauh tanpa peta dan arah angin.

Bersamamu aku akan ikut mengembala domba
melintasi padang rumput agar segalanya
tak lagi koyak moyak sambil kurangkai jalan-jalan
di antara padang-padang liar dan kota-kota
yang selalu membawa janji seperti wangi kesturi.

Duduk berayun dengan angin,
naik turun penuh kerikil, dan menghardik segala sepi,
membangunkan bintang-bintang di bawah awan purnama.
ya, bisikan kasih pujangga kan bangkitkan betah
untuk sampai pada sebuah danau yang selama ini kurindukan

Medan,.30062019
puisi yang akan terbit di antologi SUARA HATI



PUJANGGA
Oleh Ayu Ashari


Duhai pujangga
Di mana kah kini
Engkau bersembunyi
Meninggalkan sejuta puisi
Mengambang di langit langit hati
Memisteri pada buramnya diksi
Aku tak dapat memahami
Gerangan apa yang tengah kau lakoni?

"Aku merindumu di sini"

Medan, 2906019



BURUNG BURUNG MALAM
Oleh Ayu Ashari


Mengapa burung burung malam
Tak pernah jemu mengetuk
Jendela kamarku
Sedang lampu tak pernah kunyalakan
Dan tirai tak pernah kusingkap
Haruskah ku maki
Dan bertindak kejam membunuhnya?

Medan, 2906019



SEBUAH MIMPI
Oleh Ayu Ashari


Malam hari laut merasa kesepian, karena tak ada perahu yang melintas
Pun tak ada ombak yang meyambangi batu-batu karang

maka tergulinglah segala cerita yang hendak kubawa
bersama kabut dan geram asin air laut yang menghampiri ujung-ujung pantai

Subuh hilang pada pagi yang hendak datang,
tapi burung-burung camar yang kulihat
seperti enggan terbang untuk menyambutnya,
mungkin ini karena semalam ia rasakan
jika laut sepi dan angin sepanjang malam memainkan hujan yang hendak turun.

Oh, mengapa tak percaya,
Bahwa mimpi itu meyakinkan
seperti matahari yang senantiasa terbit di pagi hari
Membawa sisa embun yang turun tadi malam
Mengganti dingin menjadi kehangatan

Medan, 290619



SEBUAH MIMPI
Oleh Ayu Ashari


Malam hari laut merasa kesepian, karena tak ada perahu yang melintas
Pun tak ada ombak yang meyambangi batu-batu karang

maka tergulinglah segala cerita yang hendak kubawa
bersama kabut dan geram asin air laut yang menghampiri ujung-ujung pantai

Subuh hilang pada pagi yang hendak datang,
tapi burung-burung camar yang kulihat
seperti enggan terbang untuk menyambutnya,
mungkin ini karena semalam ia rasakan
jika laut sepi dan angin sepanjang malam memainkan hujan yang hendak turun.

Oh, mengapa tak percaya,
Bahwa mimpi itu meyakinkan
seperti matahari yang senantiasa terbit di pagi hari
Membawa sisa embun yang turun tadi malam
Mengganti dingin menjadi kehangatan

Medan, 290619



YOU ARE MY HERO
Oleh Ayu Ashari


Lama kita tak bertemu
Rindu yang terkurung
Kini membuncah
Tak dapat kucegah

Ah pertemuan yang indah
Di graha yang indah
Kita saling bercerita banyak hal
Politik sedang terjadi
ekonomi yang membaik
Juga perkembangan buah hati

Aku bahagia sangat bahagia
Engkau adalah cinta yang menyatu dalam darah
Tak akan terpisah
Hingga maut merenggut nyawa

Engkau pelindung ku
You are my hero
Bersamamu aku tumbuh

Medan, 2806019



MALAM
Oleh Ayu Ashari


Dimanakah malam menitip embun
Tatkala subuh yang sayub menyambut mata langit yang mulai mengintip
Di balik daun
Di dalam selimut kabut
atau kah
di lekuk lekuk sungai?

Lalu merayu purnama
Juga gemintang untuk menemaninya menghabiskan waktu mengusir kesunyian pada putaran berikutnya
Bercumbu di pelataran nabastala
Menyisir pesisir gulita
Lupakan embun sebab embun terlalu dingin untuk mengusir gigil

Ah, malam
Kau pinang segala rupa
Di wajah mu yang kelam
Lalu pergi lontar kan seribu alasan
Kau ukir selaksa misteri paling puisi
Tinggalkan perih yang tiada terperi
Lalu pergi tak perduli
Pura pura bego masa bodo.

Duh malam
Mengapa kini kau begitu kejam
Menyeretku pada keliaran angan
Sendiri tanpa teman

Medan,2806019



MALAM
Oleh Ayu Ashari


Dimanakah malam menitip embun
Tatkala subuh yang sayub menyambut mata langit yang mulai mengintip
Di balik daun
Di dalam selimut kabut
atau kah
di lekuk lekuk sungai?

Lalu merayu purnama
Juga gemintang untuk menemaninya menghabiskan waktu mengusir kesunyian pada putaran berikutnya
Bercumbu di pelataran nabastala
Menyisir pesisir gulita
Lupakan embun sebab embun terlalu dingin untuk mengusir gigil

Ah, malam
Kau pinang segala rupa
Di wajah mu yang kelam
Lalu pergi lontar kan seribu alasan
Kau ukir selaksa misteri paling puisi
Tinggalkan perih yang tiada terperi
Lalu pergi tak perduli
Pura pura bego masa bodo.

Duh malam
Mengapa kini kau begitu kejam
Menyeretku pada keliaran angan
Sendiri tanpa teman

Medan,2806019



BINGUNG
Oleh Ayu Ashari


Aku ingin pergi
Menjauh dari mu
Agar kau tak dapat
Melihatku lagi
Sekalipun punggungku

Lebih baik
Aku pergi
Meski kakiku
Terseot lumpuh
Dari pada
Hatiku kian
melepuh

Ah, apakah aku
Harus pergi
Sedang lagu
Rindu tak berhenti
Bersenandung di kalbu

Ya, mungkin aku
Harus pergi
Melupakan semua
Mimpi mimpi

Tidak
aku tak harus pergi
Sebab cinta
Masih bersemi
Tapi
Apakah dia
Masih peduli

Entahlah
Apakah aku
Harus pergi
Atau
Tetap di sini

Medan, 2706019



MENGAHAPUS TIRANI
( ODE untuk Neng)
Oleh Ayu Ashari


Neng
Dekaplah erat ke dua jantungmu
Lindungilah ia dari panas dan hujan
Atau angin yang berhembus berubah arah tiada menentu

Tutuplah kedua telinga mu neng
Bukalah ketika seruan Nya memanggil,
Tutuplah kedua matamu dengan dua tapakmu
Tak perlu engkau melihat wajah wajah hitam mulut merot memandang sinis ke arahmu
Dan bukalah hanya untuk menatap jalan mu ke depan.

Neng
Jangan kecilkan hati mu
Hanya karena kepicikkan otak otak kecil yang mengambil keuntungan kecil dari orang kecil
Sesungguhnya mereka itu manusia kerdil

Hapus lah setiap titik rinai yang merembas dari netra mu
Tak perlu sedu sedan itu
Simpan saja luka luka di palung terdalam hati mu
Agar jantung mu tak merasakan kepedihan mu

Neng bangkitlah
Kepalkan kedua tangan mu
Terjang tirany ke angkuhan
Tantanglah sang waktu yang sombong
Hapus ketidak adilan yang mengendus ke arah mu
Berdiri lah tegak,
angkat wajahmu di hadapan
manusia kardus yang malu malu tapi rakus
Tunjukkan pada mereka bahwa engkau bukanlah wanita lemah yang mudah di tindas

Neng tersenyumlah
Teruslah tengadahkan tangan mu
Dari Arsy Nya Ia tak akan membiarkan mu sendiri menjalani ujian ini
bukankah kita yakin bahwa Ia tak akan memberi apa yang tidak sanggup kita jalani?
jangan bosan dan berhenti
mintalah pada Nya agar imam mu kembali
Menakhodai bahtera mu ke jalan Illahi

Neng
Hidup bukanlah tentang menang atau kalah
Tapi tentang benar atau salah

Dan Neng
Tabah lah bagai bumi
Sabarlah laksana mentari
Ikhlas lah seikhlas udara
Tulus lah setulus bintang

Aku ada untuk mendukungmu

Medan, 2606019



SALAM SENJA
Oleh Ayu Ashari


Kepadamu wahai, taman yang menampung ribuan kembang di pelataran petangku
Salam hujan ku sampaikan sebagai guliran syairmu di kidung kita

Memilin sebilah rindu yang melarung
luka senja yang menggunung
Lalu menggubahnya menjadi kubah langit berpelangi
Menebar seharum janji di tepian asa yang menghampar

Aku telah menambatkan harap di sini
Di mana telah ku labuhkan bahtera kasih di lautan matamu,
Mata yang mengisyaratkan betapa kita akan menjalani setapak itu
Jalanan penuh krikil dan sunyi

Kemudian kita akan menghalau badai di hamparan langit
Mengayuh nirwana yang telah memendarkan ribuan cahaya di jajaran hati kita
Pun seraup melati yang merangkai riasan ruang berwarna

Dan luahan cinta kubentang untukmu di pelabuhan hati yang pernah ku titip pada senja terdahulu,
senja sunyi yang telah memaki rasa di sepadan waktu.

Medan, 2506019



DALAM PELUKAN BATU-BATU
Oleh Ayu Ashari


Ia turun membasuh kemarau
di dekat arus yang turun dan tertidur
zarah-zarah debu tercium aroma garam dan lumut laut.
kesendirian buatnya adalah
hal kecil di bandingkan sebatang ranting
dengan sejumlah daun di atasnya.

Dalam perjalanan panjang yang akan datang
akan ia persembahkan di altar-altar penuh takzim
agar setiap kali suara-Nya memanggil
dapat ia simak,
meski harus dihadang ombak-ombak
yang bergulingan tinggi lalu pecah

membawa aroma burung-burung gagak
yang berterbangan di bawah awan merah marun
untuk menuju makanan

O, di mana dapat ia petik
jika musim semi saja menggeretak
dalam pelukan batu-batu.
Dan jerit camar teredam riuh bayu

Semua itu adalah mimpi buruk yang bersemedi dalam lelap di malam sunyi
yang tak terurai sebelum waktu kehadiran Nya
Bersama sekeranjang mahar untuk membawa ia pada pelukan persada

Medan, 2306019



MENJELMA HUJAN
Oleh Ayu Ashari


Malam ini hujan turun!
bayanganmu menjelma hujan
dan setiap jejak yang kutinggalkan
adalalah erangan yang tak
pernah memberi apapun, kecuali
duka rintik hujan dari langit kelabu lembut
lalu pecah di atas gelombang.

Aku coba mendaki bukit perancah karang
yang basah oleh kenangan, namun
air mata yang menitik dari matamu
melembabkan kenangan tentang nyala api
yang tak pernah padam

Untuk inilah,
dengan denyut nadi yang gemetar
kubacakan sebuah sajak agar kemolekan bara
dalam dagingmu yang pernah hilang
dapat menjelma kembali dalam dirimu.
yang tampak oleh mataku letih dan putus asa.

Medan,2306019



DEJAVU
Oleh Ayu Ashari


Bulan yang memukau sesaat lagi akan datang
Tapi mawar menjadi risau
Sebab Angin berhembus tak berdesau
wajah langit terlihat memerah saga ke abu abuan
awan pun berarak tak beraturan
Suasana terasa lengang mencekam
Dan waktu berputar terasa lamban

Rasanya keadaan ini pernah ku alami
Pada masa yang entah
Jantung biramakan tempo allegro
Sesaat kemudian berubah moderato
Silih berganti pada nada tak pasti

Apakah ini pertanda berlusin cemas akan kembali pulang?
Lantaran bulan hanya sebatas kenangan
Ingin menyibak kabut di tengah lautan

dalam kecemasan ini
diam-diam menetes hujan yang tak henti henti
Memburamkan ronamu pada jarak pandang terbatasi
Sementara desakan di dada kian menjadi

memecah segala hasratku
untuk menulis syair sederhana
tentang aku yang selalu merindu
ingin bertemu cahaya
di antara pohon-pohon yang tumbuh
di samping pulau

Lalu ku coba menelusuri pantai tubuhmu dengan puisi
Namun relung langit menjadi sesak menghimpit sukma
sedang dengung suaramu terus menggema
menyusup hati, seperti pantai tanpa debur ombak
sepi tiada penghuni

Ah, aku kembali terperangkap Dejavu
Menatap nanar pada episode baru merangkai kisah melo klasik
tentang seruni di langit jingga
yang mendawaikan pesona gita
hingga kelamku memabukkan nyawa
dan memisah sukma.

Medan 2206019



EPESODE YANG HILANG
Oleh Ayu Ashari


duduk sendiri di bangku
sukma terjepit di antara batu-batu
karena di depan ku Lorca tua
di palu sepi dan kelu.

sejak dulu aku menunggu
walau arca pecah di angkasa
tapi, bisakah hari ini atau lusa
engkau kembali menjelma sedikit saja
sebab saat ini, aku sedang menunggu senja

yang tak habis-habis selalu kupertanyakan :
“kenapa cuaca hari ini terlalu buruk buat ku”
sementara matamu, selalu bertanya-tanya
mengapa begitu tiba-tiba.

sahut degup jantungku
yang lembut seperti laut di pantai sepi.
akan kukirim isyarat merah ke arah matamu
agar sewaktu aku bersandar pada senja
kesedihan di tanah ini hilang beriring air hujan
yang datang dari lantai mataku.

ah, mungkin sebaiknya
kutinggalkan saja kota kelahiranku
sebab, ia telah hilang
bersama kokok ayam jantan
yang sudah lama jadi tradisi.

Medan 2006019



PEREMPUAN PEREMPUAN BERWAJAH KAPAS
Oleh Ayu Ashari


Perempuan berwajah kapas
Mennggerai tawa lepas
di tengah pesta bertema bebas
Di bawah pengaruh minuman keras
Tingkahnya tak waras

Tak hanya yang belia
Yang setengah baya pun ada
Berdandan ala madona
Cantik mempesona
Memikat hati para pria
Dari yang muda hingga yang tua
Mata mata melirik ke arah mereka
Tersesat di pikiran yang entah apa

Perempuan berwajah kapas
Bersembunyi di bilik balik pentas
Menyublim asap dari tabung gelas
Bercengkrama di polah yang tak pantas
Kebodohan merasuki pikiran
Merambah kegilaan di luar kesadaran
Tanggalkan pakaian
Tarian erotis membumbung puncak angan
Memecah nikmat di hempasan gairah tak bertuan

Perempuan berwajah kapas
Bergelut rasa was was
Tubuh mulai meranggas
Sendi sendi lemas
Gigil semakin mengganas
Kala bius mulai kandas

Berkeliaran mencari sasaran
Apa saja yang bisa menjadi andalan
Demi terpenuhi tuntutan
Body diberdayakan

Transaksi sana sini
Campak kan harga diri
Cinta seakan tak punya arti
Hati telah mati
Tertutupi nafsu duniawi

Hidup bak kelelawar
Malam keluar
Siang tepar
Tak peduli si kecil meringis menahan lapar
Tak tahu si kakak bergaul tak wajar

O, perempuan perempuan berwajah kapas
mencari kesenangan tak pernah puas
Aku memandang mu dengan wajah mapas
Tak pernahkah terlintas
Usia mu di ambang batas
Waktu mu dengan sekejap bisa saja tuntas
kemolekan tak lagi berbekas
Dalam gulungan mori berbantal kapas
Maka kembalilah pada asas legilitas

Sebelum terlambat
Dan engkau semakin tersesat
Jalanilah hidup penuh rahmat

Medan,1906019



CERMIN
Oleh Ayu Ashari


Ku sendiri bercermin di heningnya sepi
Terlukis bayangan hitam menggurat di lintasan lazuardi
Ada kesenduan di sana
Kelelahan terlihat jelas dalam perjalan meniti putaran waktu menuju malam berpurnama
Yang masih saja berselaput mega

Secawan madu telah tersaji
Tak pernah tercicipi
Sebab bulan yang di nanti
Tak kunjung menghampiri
Sementara bintang kian resah
Merindukan kehadiran matahari membiaskan cahaya di cakrawala
Yang akan membimbingnya mengitari poros bumi.

Hati berbisik bertanya
Sampai kapan renjana terkurung di dalam bejana
Di banjiri tetesan hujan yang mengalir mengikuti lekuk rona
Lalu membeku tanpa makna
Daun daun yang merimbunpun turut meranggas tanpa sebab

Bahkan perahu yang telah di persiapkan
Mungkin tak akan berlayar menuju pantai harapan
Lantaran samudra telah kehilangan gelombang yang menjadi surut tanpa hembusan angin

Rasanya
Tiada lagi yang dapat ku tuang dalam bait bait puisi
Rangkaian kata yang terjalin tanpa intuisi
Mengumpul di ujung lidah bersama liur yang membasi.
Tiada diksi sama sekali

Ah, Entahlah
sampai kapan
Aku terlilit konflik yang sama
Merejam jiwa ku yang sahaya
Meluluh lantakkan hati ku yang jumawa
Sedang cermin semakin memburam bayang

Medan,1806019



PUING PUING
Oleh Ayu Ashari


Akhirnya
Pecah sudah
Sebuah kristal
yang selama ini
ku jaga

Sedang di dalamnya
Ku simpan
berjuta kisah
Berjuta rahasia
Penuh luka
Elegi yang
Ku tulis
Dengan tinta
Derai air mata

Dan pecahan
Itu menyayat
Luka
Penuh darah
Hujatan dusta
Di wajah
Tanpa ampun
Dan memberi
Celah untuk
Kususun kembali
Sedemikian rupa
Dengan pledoi

Ku kutipi
Butir butir
Pecahan itu
Dan ku simpan
Menjadi batu
Sebagai nisan
Kematian jiwa ku

Kebodohan telah
Menghancurkan diri
Sesal ini
Akan abadi
Tanpa daya
mengerogoti cinta
yang paling Puisi

Tapi biarlah
Kini menjadi
Cermin buram
Sebuah perjalanan

Medan,1606019



SUDAHLAH SAYANG
Oleh Ayu Ashari


Malam kian larut
Tidurlah sayang
Sudahi saja dulu
Segala beban
Masih ada esok
Yang akan menjelang

Ayolah sayang
Ranjang wangi
Telah menanti
Untuk di geluti
Bermain gelombang
Di alam mimpi

Jangan sayang
Jangan biarkan
Bantal sepi
Tanpa di cumbui
Guling kedinginan
Tak di peluki

Ah, sayang
Lupakan sejenak
Ambisi
Yang menyesak
Sudah saatnya
Istirahat
Seiring senja
Yang kian mengikat

Dan
Biarkan mereka
Mewarisi
Apa yang
telah di mulai

Ikhlaskanlah tongkat
Jangan sampai
Berkarat
Izinkan
Dilanjutkan
Apa yang
Di canangkan
Agar pertiwi
Menjadi
Negri mandiri

Medan,1606019



RUANG RINDU
Oleh Ayu Ashari


Engkau telah membebaskanku dari segala sentuhan malam itu
Bahkan rayuan dashat kubiarkan membeku di tepi bulan

Dan di antara kita tak ada yang bertanya ;
"Apa yang terjadi"
Karena darahku telah mengalir
Di ujung belati bersama air hujan

Ia telah menculik hasratku
Entah di mana di sembunyikan
Namun suara suling mendendangkan mimpi lewat catatan yang selalu membuka ruang rindu bernama cinta
Untuknya
Malam itu
Hujan jatuh di celah celah daun
ketika langit hendak pagi
Dari seribu pelayaran mimpi
Tak habis habisnya menggoda dahaga

Kau cermati langit
"Mau hujan katamu"
Sedang di halaman
Bunga bunga bermekaran
Seakan ikut mengerti
Jika rinduku nanti
Akan dipagari wangi
Yang datang berulang ulang kali
Sedang di lumbung matamu
Selalu menyimpan rindu
Untuk dilihat
Di depan sebuah cermin.

Medan, 1506019



BULAN PECAH DI LANGIT
Oleh Ayu Ashari


Selamat malam wahai awan mempelai kelam
matahari pergi tinggalkan rumput hijau
Domba menepi di ujung sungai menanti purnama

Makanlah aku
selagi kau bisa merasakan dagingku
lalu tanamlah tulang-tulangku
pada buih sungai
agar ia kembali tumbuh
pada api yang belum padam
tapi jangan engkau gali kubur untukku
karena tulangku nanti akan jadi batu.

O, wajah bulan pecah di langit,
bintang-bintang di campakkan
seribu hujan turun tak henti
tinggal satu keluh menanti.

Lonceng apa bunyi semalam
hingga sampai pagi hari.
Akankah kemarau akan tiba,!
Dan anak domba berlarian bersembunyi
di bawah pohon sebatang melati
yang memberi kerindangan
Menebar harum menutupi bau busuk bandot tua
Dan sinar mentari yang menghunus kulit ari

Berdiam lah di bawah ketiak ibu
Lelaplah diatas dada ku

Medan, 130619



PERCAYALAH LELAKIKU
Oleh Ayu Ashari

Tak dapatkah kau rasakan
Kidung indah tat kala bayu mencumbu pucuk bambu?
Beriring instrumen tetesan rinai yang jatuh ke tempayan
Gemericiknya memcah kesunyian malam
Dalam geliat tarian di atas panggung
yang kita ciptakan
Telah kita peluk bulan
mengapa engkau masih merasakan kesendirian
Menyeretmu pada kesepian yang entah

Ah, lelaki ku
Apa lagi yang harus ku lakukan
Agar kabut tak lagi menyelimuti bola matamu
Dan gerimis tak mengalir di sudut netramu

Bicaralah padaku
Jangan diam saja di sudutmu pilu

Andai saja kau lebih mendalami
Engkau akan memahami
Bagaimana aku melukis
dirimu di dalam hatiku yang paling puisi.

Lelakiku percayalah
"Kau pun menginginkanmu"

Medan, 1106019



KU KETUK PINTU NURANI
Oleh Ayu Ashari

(Elegi di hari minggu)

Langit cerah di hari minggu tak terlihat sedikitpun gumpalan awan,
Kebahagiaan menyelimuti ruang hati
Tuk bertemu dan bersendagurau pada pertemuan yang telah di nanti

Namun
Ntah bagaimana lenyap
Segala rasa
Lantas hati bertanya dalam keluh
Di depan ruang yang kosong
Kemanakah saudara saudaraku yang lain
Untuk memberikan senyum
Di pertemuan yang hanya dua kali dalam setahun
Tak dapatkah mereka sedikit meluangkan waktu

Bukankah kita bagai sebatang pohon
Berdiri teguh pada cabang dan rimbun daun yang berbunga
Dan pertemuan ini
Adalah nyanyian kegembiraan ketika angin berhembus berkesiur lagu kan tembang kenangan untuk bercengkrama

Bagaimana jika daun daun kita yang melayang, jatuh berserakan entah kemana bahkan tidak saling mengenal
Hingga di pertemukan dalam prahara
Bunga sari bersatu dengan putik benih yang sama
Sedang kan benih itu adalah hal yang akan menjadi petaka
Entahlah
Aku tak dapat melukis bayangan kelabu dari keadaan itu
Hanya kesadaran setulus ikhlas yang ku ketuk di nurani kalian

Ya, pertemuan di hari minggu tetap berlalu
Meski kami lalui bersama gerimis di kelopak mata.
Entah mungkin ini buat kalian
Sekedar basa basi yang selalu kalian bawa
sementara kesunyian kami ada di hati kalian

Suatu hari di hari minggu
Kami tak pandir menunggu di depan pintu
Dengan pedang yang menyala
Yang sebenarnya telah melukai hati kami
Biarlah semuanya jadi khotbah di hari minggu bersama bau busuk udara karena tiap langkah yang kami miliki sebenarnya telah menjadi harum mawar di hari kami berjumpa.

Barangkali di hati kalian tak ada lagi debur ombak untuk membawa perahu sampai ke pantai yang telah kami datangi lebih dahulu.

Medan,1006019
@sepupu



MERINDU
Oleh Ayu Ashari


Senja nan rawan
Ku kulum keindahan
Di kesendirian
Pada gelap kuberharap
Lukisan wajahmu menyelinap
Diantara gugusan bintang yang gemerlap

Aku merindu mu
Medan, 0706019



DI PUNCAK LARIK
Oleh Ayu Ashari


Ketika engkau tersesat
dalam perjalanan mu,
mampirlah ke rumah ku
sebab dingin saat ini
sedang putus asa penuh pasi
sekali pun daun-daun
melandaikan harumnya
kemudian gugur ke tanah,
lalu berbisik
Layaknya puisi ku yang diam
di puncak larik

Dan aku belum sempat mengunjungimu
lantaran peta yang ada dalam saku
tulisannya ruwet tak terbaca

“Ah, sepertinya :
dingin tak kunjung mengerti juga.”
Kalau saat ini kau sedang berburu
mengintai kijang betina yang dahaga
Sebab kemarau panjang mengakibatkan sungai di belantara mulai kerontang

Bahkan mungkin kau tak akan pernah pulang
Meski tanah kelahiran mulai pecah dan patah menanti mu
untuk menimba air dari sumur purba di perladangan sepi yang kau tinggalkan
Sekedar memercikkan kesejukan

Namun bila mungkin
Kau telah lelah dalam perburuan
Datang lah pada ku
Akan ku tunjukkan jalan
Agar kau tak lagi kesasar

Percayalah
Tanganku masih terbentang untuk memelukmu
Melesapkan rindu sambil ku simak dongeng perburuanmu
Hingga dingin yang membeku menjadi kehangatan yang mengalir ke seluruh tubuh

Jikalau kau tak ingin pulang
Janganlah kau rubah madah di puncak larik puisi
Yang kau eja diatas pentas

Medan, 2607019



KEMBALI PULANG
Oleh Ayu Ashari


1//
Diamlah sejenak saja
Biar ku nikmati
Nyanyian nyeri batang sendi
Lembutnya panas menyengat diri
Namun gigil yang menjelma menusuk pori-pori

Di bawah pelukan selimut
Ku layangkan pandang keluar jendela
Daun daun yang mengering
dan ranting ranting lapuk
mulai berguguran menyentuh tanah
Bahkan seekor burung pun tiba tiba jatuh dari dahan menggelepar lalu diam tak bergerak

Ya, apapun itu pada akhirnya akan kembali ke tanah
Seperti juga aku

Mataku masih menatap keluar jendela
Ku lihat mentari memudar cahaya
Ataukah pandangan ku yang semakin nanar
Lamat lamat sekelebat bayang saling menyambar
Putih lalu hitam
Dalam perjalanan menuju ke abadian

Medan,2107019



KEMBALI PULANG
Oleh Ayu Ashari


2//
Ah, dimanakah aku kini?
Kesadaranku silih berganti
aku mencium wangi kesturi
Bubuk cendana seolah menyengat hidung dari sela sela pakaian mori
Apakah aku telah pergi?
Dapatkah aku melarikan diri?

Tapi bukankah
Lari itu sekali kali tidak berguna bagiku,
Jika aku lari dari kematian,
Dan jika pun aku melalaikan kematian
Aku tidak juga mengecap kesenangan kecuali sekejap saja

Entahlah
Fikiranku meracau
Kesadaranku sesekali hilang lalu kembali
Sementara panas dan gigil saling menghantam
Darah mengalir dari rongga hidung aku hanya berpasrah
apabila telah tiba waktunya yang di tentukan bagiku, tidaklah aku dapat mengundurnya barang sasaatpun dan tidak pula mendahuluinya

Sepi kian mencekam
Detik pun tak lagi terdengar
Aku tersesat di rimba yang entah
tak tau arah jalan pulang

Kuingat sebuah danau
saat kubersihkan tubuh
bersama ikan-ikan kecil
dan percikan cahaya
yang datang dari
sela -sela daun,

Sementara burung-burung
yang menari di hamparan mega
menawarkan diri untuk
mengantarku pulang
karena senja telah masuk
perangkap awan terbentang.
mengecup bibir waktu
Meski bulan juli menyeringai seolah tak ingin ku tapaki lagi

Medan, 2107019



SEBUAH RINDU
Oleh Ayu Ashari


Sebuah kota lahir di sudut matamu
seperti ada rindu di sana,
di teduhi aroma senja
dan cahaya dalam satu kecupan.

Tat kala langit bercahaya jingga
burung pun terbang digembalakan angin,
ombak bergemuruh menyapa karang
ketika engkau melihat tentang
: rumah dan jembatan panjang membentang di tanah seberang.

dalam hening menatap sekali lagi
ingin rasanya ku lengkapi lukisan itu dengan wangi mawar atau melati
agar ia dapat menjelma rindu
di antara dendang laut
dan camar yang hendak pulang

tapi, katamu.
alangkah dalam rindu yang ku punya
dengan memasuki hutan kata di hatimu
menyusuri diksi demi diksi
pada puisimu malam ini
yang kau petik dari kenangan debur ombak
dan pasir-pasir pantai.

Oh, banyak yang harus kulakukan bersamamu
memotong segala luka yang berdetak
dan melatih kembali agar sesuatu mejadi arti
di pulau yang akan kita jaga bersama

Sambil mengkidungkan tembang lestari alam
mengiringi degub jantung waktu
Dan
Disini jika pagi engkau terjaga
Dari cederamu bawalah aku kembali tenggelam di bening matamu

Agar tak ada berisik suara
Atau teriakan lantang dari serumpun bambu
Mungkin ini cerita sederhana
melekat dalam hidup yang akan kita lalui

Medan 2019



DI PUNCAK LARIK
Oleh Ayu Ashari


Ketika engkau tersesat
dalam perjalanan mu,
mampirlah ke rumah ku
sebab dingin saat ini
sedang putus asa penuh pasi
sekali pun daun-daun
melandaikan harumnya
kemudian gugur ke tanah,
lalu berbisik
Layaknya puisi ku yang diam
di puncak larik

Dan aku belum sempat mengunjungimu
lantaran peta yang ada dalam saku
tulisannya ruwet tak terbaca

“Ah, sepertinya :
dingin tak kunjung mengerti juga.”
Kalau saat ini kau sedang berburu
mengintai kijang betina yang dahaga
Sebab kemarau panjang mengakibatkan sungai di belantara mulai kerontang

Bahkan mungkin kau tak akan pernah pulang
Meski tanah kelahiran mulai pecah dan patah menanti mu
untuk menimba air dari sumur purba di perladangan sepi yang kau tinggalkan
Sekedar memercikkan kesejukan

Namun bila mungkin
Kau telah lelah dalam perburuan
Datang lah pada ku
Akan ku tunjukkan jalan
Agar kau tak lagi kesasar

Percayalah
Tanganku masih terbentang untuk memelukmu
Melesapkan rindu sambil ku simak dongeng perburuanmu
Hingga dingin yang membeku menjadi kehangatan yang mengalir ke seluruh tubuh

Jikalau kau tak ingin pulang
Janganlah kau rubah madah di puncak larik puisi
Yang kau eja diatas pentas

Medan, 2607019

AYU ASHARI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar