UNTUK MENCARI PUISI-PUISIMU CUKUP KETIK NAMAMU DI KOLOM "SEARCH" LALU "ENTER" MAKA SELURUH PUISIMU AKAN TAMPIL DI SINI

Senin, 08 April 2019

Kumpulan Puisi Ayu Ashari - PANGGUNG KEHIDUPAN



#puisi
#sastraindonesia

ANDAI SAJA
Oleh Ayu Ashari


Embun menghampar di pelataran dini menggayut di ujung rumput, dinginnya menyentuh pori
Detik jam menukik tajam.
Berdentang 3 kali di angka tiga
Aku masih terjaga
Entah mengapa mataku belum layu
Desau bayu berbisik membujukku tuk menjeda waktu,
"Tidurlah hari telah larut"

Bagai mana aku bisa
Sedang fikiran ku tengah bergelut.
Hatiku juga tengah kalut
Menentang prasangka yang berkecamuk di dada

Ah
Andai saja semua tak bermula
Andai saja semua tak pernah ada
Andai saja hatiku tak pernah kubuka
Andai saja tak ada lagi kata cinta
Andai..
Andai..
Yaa andai saja aku tak pernah mencintai nya
Mungkin luka tak kembali menganga

Tapi harus bagai mana lagi
Semua telah terjadi
Kini aku kembali ke lembah sunyi
Sepi menyendiri
Mengemas kenangan di sudut hati dalam resah yang tiada bertepi.

Dan desau angin lagi lagi merayu
Nyanyikan lagu sendu
Ingin meninabobok kan ku.
Sementara aku telah mati.

Medan,0604019



AZALEA, SEKUNTUM KEMBANG LEMBUT
Oleh Ayu Ashari


Azalea, lihatlah bulan menyandarkan tudung tipisnya di atas kepakan sayap sepasang belibis yang tengah berenang ketepian. tak ada lagi kesunyian di sana, wangi bunga pun ikut melepas debu yang kerap melekat pada bulu-bulunya. Lalu segalanya jadi rindu, laksana musim semi yang siap untuk di petik kapan saja.

Azalea, engkau adalah damai yang tidak terlipat, engkau adalah jiwa yang bergemuruh di langit tertinggi, dan engkau adalah misteri yang datang ketika gelap sudah tak berawal dan hilang begitu saja sampai waktumu usai di ujung senja.

Azalea, engkau sebagai sekuntum kembang lembut, yang digoyang-goyangkan ketergesa-gesaan angin di dalam lautan padang ilalang lalu di cabik-cabik sebilah pedang.

Mengoyak nuranimu yang begitu luas
bersih tak ternoda culas
Anggunmu tegar kokoh berdiri diatas cadas
Kelopak mata sayumu membungkus binar kejora teduh mengulas sejuta prahara yang terkadang membuas.

Azalea, hatimu di penuhi sejuta kembang kelembutan memancarkan keindahan ke seluruh penjuru taman.
Penebar kesejukan dan kedamaian bagi jiwa yang begejolak.
Kelopakmu yang gugur telah di pungut seorang pujangga pengurus taman, dari pagi hingga malam tiada jemu menyirami mu dengan syair syair kerinduan.

Medan, 0604019



#puisi
#sastraindonesia

GUGUR DI MATA MU
Oleh Ayu Ashari


Saat itu senja temaram di pelataran kebun lada
Jingganya merona menghias jumantara
Dua bocah abang beradik asyik berkejaran
Berlarian di bawah rindang pohon rambutan

Anak anak tangga di penuhi para ibu
Duduk berjejer mencari kutu
Aku tersenyum duduk sendirian
Di beranda rumah panggung warisan zaman

Dipan kayu jati buah tangan kakekku
Masih awet terawat di warna alami
Di dipan ini dulu ibu kerap memberiku ASI menimangku hingga tertidur pulas.
Waktu begitu cepat berlalu, zaman merubah rupa desaku.
Kebun lada kakekku telah berganti barisan rumah permanen

Tak lagi kudengar muda mudi bercanda berbalas pantun jenaka
Atau irama rampak mengiringi gemulai para penari menarikan mak inang di pulau kampai.
Pun gending jawa mengalun di rumah warga.

Kini yang kudengar musik hingar bingar dari bedeng bedeng kebun duku
Menebarkan aroma anggur di tanah leluhur
Kemana muda mudi itu ?
Aku melihat mereka bersembunyi di kegelapan malam
Asyik menyublim asap dari tabung kematian
Ada juga yang tak berhenti gelengkan kepala di bawah pengaruh ekstasi
Terbang melayang ke dunia tiada rupa
Aku kehilangan wajah segar anak anak generasiku

Sampai kapankah aku menanti kenangan masa lalu dapat kedekap kembali ?
Ataukah akan terkubur bersama jasatku yang membeku.
Sementara ia telah gugur di matamu.

Medan, 0504019



#puisi
#sastraindonesia

BULAN SABIT
Oleh Ayu Ashari


Aku melihat bulan sabit melengkungkan senyuman di pelataran tanah Deli, di saat daun daun kering dan ranting lapuk berguguran membasah menyentuh bumi yang baru saja di guyur hujan.

Rembulan memerah menyelinap dari balik awan, bacakan puisi biramakan syair kehidupan.
Melesap merasuk sukma pudarkan segala bentuk kepahitan.

Ada damai menelisik di antara gugurnya daun yang berisik.
Di bait terakhir lembaran terakhir ia berbisik
"Apa lagi yang mesti di resahkan dan juga di gelisah kan kecuali di hayati !"
Tinggal kan elegi pada bait pertama mu.
Tutup lembaran itu, leburlah bersama waktu.
Lalu tulislah bait baru paragraf baru di halaman yang baru.
Buatlah seloka anak negri ceriakan bumi mu deli.
Jangan, jangan biarkan hancur bersama daun dan ranting yang berguguran itu.
Aku kan menyinari agar tunas tunas baru yang lebih kokoh tumbuh.
Percayalah, rembulan mu akan tetap menjadi matamu tanah deli.
Dan
Putik bunga pun bermekaran di ujung senja nan rawan
Tanah deli tak lagi basah..bias merah jambu merona di wajah ayu.

Medan, 0404019



MERENTANG RINDU
Oleh Ayu Ashari


Malam...
Sampaikanlah kepada alam sebuah khabar
tentang rindu yang tak pernah tertukar
Menari mengitari ruang khayal
Ingin menceritakan ribuan ikhwal

Malam
Bawalah angan ku terbang melayang
Menelusuri seluruh penjuru lintang
Dibawah ketiak sumbu ambigu yang membentang
Rindu tak jua dapat terentang

Ahhk malam
Rupa mu kian memburam
Tak terlihat rembulan yang bersinar temaram
Hadirkan sepi yang mencekam

Malam..
Katakan pada bayu
Aku tengah merindu
Pada kekasih hatiku yang jauh.

Medan, 0404019



#puisi.#sastraindonesia.
SERPIHAN MUTIARA RETAK
Oleh Ayu Ashari


Terlihat awan mulai berarak menyisakan kelabunya di ujung senja.
lazuardi enggan mengintip di ufuk barat, seolah tak ingin menyemarakkan langit sebelum gelap tiba untuk mengentaskan beragam cerita di pelataran pagi hingga petang.

Rasanya tak tercatat berapa ribu kali harus memungut satu demi satu tita yang merembas dari bilik netra di setiap episode cerita.
Entah tentang getir nya sebuah rasa atau perih nya tapak kaki tinggalkan jejak jejak nanah di jalanan yang penuh kerkil tajam.
Entah berapa kali pula aku jatuh tersandung bebatuan.
Lupakan sakit yang lembam, aku bangkit dan kembali berjalan.
Satu satunya pemberi semangatku adalah buah cintaku.

Tak pernah aku mau tau pada hati ku yang menjerit dalam beku.
Ku biarkan saja begitu.
Hingga suatu waktu..
Ombak di laut menghantarkan sebuah mutiara indah mempesona di pantai kalbu.
Kau lah mutiaraku yang telah datang
Dan aku tenggelam di keindahan pesonanya
"Apakah aku bahagia ?"
"Ya, aku sangat bahagia"

Tak ku hiraukan jerit camar perotes menyambar buih
Ku acuh kan biduk biduk nelayan melirik menghampiri.
Hati yang beku mulai mencair.
Pucuk di cinta ulam pun tiba fikir ku
Mutiara hadir ketika jenuh sampai di titik nadir.
Senja tak lagi muram, malam berhias rembulan.

Namun sayang badai pun datang jua.
Mutiaraku memburam cahaya.
Tak lagi tebarkan pesona.
Mengurung dalam murung sebab kerang tempatnya bernaung telah hancur..
Mutiara ku retak...dan aku hanyalah .." menjadi sandaran dari serpihan yang tiada arti"
pun menggores kembali.

Medan, 0204019



#puisi.#sastraindonesia
-------------------------------
puisi malam
-------------------------------

LAKI-LAKI ITU
Oleh Ayu Ashari


Malam itu, tak ada yang bergerak kecuali kecoa dan tikus
sementara laki-laki itu berbaring di atas sebuah kasur tipis
yang bau amis bekas air kencing lama.

Tas tangan yang kosong, di taruhnya di bawah kepalanya
sedang jaket lusuh tetap ia kenakan untuk menghalau dingin.
suara-suara menembus empat dinding, langit-langit
serta perut bumi yang dalam. ada juga jeritan tajam
seperti jeritan bayi yang baru dilahirkan.

Dalam panas yang menyesakkan
laki-laki itu merasakan peluh kental
semakin melengketkan jaketnya
dan dadanya pun ia rasakan tak dapat bergerak
apalagi mengirup udara yang segar.
“ apakah ia sedang sekarat, atau telah meninggal”
sebab sampai sekarang ia tak pernah mengetahui rahasia
dari rasa gembira nya, setiap menyambut hari pagi.

Lak-laki itu, ingin sekali mengenang
saat—saat bunyi sendok di dalam cangkir teh atau kopi
atau bertepuk tangan dan menari-nari
laksana campuran tanah hitam dalam jerami.

“O, perjalanan yang tak jelas ketujuan .”
katanya, sambil menunjukkan kedua jarinya ke langit
“ beri aku sepotong roti
agar aku masih dapat melihat mentari esok pagi.”

Medan , sv,nel.a.a,01/04/2019.



#puisi.#sastraindonesia

Kau
Oleh Ayu Ashari


Kau adalah cinta yang membeku
Namun tetap menggelora di hatiku
Kau adalah jiwa yang ku tunggu
Namun tak pernah mempunyai waktu

Kau adalah rindu yang ku lukis
Namun tak pernah kau beri warna
Kau adalah syair yang kerap ku tulis
Namun tak berpena

Kau adalah mentari di hati ku
Namun tak pernah memberi ke hangatan
Kau adalah hujan di mata ku
Namun tak menetes kan air

Kau adalah lagu di jiwa ku
Namun tak pernah kau beri nada
Kau adalah instrumental terindah yang ku mainkan
Namun tak pernah kau dengar

Kau...iyaa...kau
Selalu bermain di benakku
Tak pernah pergi meski berulang kali ku usir..
Dan kau....
Adalah bait bait puisi yang ku eja
Namun tak pernah kau beri makna

Medan, 0104019



#puisi.#sastraindonesia
Jiwa yang terlunta
Oleh Ayu Ashari
Kolaborasi bersama Edi Samudra kertagama


Jari-jarinya mengukir kata-kata di atas tanah
bentuk huruf dan lingkaran lingkaran yang saling berjalinan
tangannya bergetar karena rasa marah, dan denyut jantungnya bertambah cepat, lalu anak itu berkata
" Andai kata jariku ini mengenal pena, mungkin hidupku tak berkabut seperti ini, dipenjarakan waktu bersama lapar dan haus yang selalu menjerat dengan rasa pahitnya"
ah apakah ia harus dipenjarakan oleh umurnya sendiri? sementara lampu-lampu jalan telah mati dan bayangan rindu untuk bapak dan ibu di kampung halaman selalu saja menyelinap dalam pikirannya. Hatinya berat, dan dahak pahit sudah lama berkumpul dalam perutnya yang kosong, sementar orang-orang yang setia menemaninya lelap tertidur sambil menahan seonggok lapar sambil menunggu matahari terbit esok hari.
Dan entah bagaimana akan dijalaninya lagi
Adakah akan lebih baik atau bahkan mungkin semakin buruk.
Sementara tidurnya pun semakin meringkuk.
Perutnya kian terasa kebas, tak kalah kebas dengan hatinya menghadapi kepelikan yang selama ini di hadapi nya
Dia pernah bercerita padaku
Tentang bagai mana ia akhirnya terdampar di belantara metro politan.
Bagaimana sepetak sawah satu satunya menjadi sumber mata pencaharian keluarganya di rampas
Oleh rakusnya kota.
Sejak saat itu kehidupan di desa nya menjadi mati.
Tanah yang tadi nya subur menjadi gersang
Keadaan seperti itu yang mengharuskan ia menyeret langkahnya ke kota.
Bermodalkan 3 potong pakaian dan uang sekedarnya. Hanya doa restu keluarga menjadi modal paling berharga baginya
Bersama harapan ada secercah cahaya yang akan di bawanya ke kampung halaman
Dia berjibako melawan kerasnya metropolitan.
Demi mereka yang ia tinggalkan di kampung halaman.

Medan, Lampung 0104019



#puisi.#sastraindonesia.
Rembulan menghapus mendung di langit Deli
Oleh Ayu Ashari


Awan menggelayut di langit Deli
Mendung menggulung tiada henti mendera rupa
Sering sekali hujan turun di tengah pelangi yang terbit di siang hari..
Geluduk menggelegar hantarkan kidung pilu yang melagu
Petir menyambar hadirkan rasa getir
Hal ini terjadi hampir separuh perjalanan samsara

Hingga senja menapaki
Lazuardi pun hanya muncul sesekali
Langit Deli masih tergulung mendung
Aurora singgah sekejap lalu murca
Seakan tiada ke abadian yang betah menetapi

Ahhhkk
Langit Deli sering sekali sepi
Tak ada awan putih yang menemani
Sendiri merentang nawula bahagi

Mogah musik ing jagat
Tunjukkan isyarat
Langit Deli mulai memasuki gelap
Lintang kamuskus memberi perubahan pada cakra manggilingan
Rembulan hadir meminang dengan sikap ngapurancang,
Memberi mahar manjer kawuryan.

Sejak kehadiran Rembulan
Langit Deli terlihat cerah bergairah
Tak ada mendung apa lagi hujan
Wajahnya kini sumringah
Siang mentari bersinar terang
Senja pancarkan jingga keemasan
Dan malam dihiasi bintang gemerlapan
Rembulan memberi warna baru
Menghapus kelabu menjadi biru
Nampaknya tak ada lagi kabut yang berselimut
Kemuraman seakan hengkang melenggang
tak terdengar geluduk
Pun petir telah terusir
Sebab
Rebulan telah menghapus mendung di langit Deli

Medan,3103019



You Are
Oleh Ayu Ashari

For some one in some where

Angin yang meniup sepii malam ini
Sejuk terasa menerpa wajahku
Aku masih duduk berayun sendirian
Memandang rembulan
Sinarnya pucat kemerahan
Seolah gelisah menanti hari kan pagi
Begitu pula rasa di hatiku
Gelisah menanti hadir mu

Ohhkk kasih
Kau taburkan semua misteri
Di diri yang terlanjur hati
Telah terbuai mimpi

Ohk kasih
Aku di sini menanti
Kata cinta dari mu
Walau kau terus membisu
Kau selalu membisu

Kekasih
Berilah aku satu jawaban pasti
Agar aku tak meraba
Dan ternyata salah sangka

Duhai kekasih
Hentikanlah resah ini
Hadirlah disini
Selaksa rindu
Bersemayam mendebarkan jantung ku

Kekasih bagi ku
Kaulah inspirasiku
Kau matahari di musim semi
Kau adalah tawa di bibir ku
Kau segalanya bagi ku
Dan kau...
Kau adalah
larik di setiap syair ku

Medan,2903019



Melebur prasangka
Oleh Ayu Ashari


Beri aku perahu dan laut,
agar senja ku dan senjamu dapat berlayar kembali menuju ranah leluhur
lupakanlah segala sengketa
mari kita petik embun
yang kerap ada di kelopak bunga
dan angin yang membelai daun-daun
kuingat selusin kata yang kerap
Kau bisikan di telingaku
Ketika malam datang
atau subuh yang memanggil
kekasih..
kita sepasang camar di pundak ombak
berlompatan seperti lagu yang pernah kau nyanyikan,
Di saat menjelang tidur sebelum kita terbaring
Menikmati malam di ujung hening
Mata bening mu sayu menatap ku sendu
Menyimpan selaksa rindu di palung kalbu
Kita sama rasakan getaran yang ada
Membuncah hangat luahkan air mata
Sayang
Mari kita melebur segala prasangka
Yang berkecamuk di dalam dada
Pun membenahi diri
Mencabuti duri duri yang menancap di tonggak prasasti
Tak perlu kita ingat lagi
Sebuah prahara yang pernah terjadi
Biarlah tersublim bersama bergantinya hari
Sampai waktunya tiba kita mengucap janji di altar suci
Bersama mengarungi mahligai hingga akhir nanti.

Medan, 3103019



#puisi.#sastraindonesia

Bomb smoke di rimba mu
OLEH Ayu Ashari


Ku langkah kan kakiku tanpa ragu
Memasuki belantara rimbamu
Mengikuti arah bomb smoke yang kau nyalakan untukku
Namun mengapa semakin ku dekati warnanya semakin samar
Hingga aku tersesat di persimpangan yang entah
Terlihat sama tapi berbeda
Terlihat berbeda tapi sama
Ingin rasanya aku pulang
Tapi
Bagai mana aku dapat kembali pulang
bekal ku telah ku habiskan dalam perjalanan
Sedang kau tak menambah penerangan membiarkan ku meraba di kegelapan malam
Apakah kau tahu
Otak dan bathinku bergulat sengit
Sebelum aku melangkah kan kaki tuk mencapai titik cahaya yang engkau isyarat kan
Walau aku sadar akan rasa sakit yang kan mendera
Tersayat potongan sisa sisa kaca dari bias bayang yang lebih dulu ada
Pun siksa bathin ketika aku harus
Menepis jerit parau seekor gagak yang menderita merelakan kepergianku
Tidakkah kau mengerti betapa berat bagiku melalui semua itu.

Wahai
Sadarilah bahwa aku ada
Di sela ritme bait larik yang engkau puisikan

Ahhhkk
Sonetamu kian menggiring ku
masuk semakin jauh menuju belantara mu
Di tengah ambigu yang melilitmu

Duhai jiwa belahan jiwa ku
Aku terlanjur jauh merambah hutanmu
Jangan....jangan biarkan aku tersesat.
Tak menemukan arah mana yang harus ku tuju
Lalu terlunta tak berdaya
di tengah semaknya belukar mu

Pahamilah aku
Bahwa aku juga butuh kamu.

Medan, 2903019



Anak anak korban keangkuhan
Oleh Ayu Ashari


Aku melihat anak anak kecil berlarian di bahu jalan
Berpanas panasan.. berhujan hujanan
Wajah lusuh berbanjir peluh
Berbaju lecek berbau apek
Raut comeng pentang ploneng
Jerebu asap kenderaan mencoreng
Kulit legam terpanggang
Dibawah matahari bersinar garang
Berbekal kencrengan nyanyikan lagu kematian
Memburu recehan harapkan belas kasihan
Anak anak itu tertinggal kemajuan jaman
Terlahir dari kaum marjinal
Berjingkat di panas nya aspal
Berlarian tanpa sandal
Berjuang hanya demi perut sejengkal
Anak anak bangsa bergelut diantara ketidak berdayaan
Tegerus garis kemiskinan
Lupakan impian tetang bangku sekolahan
Bukan karena tak punya keinginan
Himpitan kehidupan memaksa mereka menepis harapan
Ketika malam menjelang anak anak itu berburu emperan pertokoan
Menyambut mimpi berbekal kertas koran
Anak anak jalanan korban keangkuhan
Janji janji celoteh kebohongan
Bersembunyi atas nama takdir tuhan

Medan, 2703019



#puisi.#sastraindonesia

KAU KEMBALI
OLEH Ayu Ashari


Semusim yang lalu kita pernah menyatu
Dalam jalinan persahabatan yang kukuh
Malam malam menggores cerita penuh canda dan tawa
Tiada cela air mata

Bait bait puisi ter eja dalam larik penuh rima
Bahagia menyelimuti hari hari
Kita bak dua sejoli di mabuk cinta
Kau memanggilku umy
Dan aku menyebut mu aby

Siang mentari turut tersenyum menyaksikan keakrapan kita
Lalu malam bermandi cahaya bulan
Gemintang pun berpendaran turut bahagia

Namun entah bagai mana awalnya
kita terjebak ambigu
Pada rasa yang kemudian berbeda
Malam berubah menjadi kaku
Dengan bahasa lidah yang kelu

Sejak saat itu..
Canda tak lagi berbuah tawa
Langit seakan berkalang jelaga
Tanpa sengketa kau lenyap begitu saja

Ahhk..
Kau menghilang entah kemana
kau tak pernah lagi menyapaku
Hari hari ku jalani sepi sendiri
Senyum ku menghilang di bibir ku yang pasi

Musim berganti
Bayang mu hilang bagai tertelan bumi dan aku tak lagi mencari
Ku kira kau takkan pernah kembali
Membawa jauh kecewa pada diri.

Kini
Pintuku kau ketuk kembali
Saat aku tak lagi sendiri
Hati ku telah memilih
Seseorang yang terpilih

Maafkan aku
Jika harus membuat mu pilu
Sebab ia teramat sangat memikat ku
Andai kau mau
Ku tawarkan jalinan seperti awal kita bertemu
Bernaung di hatiku sebagai sahabat sejati ku

Medan, 2703019



GELISAH
Oleh Ayu Ashari


Malam..
Wajahmu kini begitu muram
Tiada bintang atau rembulan
Sepinya nyaris tak ber suara
Menghantar nestapa di palung jiwa

Burung malam..
Di manakah kini kau berada
Mengapa kau tak hadir menyapa
Terlelapkah kau di atas dahan
Mengepak mimpi berselimut dedauanan
Tidak kah kau mengerti aku resah dalam penantian

Malam....
Bawalah aku kembali ke alam bawah sadar
Agar tak kurasa kan rindu dendam
Bergejolak dalam hati bergetar
Teringat kisah kasih semalam

Embun malam..
Jangan usik lagi aku dengan dingin mu
Cukup sudah siksa ini mengganggu
Jangan...jangan lagi kau tambah beban di pundak ku
Agar cemburu tak menghantui ku

Angin malam..
Bisikkan ke telinga nya
Aku gelisah menanti hadir nya.
Ingat kan dia
Mimpinya tak kan indah tanpa aku adanya

Medan, 2703019



Panggung Kehidupan
Oleh Ayu Ashari


Sebuah sandiwara apa lagi yang tersuguh pada ku..?
Mengapa tiada henti kepelikan datang silih berganti
Hingga begitu sulit aku berhenti atau memulai lagi
Ketika langit yang tadinya begitu cerah, tiba tiba berubah arah
Petir menyambar tanpa adanya awan yang menghitam
Gelegarnya menyadarkan ku dari khayalan

Ahk ntah lah
Kadang aku tak mengerti tentang apa yang kuhadapi
Panggung baru saja tertata rapi dengan tema menyatunya dua hati
Cahaya lampu berlatar romantisme
Berubah gulita tanpa cahaya
Ornamen porak poranda
Bagai mana bisa aku tiba tiba berganti peran dari seorang putri cantik menawan,
menjadi permaisuri penyakitan
Sedang dialog belum aku dapatkan

Aku kembali meraba di kegelapan panggung kehidupan
Mencari secercah cahaya yang mungkin saja masih tersisa.
Langit belum sepenuh nya kelam
Masih ada lazuardi yang mengintip dari balik awan
Menerpa hangat di panggung kehidupan.
Dan aku akan tetap mengambil peran.

Medan,2603019



BARANGKALI
Oleh Ayu Ashari


Malam selalu menyembunyikan
keinginannya untuk menulis
peristiwa yang dialami,
tapi semua jadi lupa
karena bekas luka selalu menggoda
jika peristiwa itu telah lama
meninggalkan jejaknya
bahkan jadi peta perjalanan
untuk kembali pulang.
Barangkali, malam juga
telah menjadi sahabatnya bertahun-tahun
untuk menghitung purnama atau bintang
yang kerap jatuh di ujung mata
saat tiba-tiba saja perih menjelma jadi hujan, di setiap catatan yang ditulis.
Wahai, segeralah pulang,
Cuaca telah mendung dan burung-burung tak bergairah bersenandung.

Medan, 2019



Ratu di hati insan
Oleh Ayu Ashari


Kau lahir diantara mata yang membuka jendela di pagi hari, matahari yang bersinar melambaikan cahayanya disetiap engkau ada di dalam kereta kencana.

Melintasi lorong lorong terang berhalimun memandang ke penjuru empat arah angin, terukurung sudut sudut ruang sempit, meluas membentang di balik gedung pencakar langit.

Berpasang tangan kecil perkasa lemah menjuntai kearah mu, mata berbinar sayu, tertutup selaput bayang hari esok yang redup. Orkes keroncong perut semarakkan malam beriak dalam ringkuk, membelit usus mengempis, hadirkan mimpi tentang denting sendok yang menari di atas piring berteman nasi dan lauk.

Mengisi waktu penantian bias mentari memantulkan cahaya dari kaca kaca raksasa, netra masih menutup, namun indra pendengaran di buka lebar, hati berdebar dalam kecemasan harapan
Terdengar sayup dari kejauhan derap tapal kuda, secercah cahaya semburat merona, deritan halus roda kereta kencana kian nyata, kelopak mata terbuka.

Anggun engkau keluar dari kereta kencana, wajah ayu mu menularkan keteduhan, lembut memeluk bocah bocah tak strata, hentikan orkes keroncong yang semalaman melanda.
Engkau ratu di hati setiap insan, senyummu senantiasa merekah di bibir nan merah, mentari pagi menyinari hatimu pancarkan kehangatan di bola matamu yang ramah, bagai Metis engkau buka cakrawala dunia untuk mereka yang terlupa.

Medan, 0704019



TIADA CAHAYA
Oleh Ayu Ashari


Tiada cahaya
sepi tiada api
lembab beredar
di ruang ingatan
pecahlah segala rindu
di atas dataran tandus
yang menggaruk-garuk tubuh

Dua puluh satu hari
terguling tak sadarkan diri
di antara bau mawar
yang berpelukan
mesra sekali.
Malam tiada bulan
Daun-daun dihujani
demikian waktu berlalu aku tertidur
di huma ladang hatimu
Dan kau gantungkan aku bagai bingkai kosong tak berlukisan di salah satu dindingmu yang entah

O, seekor burung terbang tinggi
melayang perlahan hinggap di pinggir kali
Mengacak ilalang yang terjaga rapih
kemana hendak kau bawa aku
tanpa bunyi sama sekali
Menyelinap berkelabat di kepak sunyi
Senantiasa bersembunyi di balik semak berduri.
Lalu terbang lagi hanya singgah sesekali.

Duhai, tidakkah aku pantas kau temani, mengupas legenda esok hari

Medan, 0804019



----------------------
KITA ADALAH
Oleh Ayu Ashari
----------------------


Bagai padang
terbengkalai lupa
belukar, akar
tumbuh dan berbunga,
pada ruang yang di kelilingi
wangi petang dan pagi
Kita adalah
jalan kecil
yang membawa hati
untuk bergirang
atas semua sunyi,
dan dari sunyi itu pula
kita punya rekaman
untuk sepasang rajawali,
yang mengarungi pelangi.
Kita adalah salju
kita adalah awan
yang melintas
tak putus-putusnya
pada siang dan senja,
bahkan kita pun adalah
lautan yang berbaur
bersama perahu dan ombak
untuk saling membasahi
satu sama lain.
Kita adalah
atmosfer itu sendiri
seperti langit negro
yang bertelanjang kaki
penuh keragu-raguan.
Kita adalah
rumputan hadiah yang harum
dari kenangan yang ditandai
dan untuk itu engkau tak perlu
bertanya "siapakah" yang menaungi palung sukmaku
Bukan kah
Kau langitku dan aku awanmu
Dan kita telah berjanji akan selalu bergerak bersama,
Ku kira tak perlu kau tanya lagi
Siapakah pemilik hati ini.

Medan, 0804019



Cerita pagi
Secuil kisah masa kecil
Oleh Ayu Ashari


Menjelang Ramadan, aku selalu teringat masa kecil dulu,
1979 Ayu kecil masih imut, selalu di kawal abangnya yang super hero bernama Arto. Siapapun yang mengusik Ayu habis dia hajar, baik yang berbadan kecil atau besar tidak pandang bulu ( gimana mau mandang bulu, bulu nya aja belum tumbuh🤔🤔😶😶😜😜)

Ceritanya ni, kami sering berpetualang berdua, sejak se masih tinggal di kampung sampai pindah ke kota, (kalau sekarang di kenal si bolang..bocah petualang)
Di suatu hari di bulan Ramadan 1979, sejak pagi kami bermain, bersama dua sahabat kami Ferry dan Fauzi, tetangga kami, aku dan Ferry memakai roller skate, abangku dan Fauzi dengan skate board, kami berpetualang jauh dari rumah,mengisi waktu menunggu imsak, sangking asiknya, kami lupa waktu batasan mamak, ( tapi puasa kami penuh cooy)
Karena takut di marahi mamak kami (aku dan abang ku) mengendap endap masuk lewat halaman belakang,
Kletek....nyiiit, pintu besi pagar kami buka,
"Udah dek, deluan masuk kamar nenek, pura pura tidur, abang jaga di sini, kalo ketauan mamak , biar abang yang di cubit!"
"Jangan bang, biar Ayu!"
"Udah abang aja, sana cepat, kayaknya mamak masih ke pajak!"
"kalo gak sama sama bang!"
"Gausah, aku bilang deluan!"
Karena dibentak, aku pun jalan mengendap.
Setengah jalan,
"Ala mak...bang ada ayam, awak takot!"
"Lari aja lah kau..!"
Aku pun lari, tapi apa ndak di kata, ayam hitam malah mengejar ku
Dan petook, kaki ku di patok
"Maaaak"
Petook..betis ku di patok
"Maaaak!"
Petok..petok..petok..patatku di patok patok
"Mamaaaak!" jerit ku sambil lari dan nangis kesakitan
Bang Arto berusaha mengusir ayam dengan sapu lidi, tapi malah dia dikejar ayam yang lain yang juga baru menetas kan anak nya.
Al hasil kami sama sama lari dan lompat ke atas amben.
Nenek yang masih di kamar mandi keluar mendengar keributan kami, dan mengusir ayam ayam nya ke kandang.
Saat itu mamak pun sampai.
"Rasain, itulah akibatnya kalo nggak denger kata orang tua!"
Kuping ku di jewer mamak,,
"Sudah tohk, mbok yo ojo di jewer, jenenge anak anak!"
Nenek selalu membela ku.
"Iki lohk, seng penting di kasih obat dulu, pantat te biru biru, lah ndelok iki, bedarah ngene ko ya di jar ken wae!"
" jar ken kono, ben kapok!" kata mamak
"cah wedok kok, tingkah ne kayak cah lanang!" mamak ngomel sambil mencubitin paha ku
"Ampooon, maak!"
"Wes tohk, kok malah di jiwitin?"
"Ben, kono! Kok lah yo ora iso niru mbak yu ne!"
Mamak kembali menyubit paha ku
"Udah maak, kasian Ayu!" kata abang ku.
Nenek ku memeluk ku
"Lah sopo seng salah? spo seng ngekek i sepatu roda? Cah wedok di kek i sepatu roda, bukan anak anak an! cep.cep..nduk, rene tak obati!"
Nenek membujuk ku dan mengobati pantat ku.
"Udah, hayo Arto mandi sana!" perintah mamak ke abang ku.
"sebentar lah mak, kasian dek Ayu!"
"Nggak, biarin aja dia hayo mandi!"
Dengan terpaksa bang Arto mandi.
Aku masih nangis kesakitan, di bawa nenek ke kamarnya, Nenek membujuk ku, membersihkan tubuh mungil ku dengan handuk basah, membalur tubuhku dengan minyak kayu putih dan bedak, mengganti bajuku dan menyisir rambut ku. Mengobati luka luka ku.
Sementara mamak sibuk di dapur, memasak makanan untuk berbuka.
Aku masih nangis kesakitan di pangkuan nenekku
Bang Arto yang sudah siap mandi diam diam masuk bergabung dengan kami,
"Diem dek, ne abang bawain buku cerita PINOKIO! abang baca SINTARO!"
"O, dek kok sukak kali binatang itu nyotok pantat, mu? dulu waktu kita masih di kampung, masih umur 4 taon kau di teot angsa, masih ingat kau kan?"
"Ingatlah bang, waktu kita maen ke pinggir sunge, ada angsa, awak yang di kejar, pantat awak juga yang di teotnya!"
"mangkanya abang dari tadi mikir kek gitu, kenapa ya dek?"
"Mana lah awak tau bang!"
"Ah, besok besok kalo kita maen maen lagi, abang bawa baskom lah!"
"Ihk untuk apa pulak bang!"
"Mana tau kau di kejar ayam atau angsa, aku tutupin pantat mu, pakek baskom!"
"Iya ya bang!"
"Ya iya lah!"
Nenek tertawa mendengar obrolan kami, tak terasa maghrib pun tiba, dan kami berbuka puasa bersama.

Satu hari di 19 hari Ramadhan tahun 1979, kami selesai kan denga baik.

Medan, 2504019



------------------------------------

Hujan turun
Gunung runtuh
Sawah tertutup lumpur
Aku tersedu


----------------------------------------



SECANGKIR KOPI SUSU
Oleh Ayu Ashari

Sayang
Malam ini hujan turun sangat deras
Angin yang berhembus
Hadirkan dingin yang mengalir
Mengapa kita masih duduk di teras
Mari kita masuk
Akan ku sajikan secangkir kopi susu
Penghangat tubuh
Untuk kita nikmati bersama

O, pecahlah purnama dalam mangkuk
Dan burung menari dalam sangkar
Lepaskan segala rasa
Yang mengendap di dada
Merebahlah dalam buai asmara

Terdengar lenguh desau angin memburu,
Kita pun rubuh, bermandikan cahaya bulan.
Lekung melengkung bibir tersenyum,
Mata meredup.

Medan, 2104019



ANGIN
Oleh Ayu Ashari


Pada lintasan malam
Ingin ku hapus embun agar dingin yang membekukan jiwaku dapat menjadi hangat.
Atau menghentikan angin agar gigil tak terus menerus menggerus
Tapi apa bisa
Sedang embun dan angin telah berteman lama

Sementara aku hanyalah wewangian cendana yang terayu menelusup masuk di sela ke duanya,
lalu tidur dalam sebuah harfa kala pagi tengah di lalui
Ah angin
Adakah kau membawa harum ku tatkala mencumbui embun.
Ataukah kau lupa akan segalaku

Ingin ku tikam malam segera terang
Agar angin lekas datang ,
Ingin ku khabarkan pada alam bahawa angin juga telah mensenggamai putik ku.
Tak perduli apakah wangi ku akan berubah bau
tapi aku juga tak mampu, sebab aku cendana bukan raflesia

Bila kau dengar denting harva yang merdu, itu hanyalah suara gelisah ku
seperti getaran daun yang terlepas dari tangkainya ketika musim gugur

Duhai angin
jika wangi ku tak ingin kau bawa dalam desirmu, mengapa kau meminang ku.
Lantas membiarkan ku terbakar api cemburu.

Medan, 2104019



SATU ABADI
Oleh Ayu Ashari


Mawar yang pernah kau
tanam di hati ku
duhai kasih ku
Kini tumbuh dan merekah mewangi
Sangat berarti
bahkan mampu menghapus keraguanku.

Kau curah kan seluruh perhatian mu untukku.
Dan belai manja mu dari waktu ke waktu
menambah rasa percaya diri ku akan cintamu
yang seutuhnya hanya untuk ku

kesabaran mu memperlakukan ku telah membuka tabir yang selama ini begitu pekat menutupi hati ku
Indah sanubari mu , membelai sukmaku,
kaulah pangeran yang ku tunggu.

Genggam lah erat jemariku,
duhai sayang
Ucapkan janji setulusnya dalam hati
Mari kita pasrah dan berdoa
Semoga selama lama nya
Kau dan aku satu abadi

Medan 2004019



SIMPAN SAJA
Oleh Ayu Ashari


Masih cukup waktu untukmu.
Menghempas ke tempat-temat yang di miliki masa lalu.
Aku hanya bisa mengingat
Saat aku mengucapakan kesunyian kau malah menghancurkannya
bahkan ketika aku berulang-ulang
mengucapkan masa depan
malah kau sebut cerita
yang menjelma jadi mimpi.

Aku sudah jenuh mencium bau hujan yang berlepasan saat itu.
sementara di rongga dadaku
kenangan berlari ke dalam kabut
karena lukaku luka menyendiri
di sepanjang malam

Dan kala mentari bersinar, kau lebih garang dari teriknya, membekaskan ruam biru melebam
bahkan menyesatkan salah satu indra pendengaran
Ketika aku alpa, bahwa kau tak boleh terbantah, sekalipun kau salah arah.
Pun aku menggigil sendirian.

Kau laksana Daniswara dari dinasti mu sedang aku hanyalah Hanacaraka yang selalu ngapurancang sebagai tandah, walaupun akulah sang pemilik istana.

Aku diam
Ya
Aku hanya diam, membungkam, urung suara, meski kata maki dan telunjukmu senantiasa ke wajah ku.
Belum lagi, bagaimana kau bermain di belakang ku
Jangan kau tanya, berapa banyak aku memunguti air mata sepanjang musim itu.

Cukup sudah elegi perjuangan ku untuk mu, sisakan ketakutan yang membelenggu di beranda kelambu.

"Kini kau ingin kembali..?"
Tidak,
Aku tidak ingin kembali ke masa lalu
Sudah,
Simpan saja rasa sesalmu
Simpan saja sedu sedan mu
Aku tak ingin lagi masuk ke neraka mu
Aku " J E R A"
Tapi jangan takut
Aku tidak akan pernah mempropaganda buah cinta dengan seonggok benci yang membatu.

Medan, 2004019



YANG TERABAIKAN
Oleh Ayu Ashari


Tanah lapang itu telah dibuka, terlihat sebuah rumah tak lagi terurus.
Angin sering membawa benih-benih ke dalam rumah atau ke atas atap, berkembang biak menjadi semak dan pohon yang menyebabkan bangunan dan atapnya merapuh

Tampak disekelingnnya pun tumbuh-tumbuhan melata melilit dinding rumah
kayu yang masih tertinggal di tutupi dengan lumut dan daun-daun kering.
Halaman di tumbuhi beragam gulma.
Hujan dan terik matahari yang senantiasa menghampar mengakibatkan rumah itu hampir roboh.

“Sebuah Rumah Kenangan”
Temboknya tak terbuat dari beton melainkan dari batang-batang pohon yang di tanam dalam-dalam,
Sebenarnya atapnya pun di lapisi gelagah yang tebal, seharusnya tahan dari hempasan taufan yang biasa datang dari selatan.
Tapi cuaca bertubi tubi menghantam.
Mengakibatkan ia nya tak berdaya.

O, rumah kenangan tak lagi berpintu an jendela-jendela nya tak lagi berdaun,
semua di tumbuhi semak dan daun-daun kering yang berserakan. Siapa yang hendak singgah sekedar untuk meminum kopi atau merangkai kata jadi pantun dan kembali jadi ranum.

Medan, 2004019



A LETTER FOR MY BELOVED
Oleh Ayu Ashari


Kekasihku
Awan yang menaungi rumah rumah rindu, telah pergi ke tengah samudra
Namun engkau yang melintasi malam dengan subuh yang hendak sampai tak henti memancarkan cahaya pelangi
Seperti puisi yang kutulis malam ini

Teringat aku sepekan yang lalu
Tak ada rasa pahit yang kita rasakan dalam kecapan
Semua jadi madu, dan kurasakan duka ku hilang di sudut likunya.

Sayang,
Kubisikkan semua ini padamu lewat hembusan angin dan kicau burung yang bernyanyi di puncak ketapang, agar rasa ini sampai kepadamu.

Ku harap engkau mengerti
Betapa aku merasa perih saat kau diam dalam heningmu,
Bagai gemerisik daun daun kering yang jatuh seperti itu lah hati ku yang tengah gelisah menunggu kehadiranmu

Kekasih,
engkau adalah bait bait puisi yang mengalir dalam darahku.
Sudah lama kita tidak bertemu
Kenapa engkau selalu menyulam waktu
Sambil menatap matahari yang hampir tenggelam di tanah seribu sungai

Medan 1904019 (dini hari)



MENGGAPAI KASIH NYA
Oleh Ayu Ashari


Aku terdiam di sudut rasa tak terpana, guliran pertiga malam menghening tafakur kudus merepih hati nan luruh
Kepak kepak sayap waktu perlahan menjauh, sedang aku masih terlalu sibuk menghitung jelaga fana di ujung mata dunia yang hampir meredup.

Di tapak sunyi perjalanan hari, aku menyadari, betapa kecilnya aku di atas kefakiran imani.

Duh Gusti.
Masih saja aku mengikat diri dalam pencarian cinta insani, sedang cinta padaMu adalah yang paling mewangi dan merindu pada Mu adalah irama debaran yang tersyahdu.
Pun aku terlena mengeja keindahan bait syair ku sementara syair samawi Mu adalah yang terindah mengalun merdu dari atas menara rumah Mu

Kekasih
Dalam kesucian basuhan tirta tubuh ku, aku bersimpuh malu, dekaplah aku di kehangatan irama degup jantung memeluk mesra kepasrahan diri pada Mu ya Ar Rahim

Kekasih
Bimbing aku dengan Rahman Mu, menggapai cinta Mu, tanpa adanya koyakan luka kedustaan.

Kekasih
Fajar telah menyingsing, berkahi aku dalam mengejar dunia ku, ingat kan ketika aku mulai lupa akan perjalanan sakral keabadian kehidupan, menuju rengkuh Mu.

Amin..
Medan, 1804019



GELATIK
Oleh Ayu Ashari


Melewati malam kulihat engkau
Menawarkan senyum berkali kali,
di antara gulir waktu dan embun yang jatuh, si ujung daun.
Mengusik kesendirian ku untuk menyatu.

Kau bayangan kerinduan yang terjerat kesepian, dalam kelanamu.
Bersama gelatik yang sering mengucapkan perih di ujung belati
Hingga kebencian datang menjadi api

Kau menemukan 'ku dalam perjalanan pulang bersama perahu dari daun dan ilalang,
Kau berkisah bahwa
Kau bawa lukamu, bersama aroma hujan dan cahaya bintang bintang.

Ya, Aku melihat ada luka yang dalam kau simpan di balik retina mu.
Ku jatuh kan hati ku untuk mu
Kita melegendakan elegi perjalanan hidup kita,
Kita seakan satu jiwa dari dua jiwa

Waktu berlalu, ceria tergambar dari raut wajah kita, yang terkapar berhadapan, melukis pelangi di lekung bibir.
Kita menepati janji untuk saling menjaga dan menebarkan harum sedap malam di seluruh ruang hati.
Menghapus halimun yang selama ini berkalang di langit langit kamar.

Entah apa yang terjadi
Samsara merubah arah
Kau lupa akan waktu untuk ku
Senduku melagu pilu
Menyimpan rindu dalam kalbu
agni membakar cemburuku
Naluri ku berkata kau kembali pada petualangan mu
Asa ku hampir pupus

Ah, masih adakah cinta buat ku gelatik
Yang selalu merindukan mimpi
Dari kejernihan abadi.

Medan,1704019



ROMANSA
Oleh Ayu Ashari


Rinai turun sejak senja menjelang hingga malam berselang, daun daun berguguran, udara melembab di sekitar taman.
Lelah mulai merambati mencoba mengeringkan air yang menggenangi lantai, sedang rinai seolah tak ingin usai.

"Matamu setenang tidur walau langkahmu sering di batasi air mata
Kau menjadi cahaya bagi pagi yang tak berupa
Di sini naiklah ke anak tangga
biarlah bayang bayang hitam yang menjelaskan menjadi pusaka
Dan rumahku selalu terbuka buatmu
Untuk bertegur sapa di alam semesta"

Kau bacakan sebait puisi penuh diksi.
Membuatku sejenak terpana.
Hadirmu di sisi ku
Begitu tulus,
Begitu lembut
Begitu penuh kasih
Begitu setia
Tak sedetik pun kau rela membiarkan ku dalam nestapa

Kau hapus setiap tirta yang jatuh dari netraku dengan lembut bibir mu,
Kau peluk aku ketika gigil menyerang ku
Kau dekap aku kala resah melanda dadaku
Senyummu, kearifan mu adalah penenang bathin ku

Namun entah mengapa
Empat belas jam kau tak berkhabar
Gulana merambati hati
Aku gelisah dalam penantian
Bayang bayang hitam ketakutan mulai mengambang
Aku marah, aku panik, aku benci
Dan
Aku rindu

Ku coba mencari tau
Tapi semua link tertutup pada ku
" Tuhan apa gerangan yang terjadi, jangan lagi Engkau ambil dia dari ku!"
Sepanjang waktu penantian, ku mohon perlindungan untuk mu

Senja berarak pergi, lazuardi pancarkan jingganya.
Khabar mu sampai pada ku
Bahwa kau kelelahan dan tertidur setelah melakukan perjalanan.

Sayang,
"kau jahat"
Kau buat aku gelisah tanpa warta.
Kau tau,
Aku takut menjalani gelap tanpa kau di samping ku
Tidak kah kau sadar, kau adalah mentari ku kala malam,
Kau pemberi kehangatan di hamparan embun, yang dingin kan tubuh ku.

Sayang,
Jangan lagi kau berbuat begitu
Aku butuh kamu di setiap waktu.

Medan, 1604019



PULANG LAH
(For someone, please go home, I will always wait for you)
Oleh Ayu Ashari

Ranting-ranting dan daun-daun yang menguning menyiratkan larik puisi, tak akan habis dalam dongeng kita, kekasih
sudah berapa banyak angin menyelami lekuk tubuhku
ketika kuraba langit semua jadi hujan rindu

bisakah kita ulangi dongeng
tentang angin malam yang berhembus mampu menembus dinding hati ku yang hampir pupus dan gelombang memecahkan batu karang ego ku yang sombong.
agar impian yang pernah ingin kita capai tak terbengkalai
dan menjadi kenangan indah di antara belaian dua tangan kita yang terhampar di padang ilalang.

Matamu, yang sering ku intip dari ujung kelambu selalu menyimpan misteri
Ingin ku telusuri hingga tak ada lagi yang kau tutupi
untuk itu mari kita selesaikan perselisihan malam ini,
karena pintuku dan wangi bunga akan siap menyambut hadir mu kembali disisi ku hingga akhir waktu.

Pulanglah ke peraduanku
Aku menunggu mu.

Medan, 1504019



KETULUSAN YANG MEMBIRU
Oleh Ayu Ashari

(Edisi spontan di TPS)

Lelah sudah kaki seakan lumpuh
Berdiri menanti di dermaga rindu
Detik menungkik lambat berpacu
Ribuan perahu berkelebat tak me-nyauh
Ah, aku mulai terjebak ambigu,
Bimbang menyelimuti kalbuku yang piatu
Masih kah ada biduk yang kan manaut di sudut dermaga ku
Sedang senja mulai merambat ke ujung kelabu.

Camar memekik, gelombang bergulung
Aku semakin limbung,
Memulung rindu yang tak pernah berujung.

Cinta adalah cinta
Yang terjebak permainan kata
Bergelut dalam dusta yang entah apa
Menoreh luka di lekukkan sukma.

Sampai kapan aku pun tak tau
Seribu ketulusan ku menjadi lukisan kelabu, memburam tergantung di dinding hati yang membiru,
Adalah pusaka berselimut debu.

Medan, 174019



THERE ARE SMALL CLOUDS DRIFTING IN MY SKY
Oleh Ayu Ashari


Mendung telah lama menggelayut kelam di hamparan langit ku
Tak mengarak rinai atau suara gaduh geluduk
Keadaan berjalan tanpa ritme, tanpa dinamika, tenang tak bergelombang.
Angin yang berhembus sangat perlahan namun damai.

Hingga dua puluh maret dua ribu sembilan belas malam, irama itu datang menggoda, degub jantung kembali biramakan lagu rindu, desir desir yang sejak sepuluh tahun membeku kembali hangatkan gigil langit ku,
mentari membias cahaya, menimpa gerhana merah yang lebih dulu mencoba ada,
langitku tak lagi kelabu,
Senyum merekah sumringah, malu malu tapi mau.

Mentari ucapkan janji kan melukis pelangi, di setiap putaran hari,
Mendung bergeser, mentari telah meminang berjuta rasa langit ku, sinarnya kian menghangat.

Twenty-one days passed,
mentari redupkan cahaya, rembulan berada pada satu garis lintang searah, memberontak marah, mentari sibuk membujuk, tak mampu membagi waktu, membiarkan langit ku kembali meredup.

Aral melintang tak dapat di tolak, untung tak dapat di raih, nasi telah menjadi bubur, harapan kembali mengabur, mimpi mimpi kembali harus terkubur,

Langit ku kembali kelam, awan lagi lagi menghitam, berjuntaian menahan hujan,
Tiada sesal yang tertinggal,
Hanya luka yang kembali menampal menyimpan malu di balik kelambu, terlanjur menikmati bayang bayang semu.

Ah mentari, seharusnya tak perlu melukis pelangi di langit yang telah mendung kelabu, jika warna hanyalah abu abu.

Kini, biarkanlah langitku kembali sepi,
Sendiri menahan perih.
Tak perlu tunjukkan rinai, meski angan tak pernah tergapai.

Medan, 1404019



MELARUNG BADAI
Oleh Ayu Ashari


Seperti baru saja didorong
dari puncak,
pertemuan malam kemarin
berhenti pada pukul tiga
Saat kami melalui badai yang melanda
Aku tak kan pernah lupa, bagai mana perahu kami hampir hancur berkeping terbentur karang, dan kami terombang ambing di lautan lepas.

Kehalusan tekstur kelambu
yang menjuntai,
serta kilau cahaya bulan
menembus dinding peraduan
Kemudian kami jatuh menuju lantai dasar lautan.

Biduk nelayan pun mulai mengarungi samudra biru, melepas layar satu demi satu dan kami menunggangi ombak
terdengar lenguh camar mematuk kerang, beriring gemuruh suara gelombang memecah buih, lembut membelai pantai putih, lalu angin berhembus tebarkan wangi pinus.

bukan lagi kengerian badai yang kurasakan melainkan kenikmatan secercah dahaga yang selama ini diam tertambat di pesisir pantai nelayan biasa memancing.

" laut, lepaslah rindu.
Engkau datang merayu
aku pun malu-malu".
Jangan, jangan lagi engkau bercerita
apalagi mempercayai, celoteh nelayan yang menemukanku
di bulan lalu.
Biarkan saja menjadi empedu yang kita nikmati dengan secawan madu.

Medan, 1404019



Sepi
By Ayu Ashari


Saya tahu
Sepi itu
Mencengkeram
Mereka
Lembut
Tapi aku senang kesepian
Untuk saya
quiet was peaceful
Ketika Anda melihat saya sekarang
I'm no different from the first
Aku masih punya
laughter
tears
Dan Cinta
Tapi, kau tahu...?
Semua itu bukan milikmu lagi

Medan,1504019



A WONDERFUL MEMORY IN THE ETERNITY OF LOVE
Oleh Ayu Ashari


Selepas hujan senja ini, bunga mekar bersemi
Meninggalkan benih kenangan yang menua dan aku yakin dalam tubuhku yang berseri
telah ku simpan kenangan yang tak pernah diam
meski bunga di taman tak lagi mekar.

Setelah usai kita bertunai-tunas
kita lekuk bibir malam
agar debar jantung terus berulang
bersama lagu merdu di telaga teduh

Kita kian lekat terpaut
harum taman mawarku
harum taman anggurmu
tak bosa-bosan nya memberi dan menagih
mengajak dan beranjak pada siang dan malam
dan kita tahu bahwa (...)

Pengetahuan ini jadi penting,
sebab kersik pada langit, lumut pada batang, akan tetap terjaga apa pun maknanya
maka rayulah awan, meskipun
pada suatu waktu sebuah sajak yang sentimentil
hanya ada dalam satu dalil :
biarkan akal yang angker itu mencibir!
lalu di bawa angin semilir.

Biarkan saja segalanya tersimpan dalam catatan memori terindah antara aku dan kau.
Hingga suatu saat kita akan mengeja larik lariknya untuk anak cucu kita.

13/04/2019



RINDU YANG TERTUNDA
(Elegi malam Jum'at)
Oleh Ayu Ashari

Kekasih
Lihatlah jelaga mulai berkalang di langit kamar kita, laba laba menjalin benang benang halus berjuntaian,
Sedang aku juga kamu terlalu sibuk
mengejar matahari.

Kita melupakan moment moment penegak prasasti
Kita kehilangan waktu merajut untai mutiara di dasar samudra
Kita bahkan kehilangan ciuman pertama dari bulan purnama yang datang malam ini
Sedang kita sudah lama menunggu dengan, selimut halimun tipis
Mambiarkan gairah awan menari nari
Untuk menuju taman hijau di tepi danau
Iya, itu seperti mimpi yang menyenangkan penuh misteri walau akhirnya kita enggan untuk bicara soal cinta
Yang penuh dengan pengetahuan surga,

Ku kira memang tak perlu kita bahas lagi,
Bagai mana tangan dan kaki kita memilin, menyatukan arah menapaki lekuk lekuk jalan menuju danau.
Cukup dengan senyum kita yang mengembang di hamparan serambi taman , di awal malam bertaburan cahaya bulan
Menimba danau yang ada di tengah taman untuk kita teguk kebeningan air pelepas dahaga
Membahagiakan bathin yang nelangsa

Dan aku percaya kau tak pernah melupakan keindahan itu
Saat akhir nya kita terhempas bersama di lelahnya mesra.

Tapi aku tidak tau, mengapa aku juga kau melupakan purnama malam ini.
Kita hanya sibuk dengan entah apa
Kekakuan menyelubungi sapa,
Vigura berbingkai emas terbengkalai di dinding prasasti
Berdebu tak pernah terjamah lagi.
celotah desau angin tak mampu menggeser sunyi

Kita terjerat pada puisi tanpa kata, bahkan kita tak pernah lagi meng eja rindu, tak pernah menyisihkan waktu untuk kita saling menatap mata,kita seolah mengabaikan huma di tengah sawah yang dulu menjadi puncak gelora.

Ada apa dengan kita?
Berapa purnama lagi akan kita sia siakan?
Hanya kau yang tau jawabannya.

Medan, 1204019



KU KUDUSKAN DEGUP JANTUNG KU
Karya : Ayu Ashari


Sabtu membaca
minggu menulis cerita
hingga batas ku serap
sampai damai di dada
sahut degup jantungku :
“sejak dulu kotaku, luar biasa”

Di beranda rumah
membulak-balik buku
lumayan tebal
semua merindu
semua kesan menyatu
dan tak ada sezarah rahasia
di dalamnya.

duduk di beranda
memandang cakrawala
melihat awan mencumbu
mengibuli waktu
pecahlah tawaku,
dalam cahaya samar
kuilhat bayang teduh
mendekap rindu.

Ah, antara bulan dan bintang
kini telah memancarkan cahayanya
untuk mengkuduskan malam
yang berda di atas pangkuan.
Rindu pun tak pernah terabaikan

Medan.1104019



RINDU YANG TERTUNDA
(Elegi malam Jum'at)
Oleh Ayu Ashari

Kekasih
Lihatlah jelaga mulai berkalang di langit kamar kita, laba laba menjalin benang benang halus berjuntaian,
Sedang aku juga kamu terlalu sibuk
mengejar matahari.

Kita melupakan moment moment penegak prasasti
Kita kehilangan waktu merajut untai mutiara di dasar samudra
Kita bahkan kehilangan ciuman pertama dari bulan purnama yang datang malam ini
Sedang kita sudah lama menunggu dengan, selimut halimun tipis
Mambiarkan gairah awan menari nari
Untuk menuju taman hijau di tepi danau
Iya, itu seperti mimpi yang menyenangkan penuh misteri walau akhirnya kita enggan untuk bicara soal cinta
Yang penuh dengan pengetahuan surga,

Ku kira memang tak perlu kita bahas lagi,
Bagai mana tangan dan kaki kita memilin, menyatukan arah menapaki lekuk lekuk jalan menuju danau.
Cukup dengan senyum kita yang mengembang di hamparan serambi taman , di awal malam bertaburan cahaya bulan
Menimba danau yang ada di tengah taman untuk kita teguk kebeningan air pelepas dahaga
Membahagiakan bathin yang nelangsa

Dan aku percaya kau tak pernah melupakan keindahan itu
Saat akhir nya kita terhempas bersama di lelahnya mesra.

Tapi aku tidak tau, mengapa aku juga kau melupakan purnama malam ini.
Kita hanya sibuk dengan entah apa
Kekakuan menyelubungi sapa,
Vigura berbingkai emas terbengkalai di dinding prasasti
Berdebu tak pernah terjamah lagi.
celotah desau angin tak mampu menggeser sunyi

Kita terjerat pada puisi tanpa kata, bahkan kita tak pernah lagi meng eja rindu, tak pernah menyisihkan waktu untuk kita saling menatap mata,kita seolah mengabaikan huma di tengah sawah yang dulu menjadi puncak gelora.

Ada apa dengan kita?
Berapa purnama lagi akan kita sia siakan?
Hanya kau yang tau jawabannya.

Medan, 1204019



#justice_for_Audrey!
ODE KEPADA AUDREY
(Semoga tidak ada Audry Audry yang lain)
Oleh Ayu Ashari

Gadis di cakrawala
Bathinmu ada di mega yang jingga
Aku terkesima, sukmaku menyerumu dari sini
Engkau tak dapat merangkul kalbu ibumu
Semua sepi,
semua bait bait roboh oleh ledakan amarah yang ditancapkan mengoyak ngoyak tubuhmu

Luka, luka gadis di cakrawala
Menangis, menangis gadis di cakrawala

Gadis di cakrawala
Adalah bidadari terendam air mata
Langit langit kamarnya pun ikut lembab tanpa penidur rindu rahimnya

Gadis di cakrawala
Gadis yang di telan rimba hidupnya
Ia menggigil di separuh cahaya yang bersinar
Ia luka di separuh jalan yang di lalui
Ia pun mendiamkan tubuhnya yang lebam dan terbakar oleh amarah .

Oh gadis di cakra wala
Dapatkah dirimu kembali melihat cakrawala
Bening tak tergores oleh pedang yang merubuhkan kelahiran mu.

Terhunus dendam membara
Tersebab buramnya sakwal sangka
Tiga Dara nan jelita kehilangan rasa tak tega
Lepaskan amarah membabi buta
Lupa arti sesama manusia

Duhai dara dara jelita
Mengapa engkau tutup nurani
Khianati busana islami
Tidakkah engkau pahami apa yang tengah engkau junjung tinggi

Hatiku kian miris
ketika seakan tanpa rasa bersalah diri
engkau malah ber selfie
Tak secuil penyesalan tersirat di pongahnya hati
Hendak kemana rupa engkau bawa pergi
tidak kah engkau sadari
coreng hitam di kening tak akan dapat engkau tutupi
Tanpa ragu engkau malah mencaci maki

Wahai dara dara jelita
Dari belahan bumi pertiwi
Aku menyuarakan hati
Menembus jarak khatulistiwa
Ku ketuk pintu keangkuhan jiwa
Bahwa aku, engkau , Audry dan semua insan dunia adalah saudara.

Medan, 1104019



RINDU GUGUR DI DEDAUN RIMBUN
Oleh Ayu Ashari


Aku melihat bulan meredup, cahayanya atara merah dan abu abu
Seolah malas menyinari pelataran ambigu
Wajahnya pun kian menipis
Tinggal lengkung segaris

halimun mulai melembab merasuk
Di rimbun daun
diam tak mengeluarkan sepatah kata
Tak menggeleng atau mengangguk

Hening menyimpan selaksa misteri
Bagai kehilangan rasa yang pernah dimiliki.
Debu mengotori perjalanan waktu
Samar sudah arah yang di tuju.

Rindu di pelukan kian memudar
Untuk apa harus bertahan
Biar saja menghilang bersama datang nya sang fajar
Atau sirna di telan kegelapan

bulan
Teranglah sinaran
Tembuslah hamparan halimun
Hapus rindu daun daun
Jangan biarkan gugur tertimbun
Dan tak mampu bangun

Mendan, 1204019



MEMBACA GELOMBANG
Oleh Ayu Ashari


Perahu tak luncur
Di pantai lain dibuatnya lagu
Dan jika ombak datang padamu
Biarkan gunung menjaga hatimu.

Di gerbang cahya
Bulan merangkak seperti laba-laba
Dan ketika aku bertanya di mana kita berada
Perahu pun laju entah hendak kemana
Sajak melepas rindu
Lalu kita pungut satu – satu
Agar nanti kita dapat bersatu
Seperti rumpun bambu yang tak pernah layu

O, burung-burung
Sudah engkau membaca gelombang
Atau kesunyian bintang bintang
Sebab sesaat lagi bulan akan datang
Untuk membawa kembali mimpi yang hilang.

Medan, 0904019



BUKAN BARBIE
Oleh Ayu Ashari


Petir menyambar di teriknya siang
Tanpa mega di awalnya, pecahlah guci yang lama telah di jaga, buncahkan segala isi, muncratkan larva.
Lalu hujan membasahi bumi persada, seseguk mengiris, terkurung dibejana endapan selaksa rasa.
Lelahnya menyayat, tersesat di jalan tak bertanda.

Ah, aku melihat bocah bermain boneka.
Riang tertawa perankan berbagai cerita.
Barbie cantik berdandan sedemikian rupa, mainkan peran ditangan anak anak balita,
Dan aku tersenyum, di hati tertawa
"begitulah aku"

Lipatan pelik menyeruak di bilik delik
Dihantam gelembung prasangka
Lingkup gerak menyempit menghimpit kesejatian diri
Ke ego an membumbung membungkam mulut,
mengikat tangan, juga kaki.
Terjebak penggapaian asa dan azas yang mesti di taati
Pun
kemauan berada di ujung telunjuk,
Memang bukan harga mati, tapi harus di hormati, sebab diri termakan budi.

Duh,
tidakkah bisa di pahami
aku juga punya dunia yang lestari.
Mengertilah, ya tolong mengertilah duniaku butuh keseimbangan alami
Bukan barbie yang berjalan sesuai ujung ujung jari.

Medan, 0904019



MEMBACA TANDA
Oleh Ayu Ashari


Bulan pecah di mangkuk
burung bersiul di sangkarnya
gerimis pun turun sesaat
tanda pagi akan tiba.

O, matahari,
berduyun atap hijau aroma
telah kau cium pucuknya
maka kuminta pada mu
jagalah kumbang-hatiku
yang sembunyi dalam bunga
agar kelak ia bisa menari lagi
di atas bunga-bunga.

Ya, bulan pecah di mangkuk
fajar datang berkayuh lalu
maka hapuslah segala kata
untuk semua tanda ke sisi senda.

Medan,0904019



Perjalanan Senja
(Dialog suara hati)
Oleh Ayu Ashari

Dari sisa hutan yang terbakar
dari tanah kering yang terpijak
perlahan aku bertanya
'siapa pemilik hutan ini',
sambil meremas perjalanan senja
di bawah sisa cahaya yang datang
dari sela - sela daun dan ranting.

Kemalangan kisah-kisah lama
selalu tercatat dalam kitab diri
semua sunyi, tinggal ketakutan
yang menggali-gali dalam diri.

"Jangan surutkan perjalanan senjamu
karena kerikil dan aral akan menguatkan dirimu
untuk menuju kepada yang rebah,
lantas gugur tak berdaya."
Bisiknya

"Maka, tinjaulah kembali larik larik puisi yang telah engkau baitkan.
Tiada perlu ada yang engkau sesalkan, biarkan tersimpan menjadi kenangan."

Medan, 2504019



MEMBACA TANDA
Oleh Ayu Ashari


Bulan pecah di mangkuk
burung bersiul di sangkarnya
gerimis pun turun sesaat
tanda pagi akan tiba.

O, matahari,
berduyun atap hijau aroma
telah kau cium pucuknya
maka kuminta pada mu
jagalah kumbang-hatiku
yang sembunyi dalam bunga
agar kelak ia bisa menari lagi
di atas bunga-bunga.

Ya, bulan pecah di mangkuk
fajar datang berkayuh lalu
maka hapuslah segala kata
untuk semua tanda ke sisi senda.

Medan,0904019



MEMBACA TANDA
Oleh Ayu Ashari


Bulan pecah di mangkuk
burung bersiul di sangkarnya
gerimis pun turun sesaat
tanda pagi akan tiba.

O, matahari,
berduyun atap hijau aroma
telah kau cium pucuknya
maka kuminta pada mu
jagalah kumbang-hatiku
yang sembunyi dalam bunga
agar kelak ia bisa menari lagi
di atas bunga-bunga.

Ya, bulan pecah di mangkuk
fajar datang berkayuh lalu
maka hapuslah segala kata
untuk semua tanda ke sisi senda.

Medan,0904019

AYU ASHARI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar