Sabtu, 24 Juli 2021
Kumpulan Puisi Isyak Ranga - EGO
KITAB PENADAH ANGIN
Mari kita bicara dalam bahasa pasar saja bung, usah lagi berbasi ludah
mari kita berdialog diatas lembar lembar daun pisang kering
yang tak sempat terjual
di atas keluh kerut jemari yang mengkerut sang pedagangi tua
yang lesu menimbang laba lembut
seringan kapas
Usah mengurai retorika janji bung,
gendang telinga kami telah berbau
abses dan bernanah tertikam mimpi semu yang acap terumbar oleh sang amtenar berlidah belah
Tentang sepetak Huma janji yang masih berkuncup muda
entah di rimba langit antah berantah mana kan terealisasi mekarnya
kami lelah menengadah
hingga melamur mata hati
meremang arah mata kaki
sedangkan peluh yang terjatuh pun
masih tak kami pahami
Mengapa tak pernah tunai terganti,
setidaknya sehari saja lambung kami
tak merapat
mencerna
usus yang semakin menipis
lalu,
seyogyanya kau bertanya Bung,
mengapa tak jenuh kami berletih mengunyah debu
yang kian hari kian membatu
tapi tak mampu mengganti bilik usang penahan beku
kau tau Bung,
telah lama
bahkan hampir memposil
seluruh aksara berbuih kentalnya keluh
dicatatan asa yang
mempiatu
mari Bung,
bukalah lembar kusamnya
kitab catatan keluh yang tebal itu
lalu ejalah dengan malu
dan bersiaplah mengelak,
mungkin kau kan tertampar
kerasnya makna
bahasa pasar
bercerita
JKT 21*IsRa*
EGO
Namaku renta,
terlahir dari rahim amarah waktu yang garang,
berserabut aral di jejak tungkai yang nyaris patah
tidak juga menjera di rimba berpaku
hingga kusapa lahatku dan sang ibu kelam
menutup layar nadiku
Namaku kelu,
tercipta dari kerangkeng nyali yang luluh
yang menggenggam hening di lidah matahati
mencumbu bayang di nadirnya bintang
bersenandung caci di paruh bulan tertutup awan
Namaku nama,
penyelimut ruh makna pengoyak resah,
ketika sapa hanya seputik bara
riangku tertawa diseparuh raga yang nyaris meng'arang
Baratayudha kepentingan
berlaksa laksa kekata
memburam mati
diksi nurani
hanya kosong ternikmati
JKT.21*IsRa*
DESHAS
Dan,
antara ruang waktu yang didalamnya pernah tergores serenada kelam
degub jantung kita bisingkan hening
Entahlah,
lengan nyali kita lunglai
mengepal cadas kering janji
kita gagal mengukir peluh resah yang terjatuh di pelataran malam
Seharusnya semusim edelweis biru itu tak mengering di huma mimpi
setelah letih terangkai
kerangka doa
disana
Hingga tak sia jemari angan itu
berbilur saat menggenggam
karang tajamnya rindu
di samudera waktu
ketika ombak resah menghantam
Ah,
serpihannya kembali
menghujam sesal
iklas kita lumat dalam erang
yang kita bekap gaungnya di keangkuhan ego acuh kita
Sudahlah,
nuansa usang itu biar menjadi
badai di langit kisah
hingga bila saatnya tiba
semua sirna bersama derunya
JKT.21*IsRa*
·
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar