UNTUK MENCARI PUISI-PUISIMU CUKUP KETIK NAMAMU DI KOLOM "SEARCH" LALU "ENTER" MAKA SELURUH PUISIMU AKAN TAMPIL DI SINI

Minggu, 31 Januari 2021

Kumpulan Puisi Tito Semiawan - PENDIDIKAN



SIKLUS

Kering letikkan panas lelatu
Angin tiupkan kematian pada kobarnya
Melahap daun dan ranting serupa bara, merah
Asap membumbung hadirkan maut

Pohon menghitam terawang langit
Bau gosong sesakkan nafas
Tiap hidup yang bergantung
Tumpas lenyap dilalap api

Ketika amarah telah arang dan abu
Langit teteskan harap dari celah awan
Air basuh luka bumi perciki benih kehidupan
Tumbuhkan tunas dan daun, hijau

Tito Semiawan
240121
----------<0>----------



KESEPIAN KITA

Kesepian kita
Kedap ekspresi
Lalu lalang di keramaian
Seumpama topeng
Tiada sapa
Hilang arah
Di rimba kata

Kesepian kita
Diam dalam tatap
Senyap mengendap
Lenyap menguap
Terasing rindu
Terpisah tembok
Bertirai duka

Kesepian kita
Hilang hening
Kenang terulang
Harap menghadap
Silap mengendap
Angin lalu
Dunia bisu

Tito Semiawan
240121
----------<0>----------



PENDIDIKAN

Banyak tahun memamah ilmu
Menimba di tiap ajar
Mencari di mahal bimbingan
Bertanya ajuk pada bijak
Mencontek serupa gaya hidup
Hindari tatap awas
Menulis lembar pengetahuan
Sakit demi terampil
Sedikit luang hanya sibuk hafal
Waktu renggangkan asih asuh
Jauh dari kehangatan rumah
Mencari perhatian pada karib senasib
Mengejar waktu dikejar kurikulum
Laparpun tetap lahap buku
Mengunyah rumus
Pada akhir uji terampil pikir
Sertifikat didapat
Usia siap jalani kerasnya hidup
Namun langkah tetap tergagap mencari ke3rja

Tito Semiawan
240121
----------<0>----------



CICAK

Aku seekor cicak.
Cicak muda berkelamin jantan.
Seperti cicak muda lainnya, aku tidak tahu ibu bapakku.
Ketika aku menetas, aku keluar hanya berteman kesendirian dan beberapa telur yang belum menetas.
Mungkin itu saudara-saudaraku.
Aku telah yatim piatu sejak pertama kali menyembulkan kepalaku dari cangkang sempitku.
Aku ditinggal sendiri dalam gelap tanpa tahu harus berbuat apa untuk bertahan hidup.
Untung mataku tajam, hingga aku dapat melihat semua bayangan dan gerakan di sekitar.

Dua hari pertama aku tidak banyak melakukan aktivitas.
Sisa kuning telurku masih cukup untuk melepas dahaga lapar.
Sambil menunggu kulitku menebal dan tulang-tulangku menguat.
Cukuplah untuk membantu berpikir bagaimana caranya agar aku survive.

Satu demi satu, telur-telur, saudara-saudaraku, menetas.
Merekapun celingukan bingung hendak melakukan apa.
Mereka mencari tempat persembunyian untuk merawat tubuh yang masih lemah.
Merekapun tidak banyak beraktivitas.
Kuning telur mereka tentunya cukup untuk menghidupi mereka selama dua hari sebelum mereka, dan aku, mulai menjelajahi dunia asing tanpa bimbingan tangan ahli dan kasih sayang.
Dunia yang hanya dimaklumi lewat intuisi dan trial end error, yang jika salah harganya adalah nyawa.

Lapar adalah penggerak pertama keingintahuanku.
Seiring habisnya kuning telur, rasa lapar mulai menerjang kesadarankui.
Karena lapar, penglihatanku jadi semakin tajam dan penciumanku juga semakin awas.
Aku merasakan binatang yang berseliweran disekitarku baunya merangsang selera makanku.
Mereka beterbangan atau berlarian dengan cepat dengan ke enam kakinya.

Ternyata dalam kegelapan ada hiruk pikuk dunia yang menakjubkan.
Kerajaan semut yang saling bersalaman jika bertemu.
Dan kerabatnya rayap yang menggali setiap selulosa yang terpajang.
Rombongan nyamuk dan lebah yang menempelkan sarang di siku kuda-kuda atap.
Lipan, kecoa dan lain-lain makhluk yang bersinerji membuat ekosistem.

Aku merasa lapar, aku terdiam sambil menatap makhluk-makhluk kecil itu.
Tiba-tiba ada seekor nyamuk terbang mendekat.
Mataku yang kian tajam menangkap getar sayapnya.
Dan hidungku mencium lapar haus yang terpuaskan.
Tiba-tiba dengan refleks kujulurkan kepalaku sambil membuka mulut.
Nyamuk itu tertangkap dan langsung ku telan.
Ah, nikmatnya. darah daging yang mengenyangkan.

Aku kini mengerti cara menaklukkan lapar dan haus.
Setelah kenyang, kekuatanku pulih dan aku mulai berjalan keluar dari persembunyian untuk melihat dunia yang asing dan menggairahkan.
Dunia yang lebih luas dari cangkang telurku.

Setelah beberapa waktu berjalan, aku mulai mengenal lingkungan dan tetanggaku.
Di pojokan sana adalah daerah kekuasaannya si cicak gembul yang tak pernah kenyang berburu serangga.
Di ujung para ada sulaman rumah dari laba-laba penghisap cairan tubuh.
Biasanya bibi laba-laba tidak pernah bersinggungan dengan kami kaum cicak.
Tapi jika bibi laba-laba bertelur dan menetas, biasanya dia akan jadi galak karena anak-anaknya sering dijadikan santapan kami.

Ada binatang lain yang menghuni loteng ini.
Ada ibu tikus yang sering sekali melahirkan.
Entah sudah berapa ribu anaknya tersebar di sekitar rumah.
Satu-satunya alat KB untuk tikus adalah si kucing garong yang sangat lahap memakan cindil-cindil ibu tikus.

Saingan dalam mencari makan biasanya adalah cicak yang lain atau bibi laba-laba dan keturunannya.
Tapi kamipun suka jadi buruan binatang lain seperti kucing, misalnya.
Mereka senang sekali menangkap kami, lalu setelah tertangkap dilepaskan.
Jika sudah lepas, kami dikejar lagi hingga tertangkap. begitu berulang kali.
Sepertinya kami dibuat latihan oleh para kucing.
Setelah puas, biasanya kami dilepaskan dengan lelah yang amat sangat dan juga takut yang menggigit.

Ketika malam hadir, dan lampu dinyalakan, itulah saatnya kami, kaum cicak, mencari makan. Berburu tepatnya.
Aku baru keluar dari kegelapan para-para dan mendongakkan wajah.
Mencoba mencari letak dan mengukur jarak.
Di dekat lampu, ku lihat si cicak gembul sedang berjalan perlahan mendatangi mangsanya.
Dengan mata tajamnya, dibidiklah seekor wereng yang sedang mencoba mendekati cahaya lampu.
Ketika bidikan telah tepat, dan otot diregangkan untuk tangkapn terakhir, tiba-tiba ada sambaran di belakang dari sebuah kaki yang berkuku tajam
Indra ke enam cicak gembul bekerja, tapi terlambat, ketika akan menghindar tubuhnya telah tertimpa oleh kaki yang berbulu.
Dengan panik, cicak gembul memutus ekornya mengagetkan kucing.
Si kucing menoleh ke ekor putus dan terpana, si cicak gembul berontak melepaskan diri dan berlari cepat ke atas tembok dan bersembunyi di para.
Sang kucing mendekati ekor cicak gembul yang terus bergerak seperti hidup.
Dengan hati-hati kakinya mencakar ekor tersebut.

Aku terpana melihat kejadian itu.
Aku kagum pada keheroikan cicak gembul dalam mempertahankan nyawanya.
Pengalamanku bertambah mengenai daya guna tubuh cicak.
Aku jadi tahu alat mempertahankan diri bagi cicak, selain berlari sekencang-kencangnya.

Seiring pertumbuhan tubuhku, aku berburu mangsa makin menjauh dari tempat sembunyiku.
Di tempat gelap aku hanya makan nyamuk-nyamuk kurus.
Sedangkan di dekat lampu banyak serangga gemuk mengundang.
Karena selera makanku semakin besar, akhirnya aku memberanikan diri mendatangi lampu.
Mula-mula ragu-ragu, melihat kiri dan kanan takut ada pemangsa jahanam.

Memang resiko mendekati lampu besar, tapi makanan yang tersediapun sangat melimpah.
Dari mulanya hanya berani sebentar saja di dekat lampu dan hanya memakan beberapa serangga.
Akhirnya aku malah jadi lebih sering di dekat lampu ketika malam telah hitam.
Makanan melimpah, tubuh semakin besar. Ekor makin indah memanjang.

Di dekat lampu sebenarnya bukan berburu mangsa.
Malah lebih pada menikmati menu serangga yang beraneka.
Tanpa kerja keras, hanya menajamkan mata, serangga dengan sukarela mendatangi makan malamku.
Saking mudahnya mendapatkan makanan, akupun teledor.
Kewaspadaanku merendah, gerakku melambat karena timbunan lemak.

Malam itu, seperti biasa aku berada di dekat lampu neon putih.
Perutku sudah lapar karena seharian aku tidur di sudut gelap plafon.
Ketika berjalan telah kuangankan, aku akan makan apa saja.
Liurku menetes, langkahku ku percepat agar bisa mendatangi tempat pesta makanku.
Aku asyik menelan nyamuk gemuk, ketika seekor wereng tiba-tiba hinggap di depanku.
Cepat ku telan nyamuk tadi lalu kepalaku langsung kujulurkan ke arah wereng lezat.
Ketika aku hampir menangkap makan malamku, tiba-tiba di belakang ada bayangan.
Cepat bagai kilat menghampiri tubuhku.
Kaki belang berkuku tajam menerkam cekatan tubuhku

Aku kaget dan takut, tubuhku tak berkutik.
Dalam panik aku ingat kejadian dahulu, si cicak gembul memutus ekornya untuk menyelamatkan diri.
Sigap, dengan sekuat tenaga ku putus ekorku yang gemuk.
Rasanya sakit dan pangkal ekorku mengeluarkan darah. Perih.
Ekorku terjatuh di tanah dan bergerak-gerak mengundang sang kucing untuk menangkapnya.
Kucingpun sigap menggigit tubuhku dan menelanku.hampir tanpa kunyah.
Ekorku tergeletak di lantai.
Geraknya semakin lemah, kemudian diam.

Tito Semiawan
310121
----------<0>----------



PERJALANAN

Kematian menghantui jalan
Seperti kabut merabu mata
Mobil bersimpangan jarak
Saling terasing sepi yang lena

Mengejar waktu di lintasan
Jeli mengintai ketika
Bincang klobot hitung bosan
Menampik lelah menolak gundah

Mesin muntahkan suara dan polusi
Padatkan udara panas menekan
Nyali berjudi dengan putusan
Merebut posisi menyalib nasib

Jam tempuh melambat di antrian
Rinai basahi kaca dan pandang
Harga dibayar untuk waktu
Kota tersedak melahap ribuan kendaraan

Tito Semiawan
060221
----------<0>----------



TANAH LAPANG

Debu naik terinjak kaki-kaki kecil
Semangat mengejar bola plastik
Riuh teriak memecah riang
Tubuh bermandi keringat berbau matahari
Berseri di wajah polos
Sumringah di binar mata
Di sekitar keliling tepi lapangan,
rumput pucat di bawah langit cerah

Seorang bapak menggendong bayi,
mungil berwajah bedak
dan wangi minyak telon
Berdiri tenang nikmati sinar yang condong
Matanya di mana kaki kecil berlari

Beberapa remaja duduk setengah lingkaran
Berbincang menanti senja tenggelam
Kadang berkelakar hingga terbit gelak

Di ujung sore yang lain
Anak memegang gulungan
Layangan terbang menari ikuti angin
Melenggang dan meliuk menggoda awan

Keriuhan milik keluasan lapang
Kambing dicencang merumput

Kupu-kupu mengepakkan warna
Sinergi lembut semerbak sore dan bahagia kanak

Tiba-tiba langit hitam
Awan bergulung angin dan petir
Tiupan berhembus kencang
Titik air mulai jatuh

Semua tergopoh tinggalkan tanah lapang
Nafas memburu mengejar teduh
Berlarian menuju rumah

Tito Semiawan
060221
----------<0>----------



MENANTI HUJAN

Hujan nampaknya masih enggan singgah di pelataran hati
Gemericik suaranya belum berisik di gendang telinga
Panas dan terik dan keringat di dahi
Angin dan debu berebut di luasan cakrawala

Kemarau telah sampai di lintasan akhir siklus
Langkahnya tertatih didera kering menguning
Bebannya kian berat menahan kilau mentari
Sementara langit bunting tua tersaput biru

Tito Semiawan
060221
----------<0>----------



MATA

Kepada mata
Muara dosa terbilang
Saksi bahagia asmara
Tetes air mata kecewa

Ketika hati coba pahami makna
Pandang catat tanda tersirat
Seperti rubah terkam nasib
Mata nyalang enggan berkedip

Kepada mata
Binarmu menghujam tajam
Selidik kata bermakna mantera
Bayangan sunyi jiwa

Sekejap sinarmu kosong
Tiada percik gairah
Berkedip dan terasing
Coba eja ulang bisik

Kepada mata
Penjaga api birahi
Ku titip segala hilap
Sebagai tatap dahaga

Tito Semiawan
140221
----------<0>----------



ISTIRAHAT

Di rest area
Segala tegang meregang sejenak
Tanggalkan letih usik kantuk

Duduk menghadap secangkir kopi
Aroma panas bercampur pahit
Dorong semangat legakan hati

Bersenda berhadapan hilang bosan
Diselingi cakap ringan kunyah kudapan
Waktu nyaris condong ke barat

Lelah telah tuntas
Langkah pacu semangat
Lanjutkan sisa perjalanan

Tito Semiawan
140221
----------<0>----------



BUMIKU

Bumiku dirusak kesombongan
Mata air hitam polusi
Petak konsesi hutan
Tambang yang dicuri

Bumiku dilumpuhkan beton
Langit menjadi penjara
Air menjadi bencana
Udara menjadi durjana

Bumiku merusak dirinya
Alirkan air mata selaksa duka
Tangis pilu luluh lantakkan harta
Peringatan dari bumi yang luka

Bumiku bumimu bumi kita
Bumi pemilik hak hidup
Bumi yang selalu memberi
Bumi dimana kita kembali

Tito Semiawan
140221
----------<0>----------




SEPI

Wajah lesi serupa topeng
Terasing di keramaian
Membangun dinding aku
Menakar jarak dengan bisu

Kadang basa basi jadi sapa
Hubungkan hati dengan sekitar
Setelah adab dijunjung sementara
Jiwa kembali sepi terlantar

Kilau mata coba ramah pada dunia
Tergagap menjalin batin dengan kata
Senyum kadang ingin bangun hubungan
Namun hanya seringai terlukis di wajah

Kita melangkah mengarah kerumunan
Mencoba runtuhkan dinding dan sekat
Ketika bersua lirikan ragu canggung
Likat pandang terdiam tergugu

Sendiri adalah teman sepi
Sebagai pasangan abadi kenyamanan
Sedang langkah tinggalkan jejak samar
Dan diri melebur dalam kesunyian

Tito Semiawan
210221
----------<0>----------



GENDONG

Anak kecil bermain di pangkuan
Celotehnya renyah di tiap sentuh
Diejanya bunyi yang sembunyi makna
Sambil menatap haus kasih ibu

Tangannya mungil meraup pentil di dada montok
Mulut menghisap susu kehidupan
Tegukannya rakus kasih sayang
Dan bunda mendekap dengan cinta

Ketika mata telah mengajuk
Bening menanti jawab rindu
Diletakkannya kantuk di pelupuk
Dan mantra mimpi disenandungkan

Tito Semiawan
210221
----------<0>----------



LANGKAH PERGI

Kau jejak langkah jauhi amarah
Tinggalkan kosong terpana sendiri
Matahari belum lagi terbenam
Helai sinarnya masih kasat mata

Hadirmu masih tersisa di tiap ingatan
Serupa kesadaran terlambat mengendap
Teriakan duka masih berdenging di telinga
Isyarat hati tak rela tinggalkan retakan luka

Sebenarnya apalah yang kita kukuhi
Hanya ucap kasar bercampur caci
Hingga sunyi yang sesakkan batin

Pergimu menyunggi duka dan kesal
Sisakan ruang waktu yang diam
Juga tatap letih sebab sesal

Tito Semiawan
210221
----------<0>----------
TITO SEMIAWAN


Tidak ada komentar:

Posting Komentar