Teruntuk Guru Negeri Pertiwi
PERSEMBAHAN TAK BERTEPI
Oleh : A. Prasetyo
Dia, yang tak lagi mengayuh sepeda kumbang,
di jalan berlubang
Juga tanpa ditemani tas hitam
dari kulit buaya
Masih setia menyapa pagi
Seulas senyum menyungging sapa
Sambut para bocah menyemai mimpi
Memungut aksara dan bilangan angka
"Apa kabar para pejuang penerus negeri?"
Seperti biasa, dia bertanya memulai hari
"Sudah siapkah ber-tholabul ilmi?"
"Siap, pak Guru," jawab para bocah berseri
Lantas dari mulutnya keluar selaksa petuah
Tuntunan bijak kukuh terpateri
Rumus phytagoras dan persamaan kuadrat terbuncah
Fotosintesa serta anatomi berebut sesak penuhi memori
Sungguh, dia hadir menyirat makna
Merengkuh memberi teduh
Menebar asih tak pilih kasih
Melesatkan cita, bak anak panah yang tak kenal arah
Dia, yang tak lagi mengayuh sepeda kumbang,
di jalan berlubang
Juga tanpa ditemani tas hitam
dari kulit buaya
Tetap setia memadu lampah
Semata hanya jalankah titah
Berharap limpahan mengais berkah
Dari Sang Maha pemberi anugerah
**
Gama Tujuhdua, 251119
Jakarta, 22 April 2019.
MELAWAN KERONTANG
Oleh : A. Prasetyo
Aku berdiri hanya sekadar mencoba bertahan
Sungguh, tak bermaksud sombong menantang
Apalagi berteriak lantang
Semata agar diri tak lekang
Tergerus rindu yang kian kerontang
**
Seorang perempuan tampak berdiri mematung. Pandangan matanya kosong, tak berkedip menatap gumpalan awan berarak. Bagaskara yang mulai terik menyinari bumi, sedikit pun tak menyurut berpantang.
Entah telah berapa lama ia berdiam diri. Dedaunan cemara kering diterbangkan bayu, menimpa wajah ayu tanpa ekspresi. Debur ombak yang mencipta riak di bibir pantai, seolah alunan instrumentalia yang kian menghayutkan dalam sunyi.
"Abang, untuk berapa lama lagi kita harus hidup dalam berjauhan?" bibir tipisnya bergumam lahirkan tanya "Sungguh, bukan aku tak mensyukuri karunia Tuhan. Tapi aku juga perempuan biasa yang bisa kalah. Meski semua semata lillah. Toh saat diri lelah, aku butuh bahumu untuk sekadar bersandar, pasrah."
Sunyi. Tak ada jawaban yang pasti. Semesta alam seolah enggan berbagi. Pada perempuan yang tengah merasa sendiri. Arungi hidup, merenda asa bersama bidadari-bidadari kecil. Anugerah Tuhan yang sepantasnya disyukuri. Temani diri lalui hari, di saat sang imam berjihad, tak ada di sisi.
Perlahan, sang perempuan beranjak. Menyisa jejak tempat ia berpijak. Kaki harus terus menapak, meski setapak yang dilalui berliku dan penuh onak.
***
Ki Gede Sebayu, 071219
DESEMBER MENYISA SEMBILU
Oleh : A. Prasetyo
Aku hanyalah butiran pasir yang terbawa oleh semilir. Bersama alunan ombak mencipta desir, yang 'kan terus bergulir. Ah, seandainya kau tahu betapa rindu ini tak pernah berhenti mengalir. Menelusup pada netra hingga merebak bening bulir.
Desember, sebuah lantunan penghujung di paruh masa. Padanya menyisa sebuah makna. Bahwa setiap jumpa, pasti ada pisah menyerta. Bukankah hamba hanyalah seorang yang bisa merencana. Sedang Tuhan-lah Sang Maha yang mewujud segalanya.
Lantas, perlahan melintas bayang sepenggal cerita. Tentang kita yang pernah merajut asmara. Tertatih, berdua lalui setapak mereda lara. Meski berbeda kasta, toh sejatinya kita adalah manusia yang punya rasa. Tentulah tak ada yang berhak meminta, pada rahim siapa kelak diri 'kan terlahir di dunia.
Desember, pada tanggal dan hari yang tak pernah terlupa. Saat tisna tercabik sebuah angkara. Terulang kembali kisah Siti Nurbaya. Antara ada dan tiada, abaikan hakikat sebuah dama. Meski tak jelas tilas membekas, sejatinya aku dan dia pernah ada: 'tuk sekadar menyemai asa.
**
Bumi Siwalan, 051219
BILAKAH HUJAN KEMBALI DATANG
Oleh : A. Prasetyo
Malam ini hujan kembali tak datang
Meski awan bergelayut manja
Menghalang sinar rembulan menerpa
Dedaunan enggan meluruh, terkalang
Dan seperti biasa
Seorang lelaki paruh baya
Hanya berdiam memendam sunyi
Menikmati pekatnya secangkir kopi
Sambil menerawang hamparan gulita
Sebatang cerutu jawa
Menyelip pada bibir mencipta jelaga
Asap pekat mengangkasa
Mewujud lukisan abstrak sarat makna
Malam ini hujan kembali tak datang
Lelaki baruh baya tetap mencoba bertahan
Bentala yang kian rapuh kerontang
Tak menyisa lauk dari kecipak para ikan
Lantas, perlahan gemintang hadir menyapa
Senyum mengulas kerlip menggoda
Meski jauh terbentang masa
Namun, tak pernah lelah membagi asa
Melarung gulana
Memendar rasa merengkuh tisna
**
Bumi Siwalan, 131219
NYANYIAN BOCAH
oleh : a. Prasetyo
mata air tersimbah
air mata bernanah
liur tercurah
meresap pada bumi merekah
sementara di tanah seberang, para bocah
bemain lumpur sawah
saling menelikung tanpa amarah
bergerak liar tak pernah kenal arti gundah
sementara di ujung gang sempit, para bocah
bermain bola dengan gelisah
karna separuh senang tlah musnah
terhimpit beton dan aspal curah
sementara di gedung bundar nan megah
penghuninya tak peduli pada resah para bocah
terbahak dalam polah
seraya sibuk menghitung lembaran rupiah
mata air tersimbah
air mata bernanah
liur tercurah
para bocah perlahan, musnah!
**
crystal palace, 181219
Tidak ada komentar:
Posting Komentar