Kamis, 19 Desember 2019
SEBATAS RINDU
Jangan lirik aku dengan mata indahmumu.
Jangan bantu aku dengan bayangan tanganmu.
Aku bukan siapa2 bagimu..
Kita hanya sebatas Rindu.
Oleh : Fathur Rahman Harahap
Kumpulan Puisi A. Prasetyo - DESEMBER MENYISA SEMBILU
Teruntuk Guru Negeri Pertiwi
PERSEMBAHAN TAK BERTEPI
Oleh : A. Prasetyo
Dia, yang tak lagi mengayuh sepeda kumbang,
di jalan berlubang
Juga tanpa ditemani tas hitam
dari kulit buaya
Masih setia menyapa pagi
Seulas senyum menyungging sapa
Sambut para bocah menyemai mimpi
Memungut aksara dan bilangan angka
"Apa kabar para pejuang penerus negeri?"
Seperti biasa, dia bertanya memulai hari
"Sudah siapkah ber-tholabul ilmi?"
"Siap, pak Guru," jawab para bocah berseri
Lantas dari mulutnya keluar selaksa petuah
Tuntunan bijak kukuh terpateri
Rumus phytagoras dan persamaan kuadrat terbuncah
Fotosintesa serta anatomi berebut sesak penuhi memori
Sungguh, dia hadir menyirat makna
Merengkuh memberi teduh
Menebar asih tak pilih kasih
Melesatkan cita, bak anak panah yang tak kenal arah
Dia, yang tak lagi mengayuh sepeda kumbang,
di jalan berlubang
Juga tanpa ditemani tas hitam
dari kulit buaya
Tetap setia memadu lampah
Semata hanya jalankah titah
Berharap limpahan mengais berkah
Dari Sang Maha pemberi anugerah
**
Gama Tujuhdua, 251119
Jakarta, 22 April 2019.
MELAWAN KERONTANG
Oleh : A. Prasetyo
Aku berdiri hanya sekadar mencoba bertahan
Sungguh, tak bermaksud sombong menantang
Apalagi berteriak lantang
Semata agar diri tak lekang
Tergerus rindu yang kian kerontang
**
Seorang perempuan tampak berdiri mematung. Pandangan matanya kosong, tak berkedip menatap gumpalan awan berarak. Bagaskara yang mulai terik menyinari bumi, sedikit pun tak menyurut berpantang.
Entah telah berapa lama ia berdiam diri. Dedaunan cemara kering diterbangkan bayu, menimpa wajah ayu tanpa ekspresi. Debur ombak yang mencipta riak di bibir pantai, seolah alunan instrumentalia yang kian menghayutkan dalam sunyi.
"Abang, untuk berapa lama lagi kita harus hidup dalam berjauhan?" bibir tipisnya bergumam lahirkan tanya "Sungguh, bukan aku tak mensyukuri karunia Tuhan. Tapi aku juga perempuan biasa yang bisa kalah. Meski semua semata lillah. Toh saat diri lelah, aku butuh bahumu untuk sekadar bersandar, pasrah."
Sunyi. Tak ada jawaban yang pasti. Semesta alam seolah enggan berbagi. Pada perempuan yang tengah merasa sendiri. Arungi hidup, merenda asa bersama bidadari-bidadari kecil. Anugerah Tuhan yang sepantasnya disyukuri. Temani diri lalui hari, di saat sang imam berjihad, tak ada di sisi.
Perlahan, sang perempuan beranjak. Menyisa jejak tempat ia berpijak. Kaki harus terus menapak, meski setapak yang dilalui berliku dan penuh onak.
***
Ki Gede Sebayu, 071219
DESEMBER MENYISA SEMBILU
Oleh : A. Prasetyo
Aku hanyalah butiran pasir yang terbawa oleh semilir. Bersama alunan ombak mencipta desir, yang 'kan terus bergulir. Ah, seandainya kau tahu betapa rindu ini tak pernah berhenti mengalir. Menelusup pada netra hingga merebak bening bulir.
Desember, sebuah lantunan penghujung di paruh masa. Padanya menyisa sebuah makna. Bahwa setiap jumpa, pasti ada pisah menyerta. Bukankah hamba hanyalah seorang yang bisa merencana. Sedang Tuhan-lah Sang Maha yang mewujud segalanya.
Lantas, perlahan melintas bayang sepenggal cerita. Tentang kita yang pernah merajut asmara. Tertatih, berdua lalui setapak mereda lara. Meski berbeda kasta, toh sejatinya kita adalah manusia yang punya rasa. Tentulah tak ada yang berhak meminta, pada rahim siapa kelak diri 'kan terlahir di dunia.
Desember, pada tanggal dan hari yang tak pernah terlupa. Saat tisna tercabik sebuah angkara. Terulang kembali kisah Siti Nurbaya. Antara ada dan tiada, abaikan hakikat sebuah dama. Meski tak jelas tilas membekas, sejatinya aku dan dia pernah ada: 'tuk sekadar menyemai asa.
**
Bumi Siwalan, 051219
BILAKAH HUJAN KEMBALI DATANG
Oleh : A. Prasetyo
Malam ini hujan kembali tak datang
Meski awan bergelayut manja
Menghalang sinar rembulan menerpa
Dedaunan enggan meluruh, terkalang
Dan seperti biasa
Seorang lelaki paruh baya
Hanya berdiam memendam sunyi
Menikmati pekatnya secangkir kopi
Sambil menerawang hamparan gulita
Sebatang cerutu jawa
Menyelip pada bibir mencipta jelaga
Asap pekat mengangkasa
Mewujud lukisan abstrak sarat makna
Malam ini hujan kembali tak datang
Lelaki baruh baya tetap mencoba bertahan
Bentala yang kian rapuh kerontang
Tak menyisa lauk dari kecipak para ikan
Lantas, perlahan gemintang hadir menyapa
Senyum mengulas kerlip menggoda
Meski jauh terbentang masa
Namun, tak pernah lelah membagi asa
Melarung gulana
Memendar rasa merengkuh tisna
**
Bumi Siwalan, 131219
NYANYIAN BOCAH
oleh : a. Prasetyo
mata air tersimbah
air mata bernanah
liur tercurah
meresap pada bumi merekah
sementara di tanah seberang, para bocah
bemain lumpur sawah
saling menelikung tanpa amarah
bergerak liar tak pernah kenal arti gundah
sementara di ujung gang sempit, para bocah
bermain bola dengan gelisah
karna separuh senang tlah musnah
terhimpit beton dan aspal curah
sementara di gedung bundar nan megah
penghuninya tak peduli pada resah para bocah
terbahak dalam polah
seraya sibuk menghitung lembaran rupiah
mata air tersimbah
air mata bernanah
liur tercurah
para bocah perlahan, musnah!
**
crystal palace, 181219
PERSEMBAHAN TAK BERTEPI
Oleh : A. Prasetyo
Dia, yang tak lagi mengayuh sepeda kumbang,
di jalan berlubang
Juga tanpa ditemani tas hitam
dari kulit buaya
Masih setia menyapa pagi
Seulas senyum menyungging sapa
Sambut para bocah menyemai mimpi
Memungut aksara dan bilangan angka
"Apa kabar para pejuang penerus negeri?"
Seperti biasa, dia bertanya memulai hari
"Sudah siapkah ber-tholabul ilmi?"
"Siap, pak Guru," jawab para bocah berseri
Lantas dari mulutnya keluar selaksa petuah
Tuntunan bijak kukuh terpateri
Rumus phytagoras dan persamaan kuadrat terbuncah
Fotosintesa serta anatomi berebut sesak penuhi memori
Sungguh, dia hadir menyirat makna
Merengkuh memberi teduh
Menebar asih tak pilih kasih
Melesatkan cita, bak anak panah yang tak kenal arah
Dia, yang tak lagi mengayuh sepeda kumbang,
di jalan berlubang
Juga tanpa ditemani tas hitam
dari kulit buaya
Tetap setia memadu lampah
Semata hanya jalankah titah
Berharap limpahan mengais berkah
Dari Sang Maha pemberi anugerah
**
Gama Tujuhdua, 251119
Jakarta, 22 April 2019.
MELAWAN KERONTANG
Oleh : A. Prasetyo
Aku berdiri hanya sekadar mencoba bertahan
Sungguh, tak bermaksud sombong menantang
Apalagi berteriak lantang
Semata agar diri tak lekang
Tergerus rindu yang kian kerontang
**
Seorang perempuan tampak berdiri mematung. Pandangan matanya kosong, tak berkedip menatap gumpalan awan berarak. Bagaskara yang mulai terik menyinari bumi, sedikit pun tak menyurut berpantang.
Entah telah berapa lama ia berdiam diri. Dedaunan cemara kering diterbangkan bayu, menimpa wajah ayu tanpa ekspresi. Debur ombak yang mencipta riak di bibir pantai, seolah alunan instrumentalia yang kian menghayutkan dalam sunyi.
"Abang, untuk berapa lama lagi kita harus hidup dalam berjauhan?" bibir tipisnya bergumam lahirkan tanya "Sungguh, bukan aku tak mensyukuri karunia Tuhan. Tapi aku juga perempuan biasa yang bisa kalah. Meski semua semata lillah. Toh saat diri lelah, aku butuh bahumu untuk sekadar bersandar, pasrah."
Sunyi. Tak ada jawaban yang pasti. Semesta alam seolah enggan berbagi. Pada perempuan yang tengah merasa sendiri. Arungi hidup, merenda asa bersama bidadari-bidadari kecil. Anugerah Tuhan yang sepantasnya disyukuri. Temani diri lalui hari, di saat sang imam berjihad, tak ada di sisi.
Perlahan, sang perempuan beranjak. Menyisa jejak tempat ia berpijak. Kaki harus terus menapak, meski setapak yang dilalui berliku dan penuh onak.
***
Ki Gede Sebayu, 071219
DESEMBER MENYISA SEMBILU
Oleh : A. Prasetyo
Aku hanyalah butiran pasir yang terbawa oleh semilir. Bersama alunan ombak mencipta desir, yang 'kan terus bergulir. Ah, seandainya kau tahu betapa rindu ini tak pernah berhenti mengalir. Menelusup pada netra hingga merebak bening bulir.
Desember, sebuah lantunan penghujung di paruh masa. Padanya menyisa sebuah makna. Bahwa setiap jumpa, pasti ada pisah menyerta. Bukankah hamba hanyalah seorang yang bisa merencana. Sedang Tuhan-lah Sang Maha yang mewujud segalanya.
Lantas, perlahan melintas bayang sepenggal cerita. Tentang kita yang pernah merajut asmara. Tertatih, berdua lalui setapak mereda lara. Meski berbeda kasta, toh sejatinya kita adalah manusia yang punya rasa. Tentulah tak ada yang berhak meminta, pada rahim siapa kelak diri 'kan terlahir di dunia.
Desember, pada tanggal dan hari yang tak pernah terlupa. Saat tisna tercabik sebuah angkara. Terulang kembali kisah Siti Nurbaya. Antara ada dan tiada, abaikan hakikat sebuah dama. Meski tak jelas tilas membekas, sejatinya aku dan dia pernah ada: 'tuk sekadar menyemai asa.
**
Bumi Siwalan, 051219
BILAKAH HUJAN KEMBALI DATANG
Oleh : A. Prasetyo
Malam ini hujan kembali tak datang
Meski awan bergelayut manja
Menghalang sinar rembulan menerpa
Dedaunan enggan meluruh, terkalang
Dan seperti biasa
Seorang lelaki paruh baya
Hanya berdiam memendam sunyi
Menikmati pekatnya secangkir kopi
Sambil menerawang hamparan gulita
Sebatang cerutu jawa
Menyelip pada bibir mencipta jelaga
Asap pekat mengangkasa
Mewujud lukisan abstrak sarat makna
Malam ini hujan kembali tak datang
Lelaki baruh baya tetap mencoba bertahan
Bentala yang kian rapuh kerontang
Tak menyisa lauk dari kecipak para ikan
Lantas, perlahan gemintang hadir menyapa
Senyum mengulas kerlip menggoda
Meski jauh terbentang masa
Namun, tak pernah lelah membagi asa
Melarung gulana
Memendar rasa merengkuh tisna
**
Bumi Siwalan, 131219
NYANYIAN BOCAH
oleh : a. Prasetyo
mata air tersimbah
air mata bernanah
liur tercurah
meresap pada bumi merekah
sementara di tanah seberang, para bocah
bemain lumpur sawah
saling menelikung tanpa amarah
bergerak liar tak pernah kenal arti gundah
sementara di ujung gang sempit, para bocah
bermain bola dengan gelisah
karna separuh senang tlah musnah
terhimpit beton dan aspal curah
sementara di gedung bundar nan megah
penghuninya tak peduli pada resah para bocah
terbahak dalam polah
seraya sibuk menghitung lembaran rupiah
mata air tersimbah
air mata bernanah
liur tercurah
para bocah perlahan, musnah!
**
crystal palace, 181219
Kumpulan Puisi & Prosa Pandu Eva - SEBUAH RASA
Lelaki
Oleh : Pandu Eva.
Lelaki sejati
Tak takut mati
Walau sakit hati
Tapi tetap menghargai
Menghargai wanita
Tanpa memberi lara
Karena sejatinya kaum hawa
Hatinya perasa
Jakarta_Lupa tanggal.
Sebuah Rasa
Oleh : Pandu Eva.
Rasa itu sudah mulai ada
Saat kita makan, teringat saudara kekurangan
Saat kita kenyang, ada saudara kelaparan
Saat kita jalan-jalan, sementara saudara hidup dalam impian
Mungkin rasa ini suatu teguran
Saat sudah mulai berlebihan
Melupakan segala aturan
Yang telah ditetapkan Tuhan
Inilah kenyataan
Bukan hanya khayalan
Bahwa di sana, akan selalu ada orang-orang butuh uluran tangan
Jika kita tak bisa memberikan
Baiknya ....
Jagalah perasaan
Bantu doakan
Mulailah dengan jangan posting makanan
Jangan pula posting jalan-jalan
Apalagi pamer kekayaan
PUTRAKU AJARI IBU
Oleh : Pandu Eva
Pada langit kubercerita
Tentang asa seorang Ibu
Yang ingin melihat putranya sempurna
Tumbuh seperti anak-anak lainnya
Putraku obat penawar
Saat hayati lelah menangisi duka
Tak menghiraukan segala kekurangan
Tetap tegar menjalani kehidupan
Putraku ....
Ajarilah aku Ibumu
Berdiri kokoh di atas sebuah ranting
Sepertimu yang juga sanggup berjalan menginjak bara
''Ringankan tubuhmu, Bu. Dari segala beban duniawi." Begitu pesanmu.
Jakarta, 20 Juli 2019.
Pria dan Wanita
Oleh : Pandu Eva.
Aku wanita
Perihal cinta lebih sering memakai hati
Jauh dari emosi
Dekat dengan logika
Kau pria sebaliknya
Dekat dengan emosi
Namun rentan oleh logika
Perihal cinta lebih sering memakai kata-kata
Pria mengucap cinta, wanita kira itu dusta
Karena logika berkata
Tak perlu lisan bicara
Cukup tunjukkan saja!
Jakarta, 23 Mei 2019.
Kidung Cinta Hamba Yang Alpa
Oleh : PanduEva'
Kita manusia sering alpa
Atas nikmat dari yang esa
Menilai materi seakan kaya
Padahal itu bukanlah segalanya
Mata
Hidung
Mulut
Telinga
Hingga tangan dan kaki
Semua yang melekat di antara tubuh kita
Pasti memiliki fungsi
Itulah kekayaan yang hakiki
Kemulyaan sejati
Namun, kita selalu lupa diri
Harusnya kita mensyukuri
Sehat DIA beri
Karena DIA mengasihi
Sakit yang diberi, karena DIA menyayangi
Betapa sesungguhnya kita dalam kenistaan
Jika tanpa segala bantuan, yang AllaH berikan
Jakarta, 21 April 2019.
Emak
Oleh : Pandu Eva
Tutur katamu lembut, bak kain sutra
Tak peduli sebanyak apa peluh menetes dari dahi
Meski kerap dicaci maki
Oleh lelaki yang kausebut suami
Demi mendapat sesuap nasi
Bagi perut si buah hati
Demi ridho dari suami
Kau terima segala caci maki
Tak kau pedulikan kain usang yang melekat ditubuhmu
Sakit anggota tubuhmu
Karena lelah menjalankan baktimu
Kini ....
Kau pergi
Jasadmu rapi, bersih dan suci
Ikhlaslah kami, sang buah hati
Karena kau telah berada dekat dengan illahi
Jakarta, 27 April 2019.
Arsy
Oleh : Pandu Eva.
Kuhempaskan kalian ke Arsy-Nya
Menyerahkan setiap lisan terlontar
Akibat suatu keangkuhan
Dari dunia yang kalian banggakan
Jangan salahkan aku
Yang sekarang terpaku
Tak berseru, jika kita bertemu.
Jakarta, 16 April 2019.
Hisab
Oleh : PanduEva
Bumi gersang
Kelaparan tiba
Bumi butuh siraman
Oleh hujan berkepanjangan
Tanah tandus, retak tak berguna
Tumbuhan ikut layu
Sedih, perih mereka rasa
Manusia mulai menatap sayu
Apakah gerangan
Dahaga mulai menyerang
Menyusuri tiap jengkal kerongkongan
Mata air kekeringan
Inikah azab?
Atau penantian proses hisab?
Matahari sejengkal di atas kepala
Panasnya serasa di neraka
Mereka menunggu kehadiran-Mu
Membutuhkan pertolongan-Mu
Hingga berharap semua lekas berlalu
Jakarta, 18 April 2019.
Mengetuk Pintu Langit.
Oleh: Pandu Eva.
Terseok berjalan. Namun, tak terluka kakiku
Merasakan sempit, tetapi berada di tanah lapang
Sepi, berada di tengah keramaian
Ada apakah wahai diri?
Bukankah di setiap kesulitan pasti ada kemudahan
Dalam kesempitan, ada keluasan
Saat sedih terselip kebahagiaan
Datanglah pada-Nya
Ketuklah pintu-Nya
Carilah kunci di sepertiga malam-Nya
Karena di saat itu, pintu langit biasa terbuka
Jakarta, 22 February 2019.
Tawakal
Oleh : Pandu Eva
Kukuras danau kecil disudut mata
Melihat orang lain terpuruk melebihiku
Sunyi, Senyap
Namun, tidak mati
Ada kekuatan di hati
Selalu percaya kepada ILLAHI
Jakarta, 9 February 2019
RINDU
Oleh : Pandu Eva
Ada kata yang bila diucapkan terdengar indah
Namun, sakit bila dirasa
Terlebih jika tak tepat letaknya
Rindu, namanya
Ternyata cinta tak selalu tentang bahagia
Ada bagian lainnya
Rindu, cemburu dan nestapa
Terletak di dalam hati pelakunya
Siapa yang kuat
Dia akan mengecap bahagia
Dan bila kalah
Harus siap menerima nestapa
"Sejatinya cinta adalah tentang kekurangan. Harus siap diterima. Bukan karena kelebihan insan semata, dan harus tepat letaknya."
Jakarta, 16 Oktober 2019.
🌹🌻🍀🌹🌻🍀🌹🌻🍀🌹🌻🍀🌹🌻🍀
PETRICHOR
Oleh : Pandu Eva
Arunika siap memberi harsa
Kicauan burung ikut menyertainya
Aroma petrichor, sisa hujan semalam
Menghadirkan kenangan masa silam
Kenangan indah
Saat kau mengenalkanku
Pada aroma tanah basah
Yang kini menjelma menjadi kamu
Ada bagian yang khas
Dari sebuah petrichor
Adalah puing-puing indah masa lalu
Awal kau dan aku, menjadi kita hingga kini
''Meski dalam tetes hujan tak selalu membawa kenangan indah. Namun, hujan tak pernah
lupa memberi berkah."
Jakarta, 17 Oktober 2019.
🌹🌻🍀🌹🌻🍀🌹🌻🍀🌹🌻🍀🌹🌻🍀
CINTA dan NAFSU
Oleh : Pandu Eva
Apa yang dapat membunuh logika selain cinta? Adalah emosi
Ketika keduanya kamu miliki
Sering kali tumbuh karena penghianatan, berakhir kecewa
Saat cinta bukan untuk bahagia
Hanya materi semata
Maka kamu akan terluka
Karena selalu ada yang lebih bertakhta dan berharta
Ini konsekuensi bermain api
Mulai membakar tubuhmu
Mau tidak mau, siap tidak siap kau jalani
Karena cinta sejati dan tujuan, tidak ada dalam daftar perselingkuhan
"Di dalam cinta ada nafsu. Namun, di dalam nafsu, belum tentu ada cinta."
Jakarta, 19 Oktober 2019.
🌹🌻🍀🌹🌻🍀🌹🌻🍀🌹🌻🍀🌹🌻🍀
MASA
Oleh : Pandu Eva
Semua ada masanya
Tubuh tegap menjadi bungkuk
Kulit halus berubah keriput
Pandangan tajam menukik termakan usia
Semua ada masanya
Saat lisan bebas berkata
Jemari menari bersama pena
Tak peduli berapa hati yang terluka
Semua ada masanya
Mereka yang menyakiti akan tersakiti
Jumawa menjadi bencana
Nestapa menjelma bahagia, saat hari akhir tiba
Jakarta, 16 November 2019.
Ingat Mati
Oleh: Pandu Eva
Terasa berat mata terbuka
Entah karena kantuk atau apa
Tak nampak cahaya
Yang ada hanya sebuah aroma
Wangi semerbak bunga melati
Menusuk hingga ke ulu hati
Tak dapat kugerakkan tangan dan kaki
Terbujur seakan mati
Aku menangis, berteriak semakin menjadi
Tatkala kusadar, bahwa aku berada di dalam peti mati
Pantas, tak ada seorangpun yang menghampiri
Dalam gelap aku sendiri
Dan semua tak bisa kusesali
Apalagi kutangisi
Yang ada hanya muhasabah diri
Sudah cukupkah amal ibadahku ini
Jakarta, 01 February 2019
CITA-CITA HAWA
Oleh : Pandu Eva
Aku ingin berjalan mencapai tujuan
Atas apa yang aku cita-citakan
Selama dekade kehidupan
Berjalan lurus, dengan halus
Sesuai arus, tanpa akal bulus
Berjalan tanpa menginjak kaki orang lain
Bukan karena belas kasihan
Aku ingin murni karena sebuah jati diri
Murni pribadi sendiri
Bukan karena menyakiti
Akulah hawa dengan satu cita-cita
Ingin membahagiakan orangtua
Dunia juga akherat
Hawa yang penuh cinta
Karena kasih sayang orang tua
Dan sebab dari sebuah doa
Yang mengalir menuju nirwana
Jakarta, 07 Juni 2019
Orangtua
Oleh: PanduEva'
Sinar sang surya tepat di atas kepala
Netra terpejam karena silaunya
Langkah melemah mengayuh becak
Peluh mulai membasahi dahi
Terasa lelah diri ini, setiap hari harus berjuang demi harga diri
Wajah laki-laki tua penuh harap dan cita
Demi putra putri tercinta, tak ingin mereka mengalami nasib yang sama
Kebodohan serupa penyakit jiwa
Anak-anak harus bisa lebih baik dari orangtua
Sungguh harapan sederhana, tidak perlu kaya raya
Maupun menjadi pintar, jadilah orang sabar
Raihlah keberuntungan, dekatkan diri pada Tuhan
Tanamkan Iman, bekal meraih masa depan
Jakarta, 22 Mei 2019.
Jiwa yang pergi.
Oleh: Pandu Eva
Jangan kau harap kembali
Sebab mereka telah mati
Dalam ruang sepi mereka sendiri
Tanpa cahaya
Hanya jiwa-jiwa yang bersih
Akan merasakan kasih
Kasih yang abadi
Diberikan oleh illahi
Disanalah yang fana menjadi amerta
Jakarta, 13 April 2019.
Kumpuilan Puisi Endang Astuti - SEGUDANG RINDU
#DENGARKANLAH
By Endang Astuti]
Coba dengar dan rasakan bisik lirihku semalam, apakah masih tak kau pahami tentang rasa yang mendera diri ini?
Kuncup cinta tumbuh ditepian telaga jiwa, menggerogoti sukma, mengaliri darah hingga menjalar ke otak
Ingin memberontak, menghempaskan segala hasrat, namun kepada siapa? sementara dirimu yang kutunggu masih berpegang teguh pada ambigu
Salahkah bila aku terlalu mengharapkanmu?
Semurni kasih, setulus cintaku kepadamu tiada rancu kuutarakan isi hati namun engkau masih saja mencelampakkanku hingga terjerembab ke jurang kenestapaan terdalam
Siksa batinku tak pernah kau hiraukan, setumpuk kelesa pada hidup penuh kesremawutan, menenggelamkanku dikubangan kecemburuan
Dengarkanlah duhai dambaan
sempatkanlah singgah sejenak di peraduan hati, biar kau tahu cinta ini bukan ilusi namun cinta hakiki dari dasar sanubari
Kebumen, 12/12/19
---HUJAN MEMBAWA KENANGAN---
Kirana sang surya tenggelam
Tertutup hamparan awan menghitam
Semilir bayu turut mendayudayu
Isyarat alam hujan 'kan segera datang
Dentuman petir menggelegar
Tersadar bila kini kutlah sendiri
Tersisa puingpuing kenangan
Di relung hati terdalam
Kesepian merajam jiwa
Semenjak kau ucap kata pisah kala itu
Kepergianmu membunuh kebahagiaanku
Tinggalah rasa kecewa dan nelangsa
Biarlah hujan membawa kenangan
Masa silam berdua di batas kota
Tika terakhir kita bersua
Ucap salam perpisahan 'tuk selamanya
by Endang Astuti
Kbm,30/11/19
----PRASASTI CINTA----
By Endang Astuti
Terdampar disebuah kisah asmaraloka
Duka mencabik luka menganga
Tumbang sebelum berkembang
Sirna dalam keabadian
Mencoba beranjak dari nestapa terpijak
Seiring denyut nadi masih berdetak
Meski terkadang gelabah mewabah
Kuikrarkan 'tuk melupakan seluruh angan tentangmu
Engkau masih yang perdana
Satu cinta tiada pembandingnya
Aroma napasmu seharum kasturi
Cendayam rupa bak narapati
'Kan kujadikan prasasti cinta
'Tuk sekedar singgah menenangkan atma
Walau tiada mungkin bersama
Sebab cinta terhalang aksa
Kebumen, 11/12/19
----KIDUNG ASMARA----
By Endang Astuti
Semerbak bunga tercium atma
Sesejuk embun hati menjelaga
Kicauan camar iringi nada
Asmaraku, asmaramu berkalung nirmala
Kidung asmara menggema kalbu
Melodi mesra harsat menggebu
Temaram malam menambah syahdu
Bergelut kasih berbujuk rayu
Semakin menggema gairah rasa
Rindu memburu ketika sekejap tiada temu
Bak menanti hujan kemarau panjang
Aku tanpamu bagai kejora tanpa kirana
Adamu, penyejuk gumpalan minda
Pesona indah mahligai asa
Alunan cinta menyatu anindita
Abadi hingga uban menutup kepala
Kebumen, 19 Desember 2019
SEGUDANG RINDU
Dikeheningan senja
terukir sebuah hati tulus nan suci, seindah merpati putih terbang bebas tiada batas meskipun terkadang lelah tak tentu arah kemana harus melangkah.
Terpatri pada sebuah janji, takkan pernah mengganti satu hati meski tlah termiliki. Ada sekeping hati rela mati menanti kirana sang surya menghangatkan sanubari
Kesepian merajam
Kerinduan menghunjam
Akankah janji 'kan pudar ketika hadir sang rembulan dikegelapan atma yang merindukan kasih sayang?
Segudang rindu masih tertumpuk didinding kalbu
Menyemai rasa mahligai asa
'Tuk bersama meniti harsa
Kota beriman, 6/12/19
by Endang Astuti
Jumat, 06 Desember 2019
Kumpulan Puisi Tsurayya Tanjung - KAU ISTIMEWA
PENGABAIAN
Tsurayya Tanjung
Ketika naluri tak sejalan dengan hasrat, tak berimbang dengan kesempatan.
Ada sekat pekat. Aku meluruh dalam tangis sendiri. Memaknai renjana. Memaknai pengabaian. Sungguh rasanya lebih nyeri. Daripada saat hati diuji dengan batas rindu. Daripada saat hati tergores sembilu.
Kukuatkan hati, bermonolog pada kalbu. Berkata padanya, 'Bukankah sudah terbiasa dengan luka, dengan sepi, mengapa kau undang air mata malam ini. Tetap tegarlah! Jangan kau bawa laramu, menjadi bara untuk hari esok. Agar mampu kau hadapi lagi kejamnya dunia.'
KAU ISTIMEWA
Tsurayya Tanjung
Bocah kecil beriak di hamparan bumi
Lampahnya terseok tercekal kodrat diri
Kukuh merangkak terhuyung kembali berdiri
Lantunkan kalam suci penguat hati
Dunia kata kau terlampau ringkih
Namun atmamu pancangkan gigih
Meski terjerembab palung duka, tertatih
Sukmamu tulus menebar kasih
Polos pandangmu merekam polah manusia
Tak terpukau terlena yang fana
Cukup nikmati tarian gemintang bercahaya
Tak perlu tersungkur tipu daya dunia
Tetaplah setegar ilalang di padang
Bergeming terdera kerontang
Meski kemarau membahana renggut daya
Dia tetap disana tatkala kekawan pohon meranggas jaya
Bld, 04122019
Dalam rangka peringatan hari Disabilitas Internasional 3 Desember.
Untuk semua para Disabilitas.
#Proma_arra
MENEPI
Tsurayya Tanjung
Bersama serpihan hati, aku pergi menepi, mencari jati diri, pertahankan harga diri, nan tersisa kini.
Dalam cinta, tidak ada logika, semua kabur tanpa netra, salahkanlah sukma, melabuhkan rasa.
Rindu biarlah berlalu, dungu menggugu nafsu candu, kalbu membiru, terhujam batu bongkahan pilu.
Bukannya tak acuh, atau bermaksud angkuh, hanya saja kukuh, pertahankan utuh, tanpa membuat runtuh.
Bandung, 2019
MELARUNG RINDU
Tsurayya Tanjung
Melarung rindu di palung kalbu
Renjana mengais bias mentari
Pucukpucuk harap melambung ke langit biru
Temani lara hati dalam sepi
Awan putih tawarkan madu cinta
Kepada mega mendung menggantung
Hantarkan gerimis tawa
Sebelum pelangi merundung
Asmara adakah nyata menyapa
Selayak asmaraloka para dedewa
Aku memilin buhul asa
Kau dan aku bermesra di suaralaya
Bld, 25 Juli 2019
SEBUAH IKATAN
Tsurayya Tanjung
Engkau hadir laksana air bah
Tak mampu terbendung
Sesaat sahaja mengepungku
Tenggelam bersama lautan asa
Kasihmu putih bersih
Meski hati belum mampu berbalas
Bersama waktu kau buktikan dama
Berdesir kalbu, terbujuk tulusmu
Benar adanya, cinta hadir tersebab bersama
Menghujam palungnya sukma
Kini segenap jiwa ragamu
Candu dalam hidupku
Cinta nan kau langitkan dalam dedoa
Terasa indah dalam buhul suci
Dulu, aku salahkan dunia atas duka cinta
Kini batin takdzim menatap semesta, tunduk akui rasa
Bandung, 2019
#Puisi Selingkar
Rindu
Oleh : Tsurayya Tanjung
pandang sejauh saujana
naluri hantarkan memori
riaknya menggebu biru
ruahkan rindu kalbu
bukan sekadar kata
tapi senyatanya rasa
sajak jiwa bersuara
rapuh dalam renjana
namakan saja cinta
tali rasa tercipta
tanya sedalamnya jiwa
walau tiada bersama
malam memasung hati
titian terjeda kecewa
wajah muram merindu
duhai asa tersimpan
Bdg, 08122019
Bahasa Lain
Tsurayya Tanjung
Nurrohman Al Fariz
sepiring senja pernah kau suguh
dan terpaksa kutelan
dengan keringat tumbuh di dahi
ribuan anak panah mengarah jantung
mengiringi tiap kata
pedih yang bergetar di bibirmu
awan sore itu pekat, seperti kopi
dingin dalam cangkir yang tak henti
kau aduk dengan sendok
wajahmu kuyu
mata berkaca-kaca
'percayalah padaku,'
kau raih telapak tangan kiriku
kau remas
gerimis tergelincir di pipi
samar kulihat--senyum mekar
di bibir
wajah yang kau tekuk
hahh ... udara menebal
'tuhan
haruskah kupercaya
air mata?'
Bandung, 06 Desember 2019
SEBUAH IKATAN
Tsurayya Tanjung
Engkau hadir laksana air bah
Tak mampu terbendung
Sesaat sahaja mengepungku
Tenggelam bersama lautan asa
Kasihmu putih bersih
Meski hatiku belum mampu berbalas asih
Bersama waktu kau buktikan dama
Berdesir kalbu, terbujuk tulusmu
Benar adanya, cinta hadir tersebab bersama
Menghujam pada palung sukma
Kini segenap jiwa ragamu
Candu dalam hidupku
Cinta yang kau langitkan dalam dedoa
Terasa indah dalam ikatan halal
Dulu, aku salahkan dunia atas duka cinta
Kini batin takdzim menatap semesta, tunduk akui rasa
Bandung, 2019
MELARUNG RINDU
Tsurayya Tanjung
Melarung rindu di palung kalbu
Renjana mengais bias mentari
Pucukpucuk harap melambung ke langit biru
Temani lara hati dalam sepi
Awan putih tawarkan madu cinta
Kepada mega mendung menggantung
Hantarkan gerimis tawa
Sebelum pelangi merundung
Asmara adakah nyata menyapa
Selayak asmaraloka para dedewa
Aku memilin buhul asa
Kau dan aku bermesra di suaralaya
Bld, 2019
#melipatdusku
BUKAN TRAH DIRAJA
Oleh : Tsurayya Tanjung
Aku bukan putri trah diraja
Pemilik diri dahayu citra
Berjarak kata nirmala
Bukan anindita
Wanita
Sekadar elok akhlak sahaja
Kutawarkan pada dunia
Dara biasa
Rupa
Kaupun bukanlah raja
Pemangku takhta
Penguasa
Kita manusia
Setara
JELATA
BUKAN TRAH DIRAJA wanita rupa
Penguasa Setara JELATA
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
#patidusa
Bukan Trah Diraja
Tsurayya Tanjung
Kita
Berdua serupa
Hanya manusia biasa
Bukan putri pula raja
Terlampau tinggi kau kanda
Inginkan nirmala dara
Singkirkan hamba
Pemuja
Pengabdian terserak sekejap saja
Kau buang percuma
Terjerembab luka
Menganga
Bila
Tersadar hanya
Sesal tiba menyapa
Dinda Jauh sudah berada
Bdg, 2019
KETULUSAN
Tsurayya Tanjung
Sepekatnya kesan
Dunia sematkan
Kau tak mengapa
Biar waktu bersuara
Sehitam torehan nama
Dunia memandang durjana
Tiada luruhkan atma
Pancangkan kukuh setia
Tiada berharap di pandang
Teguh mengabdi dalam bayang
Sembunyi di jalaknya aksa nyalang
Tak goyah setegar ilalang
Kau hitam legam
Namun, putih bersih
Biar Tuhan menggenggam
Kebenaran hakikinya asih
Anggadireja, 081119
#Proma_Arrra
BUKAN KEJAYAAN TUJUAN
Tsurayya Tanjung
Hitam legam, kusam kelam masa berkalam, dunia merajam geram, sematkan kesan buram, melekam
Bukan kejayaan tujuan perjalanan berkehidupan, menuntun jalan kebenaran, cegah harapan kemungkaran
Raja kegelapan bersiap titiskan kejahatan, perang tak terelakkan, harus dipersiapkan, pangeran campuran rela berkorban
Tak mengapa, menjadi tumbal fana demi era nan terancam durja, aneka mantra, dilarungkan demi massa
Mengabdi tanpa balas budi, jalani sepi penguat pribadi, sejati welas pribadi diri
Anggadireja, 091119
#Gamastuti
MENYERUAK
Tsurayya Tanjung
Merengkuh dunia utuh
Kukuh patuh
Bersimpuh
Patuh sepakat kukuh
Pancang sauh
Melabuh
Sauh kokoh pancang
Titian terang
Benderang
Terang jalan titian
Jejak pesan
Kebenaran
Pesan menuntun jejak
Era beriak
Menyeruak
Anggadireja, 091119
Puisi Tema Mantan
MENGEJA ASA
Tsurayya Tanjung
Pernah ada setangkup gelisah, atas luka bernanah, hingga kama menyelah, dari seraut wajah.
Ramah tamah sambut gelak semringah, empaskan susah dinginkan gelegak amarah.
Hingga bulan merah uarkan aroma marah, atas resah renjana tak bekesudah.
Kelam biarlah aku mengalah, tersebab jengah, ambang sukma lelah, dari asa salah.
Abaikan rahsa menyelah, tak layak gundah, kini pasrah sudah, kita kalah.
Tsu, Bld250919
TANPA SKETSA
Tsurayya Tanjung
Ada gulana hadir tanpa pinta
Tibatiba menyelinap merasuk jiwa
Sesaat setelah masa menghantarkan kita pada jumpa
Pertemuan nan lugu tanpa sketsa; rekayasa
Kukira kau bukan lagi siapasiapa
Setelah era kita berlalu bersama waktu
Ternyata masih tereja rasa dalam atma
Serobok matamu robohkan pertahan kalbu
Kau memang indah, bahkan teramat indah
Namun, apa daya takdir tidaklah berpihak
Seiring gundah yg kian resah
Aku mencoba melerai sesak menyeruak
Tuhan, kumohon musnahkan saja asa
Kugadaikan kasih nan masih tersisa
Aku tak ingin Kau menjauh murka
Atas resah nan salah undang celaka
Bandung, 151019
🌻🌳🌲🌳🌹🌹🌳🎶🌻🌹
MASIH TERLUKA
Tsurayya Tanjung
Pada renjana paling pandir
Pagi menyambut hari nadir
Atas resah meresak tak menentu
Hadirkan gigil pilu di gigiran kalbu
Masih saja kenangmu memenjaraku
Menguntit ke manapun aku berpindah
Hadirkan gulana tak berkesudah
Seperti biasa aku tergugu pilu
Mengapa cinta sesulit ini; rumit
Jika kau hanya menghadirkan sakit
Semestinya tak perlu kau raba hati
Lalu pergi sekiasnya mentari
Kini tetiba kau datang kembali
Berucap tentang cinta hakiki
Maaf takkan luluh lagi diri
Terperangkap pada janji-janji
Bandung, 241019
🌹🌲🌳♥🌻⭐♥🌹🌠⭐🌹♥🌲🌳
MENGENANGMU
Tsurayya Tanjung
Dalam degup kusimpan
Bayang terangmu
Tak pernah bias cahaya
Meski sekias sahaja kau tiba
Bersama aliran nadi
Torehan kasih masih terasa
Mengakar hadirkan sepi
Aku terjebak candu, renjana
Kau adalah kesalahan
Kubangan dosa ku berkalang
Menyemai mabuk khayangan
Indah, tak kutampikkan pesona
Namun, biarlah sebatas rindu
Jangan lagi hadir menyemai asa
Bandung, 241019
SEMU
Tsurayya Tanjung
Aku membisu
Atas sikapmu
Duduk diam tak jemu
Kalbu pilu
Aku terluka
Berdarah-darah
Robekan nestapa
Uarkan amarah
Semu
Hadirmu
Bayangmu
Ambigu
#Quotes
#Kecewa
"Bukan amarah yang menjauhkan dua hati bertaut melerai jarak atau memilih diam. Tapi rasa kecewa nan terlampau bertubi."
Anggadireja, 151219
AKU PERGI
Tsurayya Tanjung
Aku pergi
Dengan segenggam hati
Bersama luka menganga bersimbah darah
Mencoba menyelamatkan diri dari kuasa amarah
Tak lagi mampu kupertahankan
Rahsa kadung merasa tercampakkan
Biarlah aku mengalah
Tak perlu lagi, cukup! Semua ini salah
Terkungkung harsa terpenjara cinta
Tiada logika pun kebijaksanaan jiwa
Tetiba kau hadir selaksa makna kama
Bagai candu perusak menyesap daksa
Biarlah ....
Cukup sedu sedan itu! Cukup aku
Kan kusematkan kau sebagai bayangan indah
Takkan kupancangkan pilu lebam kalbu
Kulepaskan ... kurelakan untuk semua
Jangan kau tangisi! Isilah sepanjang malam ini
Dalam melodi dama menggema dada
Sematkan perpisahan bagai anila, tanpa cela
Bandung, 2019
. GEMINTANG
. Tsurayya Tanjung
Siapalah aku? Pendarku tak lebih terang dibanding rembulan. Pabila sang chandra enggan menyapa, tenggelamku di arakan saujana. Tersembunyi oleh kelam menjajak langit memburam.
Ah, apalah aku? Tak mampu bersaing dengan kilau askaranya rembulan apa lagi sang surya. Binar hadirku hanya pemikat cakrawala malam.
Namun, hadirku selalu menyemarakkan malam. Langit buram jika aku memilih sembunyi murung, di punggungnya mega. Adaku dinanti-nanti penikmat temaram bastala kala kelam. Meski hanya penghias malam. Pendarku sederhana, menjadi arah pulang bagi para petualang.
Demikian asaku kepadamu. Aku tak meminta kau sadari hadirku di sini. Selalu setia bergeming dalam hening. Menjadi tempat kembali, jiwajiwa meresah. Menjadi sinaran kalbu tatkala gamang merajang tak berkesudah.
Dapatkan kembali tenang bersama kenang. Jika kau mau, sapalah aku di terangnya malam. Meski tidak untuk dibersamakan. Gemintang akan selalu menjadi sahabat, kerabat paling akrab. Temani jejak malammu, mencari kembali utuh itu.
Anggadireja, 171119
. SEPENINGGALMU
. Tsurayya Tanjung
Sepeninggalmu, senja jadi sendu bagiku. Langit mengabu tak lagi biru. Awan pun kelabu. Udara serasa berdebu, menyesakkan setiap tarikan napas. Angin berhembus seolah hantarkan aroma musim dingin. Bekukan kalbu. Tak tersentuh pijaran hangat. Meski baskara tengah berpendar hebat.
Sebesar itu aku mencintaimu. Hingga hilang segala kesan bahagia di benak. Sejak rengkuhku tak lagi bersambut gelayut manjamu. Sejak netra tak lagi menatap siluet daksamu. Sejak sajak jiwa tak berbalas puisi cintamu.
Kini, di sisa waktu. Aku hanya bisa menghidu aroma kasih tertinggal. Dari syal penanda hadirmu kala itu. Kini, sesal mendera hati bertubi-tubi. Mengapa dahulu, tak kuucapkan kata cinta beratus kali sehari.
Meski, aku mampu tersenyum, tapi tak sesemringah dulu. Gelak tawaku tak selepas dulu. Sungguh aku kesepian.
Kamu dan segenap kenangan berlagu dalam waktu yang berjalan. Menyadari hadirmu kini tinggal bayangan.
Kasih ... sungguh aku mencintaimu. Kamu dan segenap kenangan.
Bandung, 101219
#selingkar
Hanyutkan Ragu Berkalang
Oleh : Tsurayya Tanjung
hujan mengguyur pagi
gita asmara bergelora
rasai baranya cinta
tapi kau tiada
dalam diam setakat
kata membisu terpasung
sungkan menjajah jiwa
wanita terjerembab rindu
duhai nun terhalang
langkahku terjeda masa
sakit menjalar menguar
arti keyakinan tersamar
mari hampiri aku
kukuhkan kembali rasa
satukan lagi serpihan
hanyutkan ragu berkalang
langutkan kecewa bertakhta
tanyai maunya jiwa
wahai pemilik hati
titian pemilik bahu
Anggadireja, 161219
Membilang Waktu
Tsurayya Tanjung
membilang waktu
desember kini tinggal sekias
hadirnya kian membias
bersama masa nan berderap
melangkah pasti tanpa berbelas
menderu tak hendak menunggu
lalu akankah kita masih terpaku
tertinggal kelas?
wahai manusia
janganlah dungu berlaku
tersadar tatkala jejak pun enggan membekas
malu ia menatapmu berlampah
jengah ia mempersaksikan salah
langkah
biarkan hujan mengguyur bumi
membasuh slide silam nan kelam
hadirkan kesadaran menghunjam
larungkan kealfaan terpendam
agar tiada dendam merajam
desember semakin merenggang
menjauh, menepi ....
pergi memikul memori
tinggallah badan berkalang sepi
Anggadireja, 181219
Kumpulan Puisi Jenk Yulva - HUJAN DESEMBER
HUJAN DESEMBER
Berserak rindu tersapu angin
Derai hujan kian merejam lara jiwa
Masihkah bisa berharap indah
Bila tinggal menanti hitungan waktu yang mulai lelah
#Smrnd051219
SAHABAT
Malam bukan hanya hadirkan kesunyian
Namun malampun menyajikan indah serta syahdunya saat bercengkrama dengan Sang Rabb
Jabat dan peluk erat dalam jiwa
untuk kalian sahabat hatiku
Karena kalian adalah anugerah indah dariNya..
Inshaa Allah
Karya :
Jenk Yulva
BELENGGU RINDU
Masih seperti hari lalu
Bayangmu menguasai hidupku
Rindu begitu lekat menyatu
Entah sampai kapan berlalu
Masih hanya namamu
Terpatri indah dalam sanubariku
Mungkinkah kau juga sepertiku
Terbelenggu rasa yang bernama rindu
Karya : Jenk Yulva
#jelangsahur
MAMPUKAH AKU
Diujung cakrawala terbias guratan senja..
Namun tetap tak kutemukan kasihku jua
Kemana dia ..tanpa warta kucari hingga keujung dunia..
Lentera hatiku sudah hampir padam pendar
Karena sumbu semangat nyaris habis terbakar..
Oleh kecewa yang terus menggelepar..
Kasihku..
Lihat aku yang masih terus menunggu..
Hingga batasan pertukaran waktu
Tak perduli dinginnya angin membuatku nyaris beku..
Oleh : Jenk Yulva
Smrnda 160319
Kumpulan Puisi Romy Sastra - TIKAM
PROLOG NOKTAH YANG TERSIKSA
Romy Sastra
"Kasih... sapa lamunan di angan yang tersisih pada kekasih yang aku telah memilikimu jauh sebelum noktah kita terjalin di depan penghulu. Kita yang pernah jatuh hati di labuhan batin, berjanji: akan mengarungi bahtera cinta denganmu tuan sampai mati. Separuh layaran perjalanan, ujian datang, biduk dikayuh kenapa terhenti? Mestinya cabaran gelombang hidup dilalui dengan kasih sayang, bukan ringan tangan." rintih puan di bilik tersedu-sedu menahan pilu.
"Lah, kenapa tuan garang ke pipiku? Setiap ada kelalaianku, muka ini sasaran emosimu jadi lebam. Apa kurangnya pelayananku kepadamu selama ini, tuan?" Puan bertanya dengan mata merah saga.
Kini, kebahagiaan itu hanya sebatas mainan, cintamu hanya gombalan saja, demi mendapatkan sesuatu dariku, dan cincin kawin yang kau ikatkan di jariku dulu, ternyata suasa. Aku kecewa, tapi kusimpan kekecewaan itu dalam-dalam.
Bersampan bersamamu adalah kebimbangan, jiwaku remuk pada jalinan noktah yang tersiksa, sakitt.... Ah, akhirnya aku mengalah bukan tak mencintaimu lagi, daripada hidup bermandi air mata darah, lebih baik kusunting sepi menutup rapat-rapat bayangan memori bersamamu. Akhir sebuah kisah, berakhirnya noktah, berbalik arah memilih jalan berpisah.
Pada riak hidup yang dhadang, janganlah gamang. Sekoci pun bisa turun, jika layaran ditenggelamkan, biarlah tubuhku ini mengambang di riak lautan. Awan hitam berlalulah, jika masih ada sisa terik di senja yang lara menyinari hidup yang gelisah ini! Andaikan angin selalu menyimpan badai, biarkan takdir ini terdampar di dermaga tak bertuan lagi. Puan itu pasrah di dada yang sebak.
Jkt, 021219
LIPSTIKMU
lipstikmu luntur
tika kusentuh di pejam mata
remang-remang cahaya meremang bulu roma
ada suara berbisik lirih;
"lepaskan kemesraan in!" pintamu tersengal-sengal
"aku liar pada desah yang tak pasrah,
bukan pemaksaan"
di malam itu, derik daun-daun berbisik
tersenyum mengintip malu
di malam itu, desau angin merayu-rayu
kau tak sadar jemariku ada di rambutmu:
kenapa marah?
dan aku menuntut kesaksian rindu yang kaudendangkan di hari-hari yang berlalu
cinta memainkan peran dalam kisah
lipstikmu luntur bibirmu pucat pasi
ternyata, diam-diam kau menikmati
salahkah aku?
tanyakan pada rindumu!
RoS
Jkt, 41219
DOA
beribadah
sepanjang hayat
memulai
dari syariat
bertafakur
sepanjang hakikat
mencari
makna yang tersirat
doaku
memanggil yang terdekat
memohon
keselamatan dunia akhirat
RoS
Jkt, 51219
TIKAM
cemberut,
seraut wajah kusut
tergelincir,
jalan licin di bibir
cercaan,
sebilah lidah menikam
tusukkan,
belati tiba di jantung
berdarah,
ke mana obat dicari?
luka-luka
dibalut sendiri
RoS
Jkt, 161219
BANGKRUT
Romy Sastra
Sudah beberapa banyak gula ditaburkan di bibir kemajuan, tersaji di kompetisi harga yang melangit, hidangan semanis aspartam lengket di tenggorokan.
Ya, hidangan mewah sudah dimasak dalam kebijakan proteksionis. Ternyata kuda-kuda belang itu hirearki bermain di kancah birokrasi, dan ada rahasia di laci dari buntut kemunafikan berdelik perdagangan bebas. Tidakkah kau lihat pada industri rumahan anak bangsamu gulung tikar?!
Sudilah kiranya tuan-tuan mencicipi masakan anak negeri di tepi jalan, pada prakarya di pasar-pasar tradisional yang diaduk dari didih peluh perjuangan mereka, demi membangun bangsa ini meraih masa depan. Wadah bungamu pecah taman layu, dan pohon bambu akankah selalu merunduk?
Tiang-tiang bendera melapuk.
Ah, di segala lini warna jual beli sudah barang impor, penjual kesohor dagangan mereka akhirnya tekor. Katamu perdagangan bebas, bentuk kebijakan di mana pemerintah tidak melakukan diskriminasi terhadap impor dan ekspor. Padahal produksi anak negeri bangkrut ditipu otak-otak culas.
Kemajuan yang kebablasan menguntungkan para elit, kami menjerit.
Jkt, 141219
SHOHIBUL CINTA
di dada ini ada mim
tertulis di titisan batin;
pada nun
menyingkap kesadaran menuju bakti
di mana jalan ke mekah;
datangi, sembah!
darah-darah menetes di setiap insan
duhai jiwa-jiwa yang diberkahi
hulurkan tangan sambut salam
kenali sejarah dilingkari ka'bah;
wajah cinta merupa
abu bakar, umar, usman, ali
engkau literasi darah dan akidah
semenjak tercipta dari sabda
dari tiang-tiang tubuh rasulullah
iman takwa engkau bawa-bawa;
shohibul cinta
aku meminta pada yang kuasa,
doa dikabulkan;
izinkan aku berjumpa pada darah asal kukenali
betapa cintaku, rinduku membara
memeluk leluhur di surga;
bukan mimpi
aisyah,
kau si manja kemerah-merahan
inginku selalu tersenyum sepertimu
khumairah di tengah malam
pinjamkan aku senyuman
Romy Sastra
Jakarta 131219
GENOSIDA
nyawa tak lagi berharga di mata pembunuh, apakah perjanjian jazirah itu tiba yang dikabarkan sabda? kurma mati di bumi syiria, dihanguskan mesiu. unta-unta menari di depan istana. anak keturunan ibrahim diuji begitu dahsyat hingga kiamat, siapa pembunuh itu?
uighur yang gugur di kamp-kamp penyiksaan, pembunuhan sadis diotaki komunis, akidah diberhangus, mulut dibungkam tak mampu bertakbir, dipaksa memakan najis; aku menangis
di gaza, daud kecil membebaskan pertikaian dengan satu ketapel. jalut terkapar, thalut berkibar. dan tanah perjanjian itu menjadi sengketa tak berkesudahan. aku merindukan suara daud yang didendangkan pagi petang, burung-burung pun bernyanyi dengan riang;
kapan perdamaian itu tiba?
kenapa dunia islam diam? angin sudah berarak mengajak jihad, ibrahim berduka sepanjang masa. mengutuklah dalam doa, jika tanganmu tak mampu menadah darah; genosida mengejarmu sewaktu-waktu, waspadalah!
Romy Sastra
Jakarta, 111219
PADI SOKAN NAGARI KUBANG
Romy Sastra
padi sokan di musim panen mencatatkan sejarah di nagari kubang, kapindiang dan hama wereng minggat semusim dari sawah. kaki yang retak tangan terkubak sabit, wajah kusam baju petani yang koyak, seketika tersenyum manis, baru saja keluar dari kemiskinan. sebab, harga gabah melangit, ota-ota di lapau membahana. padahal, seharian berkutat menantang matahari, dan ada kakek serta nenek tua yang lelah tafakur di sudut masjid syuhada, mengucapkan syukur karena tanah yang gembur dibolak balik sepanjang umu
r.
lalu, bibit disemai dan musim tanam itu kembali silih berganti. padi sokan tumbuh tak lama tumbang menjelang tinggi. kapindiang dan hama wereng datang dari arah yang entah, memakan daun-daun muda. padi sokan nagari kubang mengering sebelum kuning di tangkai gelisah. kakek dan nenek tua yang biasa berkomat-kamit di masjid setiap waktu sebagai perisai sansai mengetuk pintu langit, dan tak mampu membendung pahit akan terjadi. meneropong mata batin seperti cermin tafakur di malam buta. pintanya, musim itu belum kiamat, mengajilah di dada, meski semak-semak ilalang subur di kepala.
padi sokan diuji kesabaran di ajang surplus gabah di tengah ranah. tentang waktu yang berputar, dagu anak nagari tertumpang di palanta, apa yang harus diperbuat? tanah-tanah ibu berduka. padi sokan kubang adalah sejarah di ranah bayang, bisakah bertahan di musim berpulang setiap ujian tiba? tetaplah tabah pada suratan melanda.
Jakarta, 6 Desember 2019
catatan bahasa ibu:
kapindiang dan hama wereng adalah semacam hama yang merusak daun dan batang padi
padi sokan nama jenis padi
ota-ota di palanta adalah obrolan-obrolan di meja warung kopi
nagari kubang adalah salah satu desa di kecamatan bayang pesisir selatan sumatra barat.
PERJALANAN
sedari awal tercipta
tangis itu saksi pergulatan
sebelum opera dibaca
isyarat sudah diperankan
di dalam perjalanan
sejauh kaki melangkah
belum sampai ke tujuan
air yang dimasak mendidih
lalu, tumpah
api takkan padam tersiram
masih ada bara
di penghujung tahun
renungan masih saja berpalung
padahal matahari selalu menyinari
di masa yang akan datang
impian sudah di gerbang penantian
apakah menjadi pemenang
ataukah menjadi pecundang?
ada baiknya cinta dibawa-bawa
ajak menangis dan tertawa, serta berdoa!
di mana jejak hidup akan menjadi sejarah
Romy Sastra
Jakarta, 211219
FATAMORGANA RINDU
Romy Sastra
Puan... ingatkah kata cinta yang kubisikkan di pagi itu? Aku akan pergi memintali realiti yang merantai kakiku, dan berjanji akan kembali. Kau membalas sapaku dengan senyuman, jabat tanganmu enggan berpaling lepaskan kemesraan. Kau menggoda mataku.
Puan... senja itu datang lagi.
Sudah berapa lama tunggul merenung menunggu kedasih singgah membawa setangkai ilalang bersarang di jantung kekasih? Berharap ilalang tumbuh, pengganti tunggul melapuk putik berbuah. Ah, sedangkan kabar angin tak lagi semilir. Apakah kau masih menyimpan senyuman di tapal batas? Kenangan samar, mungkinkah bias?
Puan... aku telah jatuh hati berkali-kali padamu, sampai saat ini aku masih merindui.
Sayangnya, kau seakan menghilang dari tatapan. Gugur bungaku di jambangan.
Puan... taukah kau,
rindu yang kupatrikan di sudut mata menjadi telaga, aku tak cengeng menghiba akan cinta. Tapi, aku benar-benar telah mencintaimu sampai ke hujung senja
Dan senja ini mengirimkan rindu kembali
Fatamorgana rindu membunuhku.
Kau puan, di mana kini?
Jkt, 8.11.19
EKSPEDISI BATIN
Romy Sastra
Sebelum perjalanan itu sampai di batas ketidakberdayaan, aku telah menabur seribu satu kerikil di setiap pemberhentian. Di batinku, kuamati burung-burung langit mengepakkan sayapnya, seperti kilauan samudra diterpa matahari yang akan condong ke Barat.
Aku bertandang lebih jauh lagi menyusuri misykat-misykat hati. Kuda sembraniku berjingkrak menembus garis finish pacuan. Rentak itu mengguncangkan tangga-tangga langit dalam keheningan. Duduk sila itu kian menjadi-jadi, dan matilah aku di dalam kepasrahan, mati yang belum pada waktunya.
Satu sabda menggema: duhai anak keturunanku? Di sini maha raja Sulaiman bertakhta, ia menguasai kerajaan langit dan bumi, sehingga semua kerajaan itu tunduk padanya. Tuhan Robbul Izati menganugerahkan kerajaan agung untuk Sulaiman.
Sabda kedua berbisik: duhai anak keturunanku? Apa yang telah kau saksikan di sepanjang perjalanan ini kau kubawa terbang? Saksikanlah! Ini alam maha cahaya, kau bergelumun di segara hijau, sumber rahmatan untuk sekalian alam. Di sini Rasulullah bertakhta, dan aku terpana. Kematianku telah sampai di gerbang Maha Megah.
"Salamun Qoulam Mirrabbirrahim"
Duhai si pencari cinta?
Masuklah ke dalam rahmatKu!
Aku adalah Aku di hati yang tahu.
"Innani Ana Allah La ilaha illa Ana Fa'budni"
Maka, bertasbihlah sepanjang permana di dalam kematian itu!
Jkt, 21119
SIKLUS SEMUSIM
Romy Sastra
di tepian hari wajah langit syahdu
flora fauna menadah doa;
hujan turunlah, sirami alam ini!
dingin terasa
jangan risau pada dentuman
biarkan kilatan bersahutan
adalah perjalanan angin mengawinkan awan
siklus waktu menyimpan energi;
kenapa takut basah?
musim itu tiba
terkadang kita lupa
bagaimana cara menikmati cinta
sedangkan kasih sayang-Nya
tak pernah berkurang; di mana syukur?
berdoa bibir dalam ucap
sebab, jantung, hati, nadi seirama bertasbih
roh, nyawa, satu kesatuan memuji
seperti nyanyian alam mengiringi kearifan
tak mengutuk keadaan
flora fauna girang tak lagi gersang
biota gembira turunnya hujan
keniscayaan kehidupan
lalu, akankah kita berduka?
nikmati siklus semusim ditingkah hari
serasa hidup seribu tahun lagi
Jakarta 21119
KEMISTRI
Romy Sastra
dan bayangan itu menari
setidaknya ada bisikan bernyanyi di telinga
mungkinkah semilir bermain di cemara?
suasana itu menggoda
dan bayangan itu terasa
setidaknya ada miyskat hati berkaca
mungkinkah alusinasi berpesan?
rahasia itu terbuka
dan bayangan itu merupa
setidaknya ada gelagat bermain di mata
mungkinkah warna bisa sama?
indahnya suasana batin di kesunyian
dan bayangan itu menyapa
setidaknya ada cinta bersabda
mungkinkah kemistri bersembunyi?
aku menemukan jawaban ada dan tiada
kau dan aku telah bersatu
Jkt, 1,11,19
JULIET ZAMAN NOW
juliet, cintamu gugusan api di dada romeo, dan degup jantung berpacu mengiringi gelora, rela mati demi kesetiaan cinta
kesetiaan cinta layla dan qays berakhir tak saling memiliki, cinta abadinya bersanding di batu nisan, rohmu bersatu di alam kematian
si majnun pencinta yang lara
aku bukanlah shah jahan yang bisa membangun taj mahal untuk mumtaz, sebagai lambang kejayaan dan kesetiaan untuk dikenang anak keturunan
aku adalah tarian angin yang bermain riak di pesisir. aku adalah bayang-bayang yang singgah di kala senja, masihkah kau ingat aksara nama kita pernah dilukis di atas pasir? berharap noktah tersimpan rapi dalam jambangan. ternyata digerus ombak hilang tak berbekas
kisah cinta di abad-abad yang lalu adalah sampai, juliet zaman now memiliki kisah cinta yang pandai, romeo kekinian dirundung sansai
HR RoS
Jkt, 71119
TIKUS BOCOR HALUS
Romy Sastra
harimau mengaum lapar di gurun
serigala mengintai sisa-sisa bangkai
capung-capung menari di taman
kuda berlari kencang mengejar awan
joki terjungkal di tanah lapang
badak dungu membisu di tepi kolam
raja hutan tepuk jidat di istana
pening aku bah, negara kian susah
kebutuhan rakyat ditelan mentah-mentah
ah, aneh memang tingkah sutradara
apakah trik licik disusun rapi di balik layar?
opera dunia kian menggila
dalang mencibir di sudut bibir yang kurang ajar
bukankah meja dipakai tuan
tempat membuat undang-undang anti korupsi?
jangan buat strategi!
apakah tuan-tuan lapar?
menunggu giliran jatah
kinerja tawar menawar
ya, tunggu sajalah!
jatah itu ada, bagi sama rata
ternyata senjata makan tuan
silet di lidah telah mengiris
padahal tuan punya hati punya rasa, punya keluarga, tak malukah?
ketika rapat menyusun amanat, tuan duduk di kursi empuk yang berjubah dewa,
dikau mengantuk
tikus itu bocor halus
titah rakyat dititipkan di pundakmu
dilengahkan begitu saja
sedangkan janji-janji di pentas demokrasi masih segar rakyat ingat
tikus-tikus berdasi tak bermaruah lagi
malu sudah di selangkangan duniawi
Jakarta, 151218
AKU PULANG KE RANAH
Romy Sastra
sudah berapa lama ranah dihuni
sebelum pulang tuah-tuah di nagari
anak kecil itu masih bermain di halaman
menunggu kawan sepermainan
masih dalam perjalanan
--
ranah, aku dimainkan kisah
darah itu ditumpahkan
sembilan bulan dalam kandungan
tuah di telapak kaki ibu pintu surga
tuah ranah di tikar musyawarah
---
sejarah mengabarkan:
berdiri kubang di tanah berlumpur
sekawan badak berjemur
maka, pulanglah riwayat ke tanah asal
----
sebelum cerita tertutup
aku pulang ke ranahku
sudah sekian lama rantaukan nasib
di mana hidup bermula
ya, aku pulang nyalakan dian
cinta tak redup
Jakarta, 4,11,19
TRILOGI CINTA
Romy sastra
Sudah tak terhitung kesalahan kulakukan, namun Engkau selalu menawarkan cinta yang tak ada habisnya. Bahkan apa yang tak kuminta, Engkau memberi, dan kasihMu selalu memikat mataku. Pernah aku memohon untuk dipertemukan pada suatu hati yang belum kujumpai, dan akhirnya begitu banyak warna cinta menjelma di peraduan mimpi, sedangkan cintaku yang nyata sudah bernoktah. Cinta teragungku Engkau, meski Engkau tak kupuja-puja sebagai mana mestinya. Ah, biadabnya aku padaMu. Sedangkan Engkau maha pengasih, selayaknya aku berterima kasih, selagi napasku masih bertasbih.
Aku ditawarkan seribu satu kemilau impian untuk penghibur lara atas nama cinta tak pasti, yang selalu merayu, dan impian menari-nari dalam angan, akhirnya berlalu jadi kenangan. Aku tak mengutuk pada rentetan yang tak nyata. Sebab kisahnya seperti pelengkap tak sudah, matilah aku ditikam malu pada bayangan semu.
Lalu, aku bercinta pada yang nyata, segala suka duka sudah dihadangnya, meski hidupku jatuh dan sakit berkali-kali, dia selalu mengobati dan memapahku ke dadanya dengan air mata. Sampai dia membisikkan: temuilah cinta sejatimu di peraduan sejadah! Di situ obat luka yang tiada tara. Bermohonlah PadaNya! Dia Maha pencinta dan pencipta segala luka, sekaligus pengobatnya.
Dan aku berpaling tinggalkan duniawi, kekasih mimpi tak menyapa lagi, kekasih noktah mengiringi doa, jadi makmum titipkan sebait doa. Aku mencoba mematikan cinta mimpi dan cinta noktah kedua-keduanya, terus berenang mencari maha cinta. Aku uluk salam di gerbang kematian, ampunkan aku untuk ke sekian kalinya ya Rabb? Aku ingin cintaku dileraikan antara emas dan suasa, aku ingin luka mimpi tak menyakiti paranoid diri, dan aku ingin cinta noktah seirama. Lalu, Maha Cinta bersabda lewat jiwa yang pasrah dan beri isyarat; tampar mukamu, meleklah! Berjalanlah selalu dengan rasa, 'kan kau temui jalan bahagia, kau pilihlah mana emas dan mana suasa itu, waspadalah jurang-jurang dunia selalu menganga! Semua itu adalah ujianKu pada ciptaanKu. Pahami!
Aku menciptakan dunia ini panggung sandiwara. Maka, petiklah hikmahnya, 'kan kau dapatkan kemilaunya menjadi Jannah.
Jkt, 41119
MENATAP CINTA DENGAN KHUSYUK
Romy Sastra
Aku datangi saung mursyid ke tepian samudra
bertelanjang dada tak berkopiah
Tutur guru dituruti, santri patuh manggut-manggut, manut
Diri yang fakir di langkah musyafir
Merenungi pasir-pasir di pesisir
Bertaburan hikmah di segala piker
Jiwaku karam tak basah
Terpesona meminta rahasia kunci kematian pada sabda:
"Lubang dunia itu di mana beradanya guru?"
Lalu, guru pejamkan netra tak bermantra, melainkan takwa saja
"Ah, tak cukup petunjuk bagiku memasuki ranah."
Kudekap tubuh guru erat-erat
Pituduhnya luruh pada selembar surat wasiat
Satu-satu eja kalam dibuka
Guru bisikkan rahasia gaib tentang hening
Sukmaku fana bertahali
Aku belajar mati
Menatap cinta sekejap, tafakur, terpancar nur
Benak-benak tersusun di baitul makmur
Dengan jalan membunuh indrawi
Membuka gerbang baitullah
Duduk bersila bak budha menatap nirwana
Kubawa hanya secercah rasa
Seketika gumpalan pelita nyala
Hadirnya kejora menerangi alam batin, seperti lampu pesta berwarna warni
Tercipta keheningan sesaat pada jalan makrifat
Aku buang keindahan duniawi: bersyahadat
Aku dan nafsu itu
Berpacu mengejar tempat tertinggi
Pada kasta-kasta iman menggoda diri
Menatap kelip Maha mega
Di puncak fana terhenti menyimak sejati
Ataukah labirin menyesatkan di balik tirai ilusi?
Segala nafsu rela terbakar sirna
Di keheningan malam di wajah wujudullah
Indahnya kelip, cinta bertaburan cahaya
Aku dan diriku bertakhali rahsi
Membunuh hasrat doa
Ya, tiada yang kupinta selain menatapnya saja
Bahwa sesungguhnya aku masih ada
Aku dan Dia bercumbu mesra
Fanaku diselimuti laisa kamiselihi
Padahal awas-Nya sedari dulu, Hu memelukku
Pada janji yang tak pernah diingkari
Jiwa ini tak berjarak dengan Maha jiwa
Aku haru
Pertemuanku di kelambu rindu
Di alam yang tak tersentuh kutuju
Dosa-dosa berguguran
Tubuhku seperti runtuh bergemetaran
Pada jawaban 'asholatu daimullah'
Semoga itu pertanda ibadahku diterima
'Innallaha latukhliful mii'aad'
Dalam khusyuk yang klimaks, bertajali
Aku dan diriku lebur dan mati
Fana menyentuh maha rasa bersatu padu
Pertemuan yang tak lagi cahaya
Ya, yang ada awas-Nya Dia
Jakarta, 11919
TITIAN YANG DIHANYUTKAN
Romy Sastra
rang kubang termenung di seberang tepian sehabis subuh, baru saja mereka menunaikan kewajiban fardu. rang kubang hendak menyeberang ke koto baru. sebab, sunrise sudah menampakan wajahnya di balik bukit air terjun sarasah. hujan semalam baru reda, hujan lebat di hulu bayang membawa material kayu-kayu gelondongan ke hilir menuju muara. menung rang kubang itu berkelana menuju generasi anak-anaknya kelak punya jembatan gantung di tengah kampung.
ketika sungai batang bayang surut, jejak setapak berjingkrak di punggung-punggung batu. sebelum jembatan dibangun, tetua bersatu menempuh liku menuju dunia baru.
anak negeri berseru;
"aku mau titian, aku mau jembatan, aku mau jalan di atas angin, aku tak kuat lagi menantang air di antara batu-batu kerikil bergulat dengan kain samping, dan celana besar sejajar tumit digulung hingga ke paha." akhirnya jembatan itu berdiri dari sumbangsih: jerih peluh, hasil para petani gotong royong tanpa pamrih.
kini, jembatan berayun tak lagi bisa dikenang, karena sudah hilang. dicundangi oleh rayuan kelompok adipati di negeri alenka. bagaimana uang istana tak terbuang sia-sia setiap habis air bah melanda.
kuinginkan kisah kita tak masuk ke tong sampah, sejarah tak tergerus ke muara, hilang bercampur dengan asinnya samudra.
ah, generasi kalah, kenapa pasrah?
tunggul sejarah itu berduka, delik tampar menampar suara para punggawa kampung di mana-mana tak berguna. kau menyesal kawan? bodohnya aku....
Jakarta, 9919
Catatan:
Puisi ini kisah desa atau nagari saya tentang jembatan goyang sebagai sejarah dan aset wisata dibongkar oleh Dinas PU Pessel dengan berbagai alasan.
ULAR JADI BATU
Romy Sastra
dum, dum, dum, dum....
suara gemuruh, suara mengundang rusuh
sudah seminggu hujan dari langit mencurah
dan banjir itu tiba
lolongan kematian di tengah malam
tak terdengar di dalam kampung
bencana sudah mengisyaratkan sebelumnya
air membelah kubang tak terbelah
ya, rabbani? engkau titahkan al-salam
lalu, sepasang ular menjelma jadi batu
banjir akan meluluhlantakkan kubang seperti pasir
negeri kubang dipagar tuah nago
adakah itu titipan para tuanku musafir?
tuanku penghulu datang dari negeri danau
engkau tuanku yang berjubah hijau
seperti tongkat musa menjelma tiba-tiba
ketika musa bertikai dengan firaun
musa bersabda kepada tongkat:
menjelmalah kau tongkat jadi ular
mangsa ular-ular firaun hingga tak bersisa
negeri bayang gempar
batu nago itu terdampar membawa tuah
ya, rabbani?
kami memujamu tak henti-henti
kubang ada hingga kini
Jakarta, 100919
Catatan:
batu nago dalam bahasa minang (ibu) batu naga, suatu keajaiban alam berlaku di desa / nagari kubang, kecamatan bayang pesisir selatan, sumatra barat. historis ini terjadi di abad 18. nagari kubang ini hampir sejajar ketinggian posisinya dengan sungai, dan air sungai ketika banjir melanda, kejadian aneh selalu terjadi. banjir besar yang meluluhlantakkan kampung yang lain. nagari kubang tetap tak tergerus oleh banjir. air bah itu malah minggir ke persawahan di belakang kampung karena keramatnya batu nago jelmaan. nagari kubang diapit dua sungai di abad 18, sekarang sungai yang dibelakang kampung tidak ada lagi sudah menjadi persawahan, hanya batu-batu sungai menyisakan cerita silam turun temurun. kesaksian batu nago itu masih ada sampai saat ini di ujung kampung bertapa sunyi. ya, allah kami bersyukur padamu.
NAN TERLUPAKAN
Romy Sastra
rajut terkoyak sulaman rapuh
roda waktu menjajah lara
kita terpasung di antara benci dan rindu
apakah pertemuan yang dulu
hanya sekadar basa-basi
kenapa bermusuhan?
ah, jika lukamu kian nganga
usah lagi bertamu di tepian hati
lembaran asmara kubencii
aku kalah pada gita cinta pelangi
yang tak memihak pada sebutir embun
biarlah dahaga
pergi sajalah cinta jangan datang lagi
rawat kenangan dan lupakan kekecewaan
tatap laju ke depan meski rasa itu pahit
tentramkan jiwa tinggalkan dendam
mari berdamai ke sekian kalinya
kita rebut kemenangan tak berperang
tetesan itu percuma, tersenyumlah!
lupakan kisah sedih yang dulu
tentang kisah kasih yang tak sampai
memang noktah kita telah berbeda
tak lagi bisa bersatu
hilang jangan dikenang
kita petik mentari
biarlah kerinduan terbang bersama debu
Jkt, 030919
TIKAMAN LIDAH
renda tak jadi dijahit
tangan ditusuk serapah
sedangkan perca sudah lama kupersiapkan
kenapa jarum dituduh pengkhianat?
belati merobek jantungku tak mengapa:
matilah aku
HR RoS
Jkt, 3919
BANGKRUT
Romy Sastra
Sudah beberapa banyak gula ditaburkan di bibir kemajuan, tersaji di kompetisi harga yang melangit, hidangan semanis aspartam lengket di tenggorokan.
Ya, hidangan mewah sudah dimasak dalam kebijakan proteksionis. Ternyata kuda-kuda belang itu hirearki bermain di kancah birokrasi, dan ada rahasia di laci dari buntut kemunafikan berdelik perdagangan bebas. Tidakkah kau lihat pada industri rumahan anak bangsamu gulung tikar?!
Sudilah kiranya tuan-tuan mencicipi masakan anak negeri di tepi jalan, pada prakarya di pasar-pasar tradisional, yang diaduk dari didih peluh perjuangan mereka, demi membangun bangsa ini meraih masa depan. Wadah bungamu pecah taman layu, dan pohon bambu akankah selalu merunduk?
Tiang-tiang bendera melapuk.
Ah, di segala lini warna jual beli sudah barang impor, penjual kesohor dagangan mereka akhirnya tekor. Katamu perdagangan bebas, bentuk kebijakan di mana pemerintah tidak melakukan diskriminasi terhadap impor dan ekspor. Padahal produksi anak negeri bangkrut ditipu otak-otak culas.
Kemajuan yang kebablasan menguntungkan para elit, kami menjerit.
Jkt, 2919
KEMERDEKAAN YANG TERGADAI
Romy Sastra
31 Agustus di lembaran almanak akan ditutup
Sejarah adalah saksi hidup yang takkan redup
Patriotik yang kita kepalkan kemarin
Seperti bara api hampir padam
Di sana sini semua berteriak:
Merdeka, merdeka, merdeka!
Padahal, perjuangan itu berurai air mata
Baju pahlawan koyak berurai darah
Bendera itu belum sampai di ujung tiang
Upacara hanya seremonial
Menyuguhkan setangkup jasa dikenang
Nyanyian berkabung dalam senandung
Tuan, tidakkah engkau lihat air mata di sana
Tikai masih saja terjadi
Kibaran bendera itu tak sampai di tapal batas
Kemerdekaan tercabik di dada generasi
Yang tak puas hati pada politik
Kemerdekaan yang tergadai
Kekayaan ibu direbut, anak-anaknya sansai
Kau menuntut....?
Jakarta, 31 Agustus 2019
TAK BERJARAK
Romy Sastra
aku memadamkan matahari dengan sekejap, dalam pekat mencari syahadat.
begitu juga tuhanku memadamkan semua ciptaannya dengan sekali ucap.
cinta menuntunku mengenali maha kekasih,
di mana keberadaannya? sangat dekat.
urat leher dan leher masih ada jarak, sedangkan aku dan tuhanku tak bersekat
Jkt, 31919
HIJRAH
Romy Sastra
meniti jembatan 365 hari
titian berayun ngarai mengintai
gamang di badan menjadi-jadi
kaki terus melangkah dada membusung
lalu, tiba-tiba wajah pucat pasi
menatap badai
menempuh perjalanan 365 hari
ada pelita di dalam hati menerangi
tongkat dibawa-bawa penunjuk arah
kadang dibuang begitu saja
ketika hajat didapat
perjalanan terasa singkat
apakah kita lupa
dari pintu mana awal kaki melangkah?
si pencatat nasib menyimpan rapi memori
menunggu dibuka di meja hakim
kapan jiwa ini hijrah menemui diri terdiri?
matahari selalu menanak peluh
pengabdian masih saja dilengahkan
ah, tepuk jidat. aku bertobat
Jkt, 30819
FANA
Aku memikat satu pandangan yang tak dapat kutatap kuat-kuat, dan aku mati.
Lalu, cinta meleburkan nisan kehidupan:
Aku bersaksi.
Romy Sastra
Jkt, 29819
LIPAT SAJA KAIN USANG ITU
ini tak lagi layaran biasa
setelah kubertarung melawan ombak
kompas mati aku kehilangan arah
pendayung pun patah
aku bangkit ke sekian kali
memanggilmu rindu: kau tiba
ini tak lagi layaran cinta
di cawan madu kau dahaga
bukan sekadar basa-basi kupungut rindu
kutahu kau tak butuh
kenapa rebah?
malam yang pernah kita setubuhi
napas-napas tersengal binal
aku memanggilmu kemarau yang risau
tapi kenapa hujan jatuh di pelimbahan tetangga?
ah, juita
pergilah ke belantara asmara hina
jika kelambu suci tak lagi kau jaga
aku pasrah
sudah seringkali tongkatku menuntunmu
ternyata, godaan pilihanmu kau bahagia
lipat kain usang itu, kau bakar sajalah
HR RoS
KAPAL KEHILANGAN DERMAGA
Romy Sastra
dunia memegang satu bara di tangan kiri, tangan kanan menadah memegang amanat ilahi. aku bertanya pada satu titik di kedalaman jiwa, kapal nuh yang dulu terdampar di mana? ah, bencana itu telah surut ditelan bumi hingga kini. aku berpikir sangat panjang ke helai-helai rambutku yang hampir luruh, dan istana itu menjadi tanah lapang tempat berpetualang. akankah mahkota itu benar-benar punah? kita pulang. lihatlah! tetesan embun yang mengalir di ujung doa, telah surutkan bencana dari sudut mata di mana-mana. lalu, sabda bergema di suasana genting nuh yang tabah meminta. "ya tuhanku, janganlah engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi". (qs. nuh: 26). satu-satu pasangan pelanjut tirani menyemai dunia kembali, di ekor keledai pada hidup yang tak ingin sansai, ada biang penghancur dunia bertengger. lalu, dialog terjadi.
nabi nuh melihat sosok yang ringkih, berkata: “hai musuh allah, siapa yang memperbolehkanmu masuk? keluarlah dari sini! kau telah dilaknat.
iblis memohon: "tolong biarkanlah diriku ikut serta menyelamatkan diri, sesungguhnya aku telah ditangguhkan.”
maka, nuh menyuruhnya duduk di sebuah ruangan. iblis berkata:
“lima perkara yang akan merusak manusia, tiga di antaranya akan aku ceritakan kepadamu dan dua di antaranya tidak akan aku ceritakan.”
lalu, allah memberi wahyu kepada nuh, bahwa tiga perkara tidaklah dibutuhkan nuh, yang dibutuhkannya dua perkara dan disimpannya. nabi nuh memaksa iblis menceritakan dua perkara tersebut.
"apa dua perkara tadi, hai iblis?” tanya nabi nuh. “dua perkara yang tidak akan kamu dustakan atau ingkari, manusia akan rusak sebab sifat hirs (ingin) dan hasud. sebab hasud, aku dilaknat dan dijadikan setan rajim (diusir) dan sebab hirs (ingin) aku bisa menarik hati adam, sehingga dia memakan buah yang dilarang di surga. padahal dia diperbolehkan makan apa pun kecuali buah kuldi."
kapal yang terdampar dulu, seketika itu kembali berlayar di setiap debur-debur ombak di dada umat. hingga dunia ini benar-benar kiamat. gonjang-ganjing di mata batin, telah mengisyaratkan lampu kuning, angin dari berbagai arah telah menguar ke seantero mayapada. panji-panji akan dibakar oleh teknologi, di mana kawan, siapa lawan, menjadi pertarungan ke titik yang tak terselesaikan. bertanya bulu roma pada risau di depan mata, akankah samudera yang dulu ditelan bumi kembali membara? air mata bercampur segara, dan dunia benar-benar punah, layaran itu kehilangan dermaga.
Jkt, 22/08/19. 17:07
SKETSA RINDU
Romy Sastra
melukis sketsa rindu di perenungan panjang, pada yang tersayang. berharap anganku bernoktah realiti. kupuja dikau jelita bermata sendu, rasaku tak sia-sia bermain bayang. kasihmu kukenang, dan kau kupinang dengan manja. seiring waktu berlalu, kau sepertinya tak ingin lagi mengenaliku, aku bertanya perihal ikrar yang kita sepakati untuk selalu mencinta. dan ternyata, apakah dirimu cinta yang kupuja-puja selama ini? ah, kenapa kau hukum aku bersikap bisu? seringkali kumenyapa tentang keadaanmu, jawabanmu sederhana, tak ada masa untuk bercinta. aku terhenyak seperti tamparan tak berbunyi menyimpan genangan di sudut mata. ketahuilah, aku akan selalu setia sampai di ujung penantian. biarlah sikapmu kini jauh berubah. aku telah diajarkan oleh rindu untuk selalu bertahan mencintaimu. ya... pada cabaran yang kautawarkan di kala jemu untuk menjauhiku. ingat! aku tak siap sunyi, biarkan setia ini aku rawat sampai ke urat nadi. aku tak bisa mewujudkan keinginan yang kau pinta itu untuk menjauhi diriku, sedangkan aku tetap bertahan, hingga penantian ini dipahami, dan sketsa rindu ini kupatri di dadaku selalu, tak ingin yang lain membayangiku. aku tak butuh dia, apalagi mereka di sampingku. aku butuh dirimu di sisiku.
kasih... pahamilah sketsa rindu ini, meski tak lagi kau hargai.
Jkt, 22/08/19
DADA IBU YANG KOYAK
Romy Sastra
ibu
dari sabang sampai merauke, kauwariskan di setiap peradaban intan berlian. lalu dirampas dan semut terkucil di dada raksasa. tiada daya, mereka memandangmu seperti cacing telah naik ke mata. oh, kenapa begini nasibmu ibu?
ibu
kaulahirkan anak-anakmu dari rahim suci, rahimmu menampung embrio generasi. sebelumnya, dadamu dikoyak libido bermata biru. dadamu terluka, anak-anakmu tak memiliki teknologi lesapkan meciu ke arena tempur: mereka gugur
ibu
kini kau telah merdeka kata mereka
tapi kenapa masih saja ada luka?
di hari ulang tahun bangsa ini
rakyat jelata tertipu pesta di panggung yang goyah, selendangmu dijual ke tengkulak lapar, dunia berkoar
hapus air matamu ibu!
jangan simpan parut itu
nyalakan bara di dada anak-anakmu tumbuh
"berlarilah kau anak-anakku, kejar dunia!"
Jakarta, 19 Agustus 2019
Derai-Derai Rindu
Romy Sastra
kau titipkan satu kelopak untukku sibak
aku menatap bunga sekuntum harum
bungamu kucium
derai-derai rindu tumpah
kenangan kusimpan rapi di lemari hati
aku buka kembali
di mana sapa tak lagi indah
sedangkan musim gugur telah pergi
musim semi tiba
di mana cinta?
pernah dulu kukibaskan rambutmu
helainya jadi saksi mahkota tak jatuh
aku rindu. ya, rindu
dan kini diammu membunuhku
aku bertanya perihal kelopak itu
masihkah mekar?
kasih...
izinkan kuukir kemesraan itu kembali
biar harum bunga tak punah
aku memujamu cinta
kembalilah!
Jakarta, 20 Agustus 2019
DARAH PATRIOT
Romy Sastra
Pahlawan itu memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Darah, nyawa, harta benda, jadi saksi sejarah di pundak patriot yang tak meminta upah pada pengorbanannya.
"Tuan, adakah dikau hiba pada nisan yang tak lagi bertabur bunga di pembaringan panjangnya?"
"Tengoklah tuan! Ilalang menari indah di atas pusara yang sunyi."
Pusara pejuang bermandi embun, diselimuti kenangan berdarah.
Meski makamnya gersang, tetapi jiwanya tenang.
Tunaikan impianya yang dulu jangan kebiri Impinya bukan ilusi zaman, tapi kenyataan.
Isilah dengan pembangunan merata di segala bidang, jangan curang.
Pejuang itu terluka ditembak penjajah, berdarah hingga bernanah.
Ia gugur seratus tahun yang lalu, batu nisan tak bernama. Sedangkan jasanya sebagai pejuang terpampang di halaman sejarah. Rohnya tegar tak mati, jasad menjadi abu, nama dan sejarahnya abadi, kenang-kenanglah pahlawan.
Sentuh pahlawan itu dengan doa dan semangat baja dari generasi ke generasi.
Lanjutkan cita-citanya jangan jual negeri ini!
"Tengoklah tuan!"
Pusaranya tak lekang dengan panas dan tak lapuk dengan hujan.
Mengisyaratkan semangat pantang mundur dihadang bedil-bedil kerdil.
Merah putih teruslah berkibar di tiang-tiang bambu, bergelora di dadamu.
Kibarnya bukan hiasan ditiup angin dingin.
Bendera, berkibar seperti kobaran api mengobarkan semangat merah putih pada dada generasi.
"Generasi"
Jadilah pelanjut sejarah negeri ini
Seperti pejuang terdahulu gugur
Tak takut mati dan rugi
Bawa negeri ini melambung tinggi ke pucuk lambaian regenerasi.
HR RoS
Jkt, 17/08/19
MONOLOG NASIHAT DIRI
Romy Sastra
diri seperti kicauan burung bernyanyi
padahal tak berparung, dan merasa terhormat seperti dewa mabuk, tak malu pada kelip kejora
mengintip cinta di malam hari
tergoda nafsu duniawi
diri bagaikan kunang-kunang kehilangan panggung
melayang seketika padam
impian terkikis debu-debu jalanan
rela berkubangan lumpur menatap kesucian
sedangkan mutiara tersimpan di dalam hati
enggan dicari
diri jahat pada kenangan
yang begitu saja melupakan sejarah
sebab amanah dhidangan tak dicerna
malah sesumbar dicampakkan ke pelimbahan
uhhh, sia-sia saja beo berkicau kepada si dungu memamah bisu
diri bagaikan resi dewa dewi
seakan sabda telah fitrah di mata pujangga
percuma terlahir jadi manusia
tak dipahami makna azali
yang tercipta dari setetes darah hina
lalu dibanggakan, itu pun dititipkan
diri seakan alim berkopiah merasa beriman
diri seakan bijaksana tak bertudung
tiada malu masih sok tahu
berilmu tak berhikmah
berpayung tak berteduh
berharta tapi tak punya
berwibawa gagah tak berkharisma
cantik rupawan tak menawan
hidup tak bertujuan lunglai di tepi jalan
makan lahap tak kenyang berserakkan
dahaga meminum setelaga tak puas
berderma tak berpahala
beribadah seakan tahu jalannya surga
kerja malas
diri berlayar ke samudra tak berdermaga
mendaki seakan tahu makna ketinggian
berjalan di yang datar tersandung kesakitan
mengalir air ke hilir tak ke muara
berkaca diri tak nampak rupa
terkilas wajah di cermin retak berserak
tersenyum tak merekah, tertawa tapi berduka
diri bodoh seakan paham rahasia hati
duhhh, ke mana lara kan dibawa?
berpikirlah sesaat duhai diri!
karena berpikir lebih baik daripada beribadah seribu tahun lamanya, biar tak tersesat jalan
semoga dewasalah diri dalam pergaulan
terarahkan ke arena pertunjukkan
biar tak sia-sia dalam perjalanan hidup ini
seyogyanya, memahamilah diri!
Jkt, 14819
DI BALIK CADAR HITAM HUMAIRA
Romy Sastra
Ya Humairah cinta
kau pesona cahaya kemerah-merahan
belahan jiwa singgasana surga
di balik cadar hitam kau bersembunyi
pada rona wajah ayu nan indah itu
tertutup paras purnama dari mata liar
membawa kedamaian dari dahaga syahwat
merona cahaya kau petik lentera akidah
kembang savana tak mengumbar aurat
Ya Humairah cinta
doa-doa di ujung malam kau panjatkan
dalam temaram bahasa hatimu lirih
bangunkan lelap menatap sang kekasih
kau mengikat tali simpul rayuan iblis
berkeliaran sepanjang hari
di balik cadar kau bertasbih
Ya Humairah cinta
seraut wajah di bola mata syahdu
lentera cadarmu berselimut religi
memandu perjalanan islami
pada tuntunan adab kau berjalan
indahnya bingkisan sunnah
wibawa bunda hawa dipelihara
di balik cadar hitammu kau memesona
aku mencuri pandang
senyummu tak bertandang
Jkt, 14819
SEGALA YANG HIDUP BERTASBIH
Romy Sastra
puji tubuh puji alam itu
di mana aku terdiri, di sana ia berdiri
cinta bersunyi-sunyi
bercengkrama di jiwa ini
lafal izmud zat puji salat hatiku
bertajali tiada bertempat
ke mana wajah menghadap
di sanalah kiblat
mengiringi penyaksian sejati
di awas-nya menyelimuti segala sesuatu
terbukalah kunci makrifat
syahadat terdekat
jalan kutempuh puji ya-hu
aku mati dalam hidupku
mengekang segala nafsu
tasbih hati berputar daim
antara alif nun dan mim
terangnya adzim, hakim, karim
kitab tubuhku, kubaca yakin
segala yang hidup tunduk dan bertasbih
Jakarta, 13819
ILYAS YAKUB PAHLAWAN ITU
Romy Sastra
di negeri yang dingin asam kumbang
aku merenung pada sejarah yang panjang
sejarah bangsa di jejak putra bayang
terbujur di hadapan mesjid raya kapelgam
dipindahkan ke tanah kosong
jadi makam pahlawan, kau pahlawanku
di negeri yang sunyi asam kumbang
lahir dari rahim pertiwi cikal bakal pejuang
mengusir penjajah dengan torehan tinta
bergerilya di tembok pengasingan
seorang pahlawan
pahlawan itu, ilyas yakub
di negeri yang damai tuan dibuang jauh
dari bumi mandeh ke boven digul
hingga australia dan pulau semanu
sampai labuhan brunei
demi cita-cita kemerdekaan bangsa
kasih terberai
di antara benua, pulau dan semenanjung
kidung kampung tak lagi mendayu
demi indonesia merdeka
memilih mati di medan jihad
untuk negeri tercinta
kau pahlawanku ilyas yakub
serunai memanggil di malam hari
ayat-ayat kemerdekaan dikumandangkan
perjuanganmu membawa warta ke angkasa
jadi jurnalis bangsa
nisanmu tak kami abaikan
karena jasamu kau dikenang
setiap tahun
kami taburkan kembang setaman
mewangi sepanjang sejarah
tenanglah di pembaringan
damai di haribaan
sejengkal tanah merdeka
untuk Indonesia
Jakarta, 11819. 17:49
CINTAKU PURNA
Romy Sastra
menemui kekasih terjauh
sebelum liku dituju di ranah lelaku
dan tak kujumpa jalan ke indraloka
mata tergoda kemala di lekuk paras juita
masih samar penglihatan
mendatangi kekasih terdekat di adiratna sukma, bersanding di pelaminan hati
membuka tabir dunia yang tersimpan sebelum aku ada, duhai adiratna yang tenggelam di telaga biru, sahaya menujumu membawa rindu, ya rabbani? terimalah salam ini, aku mencintaimu
hasratku bersimpuh atas nama cinta
yang dipuja di dada candra, dan ku pulang setelah fajar tiba membawa sebait doa
dari perjalanan mati sesaat pada makrifat
cintaku purna di mujahadah jiwa
bersaksi di tongkat alif berdiri
Jkt, 9819. 19:12
AKU HERAN
Romy Sastra
aku heran pada diriku
yang tak tahu di untung
sifatku kurang ajar seperti setan
apa yang kulakukan tetap kelihatan
engkau selalu tersenyum
tuhan maha penyayang
aku heran pada mataku
memandang tak karuan
padahal di mata menyimpan zam-zam
tuhan tak menutup penglihatan
menatap keindahan ciptaannya
si mata jalang tergoda
aku heran pada hasratku
yang tak selesai meminang rasa
tuhan memberikan aku nafsu untukku puas menikmati cinta
hidangan syahwat di mana-mana
aku heran pada dosa-dosaku
dosa yang sudah membuih
lebur seketika memohon ampun
tuhanku, betapa besarnya ampunanmu
melebihi besarnya arasy
aku heran pada doa-doaku
kenapa tidak?!
setiap pinta sudah dulu diberi
engkau selalu menyuburkan pohon-pohon meski yang kutanam di padang tandus
aku menampar wajahku
berharap sadar terbuka di setiap langkah
aku mencambuk lisanku untuk selalu beristighfar
di setiap kata terselip salah
aku bakar rumahku dengan satu pelita
lalu, kuhanyutkan pelayaranku ke samudra terdalam
jiwaku karam, karamlah... tubuhku gemetar
maha megahnya mahabbah
makrifatku purna
Jkt, 030819. 15:44
BELAJAR MATI
Romy Sastra
merenung sepi bukan patah hati
diam tafakur mencari diri
duduk bersunyi-sunyi di malam hari komat-kamit menghitung tasbih menempuh pagi
merenungi kejadian azali terjadi
tuntunan tauhid di atas tiang-tiang berdiri
pada alif berguru tongkat sejati
duhai hati si pengembara sunyi
menatap malam bermain kelam
membuka pintu-pintu langit
bulan, bintang dan seantero galaxi
tak pernah tenggelam bersemayam
semuanya bertasbih
seribu guru kupelajari memungut kebenaran
guru-guru bertaburan di setiap langkah
aku diam mencari dian
untuk taat tak ingin tersesat jalan
aku menangis tak ditemukan yang dirindui
kucabut belati kutikam ke nadi
kuraih trisula menusuk basyirah
kupanah sasaran di ujung medan
lalu, pertikaian itu karam
samudra biru menenggelamkan istana pongah
yang hidup meronta-meronta
panas, panas, panass....
sesaat terdesak dalam perang bratayuda
si pongah kalah
si pasrah meminang piala dari pahala yang dikumpulkan di medan takwa
belajar mati mengenali sakaratul maut sedangkan el-maut tiap hari mencibiri diri
nyawa 'kan direnggut
aku masih saja lupa tentang kematian abadi
padahal tangan el-maut tiba-tiba datang mencabut
tersesali dalam ratapan bisu
mati dalam sepi menyadari kekhilafan duniawi
dalam kesunyian diri menemui kekasih
aku dapatkan wajah kekasih pada perjalanan mabuk
ternyata wajah kekasihku bukan wujud
melainkan idzati
menempuh singgasana di kematian tajali
Jkt, 030719
SIPEMUNGUT NASIB
mari bertanding ke medan laga
sebelum tombak menikam jantung dada koyak,
dan jangan pasrah!
barangkali pacuan kita ukur panjangnya,
adakah lobang menganga di depan mata?
duhai si pemunggut nasib di setiap langkah,
pahami jerih mengucur jernih
rasa dibawa-bawa.
pulanglah jika sudah dapat yang diinginkan,
kenang-kenanglah kematian.
HR RoS
Jkt, 19919
SETIA
cinta yang kusuburkan di tanah rantau, sebelum musim berputik, kampung halaman tumpuan
di mana dulu, jejak kanak-kanak kulukiskan semenjak darah tertumpah di rumah tua, aku digadangkan
dan aku bukanlah batu yang jatuh ke lubuk, pada riak di atas telaga, bayangan menari
aku terbiasa menantang gelombang
meski layaran diamuk badai
ah, tak mengapa
aku berterima kasih pada terik yang mengajarkanku pulang mengikuti bayangan
rindu yang kupupuk tak berbenalu
selalu segar dalam ingatan.
aku berterima kasih pada kekasih yang memupuk cinta penuh perjuangan
tak sia-sia suratan melahirkan kenyataan.
aku berterima pada kebaikan alam yang menuntunku tak jemu di sepanjang kisah.
sampai kini aku masih setia
tongkat itu kubawa-bawa
HR RoS
Jakarta, 18919
SEMENANJUNG EMAS
Romy Sastra
leluhur itu tirani langkasuka
dan lembah bujang di kedah
beruas gangga negara di perak
pan pan di kelantan dan banyak lainnya.
nusantara adalah semenanjung emas
yang dijelajahi yunani akan dirampas
portugis, inggris, belanda, mencari rempah-rempah
dan menggali harta karun, dibawa ke eropa
petualang menjadi perang
ekspedisi membara
kau pahlawan patriotik bangsa
punggawa di tanah ibu
tak terima negerinya diserbu; mat kilau, tok janggut, dato bahaman, abd. rahman lombing, sarjan hassan, leftenan adnan
hingga tunku abd. rahman, berseru:
mari singsingkan lengan!
kita melayu, jiwa yang padu
..
leluhur itu tirani kerajaan purba
kandis, koying, salakanagara, tarumanegara,
kutai kartanegara, sriwijaya, pamalaya, pajajaran, singosari, majapahit dan lainnya
nusantara, surga yang turun ke dunia
dan mata jalang kolonial tergoda
mereka menjajah berabad-abad lamanya
patriot-patriot mempertahankan sejengkal tanah berdarah-darah
pahlawanku syahid di tiang bendera
ruh-ruhnya menguar di udara
generasi pekik merdeka, merdeka, merdekaaa...!!
nusantara itu kita, mari bersatu
takkan serumpun melayu ditipu hoax dan proxy
satukan cinta dalam puisi, kita bersimponi
Jakarta, 16 September 2019
DOA-DOA YANG BERTARUNG
Romy Sastra
aku berkelana ke lorong-lorong purba, lorong yang terpampang di ruang batin. kuputar waktu membuka tabir-tabir masa lalu ke lembaran buku
dalam catatan kitab-kitab tertoreh,
bagaimana syits penyambung generasi hitam putih mayapada, sebagai mandat adam jadikan khalifah, dan diintimidasi idajil menitipkan darah tirani lewat dlajah
tari-tarian itu sudah dimulai dari lembah gairah, sebagai manifestasi cinta yang salah
ah, manusia sudah mulai berfoya-foya
surat sakti kukirimkan ke tapal batas berdoa:
ya, ilahi. ampunkan kami yang lupa kejadian azali berjanji: sampai akhir hayat akan mengabdi
hu dzatullah,
bersyahaddah kalimah pada awas di awal kisah, dan doa-doa bertarung di kelip nebula, terciptalah cinta
ya, syahdu syahdan tarannum di dalam jiwa,
si fakir berzikir menatap mega yang pulang menemui kekasih meminta:
tangguhkan murkamu ya, ilahi. sebab, masih ada yang memujimu sebagai pengasih
fakir memohon pada dunia:
jangan lagi bermain hina,
sudah beberapa banyak khalifah diutus ke muka bumi sebagai pelerai murka
ah, negeri yang tercinta, generasi berlomba-lomba
puaskah kau perkosa ibumu
mari membujuk alam takkan gempa terjadi
sujudkan jiwa ini pada pencipta
biar kita tak terbelah-belah
lihatlah!
langit itu sudah memerah padam
roh-roh leluhur sudah berkeliaran mencari tongkat perjalanannya yang hilang di dunia
generasi dirundung bingung sehari-hari,
memikirkan untung rugi
aku tutup lorong purba di dalam jiwa, dan aku kembali membawa wasiat surat sakti yang dijawab: mari hindari jalan yang tersesat
kembalilah pada fitrah cinta sesungguhnya
jangan tertipu godaan dunia yang sesaat
Jkt, 25919
TAFAKUR
Romy Sastra
seberapa lama tarikh napas mengisi hari
seperti laju kereta api memintali besi-besi
platform-platform disinggahi, lalu pergi
semenjak roh bersaksi akan mengabdi
dari azali hingga kini dan nanti
sadari, bahwa ia selalu memuji
pada denyut nadi tarian sembah ilahi
jantung dan hati saling bernyanyi
lidah gerbang khalifah jangan kotori
jika tak ingin tersesat jalan
mata yang indah penggoda
jangan buta!
kenapa telinga tak mampu mendengar
apakah tuli?
dunia ini hanya igauan mimpi
tafakur diri sejenak mengenang akhirat
tersungkurlah menangis akan maksiat
jalan pulang kian sarat jangan tersesat
sedangkan matahari sudah rebah ke barat
ah, kiamat mendekat
Jakarta, 27919
INTROSPEKSI KEMATIAN
Romy Sastra
Nanti aku mati, kau juga mati
semua pasti mati
si pencabut nyawa pun mati
lalu, kita berpisah...
di mana?
Ya, di bumi yang kita pijak ini
sejengkal, sedepa, sehasta
di belahan dunia lain sekalipun
bangkai-bangkai berjejer,
menjadi debu...
Ruh hidup selalu
akan dipertanyakan nanti
pada kasta-kasta hina dan mulia
dalam genggaman-Nya,
apa bekalmu?
Hmm... aku pun bing
ung
apa yang kubawa
berharap pada amal, belum tentu ada
dosa jelas.
Dan kita pasrah, ya, pasrah saja
iman ikhlas menjawab semua itu....
Jkt, 26919
HARAKIRI RINDU
Romy Sastra
angin menitipkan warta pada merpati
bawakan setangkai rinduku ke beranda nona
berharap bunga-bunga kasih bersemi
meski tak tersirami
seringkali kau nyanyikan merpati pulang
ingin berkasih sayang
sayangnya,
sayap merpati patah ditingkah duri melukai
oh, nona...?
tabir gelap memori kita semakin terkatup
lembaran kisah di antara dua hati
tak lagi indah
janji yang dulu terpatri, kuiingkari saja
parung beo patah
daku yang tak mampu cabari kelam
tentang malam yang kau undang awan
bagaimana rembulan merupa?
nona...
aku sudah menjadi bangkai
cacian demi cacianmu menamparku
sorot matamu yang dulu mesra
kini menyimpan bara
tebu di bibir menjadi empedu
rinduku sirna
Jkt, 91019
FATAMORGANA
Romy Sastra
aku tuliskan namamu di atas pasir
meski riak menghapus seketika, setidaknya
tali setia telah aku ikatkan ke masa senja
dan warna itu lukisan di kaki langit timang-timang nebula
langit merona jingga kelam tiba
duhai putri malam kau pesonakan mata
mari berdansa di jamuan pesta cahaya
tak kupujuk kunang-kunang
yang kupetik satu bintang
datanglah!
putri malam
malam ini aku sunyi
merupalah walau sekejap saja
walau kedatanganmu hanya pigura
tak mengapa
aku menggilaimu seperti fatamorgana
aku hampa jiwaku patah, ternyata kau tiada
Jkt, 81019
TABAH SAMPAI BATAS
Romy Sastra
gosip itu seperti suara angin dan irama hujan nan menerpa diri pada ujian
kisah pun bumbu iman menuju perjalanan teruslah bermusafir!
meski jalan itu tandus dijalani
ketika langkah goyah dengan terpaan,
akan terjungkal di dahsyatnya angin
lalu, angan memintali kenangan
maka tersenyumlah pada cabaran!
'kan dipetik mutiara hakiki dalam kesabaran
jika tak mampu berdiri diterpa badai ujian untuk menjejaki perubahan nasib
hidayah tuhan takkan lari bermahkota pada jubah religi
sebab tuhan maha pengasih dan penyayang
ah, jangan bernyanyi di tepian pantai
jika riak datang tatapan gamang
biarkan langkah tabah sampai batas usia
Jkt, 61019
SEMBILAN MATA AIR
Romy Sastra
sembilan mata air mengalir
pada sumur-sumur memancur
jadi telaga syahdu menyemai kinasih
tentang daun yang jatuh satu-satu
meminum anggur kepahitan
sembilan mata air mengucur
menyambut musim gugur berharap subur
tatapan gelisah jiwa patah
di balik rumah mewah
tak bercahaya
sembilan mata air menetes
dibendung jadi taman-taman
ada satu telaga menyimpan makna
telaga batin tak basah
jadi saksi kehidupan nyata
sembilan mata air kering
tergerus kemarau di tanah rengkah
baju koyak tanah retak-retak
hidup sudah di ujung jalan enggan berdoa
gelas-gelas di meja kosong
tak ada penawar: gelas pecah
dan seribu sumur penawar umur
tergurat di tanah lapang
di mana syukur tak jua melihat ke badan
jalan pulang sudah terbentang
Jkt, 41019
MENGGAPAI BINTANG DI BALIK AWAN
Romy Sastra
Hidup bagaikan berjalan di atas lumpur
mengejar kembang teratai yang tumbuh di atas air, semakin melangkah, kaki semakin terkulai:
tongkat patah
Ingin memetik teratai indah
sayang akarnya
tak berpegangan ke dasar tanah
ketika banjir melanda
teratai tergerus ke muara
berpegang teguhlah!
Ah, musafir rindu di sahara tandus
obsesinya terkikis digerus nasib
mencoba menggapai bintang bintang malam
kelipnya redup di balik awan
Akhirnya, perjalanan malam itu terhempas di lingkaran kebimbangan
tentang masa depan yang abu-abu
jalan mana 'kan ditempuh
semuanya arah itu buntu
Senja silih berganti menyunting malam
Jakarta, 4 Oktober 2019
PESAN PERPISAHAN
Romy Sastra
tinta merah menggores resah pada diksi di kertas putih melukis hiba, kanvas-kanvas tua pudar warnanya, di peraduan hati tergores luka, aku terjaga. dan menoleh lembaran-lembaran memori, ada jurang pemisah pada nostalgia
kasih... aku tak mungkin menyulam kisah kembali yang terkoyak oleh ludah, rasaku hambar. surat yang kau berikan dulu telah usang dan berdebu, sampul surat biru berbunga mawar, bercap merah sebagai tanda kecupanmu terhapus sudah, aku terhempas ke dalam luka setelah kau bersamanya. tinta terakhir ini kupersembahkan ke dalam syair memadah rasa yang teramat kecewa
ah... aku mengutuk janji yang pernah kau patrikan di dadaku, pantas saja detak-detak jantungku dulu tak seirama bernyanyi, isyaratkan kau akan mengingkari telepati, ternyata itu terbukti kini!?
aku yang selalu melukis wajah rindu padamu telah berakhir pilu, ter-iris sembilu.
diksi rasa cinta yang dulu kuungah tak lagi indah, aku tutup saja lembaran buku padamu, karena hatiku telah beku. ah... aku tersalah membimbing masa depan untuk satu hati yang khianat, kau tak mampu memelihara godaan sesaat
"oh... nona, pergilah bersamanya, dan berbahagialah dengannya!"
bila suatu masa jalinan kasihmu tak setia, dan bernoktah cinta yang sah di depan penghulu, setumpuk perjuangan menjadi sesalan jangan teteskan air mata! jadikan kisah hidupmu pelajaran, kau nikmati sajalah derita itu!
sedangkan kisah kita telah usai, biarlah impian dan harapanku terbengkalai pada kasih yang tak sampai, daku tetap meraih obsesi dari sebuah mimpi yang tergadai.
"duhh... taman khayalku sudah tak lagi merindui, cintaku sudah padam, hatiku pualam, dan kau telah menjadi mantan...."
Jkt, 3 Oktober 2019
PURNAMA TERTUTUP AWAN
Romy Sastra
dari jauh aku menyisir pasir
lalu, ombak memanggilku menari
riak menepi
aku mencari mamiri bersunyi-sunyi
mengajakmu bermain di pucuk perdu
jalanku sudah terbentang
sambutlah jemariku sayang
jangan menjauh
bunga yang kuhiasi sudah layu
musim semi akan berganti musim gugur
mamiri yang kudamba akan pergi ke barat
aku tak ingin pulang sebelum putik berbuah
satu hati telah tersurat di dadamu
kenang-kenanglah kisah
dan kini purnama tak lagi kujumpai
di setiap malam membawa rindu
barangkali kisahku kau sunyikan
menghilang ke puing-puing berdebu
aku terdiam
duhai yang kupuja
aku ingin mengawinkan dadaku ke dadamu
sampai aku tak sadar diri dengan cinta
sebab, ikrarku sudah terjalin di batin
jangan hari-hariku kau buat dingin
mengertilah!
ah, malamku benar-benar tak lagi berpurnama
wajahmu tertutup awan
aku gagal menuai kisah yang sempurna
Jkt, 30919
INAI YANG LUNTUR
Romy Sastra
sebelum sejarah tercipta ke dunia
cinta lebih dulu ada
suratan berpadu
di telapak tangan ditorehkan perjalanan
dan garis-garis hidup meliuk
dicatatkan ke dalam kanvas rahasia
lalu, cinta dipertemukan
kita menikah
pada noktah di depan penghulu berjanji;
untuk setia sampai mati
ternyata bara membakar rumah tangga
siapa yang salah?
siapa tergoda?
tanya aroma tubuhmu
tak lagi beraroma rindu
janji daun untuk setia pada tangkai
tak lagi bisa dipertanggungjawabkan
sepoi angin merayu matamu
ranting kerontang di bumi yang tandus
tunggul sarat melapuk
inai yang dulu dilukiskan di tangan telah luntur
padahal, doa-doa malam di atas sejadah
selalu kupanjatkan untuk tetap setia
kini terhempas sudah
kau tergoda pada bunga-bunga bangkai
dan mataku telah membusuk
pada aromamu yang terkutuk
kenapa masih saja sok suci?
kau memilih bahagia di jalan bernoda
pergilah jika itu maumu!
Jkt, 301019. 19:40
PERSEMBAHAN
Romy Sastra
merdunya suara genta bajre puja trisandya
diiringi kokok ayam jantan bersahutan
menyambut indahnya cahaya dihyan
titipkan adyatma ke persada
di pagi itu,
asap dupa menembus kosmik dewata
di tubuh bumi berbalut kebaya anggun
adiratna bersyukur pada tuhan
warna bunga-bunga segar di canang sari: merah, putih, kuning, hitam persembahan kepada dewa maha dewa, brahma, wisnu, iswara. barat timur utara selatan
suatu kearifan religi yang tinggi
mengandung tantra agung
adiratna menyapa pagi
seiring doa membubung
cinta, karma, bahagia berpalung
Ubud, 261019
catatan:
Genta bajre sebagai alat untuk mengiringi puja trisandya.
Puja trisandya adalah mantra dalam agama Hindu dilaksanakan untuk persembahyangan tiga kali sehari yaitu pagi siang dan sore hari.
MERINDU
setidaknya ada harapan setiap pagi
meski rembulan tak sempurna menerangi malam
berjalanlah ke arah sujud
yang memancarkan kilauan di setiap tahajud
istana raja selalu terbuka
masuklah dari segala pintu
kan didapatkan sinaran cinta
lalu, aku merindu
Romy Sastra
Ubud, Poetry Garden 24 Oktober 2019, 17:37
DICUMBUI BAYANGAN
Bayangan silam mewujud malam
aku dikenang rindu pada yang hilang
tentang kau dan aku
pernah bercumbu berbuah malu
kenapa dikau tak menyapa lagi?
Kenangan sekilas jadi bias
takkan bisa jejak yang hilang dicari
sebab, layar telah dibakar emosi
Semuanya telah berlalu
ia yang kembali pulang
ke peraduan masing-masing
aku menunggu fajar
terangi langkah ini
Ah, bayang-bayang
usah lagi bersamaku
aku mengejar nan tertinggal
pada impian realiti
bersama yang terkasih
HR RoS
Jkt, 181019
DAULAT TUANKU RAJA-RAJA SENUSANTARA DARI SASTRA MAYA MENYAPA
Romy Sastra
Khayal membubung tinggi jauh ke balik awan
malam melukis candramawa tak ada kilauan
siang tadi matahari terik membakari, ladang-ladang kerontang
"Aku membaca perihal takhta di negeri antah berantah, negeri yang dipertuan agung tirani history"
Pada sebuah amanah;
rumput-rumput di balik tembok istana gemulai menari
di dalam istana tirai permaisuri berkilau kaca
pigura klasik menarik di dinding mewah
potret-potret tetuah raja tersenyum gagah dibingkai berhias permata
Kelambu berpayet eksotis beraroma kesturi
si permaisuri bersolek glamouris
seperti bidadari-bidadari cantik
bak bunga mekar di kala senja
Panji-panji berkibar di seantero negeri
lambang patriot jati diri istana
singgasana melukis aksara sangskerta
pada relief-relief kejayaan tempo dulu
raja tersenyum indahnya mahkota di kepala
Ah, lamunan tuanku nan berbudi melaju ke balik awan, memikirkan nasib hidup rakyatnya yang kian tersisih tak dihiraukan
Yang dipertuan agung daulat tuanku
seperti masa bodo saja
keringat rakyat menjadi warna darah
adalah sudah hal biasa
Dan rumput-rumput hijau di taman hati
di beranda istana menari indah
seperti kembang mekar tak jadi
dipagar kawan berduri
tak tersentuh si kumbang janti
Rumput-rumput ilalang meradang
berharap tetesan embun tak kunjung datang
ingin disapa telapak kaki penguasa
burung-burung kenari berkicau elok
iramakan melodi cinta
dalam alunan kesadaran rindu
dari perjamuan takhta tuanku yang seronok
Pada negeri seribu budi bernyanyi
memandu indahnya kemesraan
nyanyian melodi surgawi
yang hidup di padang ilalang
gersang selama ini
tak mati dibakar matahari
wahai yang berpesta demokrasi
Wahai yang mempertahankan takhta tirani
Cucurkan rasa cinta itu buat kami
meski tak kau bawa emas berlian
melekat di tubuhmu tak kau bagi
kami tak meminta kilauan permata
yang kami inginkan tunaikan janji
amanahlah jangan korupsi
jangan jual negeri ini!
Hormat untukmu paduka raja
yang kami butuhkan kini
senyuman mesra dari paduka raja
bertaut menyapa bersama rakyatmu
berkelana jauh ke beranda marjinal
dari megahnya istana itu
kami ingin kemesraan
langit dan bumi berpadu
seperti hujan menyirami alam
Dalam diksi melodi sastra lara
kufiksikan khayal ke istana nusantara
bumi pertiwi titipan Ilahi, berbagilah!
Dikau raja berjubah setengah dewa
syair ini kupersembahkan suatu kekaguman
dalam madah menyapamu dari Jakarta
untuk sang mahkota di mana saja bertakhta
Jakarta. 21-2-2016
MONOLOG NASIHAT DIRI
Romy Sastra
kicauan nan manis bak burung bernyanyi
tak berparung memaksa bersiul
khutbah terhormat seperti dewa mabuk
jubah yang indah bersolek duniawi
sayangnya tak bermaruah pada langit
mengintip cinta di malam hari
bagaikan kunang-kunang menari
melayang, kelipnya seketika padam
di mana rindu bersembunyi
sedangkan ruang diri tak pernah dibuka
yang ada kelam
terpesona saja pada godaan
biarlah hasrat impian terkikis
dibawa debu-debu berterbangan
relakan melepas kepalsuan rindu
lebih baik berkubangan dalam lumpur hidup
menatap kesucian
mencoba tak jahat pada kenangan
rasa nan jujur guru batin pada diri
menyilam makna jiwa yang suci
membuang jauh-jauh prasangka buruk,
tak membuat cela
hidangkan seuntai sajak semoga dicerna
berharap tak dicampakkan begitu saja
uhh... jangan sia-sia beo berkicau
kepada si dungu memamah bisu
lebih baik berkaca pada malu
tak rusak sejarah ditorehkan
kenapa ego diri bagai resi dewa dewi
seakan sabda merasa telah fitrah
percuma terlahir jadi manusia
jika aku tak mampu memahami arti diri sendiri
hanya setetes darah hina yang dibanggakan
itu pun tertitipkan sementara
ohh, diri
diri seakan alimin
berkopiah tak bermahkota ilmu
beriman tapi tak yakin
ohh, dungu
diri seakan halimah
tak bertudung tiada malu masih sok tahu
uhh..., berilmu tak berhikmah
berpayung tak berteduh
berharta tak bersedekah
bersedekah tapi tak rela
memberi selalu pamrih
berwibawa gagah tak berkharisma
cantik rupawan tak menawan
hidup tak bertujuan lunglai di tepi jalan
makan lahap tak kenyang berserakan
beragama label indentiti semata
berilmu tak mampu mewejang aksara
meminum tirta kalimah tak bertuah
selalu dahaga,
beribadah seakan sudah tahu jalanya surga
aahhh..., nistanya
berlayar tak berdermaga
terombang-ambing di segara gamang dirasa
mendaki seakan tahu makna ketinggian
berjalan di yang datar tersandung
kesakitan
mengalir air ke hilir tak ke muara
berkaca diri tak nampak rupa
terkilas wajah di cermin yang retak
diri bodoh seakan paham rahasia hati
duhh, diri
ke mana lara kan dibawa
sedangkan sakit sedikit saja menangis
tersenyum tak merekah
tertawa miring raut wajah melukis hiba
berpikirlah sesaat duhai diri
karena berpikir lebih baik daripada beribadah berpuluh-puluh tahun lamanya
biar tak tersesat jalan
semoga dewasa diri dalam kearifan budi
arahkan langkah ke suatu tujuan!
biar tak sia-sia hidup dalam perjalanan
seyogyanya, memahamilah dikau diri!
walau sekejap saja
'kan didapatkan seribu makna
Jakarta, 161019
SANTRI MENCARI CINTA
Romy Sastra
Perjalanan malam
menempuh lorong-lorong batin
duduk bersunyi-sunyi melipat langit
menyendiri tafakur bertasbih syauq
asyik dimabuk tuak Ilahi
"Ya, mursyidku? Tunjukkan pikirku pada jalan keselamatan! Biarkan nafsuku terpenjara suci."
Mursyid tersenyum seindah permata
"Duhai yang berkepala batu? Menunduklah ke telaga cinta! Akan luruh segala noda yang bergayut di dada."
Lalu, langit terbuka, bulan, bintang, matahari, beserta kosmik berkoloni di dalam diri
kelap kelip menyinari
"Berjalanlah kau santriku di bumi Allah, tempuhlah pahit getirnya hidup ini dalam ibadah! Sedangkan dadanya kau pijak tak menjerit, pasrah."
Aku pulang berenang di sagara jiwa bermusyafir di sahara mencari cinta
berkelana di rimba raya tak kenal lelah.
Sadarku,
duduk pada makrifatullah memang indah.
Jkt, 141019
MILIKI AKU CINTA
cinta? matamu jelita
pesona sekuntum bunga
mahkota tergerai merayu
suaramu gairah
bagai seruling lenakan sukma
bibirmu menawan: aku tertawan
cinta? jangan gelisah
peluk aku rindu
sekali jumpa tak ingin pisah
ikatkan hati di janjian noktah
miliku aku cinta; kita menikah
cinta? jemari bersulang
di tilam permadani
mari berkasih sayang
seberapa menit tak lama
aku memilikimu selamanya
HR RoS
Jkt, 131019
RINDU YANG TAK KEMBALI
Romy Sastra
Untukmu kenangan yang terlupakan, senandung rindu merayu, kisah yang pernah bersemi telah padam. Lembaran usang berharap jadi bahagia, menggoda rindu kembali. Pernah sesaat berkasih sayang di tengah jalan kisah terkhianati berbuah kecewa. Di peraduan sajak senja merona, kugubah suatu puisi pernah kunyanyikan di pentas kekasih, di dalam hati sang kekasih yang tersisih.
Di jalan memori aku berdiri kini, khayal lenyap menatap sekelabat bayangan abstrak, seketika pergi meninggalkan tanya. Adakah pertanda rindu masa silam datang kembali? Aahh, paranoid, kenapa tak pernah hilang?! Sedangkan mimpi telah berlalu, ilusi kisah yang menyedihkan pada suatu pilihan di persimpangan jalan bisu sudah, meninggalkan kepedihan luka tak berdarah tentang cinta setengah hati terbagi antara harap emas dan suasa.
Risau mendera menatap kisah terkubur dalam peti terkunci mati, rindu di antara rasa menyapa pada lamunan sunyi terasa semu disemai sepoi mamiri, rindu ternyata tak kembali.
Pada kekasih yang dulu terjalin janji untuk menoktah ikrar hati sampai mati hingga ke nisan tanah merah, jejak-jejak tinta kususuri tak lagi tampak pada jalan testimoni maya mencari rupa cinta, karena tertutup kabus pekat di dinding kebisuan. Rindunya pun tak pernah beri kabar lagi. Apakah ia telah pulang selama-lamanya menghadap Ilahi? Ataukah sudah bahagia bersama kehidupan yang diimpikannya pada kilauan emas, di ranjang bersulam sutra bertilam permadani, mencampakkan suasa tak berharga lagi?
Mmm ... biarlah rindu tak kembali, jikalau harap terperap berbuah senap. Ya, jalan memori itu kubuka dalam lamunan tiba-tiba. Bahwa satu hati pernah kecewa, meski pintu maaf selalu diberi, tak jua menjadi penyelesaian konflik perasaan pernah terjadi. Kau di mana kini kekasih....?
Testimoni potret kisah nan lara,
jadi sinopsis kecewa
Jkt, 121019
MENYIMPAN BARA
Romy Sastra
rempah-rempah dimasak setiap hari
di meja makan piring-piring berbisik
aroma sangit menusuk hidung
dari mana masakan itu?
lalu, sepucuk surat diedarkan
tertulis berita satire
yang dimainkan penadah kata
tentang lidah api; menyimpan bara
didih mata air di hulu
sebelum angin mengirimkan isu
jari-jari cekatan membungkus kado
yang akan dibagikan; tentang hoax
kado dibuka mata terbelalak
kesumat itu tiba
ranah ditikam ketakutan
kebencian dijual; cerca-cerca merajalela
Jkt, 111019
TERIMAKASIH CINTA
Romy Sastra
Sedari dulu, aku bertahan atas keyakinan, meski selalu dirundung kegagalan. Setidaknya bersabar menanak rasa menunggu jawaban, dan mencari obat dari rentetan luka tak berdarah. Seluruh pengabdianku bisu, aku tumpahkan ke dalam nampan kerinduan yang tak berujung walau itu hampa. Lalu, aku mengenali pesona cinta tiba di mata melahirkan makna. Pada suatu kesempatan dalam perjalanan, aku memuja kelopak dan tergoda, pilihanku jatuh pada bunga senja. Bunga yang ranum kupuja-puja, kupupuk selalu di halaman hati, sampai bermimpi-mimpi. Dan kelopak itu semakin berwarna di ketinggian.
Siang malam aku menyapa rindu, berharap bunga mekar selalu. Kini aku terjaga dari mimpi panjang, bunga yang kupuja-puja pagi petang bermain sayang telah menjadi bayang-bayang. Sadarku, aku tak sebanding bersanding memiliki cintamu bunga senja, atas dasar ketidaksempurnaanku jauh dari hidup mewah.
Aku tak dendam pada kepura-puraan yang disimpan-simpan selama ini. Kau palingkan jalanku di persimpangan. Meski ikarku sudah kupatrikan padamu tak akan bercinta lagi. Seandainya nasib tak berpihak padaku, kau memilih mundur mencari jalan yang lain, berbahagialah dengannya, doaku paling tulus sudah aku persiapkan untukmu.
Atas ketidaksempurnaanku yang tak punya apa-apa untuk bisa dibanggakan, aku miskin di segala bidang. Pergilah menjauh demi kebaikanmu. Derajat kita memang jauh berbeda, tak akan mungkin suasa menjadi emas permata. Aku selalu belajar mengais harapan di sisa waktuku yang purna, biarlah aku berjalan di titian sendirian, setelah dian kau padamkan menambah keterpurukkanku menerangi cinta di dadamu yang tak senada.
Terima kasih cinta, kau pernah hadir mengisi ruang hidupku yang sepi, kenangan denganmu aku rawat sampai mati, dan kau kini telah menjadi bunga-bunga mimpi.
Jkt, 11119
LEMBARAN BUKUKU BELUM HITAM
Romy Sastra
mengejar impian memasuki taman bunga, dan kudapati warnanya. pada suatu kesempatan, aku bertanya perihal cinta yang subur di kata-kata. lalu, rindu menjelma seperti dipaksa. rindumu bagai pelengkap bumbu masakan, kenapa hambar kurasa?
cinta yang kau tawarkan setengah hati telah kau bagi. ah, sakitnya ditipu cinta yang tak senada. aku memilih mengalah bukan kalah, memilih pulang dari petualang yang sia-sia, memilih diam setelah operamu terbaca, lembaran bukuku belum hitam.
Jkt, 181119
AKU MATI
aku sunyi
dalam ruang berbincang sendiri
tentang diri
aku hening
dalam diam bertarikat
telah kuhimpun syariat
aku sekarat
dalam jarak yang terdekat
mengenali hakikat
aku mati
telah sampai hajatku
bertajali, makrifat ilahi
dan aku kembali....
Romy Sastra
PDS HB Jassin, 21.11.19
JALAN YANG BERSIMPANG
setelah kepergianmu, kau memang tak menoleh lagi ke belakang. tentang apa yang kau tinggalkan dalam bentuk kenangan. semuanya sudah hilang dalam ingatanmu barangkali? aku mencoba tegar untuk tidak menjadi seseorang yang misoginis.
kepedihan itu menjadi Kesedihan yang sunyi, tentang luka ditorehkan ke dalam kata menjelma jadi bentuk pengkhianatan, dan aku mencoba terus mencoba memahami akan sebuah pernyataan, "aku bukan yang dulu lagi yang kau cintai, dan sekarang adalah berbeda" katamu, itu sakit. apakah aku dendam? tidak...! aku tak semudah itu menghancurkan kenangan. sulit memang melupakanmu, tapi aku mencoba membiasakan diri untuk sadar dari ketidakberdayaanku, apa itu cinta?
ah, cinta. ah, luka. ah, kenangan. semuanya menjadi racun. aku yang tak tahu diri meminta secawan madu atas dasar kedahagaanku, berkelana menyisiri labirin-labirin hati untuk kumiliki yang sempat bahagia bersamamu walau sekejap atas harap yang semu. aku benar-benar terhempas setelah keputusan kau beri, yang kita tak lagi sepasang kekasih. pedih memang, tapi aku mencoba selalu mengerti, ternyata aku hanya persinggahan dari hatimu yang gelisah akan cinta dan masa lalumu.
kau membuat keputusan, jalan itu telah bersimpang, dan aku pulang dengan hati hampa. pahamilah!
mendung tak selamanya kelabu....
Romy Sastra
Jkt, 21.11.19
MENYENTUH MAHA JIWA
Romy Sastra
kunyalakan lilin di telapak tangan berharap hangatnya menyentuh badan. lilin kian mendekati kulit, lenyap jadi leleh dan aku terbakar menahan sakit.
sakitnya dibakar api dunia tak seberapa masih ada obatnya. sedangkan api neraka jauh lebih pedih dari seribu lilin yang menyala.
kunyalakan pelita di ruang batin berharap kelam bercahaya. picingkan netra sekejap dan bayang-bayang menghilang yang ada terang.
dzat melahirkan sifat di tubuh bersatu di dalam rasa, asma merupa di seantero cipta, af'alku menyentuh maha jiwa tak tersentuh tapi terasa, dialah maha jiwa yang selalu ada, di mana syahadat telah dilipat ke dalam makrifat, aku fana.
Jkt, 20.11.19
MENCINTAIMU SEGENAP JIWA
aku mengagumimu bukan hanya lewat kata-kata, melainkan sebait doa.
aku memanjakanmu dengan tulus, tak menghinakan rasa pada nafsu yang haus.
aku mengejarmu penuh keringkat, berharap ikhtiarku sampai di tapal batas keberhasilan, meski terasa penat.
aku memilikimu tanpa syarat, selain kau iyakan saja pinangan hatiku dengan niat.
aku memelukmu dari jauh, rasa yang kurayu
tentang cinta, mencintaimu segenap jiwa.
aku ingin kita bersua dan berdua saja, di mana cinta bercumbu, kita memetakan rindu selama ini.
aku butuh dirimu dan selamanya
hingga tak ada yang bisa memisahkan kita
percayalah, aku kau berbahagia
Romy Sastra
Jakarta, 25.11.2019
Langganan:
Postingan (Atom)