KESUMBA LIAR
kesumba mekar di taman tak berpagar, satu warna ungu dipungut liar berhias di jalanan. lalu terkurung sunyi dalam sangkar emas, adalah kau puan dipingit nafsu dan materi, asyik diterkam buas tak sadarkan diri di jalan buntu. pada akhirnya kesumba liar pudar warnanya
Romy Sastra
Jakarta, 1 Juli 2022
POTRET
kuas berdansa di atas kanvas untuk seraut wajah berwarna memerah saga, adalah murka durjamu pada kecewa yang purna, dan terbakar sudah rembulan itu
Romy Sastra
Jakarta, 1 Juli 2022
FRAGMEN TUBUHMU PAYAKUMBUH
tubuh menjulang rawa bergoyang adalah partitur kaba bersilang sejarah purba. si tukang madah menguak sunyi torehkan epik-epik liris menuju perjalanan waktu. kemajuan payakumbuh tumbuh berbakti pemuda-pemudi tingggalkan negeri menyauk bako di tanah tak bersako bertualang. jejak sebentuk tiang-tiang pancang berpanggung atas perjuangan, seiring kultur adiluhung subur di bumi minang: ya, payakumbuh
pada bingkai sejarahmu, nama berhias di catatan tambo, lingga pahlawan disematkan di tugu kota, ornamen pejuang itu memanggul senjata dengan sebatang bambu runcing menukik memekik bisu dari kesaksian pertempuran "situjuah batua jasad takubuah" aroma darahmu anyir menghilir mengalir pada bibir generasi membangun bangsa ini: indonesia
lebam mata berkubang lumpur, engkau yang kesepian menyapaku. sebab pikuk menyuram di taman-taman sembunyi kota berdongeng. sedangkan detak jantung berpalung bertarannum di nisan atas nama pahlawan. ya, engkau gugur pejuang, dan generasi yang terbangun menyingkap tabir pahlawan. betapa seranah sejarah sebagai pelita menuju payakumbuh bertuah setumpuk galamai berdansa di lidah, luka dukamu seroja: payakumbuh, denai bermadah
membaca tubuh tugu payakumbuh di atas kesetiaanmu pada laju republik berdiri tak berkabut, dan gunung-gunung di sana menutup pandangan sandal jepit menatap purnama di malam hari, mata taklah kesandung mengejar teknologi mengajarkan futuristik
aku runduk diam merenungi sejarah silam, payakumbuh sedari dulu dan kini telah menjadi kota kosmopolitan
Romy Sastra
Jakarta, 23 November 2021
TARIAN SUNYI UNTUKMU BATURADEN
dan aku tak berkemah di wajah yang ranum, kisahmu purba baturaden. kubaca ulu sejarah di lembar android. sebab kakiku berpilin di tanah licin tak ikut berkamping. izinkan madahku kirim tuan puan. aku merapal sajak di bulir riak yang menganak, kepadaku budak alit mengayuh periuk tak berkuah dan berkisah:
pada kedasih yang mencumbui pagi menggeming hari menatap hijau pegunungan, daun merimbun impian. suara karib kuda memanggil suta dan pelana berkisah: ayo, mari berlari dan terus berlari lintasi kabut arungi belantara menyibak awan! pekik yang berpikuk dari kejauhan adalah suara ketakutan bidadari istana tersesat di hutan. seekor ular raksasa di dekat telaga hendak memangsa putri raja, suta siaga membela. ular mati seketika, kedasih membujuk kekasih di atas kesetiaan ilalang dikebiri kasta yang berpalkah
kusimpan rimbamu di balik bulak memori tak ikut menari di jejak sajak baturaden yang realiti. kelak kupijak jua bumimu banyumas menuju destinasi menguak kemistri: curug telu, curug bidadari, curug jenggala, curug bayan, lokawisata baturaden, pincuran pitu, baturaden adventure forest, kebun raya baturaden, taman miniatur dunia, dan telaga sunyi, sesunyi hatiku berkamping sendiri di mata puisi
Romy Sastra
Jakarta, 9 Juli 2022
KAU DAN AKU BATU
Sedari purba kau kira aku batu yang kau rasa beku, dan aku akan jadi abu di mata kamu. Lalu melebur humus di setiap waktu menyatu pada semesta, berkoloni bersiklus subur untukmu lelaku
Dan kenapa tak kau sadari? Batumu diliputi empedu tak kau kutuk. Ironis menjurus mabuk lupa, di mana sabda tak kau baca adalah petunjuk meluluhkan angkara di dada
Romy Sastra
Jakarta, 20 Juli 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar