Merawati May
ROMANSA CINTA
jangan kau datan
karena kelam pada malam
menyelimuti mata hati pada kegelapan malam
biarkan saja tatapku telanjang ; agar rinduku
tak terhalang, Kekasih
o angin,
singkirkan mendung
agar rembulan lepas kupandang
dan hujan, jangan kau percikkan air cintaku
agar hatiku tak tersaput mendung
maka, biarkan sajak-sajak
meraih diksi, agar syair pujangga mencatat arti cinta
pada bait kalimat yang mengitari hatiku
maka pada dendang cinta ini, kunyanyikan tembang asmara, yang mengalunkan lagu asmaradahana
untuk menghabiskan malam
dalam nada-nada romansa cinta
Bandara Sukarno Hatta, 1 Juli 2022
SEPI
Merawati May
Tak ada sketsa
Hanya air mata
Tubuh terbelah
Tak terkenali wajah
Dalam gelap memahat luka
Hancur
Lebur dengan tanah
Di luar sana
Mereka asik bercengkrama
Tawa
Menyayat sukma
Merobek karpet merah
Sedang aku
Hanya punya sepi
Sendiri
Menepi dipinang sepi
Bengkulu, 2022
KESENDIRIAN
Merawati May
Aku adalah kesendirian
Di dalam bait bait yang telah patah
Kerinduan adalah lagu keharaman
Karena sang purnama telah meredupkan sayapnya
Akan kubawa hati menepaki jejak jejak sunyi,
Dalam kekalahan
Dalam kekalutan
Kisah yang berharap indah
Tengelam dalam surutnya kenyataan
Riau, 2022
TENTANG RINDU
Merawati May
Pagi telah pergi
Matahari tak bersinar lagi
Entah sampai kapan mengingat dirimu
Kuhanya diam...
Mengengam, menahan semua kerinduan
Memanggil namamu di setiap malam
Ingin engkau datang dan hadir
Di mimpiku, duhai rindu
Dan waktu kan menjawab
Pertemuanku dengan dirimu
Hingga sampai kini
Aku masih ada disini.
" Dan bayanganmu akan selalu bersandar di hatiku.
Janjiku pasti kan pulang bersamamu "
Riau, 2022
RAHASIA DI BALIK CERITA SILAM
Tersirat makna di atas lembar kanvas silam
Debur ombak menghantam kerasnya hamparan batu karang
Kugoreskan syair aksara nan kelam
Pada ratapan diri dalam riuk lirih yang terdalam
Asa menimpa dalam bahasa hati
Terkurung di jiwa pada adab tradisi yang tiada henti
Ingin aku menembus lorong-lorong sejati
Pada kuasanya aku hanya termenung dalam diam
kusapu kesejukan angin menerpa
Tertatap di netra hanya lalu lalang titik cahaya
Harapku indah penantian singgah
Kabut putih masih mendekap sepenuh jiwa raga
Berlinang air mata mengetuk pintu di kejayaan
Kunci-kunci setia masih membungkam di pertapaan singgasana
Pada sehujud sandi kebesaran di setiap penjuru yang ada
Nyatanya cahaya kisah hanyalah lambaian senyum ceria
Masih tersekat di sudut yang telah ternoktah
Pada perisai semboyan diri memenjarakan luhur budi yang tersisa
Akan sejarah waktu yang membuka segudang cerita
Kisah dilema jadikan kekuatan abadi dari setiap sisi sudut pandang.
Bercermin dari pahit getirnya perjalanan masa ke masa
Pada langkah tapak kesucian akan sehujud petunjuk jalan nan cerah
kupandangi pada setiap titik penghambaan
Menanti secercah cahaya suci dalam setiap sisi penjuru jalan
Pada tabir yang tertera
di balik rahasia masih tersibak rahasia
Akan kejernihan kilau cahaya anugerah
Padamu berikan kekuatan sejati dari rapuhnya di jiwa raga ibu.
Bengkulu, 21 Oktober 2021
TOPENG NEGERI ILUSI
Kembali mendewakan raga
Dengan sentuhan ilusi bergaris khayal abadi
Tatapan bertukar silang
Melempar nalar kumuh dalam tandusnya pandang
Sekumpulan bayang berbondong
Mengutarakan tawa paling benar
Menjiwai serakah yang melangitkan kasta
Menenun kabut hingga menenggelamkan mega
Pada bincang serapah
Putih tertunduk layu
Terinjak bualan kosong
Lahap butiran nurani
Hingga bersulang angkuh
Menjadikan congkak pada barisan bait-bait puisi
Inikah topeng negeri ilusi
Yang mana enggan memportal aral
Seni menjadi rupa para pesolek nista memperdaya ruh serakah akan tahta
Dan para pejalan yang singgah
Di antara dermaga maya
Angkuh melenggang anggun
Dewa dewi bergentayangan
Bermelek lincah laksana para penghuni surga
Yang lengser dari negeri kayangan
Dan perlahan sesak di mabuk zaman
Apa benar ini hanya sebatas khayal?
Atau hanya gurau kosong
Yang mengatas namakan sepi
Dengan pembodohan sebagai jembatan penghubung riba
Bengkulu, 21 Oktober 2021
DERMAGA HATI
Mungkinkah semua hilang
Cintaku yang tak bertuan
Dalam asaku berdoa
Kau mahligai cintaku
Mungkinkah kisahku ini
Berakhir penuh bahagia
Bila cintaku didusta
Hilang asa tanpa rasa
Di mana kau kini?
Dirimu oh kasih
Lelah hatiku terukir
Indah dalam majas hati
Cinta
Hanya sebatas nestapa
Letih naluriku berkata
Karena aku hanyalah wanita biasa
Kadang tegar, kadang juga rapuh
Seperti karang di laut lepas.
DERMAGA HATING
Merawati May
Apo mungkin segalo hilang
Cinto ambo idak ba lanang
Dalam hating ambo ba doa
Amban mahligai cinto ambo
Apo mungkin kisah ambo iko
Selesai dengan senang
Apo laing cinto ambo aban bohong
Hilang perasaan idak ado raso
Dimano aban kining?
Oh, aban kekasih ambo
Litak hating ambo nguki
Elok dalam kato hating
Hanyo sebatas nestapa
Litak badan ambo ngecek
Kareno ambo cuma tino biaso
Kadang kuek, kadang lemah
Macam karang di laut lepeh.
Bengkulu, 21 Oktober 2021
CATATAN :
Terkadang pertemuan itu membuat kita semakin dewasa belajar dari lingkungan yang ada.
Aku belajar banyak hal dari beliau yang selalu aku panggil dengan istilah abang Adri Darmadji Woko, beliau di mataku seorang guru yang bijak dan penuh dedikasi dalam berbagi ilmu, baik itu dalam dunia sastra maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Tak terasa alamanak berjalan sesuai dengan putaran waktunya, hari ini usia abangku bertambah satu tahun lagi.
Tak ada yang bisa may ucapkan untuk abang selain doa yang tulus.
" selamat mengenang hari lahir ke 71 tahun buat abang, semoga abang makin sukses dan sehat selalu"
#LoveMay
Merawati May
PERGI, PERGILAH DARIKU
*SENGAJA* kutulis surat ini, untukmu. Meski banyak hal yang tak terungkap namun dengan segala kekurangan harus kusampaikan kepadamu.
Dari catatan sejarah kebersamaan kita yang lebih dari dua tahun, aku lebih banyak menahan sabar. Mencoba untuk tidak melukai hatimu. Sebab sebagai wanita, aku berusaha keras untuk lebih menghargai perpaduan cinta kita.
Namun sejauh apa aku mencoba bertahan, ternyata luka hatiku semakin berdarah. Bahkan dengan jeritan hati yang dalam, aku semakin terbakar kepedihan.
Ah, betapa pedih dan sedihnya aku.
Namun lewat sehelai surat ini untukmu, aku mencoba menuturkan berbagai hal yang menggores luka di hatiku. Ini harus kusampaikan, meski aku sadari hubungan cinta kita akan berakhir saat ini juga.
Aku sadar, usiamu jauh berada di atas lapisan usiaku. Perbedaan itulah yang membuat aku harus menghormatimu sebagai kakak, ayah, atau orang yang dituakan.
Namun sejauh aku menerapkan etika kepadamu, kau menganggap semua itu tak ada artinya. Sekian tahun aku bertahan dari kepahitan rasa, hingga menyiksa perasaanku secara berkepanjangan.
Dalam suatu acara pembahasan sastra puisi di satu daerah di Jawa Tengah, beberapa teman penyair dan juga dirimu hadir memenuhi undangan itu.
Tapi sedikit pun tak ada kebahagiaan di hatiku ketika aku mengetahui bahwa kau juga ikut menyemarakkan acara pembahasan sastra tersebut.
Namun seperti yang sudah kukatakan sebelunya, aku masih tetap berusaha untuk menghargaimu. Namun betapa kaget aku, ternyata kau mengacuhkanku. Seolah aku merasa seperti sehelai kertas yang kau sobek dan dibuang begitu saja di jalan pedesaan di kawasan itu.
Betapa sakitnya hatiku. Namun sebagai seorang wanita yang patuh kepada etika pergaulan sosial, rasa sakit hati itu aku pendam sedalam-dalamnya di hatiku.
Padahal hatiku sudah cenderung luka dan memancarkan darah yang begitu parah. Dari tatanan yang menyakitkan inilah aku mulai marah.
Aku mulai bersikap ketus dengan memperlihatkan rona wajah yang tak bersahabat.
Apakah sebagai orang terdekatnya aku harus terus mengalah? Tidak. Itu tak harus aku lakukan. Jika tetap terus mengalah, harga diriku akan semakin terpuruk.
Aku akan bangkit dan memperlihatkan sikap yang antipati kepadanya," ujar hatiku dengan suhu kemarahan yang makin meningkat.
Perlu aku jelaskan, sudah sekian lama akan menahan emosi dengan sikapmu yang kunilai tidak dewasa.
Tentu saja, dengan selalu bertahan dan mengungkap nilai-nilai penghargaan bagimu yang sudah kuanggap sebagai kerabat sendiri itu, terasa begitu berat.
Sebab aku selalu menyisihkan hal-hal tabu yang seharusnya tak boleh kulakukan. Tapi karena aku sudah menganggapmu sebagai kakak (kangmas), maka ketika kau memelukku, perasaan risih itu aku tepis jauh-jauh.
Sayangnya, kau tak memahami keikhlasan hatiku untuk melakukan sikap bijak, ketika aku harus mengikuti acara sastra sebagai duniaku.
Aku mulai bersikap ketus dengan memperlihatkan rona wajah yang tak bersahabat.
Apakah sebagai orang terdekatnya aku harus terus mengalah? Tidak. Itu tak harus aku lakukan. Jika tetap terus mengalah, harga diriku akan semakin terpuruk.
Aku akan bangkit dan memperlihatkan sikap yang antipati kepadanya," ujar hatiku dengan suhu kemarahan yang makin meningkat.
Perlu aku jelaskan, sudah sekian lama akan menahan emosi dengan sikapmu yang kunilai tidak dewasa.
Tentu saja, dengan selalu bertahan dan mengungkap nilai-nilai penghargaan bagimu yang sudah kuanggap sebagai kerabat sendiri itu, terasa begitu berat.
Sebab aku selalu menyisihkan hal-hal tabu yang seharusnya tak boleh kulakukan. Tapi karena aku sudah menganggapmu sebagai kakak (kangmas), maka ketika kau memelukku, perasaan risih itu aku tepis jauh-jauh.
Sayangnya, kau tak memahami keikhlasan hatiku untuk melakukan sikap bijak, ketika aku harus mengikuti acara sastra sebagai duniaku.
Ini yang sangat "menampar" perasaanku sebagai wanita yang memiliki suami dan dua anak. Apakah masih kurang baik sikapku kepadamu?
Pertanyaan ini seperti berteriak di ruang kosong yang bergaung-gaung tanpa jawaban. Semakin keras suara itu digaungkan, makin keras pula tekanan gaungnya menggedor kuping sendiri tanpa jawaban.
Aku semakin sakit dengan kenyataan itu. Namun sebagai wanita yang menghargai etika, aku masih tetap memberikan apresiasi terhadap dia.
Sebenarnya aku sangat menghormatimu sama seperti menghargai orang tua. Apalagi kalau melihat kondisimu sangat memprihatinkan. Karena itu aku selalu membimbingmu ketika berjalan.
Sebenarnya, aku berharap kau tak menyalah artikan perhatianku kepadamu. Terus terang itu secara ikhlas kulakukan karena aku sudah mengganggapmu sebagai orang tuaku.
Karena itu dalam acara sastra apapun kita ketemu, aku selalu ada di sampingmu. Tentu bukan karena aku mencintaimu, tapi kedekatan kulakukan semata-mata hanya sebagai sikap untuk menghargaimu.
Tapi yang aku heran, selama dua tahun lebih kita saling kenal, kau menganggap kedekatanku itu sebagai ungkapan cinta. Masya Allah. Ini yang aku cemaskan.
Tapi untuk menjelaskan persoalan sebenarnya kepadamu, aku tak punya keberanian sama sekali. Maka itu aku tetap bersikap seperti biasa.
Apalagi kau selalu memperlihatkan perasaan sayangmu kepadaku. Jujur saja, meski aku jengah dengan sikapmu yang kunilai sangat berlebihan itu, namun aku tetap bersabar untuk bersikap seperti biasa.
Ternyata, melihat sikapmu yang berlebihan itu aku mulai tidak menyukainya. Apalagi dalam chat japrian di _whatsapp_, kau kerapkali menguatarakan perasaan cintamu secara terbuka.
Ah, dalam hati kecilku, terasa mau muntah membaca itu. Namun aku mencoba bersikap biasa saja meski tak ada sepotong kata jawaban pun.
Dalam kaitan ini, aku makin surut. Perasaanku makin tawar. Seperti tanaman hias yang jarang sekali disiram air jernih. Karena suasana seperti inilah aku mulai bereaksi, meski tak terlihat begitu frontal.
Aku mulai "tak mempedulikannya" ketika dalam satu pertemuan para penulis (penyair). Kamu berada di mana, aku pun ada di mana.
Merasakan suasana ini, kau tampak seperti buah kepala hanyut dibawa air ketidakpastian.
Kau tampak tak enak hati. Terutama setelah acara temu penyair itu selesai, kau pergi. Meski kau pamit dengan irama bahasa yang ragu dan "takut", aku tetap tak menggubrismu lagi.
Pertanyaan ini seperti berteriak di ruang kosong yang bergaung-gaung tanpa jawaban. Semakin keras suara itu digaungkan, makin keras pula tekanan gaungnya menggedor kuping sendiri tanpa jawaban.
Aku semakin sakit dengan kenyataan itu. Namun sebagai wanita yang menghargai etika, aku masih tetap memberikan apresiasi terhadap dia.
Sebenarnya aku sangat menghormatimu sama seperti menghargai orang tua. Apalagi kalau melihat kondisimu sangat memprihatinkan. Karena itu aku selalu membimbingmu ketika berjalan.
Sebenarnya, aku berharap kau tak menyalah artikan perhatianku kepadamu. Terus terang itu secara ikhlas kulakukan karena aku sudah mengganggapmu sebagai orang tuaku.
Karena itu dalam acara sastra apapun kita ketemu, aku selalu ada di sampingmu. Tentu bukan karena aku mencintaimu, tapi kedekatan kulakukan semata-mata hanya sebagai sikap untuk menghargaimu.
Tapi yang aku heran, selama dua tahun lebih kita saling kenal, kau menganggap kedekatanku itu sebagai ungkapan cinta. Masya Allah. Ini yang aku cemaskan.
Tapi untuk menjelaskan persoalan sebenarnya kepadamu, aku tak punya keberanian sama sekali. Maka itu aku tetap bersikap seperti biasa.
Apalagi kau selalu memperlihatkan perasaan sayangmu kepadaku. Jujur saja, meski aku jengah dengan sikapmu yang kunilai sangat berlebihan itu, namun aku tetap bersabar untuk bersikap seperti biasa.
Ternyata, melihat sikapmu yang berlebihan itu aku mulai tidak menyukainya. Apalagi dalam chat japrian di _whatsapp_, kau kerapkali menguatarakan perasaan cintamu secara terbuka.
Ah, dalam hati kecilku, terasa mau muntah membaca itu. Namun aku mencoba bersikap biasa saja meski tak ada sepotong kata jawaban pun.
Dalam kaitan ini, aku makin surut. Perasaanku makin tawar. Seperti tanaman hias yang jarang sekali disiram air jernih. Karena suasana seperti inilah aku mulai bereaksi, meski tak terlihat begitu frontal.
Aku mulai "tak mempedulikannya" ketika dalam satu pertemuan para penulis (penyair). Kamu berada di mana, aku pun ada di mana.
Merasakan suasana ini, kau tampak seperti buah kepala hanyut dibawa air ketidakpastian.
Kau tampak tak enak hati. Terutama setelah acara temu penyair itu selesai, kau pergi. Meski kau pamit dengan irama bahasa yang ragu dan "takut", aku tetap tak menggubrismu lagi.
Sebab hatiku sudah hangus. Karena api kemarahan yang berkobar telah membakar rasa simpatikku atas dirimu
Kini pergilah. Pergilah jauh-jauh dari ingatan yang pernah kita rajut. Aku sudah tak peduli lagi dengan segala rasa simpatik dan kepedulianmu kepadaku.
Kalau dulu aku begitu simpatik dengan penuh kasih, itu kulakukan karena aku kasihan kepadamu. Namun seiring sikapmu yang membuat aku marah, akhirnya aku memutuskan untuk berpisah dan berjanji tidak akan peduli lagi kepadamu.
Meski apa pun yang terjadi, aku tak peduli lagi. Karena ketersinggungan emosiku telah membuat perasaan kasihanku kepadamu, berbalik seratus delapan puluh derajat.
Sudah, pegilah. Pegilah jauh-jauh dari kehidupanku. Baik jauh dari diriku sebagai istri seseorang, maupun aku sebagai "wanita sastra" yang selalu menemanimu selama ini.
Namun sebagai wanita berakhlak muslimah, aku tetap menghargaimu sebagai orang yang pernah memberikan _support_ atas sejumlah karya.
Terima kasih. Terima kasih atas segala kebaikanmu selama ini. Semoga Allah SWT membalas dengan amal keberkahan untukmu.
Selamat tinggal. Meski hatiku sudah tak memiliki rasa simpatik lagi sedikit pun, tapi aku tetap akan mengingat kisah kebaikanmu. Selamat tinggal !
Bengkulu, 19 Juli 2022
Kini pergilah. Pergilah jauh-jauh dari ingatan yang pernah kita rajut. Aku sudah tak peduli lagi dengan segala rasa simpatik dan kepedulianmu kepadaku.
Kalau dulu aku begitu simpatik dengan penuh kasih, itu kulakukan karena aku kasihan kepadamu. Namun seiring sikapmu yang membuat aku marah, akhirnya aku memutuskan untuk berpisah dan berjanji tidak akan peduli lagi kepadamu.
Meski apa pun yang terjadi, aku tak peduli lagi. Karena ketersinggungan emosiku telah membuat perasaan kasihanku kepadamu, berbalik seratus delapan puluh derajat.
Sudah, pegilah. Pegilah jauh-jauh dari kehidupanku. Baik jauh dari diriku sebagai istri seseorang, maupun aku sebagai "wanita sastra" yang selalu menemanimu selama ini.
Namun sebagai wanita berakhlak muslimah, aku tetap menghargaimu sebagai orang yang pernah memberikan _support_ atas sejumlah karya.
Terima kasih. Terima kasih atas segala kebaikanmu selama ini. Semoga Allah SWT membalas dengan amal keberkahan untukmu.
Selamat tinggal. Meski hatiku sudah tak memiliki rasa simpatik lagi sedikit pun, tapi aku tetap akan mengingat kisah kebaikanmu. Selamat tinggal !
Bengkulu, 19 Juli 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar