Minggu, 03 Juli 2022
Kumpulan Puisi Isyak Ranga - JENTIK RANTING KERING
JENTIK RANTING KERING
Terpijak
denyut
lepas
buncah
rebah
Gentar
tersobek
angkuh
tertampar
bisu terpaku
Bedebah
seru tersita
denominasi birahi
advis kurawa
janin api terahimi
Uh..
delusi
anjang angan
sayat mendung
nyalang mengulum sepi
Langit
debur
tersepah
remah
basi
Ah
kau itu kami
kita sefaham
mati pasti
bertaji
Sudahlah
daki
daku
dalu
lalu..
Jkt.22*IsRa*
TITIAN RAPOEH KISAH OESANG
Waktoe jang getas itoe telah menggetarkan njali koe poean,
di sebaris waktoe kosong jang sempat tertjetjer pada diary detak djantoeng kita
Hingga mata pena hati kita saling
bertaoet merangkai ode rama rama mentjumboe kelopak poespa dengan tinta biroe dari bedjana taboe jang djalang
Hanja sadja kepekatan sepi telah
menoetoep sinaran soeloeh matahati , membiaskan sinarnja, hingga kerantjoean itoe terlandjoer kita sandjoeng sebagai anoegerah
Dan djedjak achir itoe poen laksana
badai mengoyak beboekitan tandoes
Mendobrak lantak benteng djandji
mengoekir kisah matahari dan remboelan bertaoet nadi
Laksana kerioehan pekik tjamar
mendjoelang ombak,
sehakekat gemoeroehnja tanja mengapa itoe menoentoet djawab
Mengapa bait achir berangkoem senjoem itu tak dapat teroekir disana, di sebaris kosong waktoe jang pernah tertjetjer dipelataran radjah takdir kaoe dan akoe poean..
Ah
hingga letih mendjoelang sendja
keboentoean jawab itoe merahim
penat
( dan gerimis poen menghapoes bait bait djandji diatas partitoer pasir kering lembar hati kita )
Djkt 22*IsRa*
DI DETAK HATI BERPUISI
Tentang mu,
selaksa sapa kerling genit malam
terpuisi di baris hela hayal
narasikan rama rama penyanjung puspa
Gemanya manja terkawal kabut beku
di atas pucuk rerumputan
menadah hangatnya bara binalmu
dalam harap detak rindu yang berbirama separuh ketuk lelap
Lalu mencair jadikan embun
stepa benak telanjang pun terpuasi
dalam jubah pucuk hijau muda
tunas jabah segala sujud
Tak sia sukma berlelah pinta
di hening panjang
yang berduri
Ah,
semoga
tanpa tanya lagi
bila esok terjelang
dan keluh kan malu terajang
di jemari janji tergenggam
Jkt.22*IsRa*
BAYANG DIRI DI DERU MALAM GETAS
Hingga pada akhirnya hanya asap
segala peluh itu digetasnya reranting waktu
lalu gerimis menjadi puisi lembab di atas bebukitan hati
Keterasingan menjadi ayat beku dipuncak hening dan jejak kenang menjadi seremoni penutup kisah usang dibaitnya
keriuhan merepih tertusuk duri
Terbujur beku
arsiran matahari renta
terbungkus rekat pejam abadi
sekerat hela terburai lalu
Lihatlah,
kelak suluh nyali
hanyalah selembar kepapahan
ketika bejana daki kan bersaksi
Jkt.22*IsRa*
DI BAWAH SELUBUNG MATAHARI
apa mengapa
sebuah tanya
di nadi yang melabirin
merotasi tak jemu
kemarin atau hari ini
ribuan catatan nadi
berlumpatan tersangrai bara birahi
lalu tenggelam ke samudera senyap
mengharu birukan tangis
sebagai bait akhirnya
membungkam mulut hari
dengan keping angin senja yang kering
lalu di mana akhir keletihan kan merebah
bila malam hanyalah pelengkap akhir
dari jejak musafir linglung menapak
bukankah esok nyali kembali bertaruh peluh
melembabkan lambung matahari?
lihatlah di alur itu kebuntuan tanya
selalu saja membentur dinding asap
dan gaungnya kembali menampar rungu diri
kutipan senyum hanyalah kefatamorganaan
pada pentas topeng kepatutan berpupur debu
ditiap terminya selalu ada pelukan sinis
bak perindu berwajah sayu, lalu membelai lembut laksana bunda bersanggul madu
ah kebodohan nalar terlelap sadar
dalam dekap candu berhulu pilu
aduhai terkunci tanya berabad renta
guratan apa dan mengapa pada laci langit
segara pekatnya mengalir deras menelusuri setiap jengkal ruang ruang benak yang berlumut erang dan buihnya tuba kemuakan
wahai jiwa jiwa manja putra dari rahim kebingungan, apa lagi yang dapat kau peras
dari reranting ego mimpi di kebun bercadas
bila akhir dari tanya itu hanya terbuka dalam pusara akhir kisah desah memenggal salam
Jkt.22*IsRa*
DINDING KOTA DI ATAS CERMIN DIRI
Dalam perjalanan pulang
selalu saja harus kulewati tembok tembok kokoh yang menjulang angkuh
padahal acapkali ketakjuban melahirkan kekerdilan rasa ketika melintasinya
namun selalu saja terasa sama
keafatisanannya sebeku musim penghujan
Entah sudah berapa ribu kali jejak ku tercecer
hanya menjadi catatan bisu yang tak bermakna
atau mungkin juga telah menjadi sebuah kitab rutinitas yang menjenuhkan,bertuliskan ayat ayat butiran debu menjadi pelengkap kisah tergadainya butiran peluh yang jatuh dengan beberapa lembar upah yang mungkin setara dengan sebotol parfum kaum selebritis ibu kota hanya untuk memanjakan cacing cacing rakus di lambung busung dan sisanya untuk membayar sewa sebuah griya kecil dengan lampin tipis penjaring mimpi yang seadanya..hahaha
Tapi aku tak perduli semua keangkuhannya itu
bahkan seakan tembok tembok kokoh itu telah menjadi sobat karibku ditengah keriuhan ambisi dan mimpi dari para petarung buas di rimbunnya belantara kota yang saling mempercantik diri dengan gaya super glamour
memikat dan menjerat dengan kesundalan janji berlidah belah
Aku melihat keping keping keburaman rasa dari para pengais remahan rejeki yang terduduk lesu di pinggiran tembok tembok kokoh itu , bagaikan dedaunan kering yang
berguguran diatas aspal hitam
di paksa mengunyah kepasrahan
seakan mengantri tergerus deru jaman
raungan dari hati yang terkupas waktu
hanyalah ornamen rapuh yang mungkin searah dengan kalimat " ya sudahlah itu sudah menjadi takdir dirajah jemari kita !"
Rembulan di atas tembok tembok angkuh itu
menatap separuh enggan dari balik awan
antara aku jejak dan bayang bayang diri
di gempita lanturnan musik garang penimang birahi malam dan seakan berkata nyinyir pada nyaliku yang hampir tersengal,
" Sudah usah kau menyemai geram dalam kefakiran, karena realita itu telah terpampang
setua jaman..pulanglah karena esok jalan dan tembok angkuh ini masih menunggu kau menampi mimpi walau hanya sebatas angan..
Jkt.22*IsRa*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar