UNTUK MENCARI PUISI-PUISIMU CUKUP KETIK NAMAMU DI KOLOM "SEARCH" LALU "ENTER" MAKA SELURUH PUISIMU AKAN TAMPIL DI SINI

Selasa, 02 Juni 2020

Kumpulan Puisi Romy Sastra - OBATMU TERDAPAT DI DALAM DIRIMU



MENATAP CINTA KEMARUK
Romy Sastra


aku mendatangi saung mursyid ke tepian samudra, bertelanjang dada tak berkopiah. tutur guru dituruti manggut-manggut manut

diri bermusyafir merenungi pasir di pesisir bertaburan hikmah di segala pikir
jiwaku karam tak basah melainkan terpesona

meminta rahasia kunci kematian pada sabda:
lubang dunia itu di mana berada guru?
guru pejamkan mata tak bermantra lidah
melainkan takwa saja. ah, rasanya tak cukup petunjuk memasuki ranah

kudekap tubuh guru erat-erat
pituduhnya luruh pada selembar surat wasiat
akhirnya satu-satu eja kalam dibuka
guru bisikkan rahasia gaib tentang hening
sukmaku fana bertahali, aku belajar mati

menatap cinta sekejap ke dalam tafakur,
terpancar nur
benak-benak tersusun di baitul makmur
dengan jalan membunuh inderawi
membuka gerbang baitullah
duduk bersila bak budha menatap nirwana
yang diajarkan tuan guru dituruti
kubawa hanya secercah rasa
seketika gumpalan pelita hadirnya kejora
menerangi alam batin seperti lampu pesta
tercipta keheningan sesaat pada jalan makrifat

aku dan nafsu itu
berpacu mengejar tempat tertinggi
pada kasta-kasta iman menggoda diri
aku menatap kelip maha mega
di puncak fana terhenti
menyimak yang sejati
taklah labirin menyesatkan di balik tirai ilusi

segala nafsu kalah dan lebur terbakar sirna
di keheningan malam di wajah wujudullah
indah kelip cinta bertaburan cahaya: mahabatullah

aku dan diriku bertakhali rahsi
membunuh hasrat doa tiada yang kupinta
selain ingin menatapnya saja
bahwa sesungguhnya dia memang ada
tubuhku dipeluk laisa kamiselihi
padahal awas-nya sedari dulu hu memelukku
pada janji yang tak pernah diingkari-nya
bahwa jiwa ini tak berjarak dengan maha

aku haru, dosa-dosaku seakan berguguran
tubuhku runtuh bergemetaran
pada terjawabnya asholatu daimullah
semoga itu pertanda ibadahku diterima
innallaha latukhliful mii'aad
dalam khyusuk yang klimaks, bertajali
aku dan diriku lebur dan mati
fana menyentuh maha rasa
bersatu padu, yang ada hanyalah dia

Jakarta, 27 Mei 2020



AKU MENDENGAR SUARA INDONESIA

Romy Sastra

aku mendengar suara indonesia dari puncak gunung dan lembah, tetesan hulu menghilir ke muara, udara berhembus sejuk. betapa damainya alam ini dinyanyikan burung-burung di pucuk pinus, dan ranting-ranting lapuk. sawah ladang digarap petani setiap hari demi kelangsungan hidup anak negeri sedari dulu.

aku mendengar suara indonesia dari desiran pantai sepanjang mata memandang, samudra terbentang di sudut rasa, batu karang memecah ombak. riak-riak dihadang, teluk semenanjung kabarkan pesanku ke laut lepas; aku kehausan, ke mana jalanku berpulang?

aku mendengar suara indonesia dari pelosok desa, radio yang kudengar tempo dulu ketika larut malam, membawaku hanyut pada kisah kolosal saur sepuh satria madangkara sampai siti nurbaya. cerita klasik usai, warta mengudara, kehidupan di sana-sini penuh tikai. aku terusik di gelombang frekuensi dari warta corong-corong kota; aku mulai resah.

aku mendengar suara indonesia dari orasi jalanan, betapa dahsyatnya suatu perubahan di zaman ini. mataku terbelalak, indonesia berbenah katanya. kota-kota berkompetisi teknologi, para pemodal bermain teka-teki, adakala untung rugi. akan tetapi yang culas sudah meraup untung lebih dulu di balik transaksi. tiba-tiba kongsi pecah perang strategi, demonstrasi berlaku; delik demokrasi

aku mendengar suara indonesia di layar gadget yang kusentuh, aku haru dadaku iba, mataku mulai basah. mendengar suara indonesia dari teriak ketidakadilan, korupsi merajalela, dan lainnya. mereka lupa budaya gelap jalan pulang ke ranah, sejarah dibutakan peradaban. sebab, kepentingan mereka diutamakan, aku pun bertanya: bagaimana nasib anak cucu kita nanti? indonesia ini jangan tergadai.

Jakarta, 2 Juni 2020



WAYANG MABUK

persaingan apalagi dimainkan dalang? jatah panggung sudah dihidangkan demokrasi. tuak dituang gelas pecah gelanggang resah, wayang mabuk. ah, kibarkan saja panji tiang dadamu gemuruh, jangan seteru mengundang risau. kau mencari pembenaran tak berujung, mulut dalang beraroma jeruk memainkan undang-undang. mau saja kau diadu? menampar mukamu sendiri. pemenang tersenyum riang, kalah pecundang tak senang. panggung roboh negeri heboh, waktu terus berlalu. sementara kita masih saja bertikai, damailah negeriku di mata zaman.

Romy Sastra
Jakarta, 14 Juli 2020



OBATMU TERDAPAT DI DALAM DIRIMU
Romy Sastra


ketika sadar terpikirkan tujuan
jangan lari dari kenyataan
merasa perih tak ada penawar
sedangkan tuhan bersamamu
menyediakan segala kebutuhan

jangan gelap bermain api 'kan terbakar nanti
padahal cahaya hati selalu menerangi

apakah kamu tak menyadari penawar lara
obatnya berasal dari dirimu
kenapa kamu tak mengetahuinya?
kau mengira hatimu satu benda yang kecil

namun, di dalam hatimu
termuat alam yang begitu besar
segala lara ada obatnya
surga dan neraka ada di dalamnya
bahkan cinta dan benci bergandengan
tak berjarak seperti misykat tak terlihat
nyata mengikat erat sebuah perjalanan

unsur tubuh kearifan ruh
maka, kenalilah sang Maha Ruh
hingga sakit terasa nikmat
berjalanlah dengan pedoman
biar tak tersesat jalan menempuh kehidupan dan kematian

Jakarta, 13 Juni 2020
menjawab syair Syaidina Ali



AKU MENGUTUKMU CORONA
Romy Sastra


virus biologi menjurus perang bratayuda
di zaman teknologi membumi risau
sekelompok unggas terbang menuju bandara,
racun dibawa-dibawa.
mataku nanar memandang wajah tak lazim
seenaknya berjalan di karpet merah:
prahara itu tiba dunia berduka

kita waspada pandemi mengintai di mana-mana
sementara waktu kita sudah di ambang resah, apakah ini drama dimainkan wayang?
takutku berguncang mencari tentram
ego berpacu menuduh siapa salah siapa benar
para pengamat menilai wabah lamat lamat
adalah analisis semata: siapa mencipta corona?

corona, kau mengajarkan aku waspada
kau mengajarkan aku bersuci
kau mengajarkan aku intropeksi diri
kau mengajarkan arti peduli
tapi aku mengutukmu, mengutukmu!
kau sosok tak diharapkan, kau adalah ketakutan
mari bersatu patuhi imbauan, runduk pada tuhan!
di mana rantai pandemi sudah memanjang
napas-napas bebas di udara
pandemi, hidungku enggan memompa badaimu di dada:
aku mengutukmu corona.

Jakarta, 10 Mei 2020



PANGGUNG EGOISME
Romy Sastra


estafet disambut sejurus titah bersumpah, atas nama tuhan beramanah sepenuh jiwa tak menciderai kitab suci di kepala, sejatinya adalah ibadah, kau tergoda lencana imitasi disematkan di dadamu, lalu berorasi. kudukku bergidik ayat-ayat panggung serupa rumpun tebu di bibir, kura-kura berbaju batu. padahal kau telah muntah, masih saja meminum darah seperti drakula kehausan di kursi goyang itu. kau berdendang irama sumbang, nyatanya tak pandai menari di gelanggang, dan papan berjungkit matilah kau terjengkang. kini, gelinding bola api mencari sasaran dimainkan audit. panggung egoismemu runtuh, kuda liar debar-debar merumus data pembenaran. aku menampar estafet lewat pamflet robek, siapakah itu? tak lain hanyalah pecundang zaman yang beruntung di tengah kebun ilalang.

Jakarta, 10 Juni 2020



ORIGAMI YANG ROBEK


memungut kelopak nan berserak di trotoar jalanan, payau air mataku membendung duka. memandang anak angsa bermain risau di balik hutan bakau sepanjang muara, terus merenangi asinnya samudra, singgah di dermaga yang lain. tangan cekatanku menghilir mengaliri air mata. kulipat-lipat kertas jadi persegi membentuk origami bunga. sampanku berlayar menujumu mendayung dada. sehelai rambut jatuh tepat di puncak hidungku, aku geli mengingati telepati tak lagi indah dirasa. sebab, permainan hati diakhiri sebelum layar terkembang, cintamu hanya opera semata. aku lelah pada waktu berputar, tabahku sirna. origamiku robek di tinta merah: akhirnya anak angsa itu tenggelam rayuan gombalis yang lain, dan sampanku pun karam, bunga layu, kompas mati menuju layaran kekasih. hati teriris janji manis berbuah fatalis.

Romy Sastra
Jakarta, 20 Mei 2020



TARIAN BAYANG

kulenggang-lenggangkan tarian bayang
jemari lentik meminang goyang
aduhai si nona molek yang gemulai
tatapanmu renyah bibir berjuntai

menarilah menari tarian seksi melirik
biar kursiku berisik mataku mendelik
lantai berjungkit si molek terjepit
selendang mayang nona terlilit di leher sakit

kupandang-pandang bayang-bayang silam
rona tak lagi indah dikenang
entah tarian nona yang tak seimbang
ataukah tatapanku yang sudah jahanam

taklah terjerumus hidup ke dalam imaji
tutupi kening dengan hati
menunduk menunduklah meninju malu
biarkan bayang-bayang bersenandung rindu

HR RoS
Jkt, 010419



FINIS

.... jejak kelana diintai sejarah,
telapak kaki mencucurkan keringat, darah serta nanah di setiap jejak yang dilalui akan basah menjadi telaga dan subur.
sedangkan debu-debu yang melekat di kaki adalah air mata umur yang kian sarat di setiap jengkal tanah yang retak dan ia sekarat, lalu gugur ....

HR RoS
Jkt 310319



PEREMPUANKU

perempuanku,
kupinjamkan satu tulang rusukku padamu
atas nama tuhan berkenan
biarkan skenario-nya bekerja
dikau menjelma
seperti air mengalir tak sudah
memberikan kasih yang setia

perempuanku,
kau pendamping sepi di kala sedih
penghibur resah di kala susah
sebagai selimut dingin di saat ingin
terima kasih perempuanku
kau penyemangat tiada tara
perhiasan surga turun ke dunia
perempuanku,
berikan aku kebahagiaan itu

HR RoS
Jakarta, 300319



ITU LAYARMU TERBENTANG

Itu layarmu terbentang
pegang!
angin sedang garang ombak datang
berdirilah, jangan tumbang
satu saat laut pasti kembali tenang.

Itu layarmu terbentang
pegang!
jangan cair dek mentari membahang
usah terpesona cantiknya si kunang kunang
lihat laut saujana pandang
renanglah sampai ke seberang
belajarlah dari camar dan karang
pelaut selalu tahu haluan pulang.

Itu layarmu terbentang
pegang!
jangan pernah hilang timbang
jangan tertipu redupnya bayang bayang
belajarlah dari Sang helang
walau berat tetap terbang.

Itu layarmu terbentang
pegang!
sampai nanti malam datang
dan kau lihat purnama mengambang
terang cemerlang.

***
mari, mari..! marilah mendekat
kita berlabuh bersenandung kasih sayang.

Jakarta Kuala Lumpur 27319



HENING

sunyi memaksa kidung bernyanyi
biar tak ada lagi sepi
kidung dimainkan dengung
seperti puja bermantra hening
bunuh saja birahi duniawi
memacu hasrat mencumbui kekasih

bulan separoh tertutup awan
membuka tirai langit bertongkat tauhid
diam di atas kolam tak tenggelam
padahal perjalanan menempuh karam
mati dalam hidup menghidupkan tatapan
kasyaf-kasyaf nurani tersaji
bulan akhirnya padam
bintang gemintang bertaburan

perjalanan mati belum sampai ke tujuan
masih dalam godaan
jangan tergoda kemala
di mana surga dan neraka berada?

bersihkan hati di taubatan nasuha!
ya, kekasih 'kan tersenyum indah

HR RoS
Jkt 27319



SKETSA HAMPA

betapa banyak kanvas kuhabiskan
melukis sekuntum bunga
mewarnai rupa

betapa rasaku telah hambar
menggambarkan sketsa wajah
pigura patah lukisan tak sudah

aku menunduk
memadah bayanganmu dalam resah
ternyata kau tiada

HR RoS
Jkt 26319



DAHAGA

hujan telah reda
sepi jalan ini
kemarau tiba

hujan itu kembali
sunyi makin sunyi
aku dahaga

HR RoS
Jkt 26319



SUATU MALAM DI MAXONE

duduk menyemai malam
tatapan jauhh menembus batin
tentang kota diselimuti kabut
tubuh yang dingin dan karam

satu destinasi negeri yang dikunjungi
ada peradaban menyimpan candi dan kejayaan
kehidupan masa silam

malam itu
butiran-butiran embun bertaburan
sebatang kretek menemani dingin
dadaku disepoi angin
betapa nikmatnya anugerah tuhan
kota malang, kota impian
kota yang dilingkari gugusan

aku diam dan larut menempuh pertapaan
tak bermantera dalam tajali
sangkan paraning dumadi
sabda batin memanggil kesepuhan;

"duhai ruh-ruh yang bersemayam menguar di awan?
ceritakan pada generasi tentang kejayaan masa silam: sweta dwipa
jawata bertutur tentang kisah yang sudah."

malang belum dihuni, negeri sunyi dilamar api, era pleistosen kabarkan warta tentang kejadian suatu kota
malang area kawah diapit aktivitas gunung-gunung pandawa;

"kawi di selatan menyimpan hartawan,
kelud di barat kediri memagut cinta pelangi,
anjasmoro di welirang menyemai hati,
arjuna di timur laut utara singsingkan mentari,
tengger di timur menyimpan api yang tak kunjung padam"

kota malang, salah satu peradaban jawa dwipa
berupa aliran lava
mencipta gundukkan merupa danau purba

malang bukan kota yang malang
malang telah bangkit dan melangit
dilintasi tanah subur dari segala sisi
jejakku menoreh catatan puisi
masih adakah kereta ke malang suatu saat nanti?

HR RoS
Malang, 5 April 2019



SAYEMBARA KEHIDUPAN

sunrise pagi menyapa, terik merupa
tengah hari membakari wajah
tak menghanguskan rambut di kepala
adakala rinai titipkan embun di dedaunan
hujan datang tiba-tiba genangan di mana-mana

senja dipagut kelam,
malam bermain rembulan dan kejora
seperti kalbu dibuka rindu
ketika mendung menghantarkan guruh diselingi semilir riuh
hasrat berpacu di rongga hina
jangan ibadah tak tahu pintu hikmah
selimut dingin di saat angan bermain ingin
lupa dinikmati
surga hanya di dalam mimpi saja

pada bayangan hitam di duduk diam
terkuak cerita lama di lipatan sejarah
suntingan kenangan tak sudah direnda
onak menyeruak siapa yang salah?
ganti lilin di simpuh sujud hati
menjadi aurora langit

tamparlah duka,
yang selalu menyesak di relung rongga
lalu, pikir bertindak
jalani saja jejak-jejak yang dipijak
meski onak jadi aral cita-cita
sebab kehidupan bukan angan-angan
torehan janji pasti dilalui
skenario tuhan berperan

memang, sayembara kehidupan silih berganti
mengisi kesempatan
pada panggung pertunjukan bersorak ria
bersolek jadikan penampilan selalu molek
roda-roda zaman terus berputar
seperti siklus musim jadi dawai-dawai musik
ya, sayembara kehidupan ini bukan tantangan
tapi keniscayaan
dan nikmati saja suka duka dengan rasa cinta
maka, berbahagialah hingga menutup mata

HR RoS
Jkt, 11419



LAJU TAKDIR


debu-debu diterbangkan angin ke muka
melukis peluh di guratan wajah keruh
jejak-jejak di kaki retak
meniti langkah tertatih di tanah rengkah
laju takdir jerih, pedih dikubur sedih

si pelukis nasib bermain di telapak tangan
sedari azali titipkan isyarat di badan
seperti pohon kelapa
buah jatuh ke tanah tak menunggu tua
ke mana tuju ingin ditempuh
tetap yang dikejar kian jauh

embusan angin mengipas-ngipas panas
padamkan gelora membakar rasa
sepoi membujuk lara sakit tak bertamu
tentang hidup penuh kepahitan
kemiskinan ini sungguh nikmat tuhan

ya, menikmati hidangan dan terus berikhtiar
bagaimana napas ini selalu bersyukur
iringi laju sampai ke batas tafakur
di sana kelip surga merupa
riwayat perjalanan melahirkan makna
lika-liku kehidupan bercumbu di arena kisah

Jkt, 9,4,19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar