MALANG
Malang banjir bandang air mata
Seratus dua puluh tujuh ibu kehilangan nyawa anaknya
Mata batin dan hati mereka terkepung gas air mata
Jeritan demi jeritan merajam jiwa tak terduga
Oh Malang yang malang
: gara-gara bola tak masuk gawang
Kau tebang rasa dengan garang
Di sini, di hati ini, rasaku melayang
Jiwaku menerawang
Sukmaku mengitari lapangan yang malang dan lempang
Mencari penjaga gawang
: dari situlah kutemukan makna suwung
Sekarputih, 2102022
SENJA
di beranda sastra dan budaya, senja mengirim sajak balada
selebihnya pergeseran dan gesekan mengusung keranda
BATU, 8102019
SAJAK SAJAK SAMBO
sebab bahasa api telah membakar jiwa
sajak-sajak Sambo mengalir menuju muara makna
Batu, 8102022
LAKU
setiap berjalan di pematang itu
rumput-rumput dan ilalang menjelma rindu
angin yang berhembus dari timur menunjukan kenanganku
menciptakan luka semesta yang menampung gemuruh hatiku
setiap cahaya matahari menerangi langkahku
garis batas langit biru telah menulis hikayat dari tetesan air matamu
sedang titik-titik cahaya bergerak sendiri masuk ke dalam lakuku
menjadi hamparan samudera kata-kata mengendap di dasar lautmu
ketika rindu mendekapku
kau sunting cinta di hatiku
di taman asmaradana
rinduku menjemput cinta
rindu dan cinta mengubahku jadi puisi
menari hingga sunyi
daun-daun berseri membuka pintu pagi
adalah cahaya embun menari
aku sendiri mencari arti sunyi
pada pagi yang menyimpan matahari
dengan gaya songong dan sombong
seorang pemuda menantang siang bolong
di punggungku yang gosong dikhianati nasib odong-odong
tanah bau keringat basah para pengepung jalang
yang mengutuki luka lima liang
saling silang sengkarut menghunus 99 doa yang kukandung
ketika gamelan mengumandang syahdu
detak jam memeram rindu
menghidupkan ruang ruang permainan waktu
seperti aku memainkan lakuku
musik robotik tak kuasa mengusir luka
hanya gamelan jawa mampu mengasah jiwa
menjabarkan gending pengasah rasa melesat ke angkasa apa adanya
di ladang-ladang jagung itu
degup jantungku berpacu liar menuju
bergumulah sepi dengan rindu
pada rumput-rumput tinggi
musim panen seperti burung tua menatap sepi
telanjang dalam hati
dan hujan turun di atas pematang
menggosok punggungku yang gosong
saat di dalam hujan kulihat masa lalu yang hilang
berjalan sendiri menyusuri jalan setapak di belantara itu
nampak pohon-pohon pinus menjadi saksi bisu
sebuah tulisan puisi terkoyak waktu
saat aku teringat pohon-pohon yang ditebangi
gema semesta memantulkan kesedihan hati
tanpa henti, berulang-ulang kembali
sungai dan hutan kehilangan kebebasan bicara
daun-daun kering kehilangan tanah-tanah basah dan berjiwa
bagai kehilangan jejak yang luput membaca isyaratnya
fajar terus bergerak apa adanya
hamparan langit menyerap nubuat-nubuat semesta
melahirkan namaku namamu dalam gempa alam semesta
jam dua belas malam
bulan seperti payung putih merajut ritual hitam
bunga sedap malam membisikkan simponi malam
angin yang kutangkap memberikan aroma
melahirkan nyanyian kehidupan jiwa
dan sajakku lahir dari bejana cahayamu paling bercahaya
bulan di atas kepala
menerka ruang kata kata
lewat lembar cahaya
waktu mengenalkan jejak masa
mengantarku mengecup kedalaman luka
cahaya malam menyisir pikiranku
ketika doa di atas daun hijau
mengantar pedagang kaki lima membungkus cintamu
tanpa rindu
ilmu tuaku melesat ke udara
lihai melompat bagai peluru sara
menembus lukisan cakrawala
mataku pun rabun di makan usia
sendi sendi keropos dimakan senja
aku adalah tembang petang
yang sebentar lagi menelusuri malam penuh bintang
menyita sepi memahat gumintang
Bali, 6102020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar