Rabu, 07 September 2022
Kumpulan Puisi Romy Sastra - MABUK CINTA
REVOLUSI NUSANTARA
Sebelum negeri dibangun di atas kesaksian purba, sejarah tercatat di ukiran berbatu beraksara sanskrit, kejayaan tempo dulu melanglang buana. Nisan-nisan moyang berjalan mengetuk pintu rumah cucu di malam-malam panjang, roh moyang bertanya: apakah nusantara ini akan moksa menuju peradaban baru ditunggu? Sebab kultur tabib berdupa mantra-mantra di ujung doa terjajah tak lagi dipercaya. Kini para habib merentang risalah akidah di layar android tanpa asap, hanya panas di kepala mata memerah saga. Dulu para santri jari-jarinya bertasbih mengirimkan berbait doa untuk kemerdekaan bangsa ini. Tapi kenapa kini berhaluan caci maki pada adat yang digadang-gadangkan sebagai adab menjadi asbab seranah tikai dibenturkan pada sunah. Padahal hakikat ayat dan adat menciptakan adab berganding penyeimbang semesta untuk sempurnanya akal yang bercahaya. Dan pada akhirnya revolusi nusantara terjadi memenuhi perjanjian zaman. Lalu menghamba ke teknologi yang pernah diisyaratkan pujangga dalam serat-serat purna untuk Indonesia berpanggung menuju mercusuar dunia. Tuan, revolusi nusantara ini terus berlanjut jangan takut.
Romy Sastra
Jakarta, 30 Maret 2022
ZAMAN EDAN
aku bermimpi
bungsil jatuh di mataku
setelah badai mengaliri sungai
daun-daun berdansa
namrudz terbahak di kastil
sebab dia memanggul gandum
: kesombongan
abraham memetik matahari
istana terbakar
kutuk bala pelerai lidah
joki membawa peti mati
kuda lumpuh
pesta distorsi delik revolusi
zaman edan
ilalang menghunus pedang
Romy Sastra
Jakarta, 30822
ADIPATI SEMARANG
jejak purba semarang dalam kisah,
bertanya sunan pada adipati pandanarang;
"sudah cukupkah dunia kau tumpuk-tumpuk tuan adipati?
dan sudah tahukah jalan keabadian kau jelang nanti?"
tuan adipati terkesima pada sabda adiluhung bijak dan berani.
"siapakah gerangan menungso yang wani karo aku bertitah dewa? lancang tenan iki menungso!" hardik adipati
"hei, kisanak! siapa kamu sebenarnya?"
pandanarang membentak, isi di benak membludak, yang selama ini bergelimang duniawi. hawa goda di pendopo mewah bersanding di samping permaisuri berparas bidadari, pandanarang kian garang.
"ampun hamba gusti adipati, hamba lancang pada gusti." sang wali berjubah lusuh bertopeng sudra, ngumpet nang panggonan padang
digdaya doa wali bersaksi di mata buta adipati, dan adipati terbelalak melihat keajaiban ilmu laduni. sunan tinggalkan adipati di dada yang resah, sunan mendulang kalimah di setiap langkah menuju bait-bait baitullah: yahu, yahu, yahu... ya allah. yahu, yahu, yahu... ya allah
adipati tersadar terbuka hidayah,
serasa duniawinya tak lagi berguna;
"sungguh aku telah lupa sedari pagi menjelang petang, aku akan pulang sebentar lagi menghadap pangeran"
mari ikuti aku permaisuriku! kita kejar sunan sampai ke baitullah.
adipati memilih berguru di jejak wali terus mengikuti tertatih-tatih, adipati diuji meninggalkan duniawi. adipati ditempa segala rasa dan jiwa tentang agama, jadilah adipati seorang ulama di semarang kota. perselingkuhannya pada dunia telah ia tanggalkan; adipati berbakti mengikuti jejak-jejak wali, sebab telah ia kuasai pengetahuan manunggaling kawulo gusti.
Romy Sastra
Jakarta, 26 Agustus 2022
MABUK CINTA
Romy Sastra
medan ahadiyat sajaratulyakin tumbuh subur di saat taat. makrokosmik nan megah menyatu di ranah tauhid tercipta wahdah. dzat suci menyelimuti ke dalam atma berkoloni di jiwa dan sukma
aku menengadah bersimpuh mencari kekasih bermandi peluh di dalam sunyi bertasbih. mabuk, mabukku ke dalam pertapaan maha cinta bercumbu seperti laila dan majenun. mengekang nafsu-nafsu angkara, tercampak nista ke kawah candradimuka, dari nyala api yang tak kunjung padam. kupadamkan bara genggam pelita menuju ranah
membuka tabir diri menyusun sepuluh jari, tersingkap bulir-bulir kelip. rohku menuju jauh ke samudra tak bertepi, naik ke angkasa tak berujung
aku diam dan fana menapaki jejak-jejak malam tak terpijak, terjungkal ke dasar tak tersentuh, terbang melampaui ubunku. aku menatap tatapan diselimuti hakikat memuji qadim tersembunyi dan realiti. ya, di dalam jiwa ini dengan daim
aku bercumbu mesra bersama diri, meski sendiri bukan mimpi melainkan daim itu tajali. aku lenyap senyap tak ingin bangkit lagi, indahnya kematian bertemu keabadian berasa surgawi, tak jauh tujuan temui makrifat ilahi, cukup satu napas 'kan terbuka arasy
: aku mabuk cinta
Jakarta, 28 September 2022
BULAN MENANGIS
tunggu
aku pergi dulu
memadamkan matahari
sebab rembulan
sudah menyinari halaman rumah
kutampar awan hitam itu
embun jatuh di mata
senyuman terbelah
lalu kusuguhkan roti ke sarang lebah
susu basi
Romy Sastra
Jakarta, 12 September 2022
BUNGA BERWAJAH SENDU
aku telah mengelilingi altar rupamu
kubaca sajak mabuk tanpa tajuk
dan mengalir begitu saja
kupandang saksama sebentuk mahkota
tak berurai diselubung mihrab
tasbih batin menitipkan bunga rasa
berharap kau tak menutup gerbangnya
aku mulai gila
di perjamuan sederhana itu
gelas berganding pengamat diam
kita melangkah sejurus waspada
mungkinkah perjalanan hingga ke tapal?
atau liar menuju arah berpendar
kopiku tumpah berbuah malu
dan pada tautan di selingkar jari
memantik ikrar cuma-cuma
sadarku, kisah baru bermula
ingin kulumat kopi nan tumpah
biar tak digarap semut-semut merah
: kupuja dikau bunga berwajah sendu
Romy Sastra
Jakarta, 9 Agustus 2022
SETIA
cinta kusuburkan di tanah rantau
sebelum musim berputik
kampung halaman tumpuan
di mana dulu,
jejak kanak-kanak kulukiskan
semenjak darah tumpah di rumah tua
aku digadangkan
aku bukanlah batu jatuh ke lubuk
pada riak di atas telaga
bayangan menari
aku terbiasa menantang gelombang
meski layaran diamuk badai
tak mengapa
aku berterima kasih pada terik
mengajarkanku pulang mengikuti bayangan
rindu kupupuk tak berbenalu
selalu segar dalam ingatan
aku berterima kasih pada kekasih
memupuk cinta penuh perjuangan
tak sia-sia suratan jadi kenyataan
: kau tujuan
aku berterima pada kebaikan alam
menuntun tak jemu sepanjang jalan
kisah? sampai kini aku masih setia
tongkat itu kubawa-bawa
Romy Sastra
Jakarta, 18922
BANGKAI MENANGIS
zikir di tapal batas tak lagi tahu destinasi pulang, senja melarut kelam. el-maut seringkali bertamu setiap waktu, membawa cemeti siksaan. nisan-nisan berjalan dungu.
el-maut bertutur: tunggulah laknatku dari khianatmu yang kaku. kau telah mengutuk kultur luhur di atas kesaksian ihdinas sirotol mustaqim, kau akan tersesat jalan menunggu kematian merasakan kesakitan yang berlipat-lipat, di ruang pengap itu, doa-doa bertarung keharibaan diharap bangkai berkalang tanah, berharap sampai sedekah jariyah.
dian di keranda kematian telah lama padam, bulan temaram. ketakutan tiba pada ziarah tanpa air mata. kain mori tinggal selapis, akidah dan maruah kian menipis. bangkai itu pada akhirnya diamuk sansai cacing-cacing tanah, tulang belulang memutih kapas, adakah cinta tergadai mengabai solusi?
anakku anakmu berseru: tongkat itu jangan hilang! sebab kehidupanku masih panjang.
sabda rasaku pamit melipat langit, meski masih tersisa untukmu. mari rapatkan barisan! amanah di pundak ini cukup berat, lalu yang mengemban pun sekarat. di mana amal itu?
Romy Sastra
15 September 2022
SKENARIO
Aku pernah mengirim surat ke meja istana, suratku sudah dibaca raja dan perdana menteri, bahkan bala tentara. Katanya aku dipecat sebagai rakyat tak setia pada institusi, dan aku tersudut manggut-manggut merengut: lilin mabuk. Sebab suratku saja masih dikebiri di balik laci, di sana-sini orasi jalanan berdelik revolusi tak kunjung usai. Padahal sistem demokrasi gagal membangun ikrar. Dan distorsi sebagai ujung belati yang digadang-gadangkan mencari sensasi panggung, ini gila. Lalu cinta dan kesadaran menuntunku bercermin, aku menonton maruah sendiri tergadai di skenario yang sansai. Menarilah!
Romy Sastra
Jakarta 15 September 2022
AFORISME MARHAEN
Romy Sastra
Kita patut berterima kasih pada Bung Karno
Ideologi dibangun ketahanan pangan
: adalah Petani
Penjaga Tatanan Negara Indonesia
Seandainya Bung Karno itu masih hidup
Dia akan perhatikan kaum proletar
Mengajak bangkit dari
Tangan-tangan kolonial
Tanah marhaen dijual
Dibangun pabrik-pabrik dan mal
Dulu...
Sawah dan ladang-ladang nenek moyang
Subur makmur
Cukup cangkul dan bajak tradisional mengembur
Hamanya hanya capung menari
Hasilnya mampu menghidupkan
Anak dan cucu-cucu setahun
Kini...
Sawah dan ladang-ladang petani tergusur
Evolusi teknologi dijadikan solusi
Delik kemajuan untuk petani
Hidupnya gamang bak di ujung tanduk
Padahal...
Hama di matamu tuan-tuan
Penyebab penyakit
Lahannya dibeli dijadikan real state
Hama itu telah menjadi bibit
Petani menjerit
Sebab hasilnya sedikit
Strategi bisnis tuan melangit
Keparat...
Lidahku mengutuk kepada pengkhianat
Marhaen geram
Ketakutan digilas zaman
Riwayat petani di ambang sekarat
Lalu tamat
Jakarta, 22 September 2022
DUKA RIAU DUKA KITA
Romy Sastra
ketika musim kemarau tiba
langit riau gelap gulita
apakah ini azab?
tidak...!
ini bukan azab
melainkan pertarungan
siapa kuat siapa dapat
mereka menjajah lahan
bumi riau selalu berduka setiap tahun
asap menjadi pemicu
sumpah serapah di mana-mana
sebab, cacing telah jatuh ke mata
duka riau duka kita
tuan,
hutan yang kami gadang-gadangkan untuk generasi jangan dibakar!
negeri kami hijau untuk tanah rantau
jangan tukar negeri kami jadi kelapa sawit
jika hidup anak riau menjerit
Jakarta, 26 Agustus 2019
LANCANG KUNING KEHILANGAN ARAH
Romy Sastra
aku bertanya pada arang di tunggul lapuk
siapa menciptakan unggun kemarin?
ilalang manggut-manggut
masa depan direnggut
si jahil membawa obor kematian
baru pulang dari pesta
si puntung dilemparkan
kemarau melanda mengundang risau
riau berkabung asap-asap membubung
ancala dijajah si jago merah
mengertilah tuan!
jangan rantaukan nasib kami di tanah sendiri
riau malu di mata tetangga
layaran lancang kuning kehilangan arah
asap sesaat kau buat-buat
kami menyumpah
kami menggutukmu
bangsattt....!!
Jakarta, 23 Agustus 2019
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar