UNTUK MENCARI PUISI-PUISIMU CUKUP KETIK NAMAMU DI KOLOM "SEARCH" LALU "ENTER" MAKA SELURUH PUISIMU AKAN TAMPIL DI SINI

Minggu, 03 Mei 2020

Kumpulan Puisi & Prosa Romy Sastra - TUALANG MEMBACA MAKNA



DERMAGA SENJA

dik, beranjaklah dari dermaga itu! tak takutkah kau pada angin menabur risau? matamu sendu. kau masih saja menari, seakan tak ada haru gemuruh di lamunan, membuatku bimbang memandang kau seorang. apakah kakimu dirantai angan? selendangmu terkembang.

lihatlah dik! riak-riak itu jadikan geladak begoyang, nun di sana perahu berdansa. aku tak ingin kau hanyut, matamu terkatup, lalu terjatuh menatap layaran. asin di matamu tumpah di lautan tak akan ada manis dirasa, cukup kau diam saja di rumah menungguku tiba. apakah kau sanggup bertahan menunggu kabar awan? dan perahu itu tetap kembali mengikuti arus ombak berjalan sampai menepi.

sadarlah dik, satu langkah melaju jatuh, beribu kilo berlayar karam. ya, kembalilah pulang dik! usah bermain angan! tunggulah aku di ranjang kematian jika kau masih menyimpan sayang di sepanjang hidupmu.

aku pun mulai menyadari merenungi pagi dan belajar memintal cahaya petang. sebab jejak tualangku menikam di debu, dunia ini serasa semu tiada yang abadi, dan aku juga akan kembali membawa cerita, semoga kau yang menantiku tabah. peluklah bangkaiku kelak jika aku terdampar di dermaga senja, kita yang berbiduk berdayung tetap karam dan mati jua.

kembalilah dik! hari sudah larut senja

Romy Sastra
Jakarta, 30 April 2020



TUALANG MEMBACA MAKNA

ingatan membuka lembaran dalil
tentang layaran terkembang
pengabdian;
sedari awal koloni mengingatkan pulang
aubade alam menyatu di setiap perjalanan
roh menyingkap tabir pintu mati
haus lapar tubuh getar puji syahdu syahdan
perjuangan mesti ditaklukan
hitam putih bergandengan
sajadah menyambut karibnya doa
jiwa merindu tengah malam
desah tasbih menjangkau tiang langit
memujamu cinta

ramadan melatih diri tawadu'
ikhtiar meraih kemenangan
belajar sadar lelaku dijaga
tualang membaca makna
sebelum ajal benar-benar tiba

Romy Sastra
Jakarta, 24 April 2020



SUARA-SUARA CORONG LANGIT
Romy Sastra


di awal temu memandu laku
merindu menyapa kekasih bertasbih
meminjam pedang jihad sesudah rajab setahun yang lalu, berkhidmat di ranah tauhid. bibir meminang suara merdu daud lewat burung-burung berzikir, menyibak daun randu. kapas putih menggantung seperti cahaya di jidat, aku meraga sukma ke batang tubuh, salawat salam diaminkan ke rasulullah, ramadan itu tiba, napas bergelora, mengingati pesan as-shiyam yang dulu, dan aku mencoba tak lengah pada nafsu menggoda terlepas dari kerangkeng jiwa. sebab, pelatihan itu mesti dijaga!

lalu, kutunaikan kembali as-shiyam ramadan tahun ini, mentaati perjalanan suci, kubuka lembaran kalam menghadap haribaan, menuju mata batin terpejam. siapa membaca al-qurannul karim di telaga rasa? irama suci dari kejauhan yang sunyi tengah malam sayup-sayup padam, mengalun lembut di puncak corong langit tadarus terus menerus seperti hafidz memanggil tuhan, aku takzim menyimak suara mengaji membaca ayat-ayat. di penghujung ramadan perlahan as-shiyam akan berlalu, tinggalkan suatu amanat

pada rasulullah pemilik syafaat yang agung,
kugantungkan harapanku kelak, mendiamkan tangis alam bakaku berkabung. tuhan menguasai fajar dan senja berpalung, aku tak berpaling sejengkal jejak tak berjarak, dekap aku tuhan erat-erat. perjuangan hidup sarat ujian berat. aku belajar tobat

hari fitri itu tiba, matilah angkara di kedalaman hati sepanjang umurku seribu tahun lamanya.
maaf-maafan didekapan salam. aku memungut sunyi merenungi diri di setiap lakuku, memulai kembali setiap hari, mengingati pesan-pesan kekasih yang pergi, berharap kau datang lagi di awal rajab nanti, dalam catatan ambiya di muka surat yang kubaca

lebaran tahun yang lalu, takbir menara gading betalu-talu, umat berbahagia di sorot mata bercahaya, kemenangan diraih sejurus doa di baju baru yang gagah. anak-anak kecil menadah recehan dari sanak family baru saja pulang dari rantau datang ke rumah.

lebaran tahun 2020 ini, takbir bisu di sudut mataku bermandi tangis. gerangan wabak mengundang sebak, kapan kau pamit pandemik? aku yang tak mudik ke kampung halaman dicekal aturan rumit. di lebaran tahun 2020 ini tak bermewah-mewah, aku gunakan baju lama, cukup rayakan sederhana saja

tunai sudah perjalanan ramadan mengajarkanku as-shiyam, di seluruh pengabdian iman: aku tentram
lebaran oh, lebaran. kau kenangan

Jakarta, 21 Mei 2020



RAMADAN BUKAN MERAYU TUHAN
Romy Sastra


merenung melarung batin ke ranah yakin di bulan penuh ampunan, berkah-berkah bertaburan selama ramadan, kaki melangkah menanjak menurun. adakala terantuk di jalan datar tak mengenal tujuan, sering kesasar haus dan lapar, betapa banyak persimpangan

merenung melarung batin bercermin pada bulan kemarin. masih saja terngiang pesta kehidupan, lorong-lorong dilalui, seperti mencari jalan pintas setiap tuju selalu bersimpang

merenung melarung batin ditudung keimanan
menjadi santri semusim di musala bertadarus tak putus-putus, berpenampilan rapi merayu tuhan, mengadu segala problema setahun memulai tobat nasuha berharap kasih sayang
selesai raya perlahan lupa

masihkah ramadan tahun depan ditemukan?
padahal setiap detik ruh memuji bertasbih merayu keharibaan: oh....

Jkt, 18 Mei 2020



KURSI


kendi tuan pecah di bilik judi, seberapa banyak taruhan ditawarkan? lalu, suara angin dikumpulkan dihitung lelah dan mati dicurangi kalah. sumpah serapah ilalang terjadi, si penjudi tersenyum menaburkan bunga bangkai di kenduri mewah, baru saja bertarung memenangkan lotre. tuan tertidur di kursi goyang, kacang lupa kulitnya.

Romy Sastra
Jkt, 15520



ALUSIO
Romy Sastra


ibu, engkau ajarkan aku memegang pena, bagaimana aku mengenali dunia
mataku terkatup, lalu terbuka
pelukanmu seumpama surga jadikan cahaya
betapa cinta kau tawarkan pada anak didik demi generasi yang cerdik.

ibu, engkau ajarkan aku membuka buku,
bagaimana aku membaca makna
bibirku kelu menyebut kata satu per satu, tentang huruf-huruf dan angka-angka itu
mulutku terbuka dari bimbingan yang ibu eja
aku ke sekolah belajar menatap pijar,
ilmu yang ibu ajarkan tak kulupa.

ibu, aku tergugu di hari ulang tahun ini,
mengenang pahlawan tanpa tanda jasa
masih saja ibu menyimpan cita dan cinta pada kami
hendak dengan apa aku membalas budimu?
ibu hanya berkata; teruslah berprestasi anak-anakku!
kejar dunia, raih bintang-bintang di langit yang tinggi.

oh ibu, sepucuk surat kukirimkan lewat madah-madah ini
terimalah pemberian dariku!
anak didikmu tak beruntung ini mengejar cita-cita. tapi, aku selalu menyimpan kenang, meski berpuluh-puluh tahun aku tak lagi
mengenali kawan-kawan. apakah ibu sudah lupa pada suatu wajah yang dimarahi dulu?
aku belajar dewasa jadi murid yang tabah.
oh ibu, taklah nama itu padam disimpan di lipatan sejarah; kau dan aku, ibu.
alusio tiga puluh tahun yang lalu.

ibu, aku menyapamu lewat puisi,
kita adalah dunia yang terpisah tak berjarak di hati.
ingatkah ibu, tiga puluh tahun yang lalu itu? rumput-rumput di halaman sekolah kita siangi, dan bunga-bunga yang kutanam masihkah disirami? biarkan ia berputik jadi bibit kembali, bersemilah generasi.

oh ibu, engkau guruku
kukenang dikau sampai tua nanti.

Jakarta, 13 Mei 2020



MANEKIN RUH

manekin ruh menari di balik riuh
adalah percikan cahaya mengitari gelap
azali diri terjadi dari sukma kawekas
berakhir dan kembali ke awas

Romy Sastra
Jakarta, 12 Mei 2020



NYANYIAN NIRMALA

tentang malam dibaringkan ke dalam sunyi. bulan bintang setia di kejauhan, hujan datang menimpali, adakala awan tak bersahabat dengan musim, menginginkan curah. embun tak cukup membujuk gersang, dedaunan mati;
berguguran

malam mengetuk pintu fajar, berpijar dada langit perlahan. dingin bermain biola angin,
dan bunian berkelana di dalam kelam. tiba-tiba raib entah ke mana? rama-rama kedinginan di daun melati, memandang kedasih bernyanyi

lalu, kedasih dan rama-rama memanggil pagi,
mengajak menari terbang tinggi.
mari, marilah bertengger di sayapku!
kita melihat tarian ilalang tak lelah ditimpa musim, nyanyian nirmala antara malam dan pagi menyambut cahaya, tuhan meliputi segala kisah

Romy Sastra
Jakarta, 5 Mei 2020



PURNAMA TIBA DI MUSIM HUJAN

kertas disetubuhi majas dilumat kias
rindu mengalun merdu rentang temu
cita tak kunjung datang cinta
kepastian noktah tak ada kata menjawab rasa,
kenapa bisu?

purnama sudah tiba di musim hujan
tetesan embun berulangkali suburkan dedaunan
jawaban musim tak jua bibit berputik
yang disemai sebelum hujan melanda
semestinya buah sudah ranum.

ah, semua terasa asing di telinga
ternyata kabar rindumu palsu, pantas saja aurora malam tak lagi bergelora di sudut mata
malam diselimuti dingin di batas penantian
senyum purnama yang diimpikan enggan jadi kenyataan.
apakah suratan azali tak berpihak pada takdir? ataukah catatan telah berpindah pada bayang-bayang kepalsuan?
entahlah, aku mencoba membaca isyarat.

ya, tak mungkin perjanjian angin mengubah haluan dingin
padahal, purnama selalu tiba di garis rotasi
hanya kabus hitam tak memberikan keindahan
arunika merupa cahaya di dada candra
pulanglah hasrat yang sesaat!
jangan bermain bunga di taman hayat
kalau hanya akan tersesat.

Romy Sastra
Jakarta, 7 Mei 2020



RINDUKU KARAM


melarung napas dalam rentak tak terpijak
bergetar nadi iringi puji-puji tasbih
kuhimpun sami' kukulum kalam
hentikan hayatan nafs sesak tak perduli
melebur ke ruang sukma diri
terbuka jendela bashiran
kututup lubang dunia mati di dalam rasa

melarung napas dalam rentak tak terpijak
bergetar tubuhku jauhh rindu kupacu
berlayar di dalam jiwa, tubuh diam
tatapan tak lagi bayangan
noda-noda hati berhamburan melekat di keraguan iman
berganti nada-nada cinta ilahi mengasyikan

melarung napas dalam rentak tak terpijak
nafsu tenggelam dan mati menuju haribaan ternyata telah bersemayamnya kekasih
bersentuhan tak teraba asyik berkasihan
rinduku karam pada kematian nafsu menemui hakiki

pertemuan terdampar di istananing ilahi,
menikmati jamuan surgawi
ya, rinduku karam atas mahabbahnya cinta
aku terpana dan sirna

Jakarta, 02,06,19



DI SISA WAKTU

di suatu malam
menatap rembulan di daun keladi
ada kristal hampir jatuh

di lain waktu
kelap-kelip kejora terbang
menyelinap di dalam kelam
lalu padam

bayang-bayang diri
memanjang disorot dian
dan jejak melukis sunyi
bising di telinga menjadi-jadi

setelah disadari,
perjalanan hidup adalah history

Ngawi, 6619



DIALOG EMBRIO
Romy Sastra

menanam benih di rahim yang sunyi, ketika cinta berlabuh dari segala rindu ayah dan ibu, bersatunya kasih sayang jadi embrio si jabang ditimang-timang.

denyut-denyut nadi seirama jantung berpacu memuji ilahi, seperti derap langkah kuda berlari, berharap jerih berbuah manis, si jabang terus tumbuh dari getih hidup unsur saripati, ruh ilahi ditiupkan, embrio kasih akhirnya menjadi sosok insani.

bertanya ilahi pada si jabang bayi dalam gua garba yang sunyi.

"fulan, aku ciptakan engkau jadi hamba-ku, apakah engkau akan mengabdi pada-ku kelak? sebab, rahmat-ku akan mengiringi kehidupanmu di negeri pelangi. seiring itu, surga dan neraka aku sediakan nanti di sana.
di setiap ciptaan-ku segalanya berpasang-pasangan."

lantas, tak satu pun pertanyaan tuhannya ditolak si jabang bayi di dalam rahim yang sunyi, si jabang menari-nari dengan nyanyian nadi dan detak jantungnya terus bergemuruh memuji, ya hu, ya hu, ya hu, ya ilahiku....

fulan menerima segala suratan dan dicatatkan segala takdirnya ke kitab lahul mahfudz.

pada masanya tiba, khalifah itu lahir ke dunia fana. ada yang diam seperti masih terasa nyaman dengan belaian buaian. ada yang bingung, lalu menangis histeris. panas, panas, panasssss....

"aku di mana tuhan?" histeris itu diam.

sahabatnya datang menghampiri dan memeluk dengan gurauan, satu senyuman terbuka.
apakah itu senyuman ibadah, ataukah senyuman geli melenakan kehidupannya digoda di negeri pelangi yang menipu sementara ini?

ah, fulan. kembalilah ke fitrah! alam barzakh selalu menanti. rahim ibumu yang dulu sunyi, akan lebih sunyi lagi di kuburan itu nanti.

Jkt, 200519

Tidak ada komentar:

Posting Komentar