SAJAK HITAM DI PENGHUJUNG JANUARI
oleh : a. Prasetyo
sore yang gelap
di penghujung januari, berjelaga
desir angin menyiar tentang
sebuah sajak merundung nestapa
tatap-tatap nanar
wajah-wajah gusar
terpapar
tubuh-tubuh terkapar
sengat terbakar
menggelepar
mulut-mulut sontak tergagap
kota, mendadak senyap
dunia terkesiap
gerangan apa diri tlah tersilap
saat raga lalai
jiwa-jiwa terbengkalai
abaikan pikir, seakan kisah tak ada akhir
memakna hidup semata cucuran mengalir
sore yang gelap
di penghujung januari menyisa pekat
jikalau tuhan berkehendak
bilakah takdir akan tertolak
**
bumi siwalan,
penghujung januari 2020
MELARUNG HARAP
: sejenak bersama puan
Oleh : A. Prasetyo
Puan, engkaukah yang terlarung bersama sepoi? Kala renjana enggan menyapa jiwa-jiwa yang melarut sepi. Sendiri, tanpa ada secercah hangat menemani. Saat semesta tak lagi memberi dama, hanya mencipta gulana.
Atma, teraba kerontang. Menguap bersama sisa embun semalam. Menempel ragu di pucuk-pucuk catleya. Satu persatu kelopaknya berguguran. Tak ada lagi mimpi yang terhampar, pada kuntum yang t'lah layu sebelum mekar.
Detik berdetak kian melambat. Puan masih menanti di penghujung mimpi. Dalam gelap malam, tanpa setitik pun kerlip gemintang menemani. Mencoba menghapus pekatnya jelaga, karna sekian masa diri melampah tak terarah.
Puan, tahukah engkau jawab dari sebuah tanya. Berapa lama atma 'kan terjaga raga. Hingga semua sempat tak lagi terengkuh. Keluh hanya menyisa peluh. Lantas tanpa kau sadari, asa t'lah menghirap melebur harap. Seiring kuntum-kuntum catleya yang kian terbang menjauh; menyisa sunyi.
**
Bumi Siwalan, 210120
KITA DAN BALABALA
Oleh : A. Prasetyo
Pagi hangat menyapa
Dalam erat jabat sahabat
"Apa kabar, Puan?"
Sapa lembut merajut dama
Senyum melukis rona
Menyejuk walau tak nampak netra
Menguar selaksa rasa
Berdepa membentang aksa
Kita memang tak sama
Betawi, Jawa, Sunda dan Minahasa
Lain suku juga bahasa
Namun, satu merangkai asa
Lantas,
Melintas sebuah tanya
Hakikat tentang berbeda
Bilakah hadirnya memakna
"Apakah kau tahu, Puan?"
Saat kubis, wortel dan daun bawang
Berbalut tepung dan rempahrempah
Mewujud balabala
Tersaji penuh rasa cinta
Pun antara kita dan balabala
Tercipta karna saling menjaga
Perbedaaan hanyalah sebatas nama
Usah biarkan melarung tisna
Pagi hangat menyapa
Merajut cerita tentang bersama
Menjejak lampah menggurat tilas
Karna kita tak selamanya ada
**
MJ beach, 180220
TUHAN, KUINGIN
oleh : a. Prasetyo
tuhan
pagi ini kusapa engkau
lewat sebait harap
tanpa isak dan air mata menyerta
hanya sebuah pinta
terlantun sepenuh asa
meski hasrat selaksa angan
biarlah tersimpan sebatas ingin
**
bumi siwalan, 160220
MENANTI SUARA TUHAN
oleh : a. Prasetyo
pada tuhan kumeminta
di sela putaran jarum jam
dalam diam
pagi, siang, malam; sepanjang bumi berotasi
pada tuhan kumeminta
sungguh, hanya pada-nya
bukan padamu,
dia atau mereka yang tengah bertahta
pada tuhan kuberharap
sungguh, hanya pada-nya
tidak pada gedung tinggi menjulang, atau
para tokohtokoh (konon) terhormat
pada tuhan kumeratap
saat jalan kian gelap
tertutup pekat jelaga kemunafikan
arogansi (katanya) 'tuk mencegah disintegrasi
pada tuhan kubertanya
masih adakah norma, etika; tata krama
seperti dulu pernah
diajarkan di bangku sekolah
pada tuhan kutitipkan asa
nafas anakanak penjaga peradaban
agar tapak kokoh menjejak
lampah tak sesat arah
pada tuhan kuberserah
meluruh, pasrah
**
bumi siwalan, 070220
SEBUAH ENTAH
oleh : a. Prasetyo
aku bersaksi di depan sebuah mimbar
saat orang-orang teriak sesumbar
pada penghujung siang yang tercipta hambar
para lelaki dewasa berserakan terbahak
bersorak
sebagian melawak
hingga serak
dan pada akhirnya
meluahkan dahak
perlahan,
satu per satu mereka memungut
mulutnya yang berjatuhan
tercecer di balik rerimbun semak dan belukar
perlahan,
bibirnya terlepas
usai nyinyir tak terbalas
lalu perlahan,
sebait aksara mengaduh
saat berdebat riuh
tentang tangan dan kakinya yang tak lagi erat berjabat
aku bersaksi di depan sebuah mimbar,
saat mata tajam menghujam
telunjuk lekat terangkat
menunjuk pada mulut-mulut mungil
yang tak lagi kuat menahan lapar
aspal
beton
cakarayam
semen
pasir
dan bebatuan
tak lagi ada menyisa makna
lantas terpikir tanya sebuah fakta
konon,
bumi ini tuhan yang punya
tetapi isinya entah untuk siapa?
hari bergulir tak bertepi
ia tak pernah mengingkar janji
hingga tuhan turunkan sebuah bukti
panas, menyengat
hujan, menderas
badai, menerjang
bumi, sekarat!
semua tak bisa bersembunyi
**
bumi siwalan, 301219
SEMALAM BERSAMA PUAN
Oleh : A. Prasetyo
Puan, malam yang kau lalui acap gelisah
Menepi di penghujung sepi menyisa resah
Kadang bersorak girang, walau bibir ucap mendesah
Bagai teriris sembilu sukma mencipta basah
Puan, sukmamu pekat berjelaga
Menyimpan tanya, bilakah usai sebuah cerita
Melenyap dalam fatamorgana nan fana
Memusnah, tanpa mencipta sebayang gulana
Puan, malam yang kau lalui memandu hasrat
Membisik lembut mereguk syahwat
Hingga melupa ada Tuhan yang musti kau puja
Entah sampai kapan diri 'kan legam: terhina
**
Gang Monas, 291219
MENCINTAIMU
Oleh : A. Prasetyo
Aku mencintaimu dengan sederhana
Tak serumit hukum Kirchoff,
Saat mencari besaran arus
Pada percabangan rangkaian elektronika
Aku mencintaimu dengan akal menyerta
Selayaknya aljabar Boolean,
Memakna gerbang-gerbang logika
Dalam tabel kebenaran tertata
Aku mencintaimu dengan menjaga rasa
Seperti tegangan pada regulator,
Stabil menghantar
Meski kadang tereduksi hambatan
Aku mencintaimu dengan gembira
Seceria warna gelang pada resistor,
Menanda sebuah angka
Memberi maanfaat nilai tersemat
Aku mencintaimu dengan segenap asa
Sekuat output operational amplifier,
Meski terkadang
Ada ripple menyerta
Aku 'kan tetap mencintaimu dengan setia
Seperti kuat arus dan tegangan,
Berbanding lurus pada sebuah penghantar
Bersama selamanya
**
Bumi Siwalan, 261219
CINTAMU SEMU
Oleh : A. Prasetyo
Puan, sekeping hati yang kausematkan
Hanyalah simbol runtuhnya peradaban
Pada insan yang mengaku bertuhan
Namun, lalai abaikan firman
Diri, hadirkan hasrat menyerta
Meski hanya sebatas sapa semata
Mengalun elegi menyirap gulana
Pada siapa 'kan titipkan rasa
Puan, asmaramu hampa
Berjelaga tak terpantik rasa
Sukma terengkuh, luluh
Tanpa mewujud tisna: nestapa!
Sekeping syahwat yang kau ruah
Di penghujung temaram tak menyisa gemintang
Matamata binal tajam melantang
Mencipta liur liar membuncah
Puan, usah diri mengumbar kekata
Teronggok abaikan hakikat makna
Yakinlah, kelak 'kan tiba suatu masa
Dama hadir menyerta, semu melenyap: mengangkasa!
**
Bumi Siwalan, 251219
AKU HANYA INGIN BERSAJAK
Oleh : A. Prasetyo
Aku hanya ingin bersajak
Membingkai kekata walau sejenak
Tanpa perlu menepi pada riak
Saat para pujangga ramai bersorak
Aku hanya ingin bersajak
Meski tanpa diksi menghentak
Kala rima tak mewujud birama
Merenda abjad mencipta makna
Aku hanya ingin bersajak
Berharap lampah menyisa jejak
Meretas tapak bijak membekas
Menjunjung adab tinggalkan tilas
Aku hanya ingin bersajak
Aksara terangkai kisah terserak
Usah diri melantang congkak
Karna semua 'kan dihisab kelak
**
Bumi Siwalan, 251219
YETIN MARYATI
: Untukmu, Ibu
Oleh : A. Prasetyo
Yakinlah pada tulus cinta kasihnya
Elok merupa memercik rona
Tutur teratur kebajikan nan luhur
Ingatkan norma kebaikan bertabur
Nur terpancar, memulas wajah ayu nan syahdu
Masihkah ada nikmat yang engkau dusta
Anugerah Illahi tercipta sempurna
Rasa syukur mengiring tunduk tafakkur
Yakinlah, usah diri meragu
Apa yang tlah tersurat serta tersirat
Tisna terengkuh, dalam sabda baginda Rosul nan mulia
"Ibumu, ibumu, ibumu ... lalu ayahmu!"
**
Bumi Siwalan, 221219
MELAMPAH SESAT
Oleh : A. Prasetyo
Penghujung detik
Menyisa detak
Menguak onak
Percik terpantik
Hasrat merebak
Aurat tersingkap
Norma menghirap
Rupiah memikat
Iman terjerat
Terhipnotis nikmat
Candu sesaat
Kekal melaknat
Puan, ingatlah hakikat
Lampah kian tersesat
Kelak menanti akherat
Selamanya sukma terjerat
**
Bumi Siwalan, 231219
IZINKAN TUHAN TURUNKAN HUJAN
oleh : a. Prasetyo
hujan yang turun semalaman
di penghujung sebuah perayaan
menyirat sebuah pembuktian
tentang makna keniscayaan
berbulir mengalir
meliuk dari hulu ke hilir
menyapa bumi yang kian kikir
agar insan senantiasa berpikir
pada gang sempit
lorong kumuh berimpit
perkampungan kawula alit
komplek perumahan elit
semua hanya bisa menjerit
lantas lari terbirit
sungguh, tuhan tak pernah keliru
atau bersabda ambigu
meski titah-nya acap tak digugu
ia 'kan tetap menyeru
duhai para penghuni semesta nan dicipta sempurna
usah diri ragu atas petuah-nya
bahwa hujan dicipta, selaksa berkah menyerta
bagi hamba yang mampu memakna
**
Genangan, 01012020
APALAH AKU TANPA MEREKA
Oleh : A. Prasetyo
Siang dalam terik bagaskara
Pada sebuah ruang yang tak mengenal kasta,
Memadu mesra
Tatkala tauge dan tempe menyatu
Berkolaborasi dalam cinta
Lantas satu per satu,
Cabe
Tomat
Garam
Gula, dan terasi
Tanpa kompromi
Mereka berkonspirasi
Merenda temu bersama berbagi
Mewujud mimpi
Tak ada yang berkata "akulah yang ter ...."
Karna kini diri tlah menyatu padu
Tak ada iri, hasut dan dengki
Demi nikmat tersaji
**
Antaboga, 040120
SAJAK PERIUK NASI
oleh : a. Prasetyo
pagi ini periuk nasi bergembira
sebab pada akhirnya
dia kembali tunaikan tugasnya
setelah sekian lama
teronggok
terdiam sendiri
tergantung bingung
di dinding kusam
pekat berjelaga
pada sebuah rumah
yang tak lagi utuh atapnya
anak-anak kurcaci terduduk rapi
resah menanti
terhidang nasi
di hamparan banner berwarna-warni
bekas kampanye para politisi
sudah terlalu lama
mulutmulut kecil itu berpuasa
hingga mereka tlah melupa
bagaimana nasi berasa
pagi ini periuk nasi bergembira
melihat para kurcaci tertawa
lahap menyantap
meski tanpa lauk menyerta
**
bumi siwalan, 120220
MENIKMAT BUMI TUHAN
Oleh : A. Prasetyo
Tubuh kecil tak terengkuh
Terpapar bagaskara mencipta berbulir peluh
Mulut berceloteh riang tanpa keluh
Hingga saatnya tiba melempar sauh
Mereka, anak-anak nelayan
Mendayung sampan ke tepian
Mencari sisa-sisa ikan
Yang terdampar karna pasang semalaman
Mereka, anak-anak yang tak termakan rapuhnya peradaban
Dalam congkaknya zaman tetap tegar bertahan
Berdiri melantang halau terpaan
Bersahaja tanpa rasa keterpaksaan
Sungguh, semesta raya mengingatkan
Rezeki terhampar di sepanjang bumi Tuhan
Usah diri meragu firman
Manakah nikmat yang engkau dustakan
**
Bumi Siwalan, 060120
CERITA PAGI
oleh : a. Prasetyo
pagi ini
jam enam lewat seperempat menit,
kulihat dua bocah
duduk bersenda gurau
di sebuah rumah penjaga
tempat pembuangan sampah
pada penghujung jalan sebuah perkampungan
lalat-lalat hijau
sebesar ujung jari kelingking
beterbangan, berputar-putar
mengelilingi segelas teh hangat
yang tak ada penutupnya
lalu, mulut-mulut sang bocah
bergantian mencecap,
menyantap sebungkus nasi
yang dimakan berdua
terlihat alangkah bahagia
sementara,
hujan yang turun semalam
menyisa genangan air menghitam
tercecer di beberapa tempat, seakan
membentuk gugusan pulau-pulau
pada peta nusantara
menguar aroma tak sedap
menyapa rongga hidung mereka
dalam sekian waktu berlalu
terlalu akrab, sang bocah
menghirup oksigen, bercampur bau basi
pagi ini
jam enam lewat dua puluh menit
kulihat dua bocah
berseragam putih merah
keluar dari rumah penjaga
tempat pembuangan sampah
pada penghujung jalan sebuah perkampungan
bersemangat menapaki hari
membekal diri
berharap suatu saat nanti
mereka, tak lagi menjadi penghuni
rumah penjaga tempat pembuangan sampah lagi
**
ujung sawobarat, 150120
TERLARANG TEMU
Oleh : A. Prasetyo
Untukmu, perempuan semu
Merajuk di penghujung temaram
Bait-bait pujangga meramu
Aksara merangkai rindu
Luahkan rahsa merajut temu
Puan, bolehkah sejenak kugenggam
Lembaran gores bertinta pilu
Cerita engkau dan aku
Saat bentang menyisa ragu
Hingga pada gigil harap
Luruh menghirap
Resah menyesap
Melarung kisah menuai pisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar