RINDU DENDAM
Tsurayya Tanjung
Bilur duka menyeruak seiring amarah
Pada kata keramat asaku pasrah
Kecipak asmara melemah
Sayap cintaku patah
Rindu ini membunuhku
Tersebab dendam mengungkung kalbu
Meranggas pohon cinta itu melayu
Terkoyak cinta baru nan lugu
Kumohon selamatkanlah aku
Dari kuasa nafsu membelenggu
Aku ingin berpasrah ataukah terus melaju
Menggenapkan tulus melangkah satu
Cinta, mengapa begini adanya
Rindu dendam mengalir bersama
Tuhan, mohon rengkuh aku sesaat
Jangan biarkan jiwaku tersesat
Bdg, 090919
HIRAP HARAP
Tsurayya Tanjung
Nir
Dalam alunan kasih berdesir
Ada gores ludira mengalir
Cinta
Tidak mampu dinalar logika
Kadang sesal di akhir masa
Nestapa
Bernanah berdarah terluka
tertoreh oleh gurat kata
Cinta kita
Kini terserak tiada
Memberangus harapan asa
Gemintang bias
Terang bulan hanya sekias
Sinarnya pupus pias
Kata kita moksa
Merepih dalam daksa
Sekerontangnya melara
Aku kamu terjeda
Di sekat ruang masa
Kini hanya meraba
Bandung, 2019
PEMINTAL KATA
Tsurayya Tanjung
Kita terlahir dari lembutnya rahim suara hati
Dari gagahnya pancaran aliran diksi
Menjadi arakan indah narasi puisi
Tuangkan larik lirik bait elegi
Kita anakanak bumi yang terserak
Bersatu di satu noktah waktu beriak
Alunkan nyanyian kisahkisah jiwa
Tertuang di indahnya senja bercerita
Ada yang pergi sejak dini titipkan nama
Adapula nan kukuh bertahan diterpa gelora
Pun ada yang diam disekam legam bungkam
Jua ada nan terlempar dikebutkan emosi menguar
Perjalanan selalu menghantarkan titik temu dan pergi
Menajamkan pesan hidup adalah pilihanpilihan
Nekhtar proses berkehidupan
Hantarkan kesan tarik ilmu, pengajaran
Tak masalah tentang perbedaan
Waktu membuktikan jatidiri, kita selalu sama dalam sejeda detik merepih
Netra kita mengarah ke batas cakrawala nan sama
Tatkala senja menyapa rahsa
Entah dalam lembayung nan menggantung
Ataukah merah saga menyebar nanar
Pun jingga nan hangatkan jiwa
Sebab kitalah pemintal kata
Pemilik kalamnya senja tatkala bercerita
Anggadireja, 021119
PERNAH
Tsurayya Tanjung
Dulu, kita pernah
Menyelaraskan derap langkah
Menyeimbangkan lampah
Melarungkan harap cita terindah
Dulu, kita begitu dekat
Seiya sekata sepakat dalam pekat
Sepaham tentang mengurai penat
Sejarak lafadz dengan tenggorokan tanpa sekat
Hingga, sepahammu tiadakan semua
Cita bersama musnah tertelan masa
Ejaan aksara tak lagi semakna
Kini tinggal menunggu era berkata apa
"Tentang cita dan cinta. Terkadang tak beriringan. Namun, Cita dan Cinta tertinggi kita akan selalu menemukan cara untuk bertemu. Yaitu menggapai Jannah."
Bandung, 2019
MENGEJA DIRI
Tsurayya Tanjung
Inginku sesabar bumi. Memberi ruhiyah kehidupan tanpa pamrih. Meski daya kehidupan disesap, raganya koyak tercabik perih. Bergeming meski sedih. Diam bertasbih lirih.
Inginku sekuat ilalang. Tegar hadapi terik baskara, kekar terima lebat hujan mendera. Bahkan bertahan, kala kemarau telah meranggaskan jejati. Dia kokoh bertumbuh, hingga berganti hijaunya serona emas. Indah.
Inginku setegar karang. Tak goyah diempas gelombang. Tak cemas di terpa badai. Laut adalah bentang tabah. Palung atas resah bernaung. Tenang.
Terpekur. Semua tentang ikhlas. Tentang pengampunan. Tentang kepasrahan. Apalah arti diri bahkan nyawa pun titipan. Berhakkah mempertanyakan goresan pena Lauh Mahfudz ??
Subhanallahu wabihamdihi.
Bandung, 2019
SAJAK ANAK BANGSA
Tsurayya Tanjung
Bumi Indonsia menangis
Ada luka teriris
Renjana asa mengais
Keutuhan pilar termanis
Bumi meraung pilu
Serodannya palung kalbu
Gamang jiwa menderu
Inginkan damai, utuh bersatu
Jangan tebar lagi angkara
Berjuta anak bangsa terluka
Mengais kasih lewat sajak
Meminta kukuhkan kembali pasak
Jangan tebar lagi huru-hara
Dekaplah betapa jantung berdegup gagap
Saksikan sanak saudara melara
Rasakan duka meski tak pernah seatap
Anak bangsa menyeru
Mari kukuhkan satu itu
Mari rawat bhineka
Mari rawat aneka warna
Bandung , 220919
RENUNGKAN
Tsurayya Tanjung
Ada binar nanar di mata Ibu
Dia bersusah hati menatap diri
Betapa rusak raganya kini
Ulah anak manusia berseteru
Lihatlah Ibu bumi tampak penat
Meski tertidur wajah lelahnya pekat
Kini tinggal menunggu kapan dia terhenyak
Maka, saat itu bentala kan menyentak
Mari gaungkan damai, sekata
Hentikan sepak terjang durja
Jangan biarkan angkara berkuasa
Gaungkan kama mengangkasa
Jika kau merah maka jadilah sewarna darah
Jika kau putih maka kembalilah seputih melati
Pilar-pilar itu butuh pemersatu marwah
Dan itu adalah kita, anak negri
Bandung, 220919
HIKMAH
Tsurayya Tanjung
Bersama rintik hujan membasahi bumi
Sunyi mengiringi ledakan tangisan hati
Sepi merajam hingga ke palung sukma
Sendiri seakan mencuri kata, tanpa makna
Tiadamu di sisi seakan membunuhku
Mati rasa, tak mampu lagi resapi kesan
Seolah diam menjadi pengobat
Namun sejatinya pembunuh terhebat
Di sini, di hamparan permadani hijau
Bersama ilalang dan burung berkicau
Seolah kutemukan lagi arti memaknai
Bahwasanya luka, adalah bahagia nan tertunda
Mutiara terdalam dari berkehidupan
Atas berkah Ilahi menurunkan ujian
Bandung, 5 Agustus 2019
ASMARALOKA MAYA
Tsurayya Tanjung
Tertegun menatap cermin
Menatap pantulan sosok diri
Bertanya berkali meyakinkan diri
Masihkah dia sosok serupa
Sebelum kau hadir menyapa
Menawarkan seutas tali harapan
Dalam dunia tanpa rupa
Sebatas maya namun melena
Akh meski itu semu, tak berupa
Namun hati ini terenyuh, rasaku nyata
Mabuk terbawa senda gurau canda
Hingga nyaman menghantarkan rahsa
Bertanya kembali ke palung hati
Adakah ini cinta atau kagum semata
Mengapa sakitnya mengiris sukma
Membunuhku ... perlahan pasti
Kala tersadar kau ilusi
Tak mampu kuraih pasti
Ada yang nyata membersamaimu di sisi
Tersadar tak mungkin kau kugapai
#gogyoshi
Sekias kisah kita bias ditelan masa
Menggenang bilur basahi kenang
Pahatan kekata menjadi prasasti
Melebur alur di taburan diksi elegi
Sunyi kini merajai palung hati
Melara Sendiri
Tsu, bdg 03012020
MELARUNG RINDU
Tsurayya Tanjung
Melarung rindu di palung kalbu
Renjana mengais bias mentari
Pucukpucuk harap melambung ke langit biru
Temani lara hati dalam sepi
Awan putih tawarkan madu cinta
Kepada mega mendung menggantung
Hantarkan gerimis tawa
Sebelum pelangi merundung
Asmara adakah nyata menyapa
Selayak asmaraloka para dedewa
Aku memilin buhul asa
Kau dan aku bermesra di suaralaya
Bld, 25 Juli 2019
AKU PERGI
Tsurayya Tanjung
Aku pergi
Dengan segenggam hati
Bersama luka menganga bersimbah darah
Mencoba menyelamatkan diri dari kuasa amarah
Tak lagi mampu kupertahankan
Rahsa kadung merasa tercampakkan
Biarlah aku mengalah
Tak perlu lagi, cukup! Semua ini salah
Terkungkung harsa terpenjara cinta
Tiada logika pun kebijaksanaan jiwa
Tetiba kau hadir selaksa makna kama
Bagai candu perusak menyesap daksa
Biarlah ....
Cukup sedu sedan itu! Cukup aku
Kan kusematkan kau sebagai bayangan indah
Takkan kupancangkan pilu lebam kalbu
Kulepaskan ... kurelakan untuk semua
Jangan kau tangisi! Isilah sepanjang malam ini
Dalam melodi dama menggema dada
Sematkan perpisahan bagai anila, tanpa cela
Bandung, 2019
KEMURNIAN
Tsurayya Tanjung
Kasihku sederhana bersahaja
Laksana beningnya tirta berupa
Tiada warna rasa pun aroma
Namun essensial senyawa
Tak perlulah berwarna pekat
Atau beraroma memikat
Air tetap berderajat
Abirama pasaknya hayat
Tanpa tirta essensi terburai
Elemen hayati hakiki
Begitu adanya tulusku di palung kalbu
Unsurku maklumatkan hakikatmu
Kasih ini putih hadir tanpa pinta
Jernih laksana kristal kaca
Jagalah seelok daya upaya
Salah kau genggam, hancurku seketika
Bandung, 28 Juli 2019
ELEGI KITA
Tsurayya Tanjung
Aku tanpa hadirmu tiada
Redup membias menuju binasa
Sinar melemah seiring nestapa
Terseret sunyi mencabik rahsa
Kau dan aku, elegi kisah asmara
Menjelma rasa dari seteru menjadi satu
Menggemakan hasrat para pecinta di mayapada
Suarakan cinta tak pernah salah lewat dayu lagu
Jangan pernah terbersit tentang perpisahan
Aku takkan mampu bertahan
'Ku tak ingin kita menjadi kenangan
Menjelmalah selalu selayak seindah harapan
Kau adalah alasan aku ada
Pun hadirku tercipta untukmu sahaja
Layaknya takkan ada siang tanpa baskara
Takkan ada hujan tanpa mendung di nabastala
Bdg, 090919
KECEWA
Tsurayya Tanjung
Menghujam sesal mendera nyeri
Sebilah hati rasa dikebiri
Gemingmu biaskan keberadaan
Masa menjelaskan kesiaan kesetiaan
Lara sukma ajari setakat berdiam
Menyimak lampahmu dalam sekam
Mengurai nestapa terguris luka; lebam
Melumat halau kesumat dendam
Senoktah ludira pembukti kasih berkorban
Biarlah usah lagi menyemai asa penantian
Bila masa kau sadari mungkin ku 'tlah jauh berjalan
Terjeda tak sempat lagi kau menahan
"Hargai kebersamaan, selagi bisa diselamatkan. Jangan sampai kelak sesal mendera kalbu tak berkesudahan."
Bandung, 1410919
MELINDAP
Tsurayya Tanjung
Pada dada kupetakan rasa
Menyarang pancang sejuta asa
Bergejolak degub rona cinta
Denyar berdendang kidung asmara
Kau sang penyunting hati
Sungguh berjaya menjamu sepi
Lindap bersama pelangi kini sunyi
Berpendar cita warna warni
Hingga, kau memilih menepikanku
Atas nama cintamu yang keliru
Terbangun dirimu, katamu
Sadari ini hanya kisah semu
Aku yang masih terperangkap
Tak jua mampu singkirkan bayangmu, hirap
Butuh waktu bagiku memastikan asa ini melindap lenyap
Memastikan kau sungguh tak mampu lagi kutatap
Bld, 15 Januari 2020
#Prosais
SEBINGKAI KISAH
Tsurayya Tanjung
Mungkin, masih ada hati bagiku. Menerimamu kembali untuk bercinta denganku. Meski, berkali kalbu kau hujam sembilu. Mungkin, ini naif. Entah kebodohanku menginkanmu sedalam itu. Mencintaimu sebesar itu. Mengenangmu seluasnya samudra. Kendati, berkali kau datang lalu pergi kala itu. Koyakkan sebilah hatiku, yang kunamakan cinta.
Kau kata, inilah kita, hanya euforia sesaat. Rasa yang hadir tuk kenikmatan sekejap. Melengkapi puzzle hati kita yang tengah terserak. Kosongnya jadikan kita gemilang, benderang dalam kelam. Sebelum lentera akan membawa langkah kita, kembali menjauh. Sebab sedari awal arah kita berbeda.
Namun, bagiku tidak serupa itu wajah rasaku. Ya, aku mencintaimu setulus itu. Tanpa pamrih, tak meminta lebih. Memahami, seikhlas itu, hingga kuberikan hatiku penuh. Bukan sisa kepingan. Hingga kepersembahkan utuh, bukan selingan. Meski, pada akhirnya aku tahu, kau akan melangkah pergi. Kembali kepada dia yang pasti.
Kendati, kini kita hanya sebingkai kisah. Mungkin telah menjadi bangkai bagimu. Tapi aku selalu tahu. Kita akan selalu sama dalam satu hal. Bahwa masih ada rasa itu. Namun, ketinggian harga diri atas nama gengsi, akan selalu memukul mundur langkah kita. Mendekati kenangan untuk sebuah raba. Lalu mengurai kelunya rindu menjadi salam sapa.
Ya ... serupa inilah. Kisah yang kita torehkan di buku masa. Tentang dua hati terluka, mencari arti cinta. Dipertemukan dalam jelaganya era. Membingkai kisah menjadi memoar tak terlupa. Namun, hanya untuk gemilang sesaat. Berpendar sedemikian hebat, kemudian meredup. Sepekatnya malam, menelan cahaya.
Bandung, 26 November 2019
#Prosais
MEMANDANG LANGIT
Tsurayya Tanjung
Memandang langit sore hari ini, membawaku pada kenangan kita kala itu. Kau yang pernah mengejarku mati-matian, hingga pada akhirnya justru membuat hatiku mati sungguhan. Menghujamkan sembilu tak berkesudahan, atas nama sebuah kesan menggantung tanpa tali, tanpa buhul ikatan.
Wahai engkau yang berjubah api. Puaskah kini? Memberangus diriku hingga menjadi arang. Meniadakan aku sekiasnya kilat petir. Padahal kita pernah satu dalam dentuman waktu. Kita pernah dalam sedegup jantung yang sama. Saling meraih tangan seolah tak ingin terpisahkan. Meski kini, hanya sekadar menjadi pernah.
Kau tau? Langit senja kali ini, menghantarkan banyak sekali lintasan memori. Tentang kita yang saling berkejaran, mewarnai ufuk barat dengan lembayungnya. Kala itu dua tangan kita bersamaan menengadah. Memohon kepada Pemilik Langit, mendengarkan doa kita untuk dibersamakan.
Ah, tapi itu dulu ... saat kau masih memiliki denyar yang sama denganku. Sebelum rasamu terbunuh bersama masa. Sebelum debu menguruk waktu menjadi kenangan semata. Sebelum akhirnya dirimu pergi diam-diam dalam senyap, padahal hatiku masih dalam euforia indahnya kebersamaan.
Kau ... sungguh berjaya. Hingga sukses membuatku kedinginan di penghujung bumi sini. Gigilku tak lagi meruntuhkan hatimu. Entah kalbumu telah mati rasa. Atau sengaja menutup mata. Menjeda segala yang pernah kita punya, hingga menjadi noktah tak bernyawa. Sekadar pesan melintas, tiada kesan. Di kaki langit yang sama, aku menatap ufuk cakrawala. Berharap adamu di penghujung bentala sana. Menatapnya jua, lalu teringat tentang aku, tentang kita. Semoga ....
Bandung, 30-11-2019
#Prosais
MENGEJA DIRI
Tsurayya Tanjung
Acapkali terluka, berkali di terpa lara.
Jatuh bangun tertatih terseok, namun kutetap hidup. Menjaga kewarasan jiwa.
Terbangun dari mimpi, menemui hari tak sama lagi, era tertelan waktu, tersadar, termangu.
Terpaku sesali masa, zaman raib tak berkelas, masih serupa sesaat sebelum tertidur pulas, karib t'lah berkibar, ku tertinggal.
Kini hanya mencoba memperbaiki, tak kuasa memupus pena nasib, nan tergores biarlah menjadi cermin, tak lagi terperosok salah.
Arang berbekas itu, biarlah menjadi ladang ilmu, bagi orang lain berguru. Cukup kejar Ridha Tuhan saja. Usah hiraukan cibir manusia.
Toh aku pendosa, pun kau pendosa, mereka jua pendosa.
Pembeda, hanya tobat di akhir catatan.
Bandung, 2019
#PROSAIS
ENGKAU ADALAH
Tsurayya Tanjung
Engkau adalah matahari, noktahku menemukan aksara. Merambah olahan kata, memaknainya dalam cerita. Mengasingkan kertas kosong dirimpuhnya masa.
Engkau adalah tetes hujan pertama, menguarkan petricor, aromakan kebaikan hidup. Lalu petala basahi kerontangnya aku atas dahaga ketulusan.
Engkau adalah keberpuraan era menipu pandang mataku.
Namun juga nyata sejauh aksa renjana, mampu mendeteksi semayanya hadirmu. Lalu moksa kita dalam temu tak beraga.
Engkau adalah sejelaganya pekat, menyeretku indahkan segala sekat dan batasan. Menggiringku pada cahaya meski sekias lalu bias, menuju ketiadaan, merapuhkan raga.
Engkau adalah irama musik dalam kesunyian. Engkau adalah keheningan dalam hingar bingarku. Abirama tapi selalu seirama. Engkau ada tapi jua tiada.
Engkau adalah batasan itu sendiri namun juga keberlapangan. Mengajarkan aku, memapah lampah. Pada ruang kosong yang kau beri nama ambigu. Tapi juga nyata selaksa makna.
Engkau adalah bumbu hariku, menyemai gelegak tawa, tapi jua adalah kepahitan kekecewaan yang memburamkan mata sekilatnya cahaya.
Engkau adalah mimpi yang membunuh. Mengikis damainya nyata, terbuai ilusi sakiti palung hati. Rengkuhmu takkan pernah benar-benar mendekapku.
Engkau adalah fajar sementara aku adalah senja, engkau awal sementara aku adalah akhir. Tatkala kau nyata aku nan membias menjadi kiasan cahaya, digulitanya malam
.
Kau dan aku adalah dua polar berbeda. Namun hadir kita dibutuhkan mengisi hari, berjalan berirama iringi kalamnya kehidupan.
Meniadakan asa adalah satu-satunya jalan. Agar kita tetap bisa bersama.
Bagimu mungkin pendarku memudar bersama langkah baru. Tapi aku masih di sini mencintaimu dalam diamku, entah mengapa ....
Ruang kalbu, 111119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar