Minggu, 06 Maret 2022
Kumpulan Puisi Romy Sastra - AURORA JUITA
DI BALIK TERALI NISAN ITU MENARI-NARI
Romy Sastra bersama Rendi Maulana Saputra
Ayah... telah kau rayu ibu ke tanah merah pada malam tadi, tubuh berkubur lumpur bermandi tangis. Malam yang merinai ruh bersatu di haribaan berganding nisan. Sebelumnya, ayah dan ibu telah rantaukan nasib ke tanah Jawa. Aku digadangkan bertiga bermandi peluh, titah tuah ayah titipkan pada kami generasimu. Kini pundak kami mulai terasa berat memikul derita. Di balik terali tembok putih nisan itu menari-nari. Anakmu yang tak sempat berbakti ini menyesali. Ayaaaahhh.... Ibuuuuu....
Al-fatihah....
Lapas, 6 Maret 2022
AURORA JUITA
"Aurora Juita, kupuja cinta kasihmu kurasa, belailah rinduku pada bayangan tak jemu dijamah. Kasihku padamu seharum melati di pintu senja abadi selamanya."
Romy Sastra
Jakarta 2322
PERANG EGOISME MENUJU ARMAGEDON
kecamuk yang mabuk di negeri beruang putih, salju tak mampu memadam bara. haru iba membuncah di dada, ke mana luka 'kan diobati? perban putih tak cukup membalut luka. darah tak berdosa tak lagi amis, embun pagi berganti debu. angin berbunyi deru meciu, warna langit berkabut jalan-jalan penuh ranjau. genderang perang di meja konspirasi kian tak terkendali, perang akhirnya terjadi. kapankah 'kan berakhir tragedi berdarah di dunia ini? sudahilah tuan!
united nations membisu,
mungkin memilih jadi penonton permainan game lebih dulu
mereka asyik dimabuk whisky di musim salju
timur tengah mencekam, arab jadi penonton. padahal ikut bersekutu
asean berkoar tak berparung dungu
asia berpesta mewah ikut pasang kuda-kuda terbawa-bawa
australia berdansa merayakan kesenangan tanpa terjajah
Israel menawarkan solusi
senjata alutsista kami canggih
sejatinya adalah skenario paman sam bersekutu nato aktor perang
afrika kuda hitam diam tanpa alasan
bumi pertiwi indonesia tak bertaji
sulit menentukan langkah kaki berlari
hanya bisa merintih mencaci maki
tak ada solusi berarti, sebab baru saja lepas dari trauma kolonial belanda dan jepang. kini sibuk tuding kolonial baru itu tak lagi bermata biru, tapi bermata sipit, padahal pribumi hipokrit seperti siput menyikut, cangkangnya keras lidah menjulur tubuh menyumput. ah, kian semrawut
di tanah emas ini pada malam-malam panjang, aku duduk seorang diri, doa kupanjatkan membuka pintu arasy. ternyata aku tak mampu melebur badai bertamu, tangisanku kian pilu, teropong batinku berwarna darah melihat bangkai tua muda jadi abu. genosida semakin menggila
di sana di bumi para dewa, tubuh berbalut jubah diperkosa tak suka bermaruah akidah, rohingya dikebiri tak diakui di bumi sendiri, siapa kuat dia dapat yang jahat berdelik saling menyalahkan
tuhan,
langit ini seakan runtuh, runtuhlah!
kiamat sudah terjadi di setiap konflik
perang dunia ketiga akan lebih dahsyat dari neraka. sedangkan jeritan akhirat masih ada dispensasi amal terselip, jeritan konflik perang itu pelik, pedihh, periihhh .... mereka seperti tikus-tikus mengendus mesiu
di bumi aleppo dan ghouta syiria
seperti tak bertuan dibakar-hanguskan
penguasa-penguasa serakah ciptakan gaduh. apa yang kau cari wahai kepentingan di tanah yang diberkahi? tanahnya telah tandus setandus jiwa pemimpin itu, dan tak punya rasa kasihan dan malu
dunia? berdamailah semua
izinkan anak-anak tak bedosa bernapas memandang langit biru. jangan biarkan ozon berkabut menyelimuti seantero bangsa di bawah bayang-bayang menuju armagedon. ketakutan pada armagedon melebihi dari el-maut bertamu
kini kecamuk moskow versus kiev adalah eksistensi egoisme yang buntu disusupi benalu, dan ketika meja perdamaian sunyi, maka puisi bernyanyi untukmu, pembunuh!!
Jakarta, 1 Maret 2022
DEBU YANG TERSISIH
hujan di mata sendu bunga dahaga layu
kemarin aku melihat taman di bulan berseri
ilalang menantang matahari tak mati
terik cermin kaca retak seribu cahaya
debu pasrah diterbangkan angin
tersisih di lantai permadani
lenyap disentuh air tak bersedih
debu tetap nirmala meski terbuang jauh
sungging di bibir merupa nebula
sementara saja aurora bermain cahaya
kini malam ini jadi kenangan tak berdian
hujan terus turun kenangan padam
sejatinya cinta tak memandang kasta
ah, kejora enggan kelipkan sinaran
akhirnya bulan malu di balik cemara
debu-debu hilang entah ke mana
Romy Sastra
TIM Cikini 220222
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar