Sabtu, 18 Juni 2016
KITA TIDAK LAGI MEMPERDULIKAN RONA SENJA
Sejauh-jauhnya luka pergi, ia akan selalu kembali; pada airmata yang mencintai.
Perihal doa, kau tenang saja; ia hapal betul namamu.
Aku berbahagia; jatuhnya cintaku kepadamu, tak membuat dunia menjauhi aku.
Di matanya ada sumur yang dalam, aku tak bisa menimba apa-apa selain kerinduan.
Daun-daun hijau ingatanku kuning: musim merindukanmu tiba lagi.
Pada embun di ujung daun kutemukan harapan dari pagi, dan masa depan di senyumku sendiri.
Sebab cinta adalah rasa sakit yang abadi, maka Tuhan tak pernah absen menulis puisi.
Biarkan ku tampung buliran rindu itu, agar kelak kau tahu, jika kau pulang ke pangkuanku.
Aku melupakan satu hal: puisi ini lebih mencintaiku dari pada dirimu.
Semilir duka masih menyesakkan dada, saat ku lihat kau memilih pergi.
Cinta, biarlah rindu berkelana, mencari sesosok yang dicinta, hingga nyawa terbang bersamanya.
Rasa-rasa delima mengering di lidahku, bersamaan dengan air mataku; begitulah awal kau merayu.
Engkau diberi kelebihan meramal masa depan, tetapi engkau tidak diperbolehkan mendahului takdir Tuhan
Seindah apapun cinta, tapi tak bisa merawatnya. Cinta akan membuatmu murka, bila kau mempermainkannya.
Atas apapun kau tersenyum, semoga cinta tetaplah alasan pertama, meski di sana tidak ada kita.
Senyummu puan, mengantarkan anak rinduku pulang, dari ujung penantian.
Aku menggambar kesedihanmu diselembar kertas, lalu mewarnainya dengan segenggam cemas.
Dari balik puisi ini; aku melihat kebahagiaanmu masih dijajah masa lalumu.
Seperti malam biasanya, kau memberiku satu tetes air mata; kali ini air matamu beku. Lebih dingin daripada pikiranku.
Di dinding pikiran namamu yang dituliskan, di ruang jiwa cintamu ku selimuti kasih sayang.
Dalam sejarah kita terkadang senyum adalah sandiwara belaka tuk menutupi bahwa air mata adalah realita sesungguhnya.
Malam begitu lapar hingga dilahap segala terang, kecuali cahaya di matamu yang kejora, di wajahmu yang purnama.
Ingin ku acak-acak kau di tengah guyuran hujan. Lalu kita menikmati kuyup itu dengan desah yang samar.
Sebab yang dekat denganmu melebihi urat nadi sudah Tuhan, biar aku hanya sedekat baju kesayangan yang kau kenakan.
Pelukan ialah adegan yang kita suka, saat hati saling bicara tapi bibir bungkam seribu bahasa.
Ditemani gemercik hujan, kuterbangkan angan; Disela tetes dedaunan ada rindu yang berjatuhan.
Oleh : Nur Aini Notokusumo
SNA.18062016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar